Rabu, 04 Mei 2011

[sekolah-kehidupan] Digest Number 3385

Messages In This Digest (7 Messages)

Messages

1.

(CATCIL) : MENABUR CINTA MENUAI BAHAGIA

Posted by: "yudhi" yudhi_sipdeh@yahoo.com   yudhi_sipdeh

Tue May 3, 2011 10:17 am (PDT)





MENABUR CINTA MENUAI BAHAGIA

Sabtu pagi yang sendu di bulan April 2011.

Langit mendung, angin bertiup dingin dan hujanpun turun. Hujan yang merintik kemudian menderas, bumi pun basah. Gemericik air mengalir menuruni genting dan tumpah membuncah. Beningnya kaca mulai mengabut jernih pandangku. Daun-daun berayun seiring curahan air.

Puji syukur kepada Allah SWT yang menurunkan hujan sebagai anugrah. Bunga-bunga bermekaran dan benih-benihpun tumbuh. Benih terbaik akan menumbuhkan tunas baru, menyeruak gembira menyapa hujan yang turun. Anginpun bersorak menghembuskan senandung cinta. Allah yang Maha Kuat mencurahkan cinta-Nya dan benih yang lemah pun tumbuh menjadi tunas baru. Dan akan terus tumbuh besar dan kuat dengan cinta yang terus menerus tiada putus.

Begitulah kisah cinta seiring hujan yang turun di pagi yang dingin. Pesona cinta telah membuatku merenung dan termangu.

"Allah Maha Kuat, Cinta-Nya Maha Kuat "
Allah tidak pernah lelah men-CINTA-i semua. Meskipun telah banyak membuat kerusakan, kesalahan dan dosa.

Manusia yang memiliki "HATI" telah ditunjuk menjadi KHALIFAH dimuka bumi ini DENGAN TUGAS untuk terus MENCINTAI manusia, bumi dan alam sekitarnya.

Ya...tugas manusia di dunia ini adalah MENCINTAI setulus HATI...terus menerus tanpa pernah berhenti. Hanya manusia yang memiliki hati maka tugas itu diberikan ALLAH kepada manusia.

Nabi dan Rosul di utus diantara manusia adalah menyampaikan kabar CINTA.

SEMAKIN KUAT KEDUDUKAN, maka TUGAS untuk MENCINTAI semakin besar . Jadi HARUS semakin kuat dan tak kenal lelah untuk terus MENCINTAI.

Orang Tua seharusnya tidak pernah lelah mencintai anak-anak.

Suami seharusnya tidak pernah lelah mencintai istrinya.

Istri seharusnya tidak pernah lelah mencintai suaminya.

Orang kaya seharusnya tidak pernah lelah mencintai orang miskin.

Guru seharusnya tidak pernah lelah mencintai murid-murid

Pendidik dan Pengasuh seharusnya tidak pernah lelah mencintai anak didik & anak asuhnya.

Kakak seharusnya tidak pernah lelah mencintai adik-adiknya

Yang kuatseharusnya tidak pernah lelah mencintai yang lemah.

Penguasa/Pemimpin/Pejabat seharusnya tidak pernah lelah mencintai rakyat yang dipimpimnya.

Pemimpin yang layak dipilih adalah sangat kuat cintanya kepada rakyatnya. Kekuatan cintanya dapat diketahui dan benar-benar dirasakan keluarga, sahabat, tetangga, teman-teman dan orang banyak di sekitarnya yang tidak dikenalnya.

Jika menyalahi kodrat maka akan terjadi ketidak seimbangan alam. Akan muncul kerusuhan, bencana dan musibah.

Menabur kebencian hanya akan menuai Bencana dan kepedihan.

Menabur cinta pasti akan menuai kebahagiaan.

Semakin besar cinta yang ditabur...semakin besar Kebahagiaan yang di dapat.

Yuk mari menabur CINTA...
Terus mencintai tiada henti dan jangan pernah lelah.
Hilangkan semua kebencian di hati...

semoga kita kan BAHAGIA.

Jakarta, 30 April 2011

salam cinta.

2.

Artikel: Melepaskan Beban Penghambat Kemajuan

Posted by: "Dadang Kadarusman" dkadarusman@yahoo.com   dkadarusman

Tue May 3, 2011 10:17 am (PDT)



Artikel: Melepaskan Beban Penghambat Kemajuan
 
Hore,
Hari Baru!
Teman-teman.
 
Anda manusia sempurna jika pernah mengalami cobaan hidup. Sebab cobaan adalah bagian dari proses menuju kesempurnaan hidup itu sendiri. Sayangnya kita sering keliru memaknai cobaan hidup sebagai siksaan. Padahal, itu adalah cara Tuhan memberi kesempatan untuk meningkatkan kualitas diri. Karena cobaan itu; ada orang yang hidupnya semakin terpuruk, dan ada pula yang justru semakin terpacu untuk lebih maju. Agar tidak ikut terpuruk, kita perlu mengetahui cara untuk terus melaju kencang menjalani roda kehidupan meskipun sedang didera cobaan. Bagaimana caranya?
 
Cobaan hidup tidak ubahnya dengan beban yang harus kita pikul. Setiap kali berusaha bangkit, semakin terasa berat beban yang menghimpit. Inilah yang menyebabkan gerakan kita semakin melambat, bahkan kita bisa benar-benar berhenti karenanya. Bebaskan diri dari beban itu, maka tubuh kita akan kembali terasa ringan. Dan kita bisa kembali berlari kencang.
 
Inilah 5 jenis beban yang harus kita lepaskan itu.  
 

Kecewa atas kehilangan. Hilang jabatan, uang, kesehatan, rumah, kekasih; semuanya bisa menimbulkan kekecewaan. Wajar? Wajar sekali. Tetapi jangan sampai kehilangan kita atas sesuatu yang kita cintai itu membuat jiwa kita terguncang. Relakan saja, karena sungguh; semua itu hanyalah sekedar titipan. Fokuslah kepada menikmati apa yang kita miliki, dan gunakanlah kenikmatan itu untuk membangun kepemilikian yang lebih bernilai lagi.
 

Terbelenggu Kegagalan Masa Silam. Memangnya siapa yang tidak pernah gagal? Semua orang pernah gagal, sahabat. Bedanya, ada yang meratapinya dan ada pula yang mengambil hikmah darinya. Sadarilah jika kegagalan itu bukanlah sesuatu yang memalukan. Justru itu adalah kesempatan untuk mencari tahu cara lain menuju keberhasilan. Maknai kegagalan yang pernah dialami, maka akan Anda temukan keberhasilan yang selama ini tersembunyi.
 

Pesimis terhadap masa depan. Sungguh, tidak ada orang yang benar-benar mengetahui masa depan. Apa gunanya mengkhawatirkan sesuatu yang belum terjadi? Sekarang, kita mempunyai kesempatan untuk mengantisipasi kemungkinan buruk, dan memperbesar peluang untuk hal-hal baik yang kita dambakan. Masa depanmu sangat bergantung kepada ikhtiarmu. Khawatirlah pada masa depanmu jika usahamu tidak bersungguh-sungguh. Tetapi, bersiaplah untuk masa depan yang gemilang jika Anda bersedia melakukan yang terbaik, sekarang.
 

Takut menyakiti orang-orang yang dicintai. Berapa banyak orang yang tidak berani mengambil resiko karena menjadikan anak, istri atau suami sebagai alasan? Jika saya melakukannya, anak istri saya mau makan apa? Maka jadilah dia orang yang bermain di zona aman saja sekalipun zona itu penuh dengan kesulitan hidup. Ambil resiko, dan kelurlah dari zona aman. Anakmu, istrimu, suamimu memiliki ketahanan luar biasa untuk mendaki jalan terjal yang Anda lalui. Jika Anda melakukannya dengan gigih dan penuh kesungguhan, maka bersama orang-orang yang Anda cintai; Anda akan berhasil mencapai apa yang dicita-citakan.
 

Terpaku pada peristiwa saat ini. Apa yang terjadi hari ini sama sekali bukanlah gambaran masa depan Anda. Hari ini, Anda boleh saja kaya raya, besok Anda bisa bangkrut. Hari ini Anda sehat, memangnya siapa yang menjamin besok tidak sakit. Hari ini, Anda memegang jabatan tinggi itu; tapi ingatlah bahwa banyak orang yang kehilangan segalanya tanpa pemberitahuan apapun sebelumnya. Jadi, janganlah terlalu terpaku pada peristiwa saat ini karena itu sering menghalangi kita dari melakukan hal-hal yang dibutuhkan untuk menciptakan esok yang lebih baik.
 
Itulah 5 beban yang sering menghambat kemajuan kita. Jika mampu melepaskan kesemua beban itu dari pundak kita, maka kita akan merasa ringan. Dalam perasaan ringan, kita bisa berlari kencang, menikmati perjalanan, dan boleh jadi; sampai ke tempat tujuan dengan lebih cepat dan menyenangkan.
 
Mari Berbagi Semangat!
Dadang Kadarusman  - 3 Mei 2011
Natural Intelligence Contemplator
www.dadangkadarusman.com
 
Catatan Kaki:
Alasan mengapa sesuatu disebut sebagai 'beban' adalah karena dia 'membebani' diri kita dengan hal-hal yang membuat hati kita merasa berat saat menjani hidup.
 
Follo DK twitter@dangkadarusman

Follow DK on Twitter @dangkadarusman
3a.

Re: [Catcil] Kalah Pintar Dengan Pencopet :(

Posted by: "henny" andriyani_henny@yahoo.com   andriyani_henny

Tue May 3, 2011 10:17 am (PDT)



salam kenal mba mimin....
waduh ceritanya hampir sama dengan hape saya yang kecopetan di bis.....omongan yang keluar pasti seharusnya....seharusnya....seharusnya nggak pake ransel, seharusnya ransel ga ditaruh dibelakang....dll.
tapi dari itu kita belajar tentang musibah, teguran, juga takdir....dan mengambil hikmah dari setiap kejadian

--- In sekolah-kehidupan@yahoogroups.com, Mimin <minehaway@...> wrote:
>
> Dear All,
>
>
> Sepertinya sudah lama sekali Mimin nggak kirim tulisan ke SK ya. Repost dari
> notes FB dan blog aja ya buat menebus kesalahan tidak kirim tulisan :D
>
> ***
>
> Saya buka SMS dari Mbak Anisa. Setelah membalasnya, saya masukkan HP di tas
> bagian depan (ini kesalahan pertama saya). Seharusnya saya cuekin saja SMS
> itu.Atau dibuka nanti-nanti. Seharusnya HP saya taruh di tempatnya (tas
> bagian dalam). Tidak usahlah bilang seharusnya ini seharusnya itu. Toh HP
> itu sudah terlanjur diambil ama pencopet :(.
>
> Jadi ceritanya ada penumpang duduk di seberang saya. Merokok pula! Kanan
> kiri saya (kemungkinan komplotan pencopet). Orang yang duduk di seberang
> saya itu pura-pura sakit ayan. Lalu akting duduknya merosot sehingga
> pengang2 tanganku (iiih...risih).
>
> "Kenapa, sih? kambuh ya?" pertanyaan polosku.
>
>
>
> Mungkin saat itulah temannya membuka dmengambil HPku dan lalu menutup tas
> dengan halus. Sehalus rambut yang ditarik dari tepung. Sehati-hati orang
> yang menyeberang di kerumunan mobil macet. Lebih hati-hati dari orang yang
> dicopetnya. Lalu saya disuruh pindah duduk. Seorang Ibu yang duduk sebelah
> kananku (dekat sopir) mengajak turun. Kemungkinan besar Ibu itu tahu kalau
> orang di sebelahku itu adalah pencopet. Tapi diam saja tak berdaya. Lalu
> teriak mengajak turun. Sayangnya saya tidak berpikir sejauh itu. Orang belum
> sampai ngapain turun. Tidak peduli ada modus kejahatan yang sedang mengintai
> (ah lebay).
>
>
> Saat sampai Lebak Bulus, saya baru ngeh HPku gak ada. Saya miscall
> berkali-ka dengan HP kantor, gak terdengar ringtone-nya. Ubek-ubek tas juga
> gak ada.
>
> "Lihat HP jatuh gak, Pak?" tanyaku pada Bapak yang duduk di pojok. Ia
> menggeleng. Lalu saya turun.
>
> "Oh...berarti diambil," gumamku pelan.
>
> Saya duduk di Masjid Lebak Bulus menunggu teman yang tidak kunjung datang.
> Karena tidak punya nomor HP temanku, saya tetap menunggu. Clingak-clinguk
> mencari sosoknya.Tapi sampai hampir satu jam dia tidak muncul. Saya jadi
> berpikir mungkin dia sudah sampai tapi susah menghubungi saya. Lalu dia
> berangkat sendiri. Saya pun berangkat sendiri. Setelah sampai di UIN,
> ternyata dia belum datang. Jadi merasa bersalah karena sebelumnya sudah
> bilang mau menunggu.
>
> Ternyata modus seperti itu sudah biasa terjadi di Jakarta. Saya aja yang
> tidak tahu. Jadi merasa kalah pintar dengan mereka.
>
> Sejak kehilangan HP Samsung dulu. Saya sudah berpikir untuk berhenti merasa
> memiliki.Agar suatu saat tidak merasa kehilangan.Karena saya tahu semua yang
> ada di dunia ini adalah milik Allah. Jadi saya tidak terlalu bersedih hati.
> Sempat merasa bersalah karena itu HP tukeran dengan punya Bapak. Saya merasa
> tidak amanah.
>
> Alhamdulillah Allah segera mengganti dengan HP yang lebih baik. Bossku yang
> baik hati itu telah menghibahkan windows phone-nya.
> Allah benar-benar memberikan rezeki dari arah yang tidak disangka.
>
> Kalau ada modus pencopetan seperti di atas, segeralah turun meskipun belum
> sampai tujuan.Jangan keseringan main HP di angkutan umum. Taruh HP di tempat
> yang tidak mudah dijangkau pencopet.Hati-hati sehati-hati pencopet mengambil
> barang orang. Banyak berdoa mohon perlindungan Allah. Banyak-banyak
> sedekah.Ini pesan untuk saya dan kita semua. Semoga bisa jadi pelajaran buat
> semuanya.
>
> Salam sayang :)
> Mimin Ha Way
> --
> Write what you think!
> http://minesweet.blogspot.com
> http://minehaway.com/min-shop/
>

4.

"Pandangan Pertama..Awal Aku Berjumpa....teroret..teroret !"

Posted by: "+ Made Teddy Artiana +" made.t.artiana@gmail.com

Tue May 3, 2011 10:18 am (PDT)



*Pandangan Pertama..Awal Aku Berjumpa....ter**oret**..teroret !*

by Made Teddy Artiana, S, Kom

CMO Kairos System & Technology

Specialist in integrated Hospital Information System

Tulisan ini kutulis saat terjebak 3in1 dan terpaksa parkir dan bengong di
BNI46, dan tulisan ini terpaksa pula aku awali dengan sebuah pengakuan aneh
:

Aku salah satu penggemar A Rafiq.

OK, bagi sebagian orang, pengakuan ini cukup memalukan. Sebenarnya bagiku
juga sih..hehehehe

"Elu !? Suka yang begituan ?", tanya salah seorang teman dekat, "nggak salah
tuh..?! kontras banget !! hahahahaha"

Tapi apa boleh buat. Aku bukan orang yang terbiasa memanipulasi perasaanku.
Bahkan bagi sebagian teman-temanku, aku extrovert. Sangat terbuka
mengekspresikan perasaan-perasaannya, demikian kata mereka. Kadang terlihat
konyol, tapi syukurlah hampir seluruhnya menggolongkan ku : jujur.
Hahahaha...ini melegakan.

Tapi tulisan ini bukan tentang kejujuran atau kebohongan, bukan juga tentang
A Rafiq. Tetapi tentang 'cuplikan-cuplikan tipis' yang membuat aku mengambil
posisi tertentu: "menyukai orang itu" atau "tidak menyukainya sama sekali".

Buatku, A Rafiq adalah entertaint sejati. Dalam sekali lirik, entah mengapa
tiba-tiba saja aku menyimpulkan hal tersebut. Sejujurnya aku terhibur dengan
entertaint yang ia bawakan, bahkan kadang tertawa terbahak-bahak.

Sangat beda jauh dengan apa yang kurasakan terhadap seorang bintang dangdut
yang lain. Bang Haji Rhoma Irama. Pertama kali melihat beliau, aku langsung
kurang menyukai sosok tersebut. Aku rasa kita bebas suka atau tidak terhadap
seseorang. Dan seorang extrovert, pantang untuk bermunafik ria. Kembali ke
Bang Haji. Padahal tidak ada satupun kesalahan yang pernah beliau buat
kepadaku. Kenal aja enggak. Apalagi saingan rebutan cewek ! Mana
pernah..hahahaha. Tapi yang jelas, aku tidak menyukai Rhoma Irama. Titik.

Seorang pemilik bank perkreditan di Bali sana misalnya, yang walaupun secara
persyaratan dan segala sesuatunya tetap memilih untuk berpredikat BPR dan
menolak gengsinya dinaikkan menjadi �Bank Umum�. Sebagian besar orang
pastilah menertawakan keputusannya, tetapi pembuktian-pembuktian yang
membenarkan keputusan itu lambat laun datanglah. Dan cibir-tawa itupun kini
berubah perlahan tapi pasti menjadi sebuah kekaguman.

Entah ini yang dimaksud snap judgement atau thin slicing atau dalam bahasa
kita 'cuplikan tipis' oleh Malcolm Gladwell, aku sendiri tidak terlalu
yakin. Yang jelas pada beberapa pengusaha senior, aku berkali-kali
menyaksikan bahwa mereka mengambil keputusan bukan dengan cara berenang
diantara samudera informasi lalu...abrakadabra..simsalabim....tolong dibantu
yaaakkk..tolong dibantu.....plok..plok..plok...memutuskan sesuatu. Tidak,
tidak begitu cara mereka. Namun dengan sebuah alat bantu mirip sebuah
komputer internal didalam diri ini. Sesuatu yang sering kali disebut sebagai:
Intuisi.

Demikian kata seorang pengusaha senior yang sempat bertukar pikiran dengan ku
mengenai hal ini. Karena setiap orang memilikinya, intuisi, sama sekali
tidak dapat digolongkan kepada klenik dan sejenisnya. Tapi parahnya, kendati
semua orang memilikinya, tidak semua orang menggunakannya. Padahal intuisi
hanya bisa dibangun, suka atau tidak lewat pengalaman benar ataupun salah.
Tidak heran jika sebagian besar orang merasa enggan melatihnya, karena
latihan ini berkaitan erat dengan resiko. Membawa keberuntungan jika benar,
dan membawa 'ke-buntung-an' jika salah. Tertawa jika benar, tersenyum kecut
kalau sebaliknya.

Nah intuisi inilah yang katanya, masih menurut pengusaha senior diatas, yang
bila sudah tajam, akan menjadi senjata dahsyat dalam hidup kita. Dalam
bisnis, profesi atau kehidupan sehari-hari. Karena apa, simple sebenarnya :
karena hidup ini tentang keputusan. Keputusan tentang apa yang kita pilih
untuk kita jalani.

Selagi kita belum dewasa, mungkin orang tua kitalah yang akan memutuskan
segala sesuatu untuk kita, namun ketika usia sudah bertambah, seiring
tanggung jawab yang juga bertambah, maka suatu saat cepat atau lambat, maka
tongkat kendali pasti berada ditangan ini..Nah pada saat itu..berbahagialah
orang-orang yang sudah membuat tajam senjata intuisi mereka. Karena dengan
cepat...bagaikan pedang bermata dua...sssreeessshhhh...membuat keputusan,
yang baru kemudian diikuti bukti-buktinya.

So..selamat berlatih..my friend ;) (*)

--
*What a wonderfull world ! What an exciting journey !!
*
*
Made Teddy Artiana, S. Kom
*
fotografer, penulis & event organizer
http://semarbagongpetrukgareng.blogspot.com

*Galery & Stock Photo
*http://theBeautyofBelitung.multiply.com
http://fromBaliWithLove.multiply.com
http://LawangSewuKotaTua.multiply.com
http://TriptoPulauPramuka.multiply.com

http://HongkongMacauShenzen.multiply.com

--
*What a wonderfull world ! What an exciting journey !!
*
*
Made Teddy Artiana, S. Kom
*
fotografer, penulis & event organizer
http://semarbagongpetrukgareng.blogspot.com

*Galery & Stock Photo
*http://theBeautyofBelitung.multiply.com
http://fromBaliWithLove.multiply.com
http://LawangSewuKotaTua.multiply.com
http://TriptoPulauPramuka.multiply.com

http://HongkongMacauShenzen.multiply.com
5a.

Tips Menulis Buku Versi "Saya"

Posted by: "Ikhwan Sopa" ikhwan.sopa@gmail.com   ikhwansopa

Tue May 3, 2011 10:34 am (PDT)



<http://4.bp.blogspot.com/-DftHlTy2KQ4/TcA6YHEjpbI/AAAAAAAAB-c/OK4mMixhHQ8/s1600/open-book.jpg>

*"The best way to learn is to teach."*
- Frank Oppenheimer -

Saya selalu berupaya, untuk tidak ragu *memberi* segera setelah saya *
menerima*. Saya meyakini, rizki sudah ada tempat tujuannya. Dan keberkahan
rizki, akan bersemi ketika ia telah sampai ke tempat-tempat yang
memerlukannya. Lebih cepat lebih baik. Saya hanya perlu meyakini, bahwa saya
sudah *cukup *menguasai, *cukup *komprehensif, dan *cukup* tuntas memahami
sesuatu yang akan saya bagi itu. Segera berbagi, akan menyegerakan
kesempatan belajar. Per note ini, saya baru menulis buku satu. Sesedikit
apapun yang *baik*, selalu *baik* untuk diajarkan.

*"Kesempurnaan itu punya kelemahan yang mendasar, yaitu ketidakmungkinannya
untuk dicapai."*
- Ikhwan Sopa - Bab 16 - Memaknai Kesempurnaan - Manajemen Pikiran Dan
Perasaan

Saya *tak perlu* harus sampai *maksimal *tentang sesuatu. Ketika pikiran dan
perasaan saya mengatakan *cukup*, maka saya meyakini *cukup*. Merasa cukup,
adalah tanda untuk waktunya berbagi. Segera setelah berbagi, saya akan
segera merasa kurang. Merasa kurang, adalah tanda untuk waktunya bekerja
lagi.

*"Semuanya sudah ada di sini dan di sana."*
- Ikhwan Sopa -

Awal Januari 2010, saya membuat resolusi untuk menulis setidaknya *satu buku
* pengembangan diri. Saya *belum pernah *menulis buku di bidang ini. Sampai
akhir bulan September, tak sebarispun kalimat mulai bisa saya tuliskan
sebagai isi buku.

Saya meyakini, apapun itu, setidaknya sejalan usia saya pasti telah *belajar
banyak hal*. Hanya dengan *tahu *bahwa saya masih tetap hidup dan bernafas,
saya menyadari bahwa saya *mampu *dalam *banyak hal*. *Mampu*, bahkan
mungkin dalam *banyak hal* yang lebih dari "sekedar" menulis. Sebagai
manusia yang masih hidup, saya tahu bahwa saya punya *kebiasaan-kebiasaan
baik *yang selama ini *menghidupkan *dan *menghidupi *saya. Apapun yang *
baik*, selalu *baik *untuk ditulis. Saya sadari, apa yang saya perlukan
sudah ada *di sini*.

Saya menyadari, bahwa era ini adalah era *informasi*. Ada puluhan *toko buku
* di dekat saya. Ada *koran *dan *majalah* bertaburan di mana-mana.
Ada *perpustakaan
*yang makin lengkap dan makin lengkap. Ada *internet *dan *warnet*.
Ada *komputer
*dan *media digital*. Ada *telepon genggam* multimedia. Ada *televisi*,*radio
*dan *media massa*. Ada *televisi kabel* dan *internet nirkabel*. Ada
benda-benda kecil mungil yang bisa menyedot *ilmu *dan *berita*. Ada banyak
*sekolah*, *kursus*, dan *pelatihan*. Saya sadari juga, apa yang saya
perlukan sudah ada *di sana*.

*"Gather yourself - give the rest some rest."*
- Ikhwan Sopa -

Saya hanya perlu mendongkrak *semangat* dan *kemauan*. Saya harus melakukan
sesuatu. Di awal Oktober, saya merenung. Buku idaman saya tak jua menjadi
nyata. Saya mencari tahu dan saya menemukan. Sampai saat itu, "*menulis*"
dan "*penulis*" masih saya persepsi sebagai "*sambilan*" dan "*nomor dua*".
Apa yang "*total*" dan "*nomor satu*" bagi saya adalah "*berbicara*" dan "*
motivator*". Saya sampai pada kesimpulan.

Saya harus "*tahu diri*". Saya mempertanyakan, *"Jika di masa depan saya
adalah "menulis" dan "penulis" dan sekaligus merangkap "berbicara" dan "
motivator", maka diri siapakah yang sesungguhnya saya jadikan "sambilan" dan
saya "nomor dua"-kan pada hari ini?"* Ups. Itu mah saya sendiri. Dan nanti,
akan cukup sulit, atau makin sulit bagi "*saya*" untuk "menyeberang jalan"
agar "*dia*" tak lagi menjadi nomor dua.

Saya memutuskan. Di sepenuh bulan Oktober itu, saya menetapkan, *"Dimohon
kepada "dia" yang motivator untuk beristirahat selama sebulan. Mohon
hentikan sementara bicaranya, satu bulan saja. "Saya" adalah penulis.
Penulis kerjanya menulis. "Saya" total. "Saya" sungguh-sungguh ingin
menulis. "Saya" benar-benar ingin menjadi penulis."*

Sepanjang bulan itu, cukup banyak undangan bicara saya tolak. Training
publik yang biasa saya gelar di akhir bulan saya tunda. Saya *hanya *menulis.
Saya adalah *penulis sejati*. Saya tak ingin menomorduakan diri saya
sendiri. Saya ini satu. Saya ini nomor satu. "*Dia*" yang di dalam
sebagaimana kodratnya, mengerti dan memahami. Seperti alamiahnya ia
diciptakan, "*dia*" patuh pada "*saya*". Saya berhasil menyelesaikan lebih
dari tigaratus halaman dalam waktu kurang dari satu bulan.

Saya tidak tahu, apakah nanti saya akan menulis buku lagi. Bagi saya, satu
kali saja sudah cukup untuk bisa menyimpulkan. Bahwa saya telah mengalami
dari "*tidak bisa*" menjadi "*bisa*". Saya telah *belajar*. Di masa depan,
saya hanya perlu menyadari, bahwa saya pernah "*bisa*". Dan saya tahu, di
dalam "*kebisaan*", apa yang nanti saya lakukan hanyalah bermain dengan *warna
*dan *irama*. Saya hanya perlu mencoba-coba *banyak* cara. Saya hanya perlu
*iseng sana-iseng sini*. Saya, hanya perlu *modifikasi* dan *variasi*.
Banyak hal nanti, yang pasti menjadi lebih *mudah*. Tak sedikit nanti, yang
pasti menjadi lebih *indah*. Sebab saya sudah *bisa*. Sebab saya sudah punya
*portofolio*-nya.

*"Kita butuh menyadari betapa besar bobot yang kita kejar, supaya ringan
segala upaya untuk mengejar.�*
- Ikhwan Sopa - Bab 33 - Nilai dan Keterlibatan - Manajemen Pikiran Dan
Perasaan

Saya ingat, saya *mengharuskan diri* untuk menyadari apa yang *penting *dan
*bernilai *bagi saya tentang menulis. Saya *mengukur *diri.

Apakah saya ingin sekedar mencari *kesenangan *dengan menulis? Apakah saya
menulis karena ingin mendapatkan *rizki*? Apakah saya ingin menjadi *
terkenal*? Apakah saya ingin menjadi *penulis hebat*? Apakah saya ingin *
menggantungkan* hidup pada menulis dan menjadi penulis? Apakah saya ingin
makin *bermanfaat*? Apakah saya berniat *bersumbangsih*? Apakah saya ingin
menjadi yang *terbaik*, yang *berbeda*, atau yang *pertama*? Apakah saya
ingin melengkapi *ibadah *saya? Apakah saya ingin *membuka *pintu untuk
menjadi trainer atau pembicara? Apakah saya ingin *berbagi *ilmu dan
keahlian yang selama ini telah saya kuasai?

Apakah itu, yang saya anggap *penting *dan *bernilai *dengan menulis buku
dan menjadi penulis?

Saya tahu, menulis harus punya *tujuan*.

*"Jika memang bernilai, terlibatlah!"*
- Ikhwan Sopa -

Saya menyadari, *bertindak *adalah bentuk *terbaik *dari *keterlibatan*.
Saya tahu, jika ingin menjadi *penulis*, maka saya harus *menulis*. Saya
tidak bisa menjadi penulis dengan hanya membaca. Saya tidak bisa menjadi
penulis dengan hanya mendengar. Saya tidak bisa menjadi penulis dengan hanya
berbicara. Saya tidak bisa melakukannya hanya dengan *menonton*. Saya sadar
bahwa saya harus *terlibat*. Untuk menjadi *penulis*, saya harus *menulis*.

*"Sampaikanlah walau satu ayat."*
- Al-hadits -

Saya tahu, bahwa hidup di dalam *semangat keimanan*, saya mesti tetap selalu
menjadi *tempat titipan*. Saya tahu, bahwa sebagai *makhluk intelektual*,
apapun yang keluar-masuk lewat saluran komunikasi saya - baca, tulis,
dengar, bicara, haruslah tetap menjadi corong *amal kebaikan*. Saya sadar,
saya punya *tugas kekhalifahan*. Dalam tugas itu saya menyadari ajaran,
bahwa apa yang *masuk *mestilah *keluar*. Supaya seimbang. Supaya tak
menumpuk lalu membusuk. Agar tak dipertanyakan *setelah mati* dan agar mampu
menjawab pertanyaan "*dikemanakan*?" Saya juga butuh menyadari *keabdullahan
* diri.

Satu saja *cukup*. Satu saja *cukup*. Apa yang penting bagi saya, saya harus
*menyampaikan *yang saya *lakukan*. *Walk the talk*.

Hmmm... yang satu ini menggelitik dan menggoda. Dihitung-hitung
dipilah-pilah, saya bisa mencicil *hutang dakwah*.

*"Jika seorang anak adam (manusia) mati, maka terputuslah semua amalnya,
kecuali 3 perkara: 1. shadaqah jariyah, 2. ilmu yang bermanfaat. 3. anak
shalih/ah yang mendoakan orang tuanya."*
- Al-hadits -

Saya gembira. Sungguh, saya gembira. Saya sudah mulai bisa mengisi
pundi-pundi kecil tiga dari tiga. Saya berdoa, nanti suatu saat, semoga
menjadi gentong-gentong.

Syukur alhamdulillah. Mudahkan ya Allah mudahkan. Mudahkanlah perjalanan.

Semoga bermanfaat.

Ikhwan Sopa
Master Trainer E.D.A.N.
Founder, Pelatih Utama Manajemen Pikiran Dan Perasaan
5b.

Re: Tips Menulis Buku Versi "Saya"

Posted by: "nurazmina wahdiyani" nurazmina_wahdiyani@yahoo.com   nurazmina_wahdiyani

Wed May 4, 2011 12:05 am (PDT)



Tulisan2 anda sgt menginspirasi. Thx sudah mau berbagi. Moga trus bs brkarya dan smua impian trwujud atas ijinNYA.

On Tue, 03 May 2011 13:34 EDT Ikhwan Sopa wrote:

><http://4.bp.blogspot.com/-DftHlTy2KQ4/TcA6YHEjpbI/AAAAAAAAB-c/OK4mMixhHQ8/s1600/open-book.jpg>
>
>*"The best way to learn is to teach."*
>- Frank Oppenheimer -
>
>Saya selalu berupaya, untuk tidak ragu *memberi* segera setelah saya *
>menerima*. Saya meyakini, rizki sudah ada tempat tujuannya. Dan keberkahan
>rizki, akan bersemi ketika ia telah sampai ke tempat-tempat yang
>memerlukannya. Lebih cepat lebih baik. Saya hanya perlu meyakini, bahwa saya
>sudah *cukup *menguasai, *cukup *komprehensif, dan *cukup* tuntas memahami
>sesuatu yang akan saya bagi itu. Segera berbagi, akan menyegerakan
>kesempatan belajar. Per note ini, saya baru menulis buku satu. Sesedikit
>apapun yang *baik*, selalu *baik* untuk diajarkan.
>
>*"Kesempurnaan itu punya kelemahan yang mendasar, yaitu ketidakmungkinannya
>untuk dicapai."*
>- Ikhwan Sopa - Bab 16 - Memaknai Kesempurnaan - Manajemen Pikiran Dan
>Perasaan
>
>Saya *tak perlu* harus sampai *maksimal *tentang sesuatu. Ketika pikiran dan
>perasaan saya mengatakan *cukup*, maka saya meyakini *cukup*. Merasa cukup,
>adalah tanda untuk waktunya berbagi. Segera setelah berbagi, saya akan
>segera merasa kurang. Merasa kurang, adalah tanda untuk waktunya bekerja
>lagi.
>
>*"Semuanya sudah ada di sini dan di sana."*
>- Ikhwan Sopa -
>
>Awal Januari 2010, saya membuat resolusi untuk menulis setidaknya *satu buku
>* pengembangan diri. Saya *belum pernah *menulis buku di bidang ini. Sampai
>akhir bulan September, tak sebarispun kalimat mulai bisa saya tuliskan
>sebagai isi buku.
>
>Saya meyakini, apapun itu, setidaknya sejalan usia saya pasti telah *belajar
>banyak hal*. Hanya dengan *tahu *bahwa saya masih tetap hidup dan bernafas,
>saya menyadari bahwa saya *mampu *dalam *banyak hal*. *Mampu*, bahkan
>mungkin dalam *banyak hal* yang lebih dari "sekedar" menulis. Sebagai
>manusia yang masih hidup, saya tahu bahwa saya punya *kebiasaan-kebiasaan
>baik *yang selama ini *menghidupkan *dan *menghidupi *saya. Apapun yang *
>baik*, selalu *baik *untuk ditulis. Saya sadari, apa yang saya perlukan
>sudah ada *di sini*.
>
>Saya menyadari, bahwa era ini adalah era *informasi*. Ada puluhan *toko buku
>* di dekat saya. Ada *koran *dan *majalah* bertaburan di mana-mana.
>Ada *perpustakaan
>*yang makin lengkap dan makin lengkap. Ada *internet *dan *warnet*.
>Ada *komputer
>*dan *media digital*. Ada *telepon genggam* multimedia. Ada *televisi*,*radio
>*dan *media massa*. Ada *televisi kabel* dan *internet nirkabel*. Ada
>benda-benda kecil mungil yang bisa menyedot *ilmu *dan *berita*. Ada banyak
>*sekolah*, *kursus*, dan *pelatihan*. Saya sadari juga, apa yang saya
>perlukan sudah ada *di sana*.
>
>*"Gather yourself - give the rest some rest."*
>- Ikhwan Sopa -
>
>Saya hanya perlu mendongkrak *semangat* dan *kemauan*. Saya harus melakukan
>sesuatu. Di awal Oktober, saya merenung. Buku idaman saya tak jua menjadi
>nyata. Saya mencari tahu dan saya menemukan. Sampai saat itu, "*menulis*"
>dan "*penulis*" masih saya persepsi sebagai "*sambilan*" dan "*nomor dua*".
>Apa yang "*total*" dan "*nomor satu*" bagi saya adalah "*berbicara*" dan "*
>motivator*". Saya sampai pada kesimpulan.
>
>Saya harus "*tahu diri*". Saya mempertanyakan, *"Jika di masa depan saya
>adalah "menulis" dan "penulis" dan sekaligus merangkap "berbicara" dan "
>motivator", maka diri siapakah yang sesungguhnya saya jadikan "sambilan" dan
>saya "nomor dua"-kan pada hari ini?"* Ups. Itu mah saya sendiri. Dan nanti,
>akan cukup sulit, atau makin sulit bagi "*saya*" untuk "menyeberang jalan"
>agar "*dia*" tak lagi menjadi nomor dua.
>
>Saya memutuskan. Di sepenuh bulan Oktober itu, saya menetapkan, *"Dimohon
>kepada "dia" yang motivator untuk beristirahat selama sebulan. Mohon
>hentikan sementara bicaranya, satu bulan saja. "Saya" adalah penulis.
>Penulis kerjanya menulis. "Saya" total. "Saya" sungguh-sungguh ingin
>menulis. "Saya" benar-benar ingin menjadi penulis."*
>
>Sepanjang bulan itu, cukup banyak undangan bicara saya tolak. Training
>publik yang biasa saya gelar di akhir bulan saya tunda. Saya *hanya *menulis.
>Saya adalah *penulis sejati*. Saya tak ingin menomorduakan diri saya
>sendiri. Saya ini satu. Saya ini nomor satu. "*Dia*" yang di dalam
>sebagaimana kodratnya, mengerti dan memahami. Seperti alamiahnya ia
>diciptakan, "*dia*" patuh pada "*saya*". Saya berhasil menyelesaikan lebih
>dari tigaratus halaman dalam waktu kurang dari satu bulan.
>
>Saya tidak tahu, apakah nanti saya akan menulis buku lagi. Bagi saya, satu
>kali saja sudah cukup untuk bisa menyimpulkan. Bahwa saya telah mengalami
>dari "*tidak bisa*" menjadi "*bisa*". Saya telah *belajar*. Di masa depan,
>saya hanya perlu menyadari, bahwa saya pernah "*bisa*". Dan saya tahu, di
>dalam "*kebisaan*", apa yang nanti saya lakukan hanyalah bermain dengan *warna
>*dan *irama*. Saya hanya perlu mencoba-coba *banyak* cara. Saya hanya perlu
>*iseng sana-iseng sini*. Saya, hanya perlu *modifikasi* dan *variasi*.
>Banyak hal nanti, yang pasti menjadi lebih *mudah*. Tak sedikit nanti, yang
>pasti menjadi lebih *indah*. Sebab saya sudah *bisa*. Sebab saya sudah punya
>*portofolio*-nya.
>
>*"Kita butuh menyadari betapa besar bobot yang kita kejar, supaya ringan
>segala upaya untuk mengejar."*
>- Ikhwan Sopa - Bab 33 - Nilai dan Keterlibatan - Manajemen Pikiran Dan
>Perasaan
>
>Saya ingat, saya *mengharuskan diri* untuk menyadari apa yang *penting *dan
>*bernilai *bagi saya tentang menulis. Saya *mengukur *diri.
>
>Apakah saya ingin sekedar mencari *kesenangan *dengan menulis? Apakah saya
>menulis karena ingin mendapatkan *rizki*? Apakah saya ingin menjadi *
>terkenal*? Apakah saya ingin menjadi *penulis hebat*? Apakah saya ingin *
>menggantungkan* hidup pada menulis dan menjadi penulis? Apakah saya ingin
>makin *bermanfaat*? Apakah saya berniat *bersumbangsih*? Apakah saya ingin
>menjadi yang *terbaik*, yang *berbeda*, atau yang *pertama*? Apakah saya
>ingin melengkapi *ibadah *saya? Apakah saya ingin *membuka *pintu untuk
>menjadi trainer atau pembicara? Apakah saya ingin *berbagi *ilmu dan
>keahlian yang selama ini telah saya kuasai?
>
>Apakah itu, yang saya anggap *penting *dan *bernilai *dengan menulis buku
>dan menjadi penulis?
>
>Saya tahu, menulis harus punya *tujuan*.
>
>*"Jika memang bernilai, terlibatlah!"*
>- Ikhwan Sopa -
>
>Saya menyadari, *bertindak *adalah bentuk *terbaik *dari *keterlibatan*.
>Saya tahu, jika ingin menjadi *penulis*, maka saya harus *menulis*. Saya
>tidak bisa menjadi penulis dengan hanya membaca. Saya tidak bisa menjadi
>penulis dengan hanya mendengar. Saya tidak bisa menjadi penulis dengan hanya
>berbicara. Saya tidak bisa melakukannya hanya dengan *menonton*. Saya sadar
>bahwa saya harus *terlibat*. Untuk menjadi *penulis*, saya harus *menulis*.
>
>*"Sampaikanlah walau satu ayat."*
>- Al-hadits -
>
>Saya tahu, bahwa hidup di dalam *semangat keimanan*, saya mesti tetap selalu
>menjadi *tempat titipan*. Saya tahu, bahwa sebagai *makhluk intelektual*,
>apapun yang keluar-masuk lewat saluran komunikasi saya - baca, tulis,
>dengar, bicara, haruslah tetap menjadi corong *amal kebaikan*. Saya sadar,
>saya punya *tugas kekhalifahan*. Dalam tugas itu saya menyadari ajaran,
>bahwa apa yang *masuk *mestilah *keluar*. Supaya seimbang. Supaya tak
>menumpuk lalu membusuk. Agar tak dipertanyakan *setelah mati* dan agar mampu
>menjawab pertanyaan "*dikemanakan*?" Saya juga butuh menyadari *keabdullahan
>* diri.
>
>Satu saja *cukup*. Satu saja *cukup*. Apa yang penting bagi saya, saya harus
>*menyampaikan *yang saya *lakukan*. *Walk the talk*.
>
>Hmmm... yang satu ini menggelitik dan menggoda. Dihitung-hitung
>dipilah-pilah, saya bisa mencicil *hutang dakwah*.
>
>*"Jika seorang anak adam (manusia) mati, maka terputuslah semua amalnya,
>kecuali 3 perkara: 1. shadaqah jariyah, 2. ilmu yang bermanfaat. 3. anak
>shalih/ah yang mendoakan orang tuanya."*
>- Al-hadits -
>
>Saya gembira. Sungguh, saya gembira. Saya sudah mulai bisa mengisi
>pundi-pundi kecil tiga dari tiga. Saya berdoa, nanti suatu saat, semoga
>menjadi gentong-gentong.
>
>Syukur alhamdulillah. Mudahkan ya Allah mudahkan. Mudahkanlah perjalanan.
>
>Semoga bermanfaat.
>
>Ikhwan Sopa
>Master Trainer E.D.A.N.
>Founder, Pelatih Utama Manajemen Pikiran Dan Perasaan

6.

Artikel: Meredefinisi Makna 'Dedikasi'

Posted by: "Dadang Kadarusman" dkadarusman@yahoo.com   dkadarusman

Wed May 4, 2011 12:05 am (PDT)



Artikel: Meredefinisi Makna 'Dedikasi'
 
Hore, Hari Baru! Teman-teman.
 
Selama ini dedikasi itu dipahami sebagai sesuatu yang dipersembahkan kepada perusahaan atau orang lain. Seolah-olah dedikasi itu hanya untuk kemanfaatan pihak lain, sedangkan sang pemilik dedikasi hanya menjadi pelaksananya saja. Benarkah demikian? 
 
Jika pemikiran kita masih seperti itu, maka tak seorangpun akan benar-benar tertarik untuk menjadi pribadi yang berdedikasi tinggi. Enak di elu, gak enak di gue! Apalagi kalau menyangkut urusan kantor; asal pekerjaan beres saja sudah merasa cukup berdedikasi. Sudah saatnya untuk mengubah sudut pandang itu. Menurut hemat saya; dedikasi justru sangat bermanfaat bagi pribadi yang memilikinya. Kok bisa? Bagaimana caranya?
 
Inilah 5 cara yang bisa Anda lakukan agar dedikasi yang Anda bangun itu benar-benar bernilai bagi diri Anda sendiri dan pihak lain. 
 
1.      Dedikasikan setiap pekerjaan Anda untuk diri Anda sendiri. Keseluruhan tubuh kita disebut 'diri' atau 'self' yang maknanya berfokus kedalam, bukan kearah luar. Kita selalu bertanya; "apa manfaatnya untuk saya?" Begitu kita 'melihat' manfaat itu; maka kita terdorong untuk melakukan yang terbaik. Bukankah untuk diri sendiri Anda bersedia memberikan yang terbaik? Maka dedikasikanlah seluruh kemampuan terbaik Anda dalam bekerja untuk diri Anda sendiri, karena; baik buruknya hasil kerja Anda menentukan kualitas hidup Anda.
 
2.      Dedikasikan setiap pekerjaan Anda untuk orang-orang yang Anda cintai. Mahluk sosial, itu kan sebutan kita? Hampa hidup kita tanpa ada orang lain disekitar kita. Indah hidup kita dengan orang-orang yang kita cintai menemani kita. Bagi para kekasih hati itu, bersediakah Anda melakukan yang terbaik? Pasti. Maka dedikasikanlah seluruh kemampuan terbaik Anda dalam bekerja untuk orang-orang yang Anda cintai, karena; cinta memberi energi yang nyaris tak terbatas untuk menghasilkan prestasi tinggi. 
 
3.      Dedikasikan setiap pekerjaan Anda untuk Tuhan. Kecuali Anda seorang atheis, pastilah Anda mengimani Tuhan. Kita beriman bahwa Dia mencatat setiap perbuatan dan menyiapkan balasannya. Beranikah Anda melakukan tindakan buruk dibawah pengawasan Tuhan? Terlalu beresiko. Anda pasti ingin dinilai baik dimata Tuhan. Maka dedikasikanlah seluruh kemampuan terbaik Anda dalam bekerja untuk Tuhan, karena; Tuhan memberi imbalan atas setiap perbuatan dengan harga yang paling tinggi.
 
4.      Dedikasikan setiap pekerjaan Anda untuk profesi Anda. Pekerjaan berbeda dengan profesi. Coba perhatikan; ketika Anda mengeluh, apakah itu tentang pekerjaan Anda atau tentang profesi Anda? Normalnya, orang mengeluhkan pekerjaannya, bukan profesinya. Inilah profesi yang saya pilih, tapi kenapa ya kerjaannya seperti ini? Jika Anda terfokus kepada pekerjaan, maka Anda akan menemukan banyak hal yang menjengkelkan. Maka dedikasikanlah seluruh kemampuan terbaik Anda dalam bekerja untuk profesi Anda, karena; kejengkelan dalam pekerjaan sehari-hari tidak akan terasa lagi ketika Anda menjunjung tinggi profesi.
 
5.      Dedikasikan setiap pekerjaan Anda untuk semesta. Ketika melayani seseorang, lihatlah orang-orang yang tidak terlihat dibelakang mereka. Istri, anak, tetangga, teman, suadara mereka. Saat Anda melayani orang itu dengan baik, dia pulang ke rumah dengan perasaan lega. Lalu dia memperlakukan istri dan anaknya dengan baik. Istri dan anaknya yang senang bersikap baik kepada tetangganya. Lalu tetangganya berlaku baik kepada orang lain yang ditemuinya. Lihatlah, pelayanan Anda kepada satu orang berpengaruh kepada semesta. Maka dedikasikanlah seluruh kemampuan terbaik Anda dalam bekerja untuk semesta, karena; dengan dampaknya yang luas, Anda berpeluang menjadi seorang rahmatan lil'alamin. Berkah bagi seluruh alam.
 
Mengapa saya tidak mengajak Anda untuk mendedikasikan setiap tindakan terbaik Anda kepada perusahaan yang menggaji Anda? Karena dengan menjalankan kelima hal diatas, saya jamin; perusahaan Anda sudah dengan sendirinya mendapatkan manfaat optimal dari sikap Anda. Dan yang lebih hebatnya lagi, dengan ke-5 cara diatas, Anda sendirilah yang terlebih dahulu mendapatkan keuntungannya.
 
Mari Berbagi Semangat!
Dadang Kadarusman  - 4 Mei 2011
Natural Intelligence Contemplator
www.dadangkadarusman.com
 
Catatan Kaki:
Dedikasi itu seperti mesin kendaraan. Dia mempunyai daya dorong yang tinggi, tetapi membutuhkan kemudi untuk menentukan arah pergerakannya.  
 
Silakan di-share jika naskah ini Anda nilai bermanfaat bagi yang lain.
Follo DK twitter@dangkadarusman

Follow DK on Twitter @dangkadarusman
Recent Activity
Visit Your Group
Share Photos

Put your favorite

photos and

more online.

Dog Groups

on Yahoo! Groups

Share pictures &

stories about dogs.

Yahoo! Groups

Mental Health Zone

Mental Health

Learn More

Need to Reply?

Click one of the "Reply" links to respond to a specific message in the Daily Digest.

Create New Topic | Visit Your Group on the Web
MARKETPLACE

Stay on top of your group activity without leaving the page you're on - Get the Yahoo! Toolbar now.


Find useful articles and helpful tips on living with Fibromyalgia. Visit the Fibromyalgia Zone today!

Tidak ada komentar: