Selasa, 13 September 2011

[daarut-tauhiid] Majalah HISTORIA: Mitos 350 Tahun Penjajahan

KOLOM

http://www.majalah-historia.com/berita-495-mitos-350-tahun-penjajahan.html

*Mitos 350 Tahun Penjajahan*
Selasa, 13 September 2011 - 10:34:21 WIB

*Tak ada sejengkal pun wilayah Nusantara dijajah Belanda sampai tiga
setengah abad.*

SEBAGAI orang yang nyaris 25 tahun menetap di Belanda, saya sering ditanya
tentang masa lampau Belanda di Indonesia. Ada pertanyaan menarik seperti
adakah bekas-bekas masa lampau itu terlihat di Belanda? Ada pula pernyataan
langsung seperti "Apakah Belanda sampai 350 tahun menjajah Indonesia?" Bagi
saya, itu tidak terlalu menarik.

Apakah benar Belanda menjajah selama itu?

Ayo kita hitung. Apakah kita harus bersetuju bahwa Belanda mulai menjajah
Indonesia bersamaan dengan berdirinya VOC pada 1602? Mungkin karena tidak
tahu versi angka tahun lain, biasanya langsung dijawab setuju. Ada pula
versi yang mengatakan penjajahan dimulai pada 1596, ketika kakak beradik De
Houtman tiba di Banten. Tapi itu pun sulit disebut sebagai awal penjajahan
Belanda, karena Cornelis de Houtman cuma melakukan penjajakan. Belanda belum
benar-benar menjajah. Jika awal penjajahan tahun 1602 ditambah 350, kita
baru merdeka pada 1952. Bagaimana dengan proklamasi 17 Agustus 1945 dan
pengakuan Belanda pada kedaulatan Indonesia pada 27 Desember 1949?

Sebenarnya banyak sekali dampak buruk kolonialisme Belanda di Indonesia.
Tapi, mengapa kita selalu menekankan lamanya kolonialisme yang justru tidak
benar itu? Ini bukti betapa kita benar-benar buta sejarah, selain akibat
ulah Orde Baru menghapus sejarah, mereduksinya hanya sebagai angka tahun dan
peristiwa belaka. Sejarah sebagai narasi tentang perubahan, pergeseran dan
perkembangan pemikiran tetap asing bagi kita.

Bagaimana sebaiknya melihat penjajahan Belanda serta pelbagai macam aspek
negatifnya? Pernyataan "Belanda menjajah Indonesia selama 350 tahun"
mengandung banyak ketidakbenaran dan salah persepsi. Tidak ada satu pun
wilayah Indonesia yang benar-benar dijajah selama 350 tahun. Maluku dan
Banten/Jakarta sebagai markas besar VOC mengalami penjajahan maksimal selama
340 tahun. Bahkan Maluku atau Ambon baru Belanda kuasai pada 1630, kalau
dihitung dari 1602 sampai 1942 ketika Jepang masuk, Belanda jelas sudah
tidak efektif lagi menguasai Nusantara.

Selain Banten/Jakarta dan Maluku, Belanda bertahap menundukkan
wilayah-wilayah Nusantara. Kebanyakan baru berlangsung pada abad ke-20
ketika kolonialismenya bercorak Politik Etis. Sisi lain Politik Etis yang
bertujuan mendidik kaum inlanders, oleh orang Belanda disebut sebagai
pacificatie, gampangnya penaklukan wilayah-wilayah luar Jawa. Aceh baru
ditaklukkan pada 1904 –bahkan Belanda baru sepenuhnya berkuasa pada 1912–,
dan Bali dikuasai pada 1906. Dengan begitu Aceh maksimal dijajah Belanda
selama 38 tahun dan Bali selama 36 tahun.

Artinya, kita tidak bisa pukul rata bahwa seluruh wilayah Indonesia dijajah
Belanda selama 350 tahun. Kalau itu tetap dilakukan, kita akan keliru
memahami perjuangan orang-orang Aceh dan Bali yang mempertahankan wilayahnya
dari pendudukan Belanda. Kita juga akan salah memahami kepahlawanan Tjoet
Njak Dien, karena dia mati-matian mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan
Aceh. Bukan karena Tjoet Njak memberontak terhadap (penjajahan) Belanda.
Waktu itu, Aceh belum dikuasai Belanda. Sampai akhir abad ke-19 Aceh
merupakan sebuah negara berdaulat, bahkan memiliki duta besar di Turki.
Bukankah dengan menganggap Indonesia dikuasai Belanda selama 350 tahun
berarti kita juga menganggap Aceh sudah lama dikuasai Belanda, sehingga
Kesultanan Aceh dan perlawanan Tjoet Njak Dien kehilangan maknanya.

Kesalahan lain adalah menyebut "Indonesia". Seolah-olah Indonesia sudah lama
ada dan dijajah Belanda selama 350 tahun. Indonesia baru lahir pada 17
Agustus 1945. Sebelum itu adalah Hindia Belanda, dan sebelumnya pada abad
ke-19 adalah Kesultanan Aceh, Kerajaan Bone, Kerajaan Klungkung, dan
lain-lain. Indonesia sebagai sebuah negara, belum ada.

Ada pula pendapat yang menampilkan Belanda sebagai penjajah yang tidak
mengalami perubahan dalam kurun waktu tiga setengah abad. Ini jelas tidak
benar. Yang mulai menjajah sebenarnya adalah sebuah perusahaan multinasional
bernama VOC atau gampangnya Kumpeni. Selama abad 17 dan 18, Belanda
merupakan republik. Ketika VOC bangkrut, jajahannya diambil alih oleh
Belanda yang masih belum bercorak monarki. Kemudian muncul apa yang disebut
interregnum (penguasaan sela) Inggris pada awal abad ke-19 dengan Sir Thomas
Stanford Raffles sebagai gubernur jenderal. Pada waktu itu Belanda sendiri
dijajah oleh Napoléon.

Ketika Belanda merdeka dari jajahan Prancis dan berubah menjadi kerajaan
serta Inggris mengembalikan Nusantara, Belanda benar-benar menguasai
Indonesia pada 1813. Tak lama kemudian dengan memberlakukan Tanam Paksa,
alam dan rakyat Jawa langsung dijadikan sapi perahan. Sebagai kerajaan,
wilayah Belanda masih mencakup wilayah Belgia. Keduanya masih satu kerajaan.
Bahkan salah satu gubernur Hindia Belanda pada awal abad ke-19, Leonard du
Bus de Gisignies, adalah orang Belgia. Jangan-jangan ini berarti kita juga
pernah dijajah Belgia? Pada 1830 Belanda kembali mengalami perubahan karena
Belgia memisahkan diri.

Nah, kalau hanya menyebut Belanda menjajah Indonesia selama 350 tahun,
selain jangka waktu itu salah, pelbagai perubahan penting yang terjadi di
Belanda selama kurun waktu tiga setengah abad akan luput dari sudut pandang
kita. Bagaimana membicarakan kolonialisme Belanda tanpa terjebak dalam
pelbagai kesalahan tadi? Jangan khawatir: tanpa menyebut durasinya, kita
masih tetap bisa menuding banyak keburukan kolonialisme Belanda di
Indonesia. Salah satunya, dan ini jarang sekali diungkap orang adalah Tanam
Paksa.

Orang Belanda sendiri mengakui betapa Tanam Paksa merupakan cara menyedot
kekayaan dari wilayah jajahan. Bahkan sampai Cees Fasseur pun, sejarawan
konservatif Belanda, mengakui hal itu. Katanya, berkat apa yang disebut
Indische baten (keuntungan Hindia), Belanda bisa membangun jaringan kereta
api yang sampai sekarang masih dipergunakan. Demikian pula dua jalan air
penting Belanda, Noordzeekanaal dan de Nieuwe Waterweg, dibangun dengan
keuntungan Hindia itu.

Anehnya, walaupun sudah mengakui keburukan Tanam Paksa, orang Belanda tetap
saja menggunakan istilah Cultuurstelsel yang tak lain adalah bahasa pejabat
pada abad ke-19 ketika politik memaksa petani Jawa ini dilancarkan. Ini juga
bisa kita tudingkan pada mereka. Kalau sudah tahu buruknya, mengapa tidak
menggunakan istilah Tanam Paksa saja yang dalam bahasa Belandanya adalah
gedwongen coffieteelt? Di Belanda, baru Jan Breman yang menggunakan istilah
ini. Pakar sosiologi pedesaan ini sekarang terlibat dalam polemik sengit
dengan Cees Fasseur soal Tanam Paksa. Fasseur berpendapat, walaupun
dirugikan, tapi petani Jawa masih sedikit memperoleh manfaat Tanam Paksa
ketika hasil panen mereka dijual ke pasar internasional.

Breman tidak setuju, integrasi ke pasar dunia itu menurutnya malah
memiskinkan. Mengutip seorang pejabat kolonial yang mbalelo, Breman dalam
buku terbarunya mengenai Tanam Paksa di Pasundan menulis bahwa petani
Zeeland (Belanda tenggara) pasti tidak akan mau kalau hasil panennya dijual
di bawah harga pasar. Lebih dari itu, pelbagai pembatasan lain yang
diterapkan penguasa kolonial terhadap warga beberapa desa Pasundan pada abad
ke-18 merupakan semacam laboratorium untuk mengembangkan apartheid yang pada
abad ke-20 berlaku di Afrika Selatan.

Hal lain yang bisa kita tudingkan ke hidung orang Belanda adalah kenyataan
bahwa mereka tidak pernah mengakui proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Bagi Belanda, Indonesia baru merdeka pada 27 Desember 1949, ketika Den Haag
menyerahkan (bagi kita mengakui) kedaulatan Republik Indonesia Serikat dalam
sebuah upacara di Istana De Dam, Amsterdam. Beda lima tahun itu adalah upaya
gagal mereka merebut kembali Indonesia yang sudah memproklamasikan
kemerdekaannya. Baru pada 2005, ketika hari ulang tahun proklamasi ke-60,
Menteri Luar Negeri Belanda Bernard Bot hadir pada upacara detik-detik
proklamasi. Sebagai menlu pertama Belanda yang hadir pada upacara itu, dia
menyatakan mengakui secara moral proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Pernyataan ini tidak tegas dan sangat mengambang.

Apa maksudnya "mengakui secara moral" itu? Mengapa tidak langsung saja
mengakui proklamasi kemerdekaan kita? Ada yang menafsirkan ucapan semacam
ini tidak lebih dari tameng untuk melindungi negara (tentu saja negara
Belanda) dari kemungkinan tuntutan pengadilan yang diajukan kalangan bekas
pegawai negeri Hindia Belanda. Selama penjajahan Jepang misalnya pemerintah
Belanda tidak menggaji mereka lagi. Padahal mereka belum dipecat sebagai
pegawai negeri. Dihalangi oleh kemungkinan-kemungkinan semacam ini Belanda
pada akhirnya tidak pernah bisa tegas dan jelas dalam berhubungan dengan
Indonesia. Rasanya seperti maju kena, mundur kena.

Melalui dua contoh di atas –sebenarnya contoh itu masih banyak– kita diajak
untuk melek sejarah supaya paham, sadar dan bisa menerima bahwa dalam
sejarah tidak ada yang statis dan tidak berubah. Indonesia baru lahir
setelah Proklamasi 17 Agustus, sebelum itu Indonesia adalah Hindia Belanda
yang dijajah Belanda. Tetapi selama penjajahan itu banyak terjadi perubahan
dan itu bukan hanya berlangsung di Hindia Belanda melainkan juga di Belanda.

Sekarang Indonesia sudah merdeka, akankah perubahan itu berhenti seperti
sering kita dengar dalam slogan NKRI harga mati? Silakan memikirkan dan
menjawabnya sendiri. Yang jelas Timor Timur sekarang sudah jadi Timor Leste,
itu karena Orde Baru sudah jatuh. Mungkinkah kita menghentikan perubahan
Yang pasti, sejarah sebagai penjelas masa kini yang juga berarti perubahan,
pergeseran dan perkembangan pemikiran tetap asing bagi kita. *[JOSS
WIBISONO/KONTRIBUTOR, peneliti tamu pada Pusat Kajian Asia Tenggara
Universitas Kyoto, Jepang]*

*Artikel terkait*
Ganti Rugi Penjajahan<http://www.majalah-historia.com/berita-291-ganti-rugi-penjajahan.html>
Humanisme Sesungguhnya<http://www.majalah-historia.com/berita-287-humanisme-sesungguhnya.html>


[Non-text portions of this message have been removed]

------------------------------------

====================================================
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
website: http://dtjakarta.or.id/
====================================================Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/

<*> Your email settings:
Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/join
(Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
daarut-tauhiid-digest@yahoogroups.com
daarut-tauhiid-fullfeatured@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
daarut-tauhiid-unsubscribe@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/

Tidak ada komentar: