---------- Forwarded message ----------
From: korandigital <korandigital@
Negara di Balik Orang Miskin Jadi Teroris
Oleh: Bashori Muchsin
Acara dialog lintas keimanan di Perth, Australia, belum lama ini
menghasilkan sejumlah rumusan strategis. Salah satunya menyebutkan bahwa
seseorang menjadi radikalis bukan hanya disebabkan pemahaman eksklusif
keagamaan, tetapi berkaitan dengan masalah perlakuan tidak adil yang
menimpanya, yang mengakibatkan hidupnya miskin dan terpinggirkan (/Jawa
Pos/, 31 Oktober 2009).
Dialog lintas keimanan itu sebenarnya mengingatkan setiap negara,
pemeluk agama, dan bangsa-bangsa di muka bumi bahwa akar problem
radikalisme yang berujung terorisme tidak selalu disebabkan oleh
ideologi dan klaim kebenaran (/truth claims/) agama. Aksi itu juga bisa
disebabkan oleh praktik-praktik ketidakadilan atau pemarjinalisasian
yang menimpanya.
Seseorang atau suatu komunitas yang semula tidak pernah mengenal dan
mempelajari pola berpikir dan cara berlaku radikal, bisa tergiring atau
terbentuk emosi dan sikapnya menjadi radikalis. Mereka terdidik oleh
produk kebijakan negara atau regulasi politik-ekonomi yang represif,
disparitas, dan meminggirkannya, yang mengakibatkan dirinya menjadi
sekumpulan manusia yang tidak berguna, tidak berdaya, dan akrab dengan
keprihatinan.
Mereka itu akhirnya menjatuhkan opsi sebagai radikalis atau teroris
bukan semata untuk mencari kompensasi atas luka atau penderitaan akibat
ketidakadilan yang menimpanya. Mereka pun berobsesi mengembalikan
derajat kemanusiaannya dengan cara menunjukkan bahwa dirinya mempunyai
kekuatan, mampu menghadirkan pergolakan yang bisa diagendakan oleh sejarah.
Itu juga mengingatkan supaya perhatian negara atau aparat kepolisian
tidak "selalu" tertuju pada kelompok Islam garis keras atau komunitas
beragama yang beraliran tafsir tekstualis. Negara harus juga
mengingatkan dirinya sendiri. Pasalnya, negara juga bisa menjadi akar
penyebab utama yang mendorong dan "menyuburkan" teroris.
Kalau negara-negara adidaya semacam Amerika Serikat bisa disebut /state/
/terrorism /oleh Afghanistan, Iraq, dan negara-negara lain akibat
kebijakan represifnya yang menghancurkannya atau Israel yang menjadi
/state/ /terrorism /terhadap Palestina, negara pun tidak tertutup
kemungkinan bisa terjerumus menjadi "kriminalis" atau pendosa yang
menggiring orang miskin menjadi teroris.
Orang miskin yang digiring itu boleh jadi memang bukan untuk dijadikan
mesin utama gerakan teroris. Mereka bisa digunakan sebagai elemen atau
skrup dari jaringan untuk melakukan suatu aktivitas yang sudah
dirumuskan atau ditarget. Aktivitas ini berkategori perwujudan misi
berbahaya atau /mission imposible. /
Salah satu misi yang dianggap tidak mungkin dilakukan masyarakat pada
umumnya, yang bisa dilakukan orang miskin adalah "harakiri". Tindakan
ini dijadikan opsi bukan semata sebagai bagian dari upaya membebaskan
dirinya dari kemiskinan, tetapi juga sebagai kritik radikal untuk
mengingatkan sepak terjang negara yang telah berlaku tidak adil kepadanya.
Orang miskin tidak selalu diam menerima realitas kepahitan
(ketidakadilan) yang menimpanya, apalagi ketika ketidakadilan yang
dialaminya sudah tergolong ketidakadilan berlapis atau sistemik. Mereka
memang tidak cepat bereaksi atas penderitaan yang menimpanya. Tetapi,
mereka bisa secepatnya menunjukkan kekuatan fisiknya manakala ada
kekuatan lain yang "mendidik" cara melampiaskan atau mengorganisasi
kemarahannya.
Kata Naim Mudlor (2008), ketidakadilan berlapis dapat menyulut kemarahan
dan kekerasan berlanjut. Siapa saja yang menjadi korban ketidakadilan
ini emosinya sulit dikendalikan. Kecenderungannya adalah mencari
kompensasi sebagai bagian dari upaya mengembalikan harkat
kemanusiaannya. Dia tidak akan tinggal diam dan rela menerima
ketidakadilan yang menimpanya, sehingga menjadikan negara sebagai
sasaran gerakan radikalnya demi mengembalikan kedaulatan keadilan.
Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa dalam kehidupan bermasyarakat dan
berbangsa ini, ketidakadilan tidak bisa dianggap sebagai "penyakit"
ringan. Padahal, akibat ketidakadilan yang dimenangkan dan diabsahkan
ini mampu menguliti hak-hak fundamental orang miskin. Dari hak
fundamental yang tercerabut ini, terbentuklah dirinya menjadi
fundamentalis yang radikalis.
Ketidakadilan merupakan praktik yang bermodus meminggirkan atau
mengeliminasi hak seseorang dan masyarakat. Dalam ketidakadilan terdapat
pelanggaran, kearogansian, dan kriminalisasi yang dimenangkan, sementara
kebenaran, keadilan, dan persamaan derajat dikalahkan.
Orang miskin yang dirampas hak-haknya atau dijauhkan dari kebijakan yang
memanusiakan dirinya, tidak dirambah kesejahteraan, dan bahkan digiring
sekadar menjadi ongkos kepentingan pembangunan atau ditempatkan sebagai
pelengkap penderita dari keserakahan segelintir orang yang berbaju
negara. Komunitas akar rumput ini tidak bisa disalahkan kalau kemudian
menjadikan negara sebagai objek radikalisme atau terorismenya.
Secara umum tidak ada orang miskin yang jelas-jelas kehidupan
kesehariannya akrab dengan penderitaan atau berbagai bentuk
keprihatinan, kemudian menjatuhkan opsi untuk terlibat gerakan-gerakan
yang lebih menderitakan seperti menjadi teroris. Mereka bisa tergelincir
atau digiring (dididik) menjadi teroris akibat kondisi ketidakberdayaan
atau keprihatinan yang dialami yang sejalan dengan ulah negara yang
kurang peduli pada penderitaannya atau "memiskinkan"
Kondisi paradok dan disparitas antara orang miskin dan orang kaya
berkuasa yang selama ini masih menghegomi negeri ini. Yang sering
meminta banyak atau menjarah negara ini bukan orang miskin, tetapi orang
kaya atau elemen negara sendiri, yang dengan rakusnya membuat celah dan
payung kebijakan untuk semakin memperkaya dan menyejahterakan diri.
Sementara orang miskin terus dialinasikan atau dimarjinalisasikann
sehingga kian tidak berdaya (/empowerless/
Kalau ingin mencegah berkembangbiaknya radikalis atau teroris yang
bersumber dari orang miskin, sudah saatnya elite negara ini tidak
meneruskan sikap untuk memperkaya diri dan komunuitas eksklusifnya lewat
kebijakan istimewa seperti kenaikan gaji berlebihan. Di sini orang
miskin hanya bisa menjadi penonton yang merana, sementara orang kaya
yang lagi berkuasa semakin makmur di puncak piramida keningratannya.
/Prof Dr Bashori Muchsin MSi, guru besar dan Pembantu Rektor II
Universitas Islam Malang/
http://jawapos.
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
website: http://dtjakarta.or.id/
====================================================
Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Daily Digest | Switch format to Traditional
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe
Tidak ada komentar:
Posting Komentar