Rabu, 27 Januari 2010

[sekolah-kehidupan] Digest Number 2957

sekolah-kehidupan

Messages In This Digest (10 Messages)

Messages

1a.

Re: (garasi) Dari Baju Bekas ke Toko Online Buku Bekas

Posted by: "punya_retno" punya_retno@yahoo.com   punya_retno

Tue Jan 26, 2010 2:16 am (PST)



@ mbak wiek: hehehe, sekarang baju senen dah pada masuk gedung, jadi agak mahal :)
@ mas nur: alhamdulillah, makasih :)
@ novi: amiiin, novi juga sukses yaa, meraih semua mimpinya :)
@ mb siwi: alhamdulillah, makasih mb :). mb siwi bisa aja ah :)

tks for reading :)

salam,

-retno-

--- In sekolah-kehidupan@yahoogroups.com, Siwi LH <siuhik@...> wrote:
>
> Untuk Retno selalu dengan satu komentar, Retno-Retno! Bisa aja kamu! Thx ya sist sudah membaginya, terasa menohok banget buat saya terutama paragraf terakhirnya, hehehehe... apapun pilihan adalah sebuah keputusan dengan konsekwensinya. Peluk cium buat Raihana....
> Salam Hebat Penuh Berkah
> Siwi LH
> cahayabintang. wordpress.com
> siu-elha. blogspot.com
> YM : siuhik
>

2a.

Re: [Kelana] Boscha: And The Life Goes On

Posted by: "Lia Octavia" liaoctavia@gmail.com   octavialia

Tue Jan 26, 2010 2:25 am (PST)



wah aku baru liat email ini, mbak retno...
makasih banyak ya udah membacanya.. *^^*

salam
lia

2010/1/8 punya_retno <punya_retno@yahoo.com>

>
>
> subhanallah, mbak lia,
> seakan2 aku sedang berada di sana..
> alhamdulillah, makasih ya utk tulisannya yg detil, deskriptif dan berjiwa..
>
> "Dan sebelum lebih jauh melangkah, saya sudah jatuh cinta pada tempat itu.
> Langkah kaki saya yang takkan pernah sama lagi." :)
>
> salam,
>
> -retno-
>
>
> --- In sekolah-kehidupan@yahoogroups.com<sekolah-kehidupan%40yahoogroups.com>,
> Lia Octavia <liaoctavia@...> wrote:
> >
> > Boscha: And The Life Goes On
> >
> > Oleh Lia Octavia
> >
> >
> >
> > Mungkin apa yang dirasakan Boscha lebih dari seratus tahun yang
> > lalu kurang lebih sama dengan perasaan saya saat memandang hamparan hijau
> > pegunungan dengan embun menetesi setiap helai daun yang bunga-bunganya
> > tersenyum pada matahari dan puncak gunung berselimut kabut yang merangkul
> > awan-awan putih yang kadangkala mengarak hujan. Menyemai setiap
> benih-benih
> > kehidupan di lereng perkebunan Malabar yang terletak di Pangalengan,
> sebuah
> > daerah yang terletak sekitar 45 kilometer selatan Bandung. Di atas
> > ketinggian 1550 meter di atas permukaan laut itulah saya jatuh cinta pada
> > alamnya, dimana lebih dari 120 tahun yang lalu Boscha membangun
> > mimpi-mimpinya lalu mewujudkannya sebagai warisan kehidupan untuk
> generasi
> > setelahnya. Warisan yang kini sedang saya nikmati bersama kedua sahabat
> > saya, Mbak Wiwiek dan Mbak Fisra, dalam sebuah perjalanan petualangan
> awal
> > tahun yang tidak terlupakan di Pangalengan, Bandung Selatan.
> >
> >
> >
> > Tentang KAR Boscha
> >
> > Terlahir dengan nama lengkap Karel Albert Rudolf Boscha di
> > S'Gravenhage, Belanda pada tahun 1865, seorang insinyur yang kemudian
> datang
> > ke Indonesia; Medan, Borneo, Sukabumi, dan kemudian Pangalengan pada
> tahun
> > 1887. Di Pangalengan inilah Boscha membuka perkebunan teh yang dinamakan
> > perkebunan teh Malabar pada tahun 1890 dimana Boscha kemudian menetap,
> pada
> > sebuah rumah bercerobong asap yang terletak di antara hamparan pohon dan
> > perkebunan teh, membelah udara dingin yang bersuhu rata-rata 16 derajat
> > Celsius tersebut. Ia mempekerjakan penduduk pribumi sebagai pemetik teh
> di
> > perkebunannya, juga membuat sistem irigasi hingga pabrik pengolahan teh
> yang
> > masih beroperasi hingga sekarang. Boscha mempelajari teh di Sukabumi
> hingga
> > kemudian menjabat sebagai manajer perkebunan teh Malabar hingga ia wafat
> > pada tahun 1928. Ia juga membangun sekolah pada tahun 1913 di tengah
> > perkebunan teh sebagai sarana pendidikan bagi putra putri karyawan
> > perkebunan.
> >
> > Boscha tidak hanya dikenal di dunia budidaya teh. Ia banyak
> > menyumbangkan tenaga, pikiran, dan dana bagi kepentingan sosial dan
> > pembangunan kota Bandung, seperti Observatorium Bintang Boscha di
> Lembang,
> > Bala Keselamatan di Jl. Jawa, sekolah bagi penyandang tuna rungu dan tuna
> > wicara, Telefoon Maatschappij voor Bandung en Preanger di Jl. Tegallega
> > (kini PT INTI), kompleks Nederlands-Indische Jaarbeurs (Pekan Raya) yang
> > kini menjadi kantor Kologdam, dan sebagai anggota dewan penyantun untuk
> > Tehnische Hogerschool (kini ITB). Ia juga mendirikan institut kanker dan
> > yang pertama memperkenalkan satuan hektar dan kilometer untuk
> menggantikan
> > satuan tradisional pal dan bahu. Ia juga mendirikan pembangkit tenaga
> > listrik di air terjun Cilaki yang hingga kini menjadi penyedia tenaga
> > listrik bagi pabrik teh dan perumahan karyawan.
> >
> >
> >
> > Cinta pada hutan kecil itu
> >
> > Pagi itu, saya bersama Mbak Wiwiek dan Mbak Fisra langsung
> > menuju perkebunan teh Malabar yang terletak kurang lebih lima belas menit
> > perjalanan dengan mobil dari tempat penginapan kami di Pangalengan. Sisa
> > hujan semalam masih menggenang di setiap lekuk jalan dan embun masih
> > menetesi ujung sepatu converse biru saya. Pagi yang dingin, berkabut, dan
> > menenangkan. Tidak ada yang mengalahkan kenyamanan menjejakkan kaki di
> tanah
> > yang basah diiringi hembusan angin dan riuh pohon-pohon berderak di
> > sepanjang jalan. Teh hangat dan nasi goreng yang baru saja saya nikmati
> di
> > penginapan turut menghangatkan tubuh saya yang berselimut jaket dan
> berbalut
> > pakaian serba biru; kaus katun biru tua dirangkap dengan kaus jumper biru
> > muda dan jeans biru tua serta kerudung biru muda yang menutup kepala
> > saya. Pagi
> > yang membuat saya bernyanyi.
> >
> > Kemudian kami tiba di sebuah tempat dengan papan besar
> > bertuliskan "Perkebunan Teh Malabar" di pintu gerbangnya. Begitu kami
> > memasuki pintu gerbang itu, saya langsung melihat hamparan pohon teh
> sejauh
> > mata memandang. Hijau. Rindang. Berumpun-rumpun. Tak henti-hentinya saya
> > mengisi paru-paru saya dengan udara segar yang menyehatkan dan
> menyegarkan.
> > Pohon-pohon besar dan tinggi berdiri menjulang melingkupi jalanan kecil
> > beraspal menuju ke tengah perkebunan tersebut. Bunga-bunga beraneka warna
> > terangguk-angguk tertiup angin pagi. Dengan berlari-lari riang, kami
> bertiga
> > menikmati pemandangan indah itu sambil berfoto-foto. Dan sebelum lebih
> jauh
> > melangkah, saya sudah jatuh cinta pada tempat itu. Langkah kaki saya yang
> > takkan pernah sama lagi.
> >
> > Lalu kami tiba di sebuah hutan kecil yang rimbun oleh
> > pohon-pohon teh dan pohon-pohon besar yang rindang. Di sana, di hutan
> kecil
> > itu ada sebuah makam yang terawat dengan baik. Di makam itulah tempat
> > peristirahatan terakhir Boscha yang dilengkapi dengan pagar dan
> pilar-pilar
> > bergaya Eropa bercat putih yang dibangun di atas marmer putih dengan batu
> > nisan di tengah-tengahnya. Tempat yang dulu sering digunakan Boscha untuk
> > beristirahat setelah selesai bekerja dan berkeliling perkebunan dengan
> kuda.
> > Tanah yang subur, hamparan pemandangan yang menghijau disertai dengan
> udara
> > sejuk, di sinilah Boscha menanamkan cinta pada perkebunan dan hutan kecil
> > tersebut. Cinta yang disiraminya dengan keteguhan dan kegigihan serta
> > disiplin yang kemudian tumbuh, bertunas, dan berkembang. Cinta yang
> > menjalar pada orang-orang di sekitarnya, hingga saya masih bisa merasakan
> > cinta itu pada tutur kata penjaga makam yang pensiunan pegawai perkebunan
> > dan tatapan hangat pembersih makam yang sudah tinggal beberapa generasi
> di
> > tempat itu. Cinta pada hutan kecil itulah yang saya rasakan dan membuat
> saya
> > memandang hormat serta kagum pada foto Boscha di atas nisan tersebut.
> > Seorang yang membawa begitu banyak perubahan dan manfaat semasa hidupnya.
> >
> >
> >
> > And The Life Goes On
> >
> > Kurang satu kilometer dari makam itu, berdirilah kediaman Boscha
> > yang dibangun di tengah hutan berpagar pohon-pohon besar dan diselimuti
> > berbagai tumbuhan dan bunga-bunga yang terangguk-angguk ditiup angin
> pagi.
> > Hingga kemudian awal tahun 2010 ini membekukan segala waktu dan seketika
> > saya tiba-tiba berada pada seratus tahun yang lampau saat melihat rumah
> > tersebut. Saya seakan bisa melihat Boscha menunggang kuda memasuki
> gerbang
> > kediamannya, melintasi jalanan kecil menuju beranda. Saya bisa melihat ia
> > turun dari kudanya sambil menggenggam tongkat hari Sabtunya (Boscha
> memiliki
> > delapan buah tongkat yang dipakainya setiap hari sedangkan satu tongkat
> > untuk cadangan) kemudian masuk ke dalam ruang tamu yang luas dengan piano
> di
> > sudutnya. Perapian yang terbuat dari batu bata merah menghangatkan
> ruangan
> > sementara dari arah belakang, harum masakan merebak di bagian dapur.
> Kemudian
> > pada pukul setengah sebelas siang ia membunyikan sejenis kentongan dari
> besi
> > dari lereng sebelah barat sebagai tanda istirahat bagi para pemetik teh
> dan
> > kembali pulang menjelang senja.
> >
> > Di rumah inilah Boscha melihat segalanya. Beratus tahun ke
> > depan, ia melihat sebuah perkebunan teh yang menghijau di lereng Gunung
> Nini
> > yang memberi makan banyak orang dan memakmurkan pemerintah daerah. Teh
> > berkualitas tinggi yang kemudian diekspor ke Eropa dan berbagai negara,
> > beserta penginapan untuk para penjelajah yang lahir beratus tahun
> kemudian
> > seperti saya dan ketiga sahabat saya. Sehingga apapun yang ia kerjakan
> saat
> > itu, ia meletakkan landasan bagi mimpi-mimpi yang dilihatnya.
> >
> > "Boscha adalah seorang visioner," begitu kata Mbak Wiwiek.
> > Betapa kerja kerasnya dulu kini telah berbuah manis. Saya yakin, ia pasti
> > akan tersenyum lebar saat ia melihat Malabar di tahun 2010 ini. Bahwa apa
> > yang dilihatnya dulu kini menjelma nyata dan Boscha telah memberikan
> warisan
> > itu bagi kehidupan-kehidupan kemudian yang bergulir di atas bumi
> > Parahyangan. Warisan yang harus kita pelihara dan jaga bersama, mungkin
> > untuk seratus tahun ke depan, saat anak cucu saya beserta anak cucu
> > sahabat-sahabat saya datang kembali mengunjungi Malabar dan kemudian
> jatuh
> > cinta pada tempat itu, sama halnya dengan apa yang terjadi pada Boscha
> dan
> > saya, di waktu yang berbeda.
> >
> >
> >
> > Pangalengan – Malabar, Bandung Selatan, Jan 1-2, 2010
> >
> > Special thanks for Mbak Wiwiek & Mbak Fisra for such a great travelling &
> > adventure….
> >
> >
> >
> >
> >
> > ******
> >
> >
> >
> > http://liaoctavia.blogspot.com (untuk travelling & catatan perjalanan)
> >
> > http://mutiaracinta.multiply.com
> >
>
>
>
3a.

Re: [INFO] LOMBA CIPTA PUISI INDOSAT 2010

Posted by: "Nursalam AR" nursalam.ar@gmail.com

Tue Jan 26, 2010 3:01 am (PST)



Sip, Mimin. "Met berlomba ya:)

Tabik,

Nursalam AR*
- yang sepertinya tidak ikut lomba karena sudah lama tak lama berpuisi:( -*

2010/1/26 Mimin <minehaway@gmail.com>

>
>
> Makasih infonya Bang.
> Hari minggu saya baca posternya di TIM, tapi masih belum jelas, baca ini
> lumayan jelas.
> Musti aktifin no indosat lagi nih...
>
>
>
> --
> http://minehaway.com
>
>

--
"There is no life without risks"
Nursalam AR
Translator - Writer - Trainer
0813-10040723
021-92727391
Facebook: www.facebook.com/nursalam.ar
Blog: www.nursalam.multiply.com
4.

[Kelana] Sinar Di Ujung Pulewali

Posted by: "fiyan arjun" fiyanarjun@gmail.com

Tue Jan 26, 2010 5:57 pm (PST)



*Sinar Di Ujung Polewali

*
Dengan tubuh kecilnya yang tak sepadan bocah perempuan kecil itu begitu
tangguh membantu Ibunya yang lumpuh. Hidupnya yang begitu amat
memprihatinkan dan miris bahkan mengelus dada bagi siapa saja mata
memandang. Apalagi dengan dunia kecilnya pun tak peduli bahkan acuh serta
tak terpikirkan di benaknya akan untuk bersama-sama bermain dengan anak
seusianya. Hanya satu bagaimana ia dapat membantu Ibunya untuk memasak,
mencuci serta membantu memapah membuang air besar untuk Ibunya itu—yang
lumpuh. Karena jatuh.

Tetapi karena situasi, kondisi dan keadaan seperti itu menjadikan ia menjadi
sosok bocah perempuan yang tangkas dan kebal terhadap apa pun. Semua bisa ia
kalahkan dengan semangat yang membara untuk bisa membahagiakan dan menolong
Ibunya yang lumpuh itu. Walau akhirnya ia bisa menaklukan hidupnya seorang
diri—dengan amat memprihatinkan. Dan itulah yang ada di benak anak usia enam
tahun. Bisa membantu Ibunya makan, minum dan membuang air besar.

Bukan! Bukan! Ini bukan sinetron. Atau, juga bukan sebuah reality show yang
sedang dipandu MC kondang Helmy Yahya. Apalagi karya fiksi—yang sering saya
buat untuk dinikmati oleh kawan-kawan saya atau saya kirimkan ke media—dan
sesaat langsung usai tak berbekas. Tapi ini realita. Potret kehidupan anak
bangsa. Potret kehidupan seorang bocah perempuan bernama Sinar yang begitu
tangguh dan kuat melawan keras arus pahitnya hidup yang ia lalui bersama Ibu
tercintanya yang lumpuh di sebuah pemukiman lereng. Sebuah pemukiman—tempat
tinggal yang tak mudah dijangkau maupun dilalui oleh mobilitas transportasi
modern. Kalau pun bisa hanya bisa dilewati—dengan akses berjalan kaki serta
menaiki helikopter jika ingin mengakses tempat tinggal bocah perempuan yang
masih duduk dibangku SD dengan bertelanjang kaki itu. Tempat tinggal yang
bisa dikatakan tak layak bagi kita yang hidup berkecukupan. Atau, bagi
mereka yang bertempat tinggal di perkotaan.

Jangan! Jangan! Jangan bayangkan bagaimana caranya bocah perempuan satu ini
membantu Ibunya makan, minum serta membuang air besar Ibunya itu. Itu tak
perlu! Tapi bayangkan baktinya seorang Sinar kepada orang yang sangat ia
cintai. Tak lain Ibunya itu. Halnya yang dilakukan oleh salah satu band
papan atas yang sekarang lagi naik daun—dengan singel-singelnya yang hits
berkhas melayu. Bahkan terkesan sentimetil dan romantis. Ya, mereka langsung
terjun langsung menyaksikan kehidupan dua anak manusia yang hidup dengan
segala keadaan yang sangat memmperhatinkan. Seorang ibu yang lumpuh dan
seorang bocah perempuan yang belum akil-baligh.

Pentolan band berasal dari Jawa Barat ini pun langsung membuat lirik dan
menciptakan sebuah lagu untuk bocah perempuan yang benar-benar menjadi
inspirasi buat orang-orang yang melihat dirinya khususnya saya secara
pribadi. Ternyata untuk membuat orang bergerak bukan hanya bisa bicara di ke
depankan. Talk less do more. NATO. No Action Talk Only. Halnya band papan
tersebut. Mungkin tanpa mereka tak ada orang-orang sekitar atau kita yang
hidup bergelimang harta yang care dan empati terhadap kehidupan dua anak
manusia tersebut. Halnya ketika saya melihat di layar kaca ketika
membicarakan ketangguhan dan ketangkasan seorang bocah perempuan dari
Polewali itu.

Bukan! Bukan! Ini bukan kisah nyata kehidupan Al-Qamah yang berat menghadapi
sakaratul maut-nya dikarenakan durhaka pada orang yang ia cintai, Ibunya.
Sampai-sampai Ibunya tak sempat tidak mengakuinya sebagai anak dan
membiarkannya tersiksa dalam derita. Namun, ketika ia (Al-Qamah) hendak akan
dibakar oleh Rasul sebagai jalan keluar, barulah sang Ibu mau membuka
hatinya, menyadari, mengampuni serta meridhainya.

Kasih ibu kepada beta...Tak terlupa sepanjang masa....Banyak memberi...Tak
harap kembali....

Mungkin seorang bocah perempuan kecil yang jika bersekolah hanya
bertelanjang kaki ke sekolahnya yang sangat memiriskan ini saat saya
ketahui, lagi-lagi di layar kaca. Tak pernah tahu bahkan tak tahu menahu
bagaimana cara membalas air susu Ibunya. Tetapi melihat apa yang ia lakukan
selama ini mungkin ia sudah lebih dahulu melaluinya dari orang-orang yang
belum melakukannya sebelumnya. Hingga mata minus saya yang berkacamata ini
berembun. Tergenang sebongkah kristal kecil yang keluar dari muara air mata
saya. Karena baktinya seorang bocah perempuan kecil yang begitu amat sangat
besar kepada Ibunya terlebih Ibunya yang lumpuh.

Lagi-lagi mengingatkan saya pada Ibu saya yang (lagi) sedang menanggalkan
giginya semua. Dan ketika Ibu saya tersenyum lagi-lagi saya teringat
senyuman Sinar. Senyuman dari bocah perempuan kecil dari Polewali itu.
Entahlah, apakah saya sudah sebakti seperti Sinar? Membantu, menolong dan
membagiakan dengan cara tangan kecilnya. Ah, sungguh tak percuma Ibunya
menamakan Sinar. Ternyata nama itu benar-benar menyinarkan segala hati yang
buta bagi mereka yang dikerdilkan dengan harta, jabatan dan tahta. Sinar.
Begitulah saya jika bisa mengingatnya. Sinar dari ujung Polewali. []

Ulujami—Jakarta, 13-01-10
Teruntuk anak-anak bangsa.
5.

Sayangilah IBU kita

Posted by: "rahmad nurdin" rahmad.aceh@gmail.com   rahmadsyah_tcc

Tue Jan 26, 2010 7:27 pm (PST)



*
Cintailah Mama kita sebagai mana kita mencitai diri kita sendiri.
Alkisah, ada sepasang kekasih yang saling mencintai. Sang pria berasal dari
keluarga kaya, dan merupakan orang yang terpandang di kota tersebut.
Sedangkan sang wanita adalah seorang yatim piatu, hidup serba kekurangan,
tetapi cantik, lemah lembut, dan baik hati. Kelebihan inilah yang membuat
sang pria jatuh hati.

Sang wanita hamil di luar nikah. Sang pria lalu mengajaknya menikah, dengan
membawa sang wanita ke rumahnya. Seperti yang sudah mereka duga, orang tua
sang pria tidak menyukai wanita tersebut. Sebagai orang yang terpandang di
kota tersebut, latar belakang wanita tersebut akan merusak reputasi
keluarga. Sebaliknya, mereka bahkan telah mencarikan jodoh yang sepadan
untuk anaknya. Sang pria berusaha menyakinkan orang tuanya, bahwa ia sudah
menetapkan keputusannya, apapun resikonya bagi dia.

Sang wanita merasa tak berdaya, tetapi sang pria menyakinkan wanita tersebut
bahwa tidak ada yang bisa memisahkan mereka. Sang pria terus berargumen
dengan orang tuanya, bahkan membantah perkataan orangtuanya, sesuatu yang
belum pernah dilakukannya selama hidupnya (di zaman dulu, umumnya seorang
anak sangat tunduk pada orang tuanya).

Sebulan telah berlalu, sang pria gagal untuk membujuk orangtuanya agar
menerima calon istrinya. Sang orang tua juga stress karena gagal membujuk
anak satu-satunya, agar berpisah dengan wanita tersebut, yang menurut mereka
akan sangat merugikan masa depannya.

Sang pria akhirnya menetapkan pilihan untuk kawin lari. Ia memutuskan untuk
meninggalkan semuanya demi sang kekasih. Waktu keberangkatan pun ditetapkan,
tetapi rupanya rencana ini diketahui oleh orang tua sang pria. Maka ketika
saatnya tiba, sang orangtua mengunci anaknya di dalam kamar dan dijaga ketat
oleh para bawahan di rumahnya yang besar.

Sebagai gantinya, kedua orang tua datang ke tempat yang telah ditentukan
sepasang kekasih tersebut untuk melarikan diri. Sang wanita sangat terkejut
dengan kedatangan ayah dan ibu sang pria. Mereka kemudian memohon pengertian
dari sang wanita, agar meninggalkan anak mereka satu-satunya. Menurut
mereka, dengan perbedaan status sosial yang sangat besar, perkawinan mereka
hanya akan menjadi gunjingan seluruh penduduk kota, reputasi anaknya akan
tercemar, orang-orang tidak akan menghormatinya lagi. Akibatnya, bisnis yang
akan diwariskan kepada anak mereka akan bangkrut secara perlahan-lahan.

Mereka bahkan memberikan uang dalam jumlah banyak, dengan permohonan agar
wanita tersebut meninggalkan kota ini, tidak bertemu dengan anaknya lagi,
dan menggugurkan kandungannya. Uang tersebut dapat digunakan untuk membiayai
hidupnya di tempat lain.

Sang wanita menangis tersedu-sedu. Dalam hati kecilnya, ia sadar bahwa
perbedaan status sosial yang sangat jauh, akan menimbulkan banyak kesulitan
bagi kekasihnya. Akhirnya, ia setuju untuk meninggalkan kota ini, tetapi
menolak untuk menerima uang tersebut. Ia mencintai sang pria, bukan uangnya.
Walaupun ia sepenuhnya sadar, jalan hidupnya ke depan akan sangat sulit?.
Ibu sang pria kembali memohon kepada wanita tersebut untuk meninggalkan
sepucuk surat kepada mereka, yang menyatakan bahwa ia memilih berpisah
dengan sang pria. Ibu sang pria kuatir anaknya akan terus mencari
kekasihnya, dan tidak mau meneruskan usaha orang tuanya. "Walaupun ia kelak
bukan suamimu, bukankah Anda ingin melihatnya sebagai seseorang yang
berhasil? Ini adalah untuk kebaikan kalian berdua", kata sang ibu.
Dengan berat hati, sang wanita menulis surat. Ia menjelaskan bahwa ia sudah
memutuskan untuk pergi meninggalkan sang pria. Ia sadar bahwa keberadaannya
hanya akan merugikan sang pria. Ia minta maaf karena telah melanggar janji
setia mereka berdua, bahwa mereka akan selalu bersama dalam menghadapi
penolakan-penolakan akibat perbedaan status sosial mereka. Ia tidak kuat
lagi menahan penderitaan ini, dan memutuskan untuk berpisah.

Tetesan air mata sang wanita tampak membasahi surat tersebut. Sang wanita
yang malang tersebut tampak tidak punya pilihan lain. Ia terjebak antara
moral dan cintanya. Sang wanita segera meninggalkan kota itu, sendirian. Ia
menuju sebuah desa yang lebih terpencil. Disana, ia bertekad untuk
melahirkan dan membesarkan anaknya.

Detik .. Menit …. Jam …. Hari …. Minggu ………Tahun …… Tak terasa Tiga tahun
telah berlalu. Ternyata wanita tersebut telah menjadi seorang ibu. Anaknya
seorang laki-laki. Sang ibu bekerja keras siang dan malam, untuk membiayai
kehidupan mereka. Di pagi dan siang hari, ia bekerja di sebuah industri
rumah tangga, malamnya, ia menyuci pakaian2 tetangga dan menyulam sesuai
dengan pesanan pelanggan. Kebanyakan ia melakukan semua pekerjaan ini sambil
menggendong anak di punggungnya. Walaupun ia cukup berpendidikan, ia
menyadari bahwa pekerjaan lain tidak memungkinkan, karena ia harus berada di
sisi anaknya setiap saat.

Tetapi sang ibu tidak pernah mengeluh dengan pekerjaannya. Di usia tiga
tahun, suatu saat, sang anak tiba-tiba sakit keras. Demamnya sangat tinggi.
Ia segera dibawa ke rumah sakit setempat. Anak tersebut harus menginap di
rumah sakit selama beberapa hari. Biaya pengobatan telah menguras habis
seluruh tabungan dari hasil kerja kerasnya selama ini, dan itupun belum
cukup. Ibu tersebut akhirnya juga meminjam ke sana-sini, kepada siapapun
yang bermurah hati untuk memberikan pinjaman.

Saat diperbolehkan pulang, sang dokter menyarankan untuk membuat sup ramuan,
untuk mempercepat kesembuhan putranya. Ramuan tersebut terdiri dari
obat-obatan herbal dan daging sapi untuk dikukus bersama. Tetapi sang ibu
hanya mampu membeli obat-obat herbal tersebut, ia tidak punya uang
sepeserpun lagi untuk membeli daging. Untuk meminjam lagi, rasanya tak
mungkin, karena ia telah berutang kepada semua orang yang ia kenal, dan
belum terbayar.

Ketika di rumah, sang ibu menangis. Ia tidak tahu harus berbuat apa, untuk
mendapatkan daging. Toko daging di desa tersebut telah menolak
permintaannya, untuk bayar di akhir bulan saat gajian. Diantara tangisannya,
ia tiba-tiba mendapatkan ide. Ia mencari alkohol yang ada di rumahnya,
sebilah pisau dapur, dan sepotong kain. Setelah pisau dapur dibersihkan
dengan alkohol, sang ibu nekad mengambil sekerat daging dari pahanya. Agar
tidak membangunkan anaknya yang sedang tidur, ia mengikat mulutnya dengan
sepotong kain. Darah berhamburan. Sang ibu tengah berjuang mengambil
dagingnya sendiri, sambil berusaha tidak mengeluarkan suara kesakitan yang
teramat sangat?..
Hujan lebatpun turun. Lebatnya hujan menyebabkan rintihan kesakitan sang ibu
tidak terdengar oleh para tetangga, terutama oleh anaknya sendiri. Tampaknya
langit juga tersentuh dengan pengorbanan yang sedang dilakukan oleh sang ibu
………… .

Enam tahun telah berlalu, anaknya tumbuh menjadi seorang anak yang tampan,
cerdas, dan berbudi pekerti. Ia juga sangat sayang ibunya. Di hari minggu,
mereka sering pergi ke taman di desa tersebut, bermain bersama, dan
bersama-sama menyanyikan lagu "Shi Sang Chi You Mama Hau" (terjemahannya "Di
Dunia ini, hanya ibu seorang yang baik").

Sang anak juga sudah sekolah. Sang ibu sekarang bekerja sebagai penjaga
toko, karena ia sudah bisa meninggalkan anaknya di siang hari. Hari-hari
mereka lewatkan dengan kebersamaan, penuh kebahagiaan. Sang anak terkadang
memaksa ibunya, agar ia bisa membantu ibunya menyuci di malam hari. Ia tahu
ibunya masih menyuci di malam hari, karena perlu tambahan biaya untuk
sekolahnya. Ia memang seorang anak yang cerdas. Ia juga tahu, bulan depan
adalah hari ulang tahun ibunya. Ia berniat membelikan sebuah jam tangan,
yang sangat didambakan ibunya selama ini. Ibunya pernah mencobanya di sebuah
toko, tetapi segera menolak setelah pemilik toko menyebutkan harganya. Jam
tangan itu sederhana, tidak terlalu mewah, tetapi bagi mereka, itu terlalu
mahal. Masih banyak keperluan lain yang perlu dibiayai.

Sang anak segera pergi ke toko tersebut, yang tidak jauh dari rumahnya. Ia
meminta kepada kakek pemilik toko agar menyimpan jam tangan tersebut, karena
ia akan membelinya bulan depan. "Apakah kamu punya uang?" tanya sang pemilik
toko. "Tidak sekarang, nanti saya akan punya", kata sang anak dengan serius.

Ternyata, bulan depan sang anak benar-benar muncul untuk membeli jam tangan
tersebut. Sang kakek juga terkejut, kiranya sang anak hanya main-main.
Ketika menyerahkan uangnya, sang kakek bertanya "Dari mana kamu mendapatkan
uang itu? Bukan mencuri kan?". "Saya tidak mencuri, kakek. Hari ini adalah
hari ulang tahun ibuku. Saya biasanya naik becak pulang pergi ke sekolah.
Selama sebulan ini, saya berjalan kaki saat pulang dari sekolah ke rumah,
uang jajan dan uang becaknya saya simpan untuk beli jam ini. Kakiku sakit,
tapi ini semua untuk ibuku. O ya, jangan beritahu ibuku tentang hal ini. Ia
akan marah" kata sang anak. Sang pemilik toko tampak kagum pada anak
tersebut.

Seperti biasanya, sang ibu pulang dari kerja di sore hari. Sang anak segera
memberikan ucapan selamat pada ibu, dan menyerahkan jam tangan tersebut.
Sang ibu terkejut bercampur haru, ia bangga dengan anaknya. Jam tangan ini
memang adalah impiannya. Tetapi sang ibu tiba-tiba tersadar, dari mana uang
untuk membeli jam tersebut. Sang anak tutup mulut, tidak mau menjawab.

"Apakah kamu mencuri, Nak?" Sang anak diam seribu bahasa, ia tidak ingin ibu
mengetahui bagaimana ia mengumpulkan uang tersebut. Setelah ditanya
berklai-kali tanpa jawaban, sang ibu menyimpulkan bahwa anaknya telah
mencuri. "Walaupun kita miskin, kita tidak boleh mencuri. Bukankah ibu sudah
mengajari kamu tentang hal ini?" kata sang ibu.

Lalu ibu mengambil rotan dan mulai memukul anaknya. Biarpun ibu sayang pada
anaknya, ia harus mendidik anaknya sejak kecil. Sang anak menangis,
sedangkan air mata sang ibu mengalir keluar. Hatinya begitu perih, karena ia
sedang memukul belahan hatinya. Tetapi ia harus melakukannya, demi kebaikan
anaknya. Suara tangisan sang anak terdengar keluar. Para tetangga menuju ke
rumah tersebut heran, dan kemudian prihatin setelah mengetahui kejadiannya.
"Ia sebenarnya anak yang baik", kata salah satu tetangganya.

Kebetulan sekali, sang pemilik toko sedang berkunjung ke rumah salah satu
tetangganya yang merupakan familinya. Ketika ia keluar melihat ke rumah itu,
ia segera mengenal anak itu. Ketika mengetahui persoalannya, ia segera
menghampiri ibu itu untuk menjelaskan. Tetapi tiba-tiba sang anak berlari ke
arah pemilik toko, memohon agar jangan menceritakan yang sebenarnya pada
ibunya.
"Nak, ketahuilah, anak yang baik tidak boleh berbohong, dan tidak boleh
menyembunyikan sesuatu dari ibunya". Sang anak mengikuti nasehat kakek itu.
Maka kakek itu mulai menceritakan bagaimana sang anak tiba-tiba muncul di
tokonya sebulan yang lalu, memintanya untuk menyimpan jam tangan tersebut,
dan sebulan kemudian akan membelinya. Anak itu muncul siang tadi di tokonya,
katanya hari ini adalah hari ulang tahun ibunya. Ia juga menceritakan
bagaimana sang anak berjalan kaki dari sekolahnya pulang ke rumah dan tidak
jajan di sekolah selama sebulan ini, untuk mengumpulkan uang membeli jam
tangan kesukaan ibunya.

Tampak sang kakek meneteskan air mata saat selesai menjelaskan hal tersebut,
begitu pula dengan tetangganya. Sang ibu segera memeluk anak kesayangannya,
keduanya menangis dengan tersedu-sedu."Maafkan saya, Nak."
"Tidak Bu, saya yang bersalah"
Sementara itu, ternyata ayah dari sang anak sudah menikah, tetapi istrinya
mandul. Mereka tidak punya anak. Sang orangtua sangat sedih akan hal ini,
karena tidak akan ada yang mewarisi usaha mereka kelak. Ketika sang ibu dan
anaknya berjalan-jalan ke kota, dalam sebuah kesempatan, mereka bertemu
dengan sang ayah dan istrinya. Sang ayah baru menyadari bahwa sebenarnya ia
sudah punya anak dari darah dagingnya sendiri. Ia mengajak mereka berkunjung
ke rumahnya, bersedia menanggung semua biaya hidup mereka, tetapi sang ibu
menolak. Kami bisa hidup dengan baik tanpa bantuanmu.
Berita ini segera diketahui oleh orang tua sang pria. Mereka begitu ingin
melihat cucunya, tetapi sang ibu tidak mau mengizinkan.

Di pertengahan tahun, penyakit sang anak kembali kambuh. Dokter mengatakan
bahwa penyakit sang anak butuh operasi dan perawatan yang konsisten. Kalau
kambuh lagi, akan membahayakan jiwanya. Keuangan sang ibu sudah agak
membaik, dibandingkan sebelumnya. Tetapi biaya medis tidaklah murah, ia
tidak sanggup membiayainya. Sang ibu kembali berpikir keras. Tetapi ia tidak
menemukan solusi yang tepat. Satu-satunya jalan keluar adalah menyerahkan
anaknya kepada sang ayah, karena sang ayahlah yang mampu membiayai
perawatannya.

Maka di hari Minggu ini, sang ibu kembali mengajak anaknya berkeliling kota,
bermain-main di taman kesukaan mereka. Mereka gembira sekali, menyanyikan
lagu "Shi Sang Chi You Mama Hau", lagu kesayangan mereka. Untuk sejenak,
sang ibu melupakan semua penderitaannya, ia hanyut dalam kegembiraan bersama
sang anak. Sepulang ke rumah, ibu menjelaskan keadaannya pada sang anak.
Sang anak menolak untuk tinggal bersama ayahnya, karena ia hanya ingin
dengan ibu. "Tetapi ibu tidak mampu membiayai perawatan kamu, Nak" kata ibu.
"Tidak apa-apa Bu, saya tidak perlu dirawat. Saya sudah sehat, bila bisa
bersama-sama dengan ibu. Bila sudah besar nanti, saya akan cari banyak uang
untuk biaya perawatan saya dan untuk ibu. Nanti, ibu tidak perlu bekerja
lagi, Bu", kata sang anak. Tetapi ibu memaksa akan berkunjung ke rumah sang
ayah keesokan harinya. Penyakitnya memang bisa kambuh setiap saat.

Disana ia diperkenalkan dengan kakek dan neneknya. Keduanya sangat senang
melihat anak imut tersebut. Ketika ibunya hendak pulang, sang anak
meronta-ronta ingin ikut pulang dengan ibunya. Walaupun diberikan mainan
kesukaan sang anak, yang tidak pernah ia peroleh saat bersama ibunya, sang
anak menolak. "Saya ingin Ibu, saya tidak mau mainan itu", teriak sang anak
dengan nada yang polos. Dengan hati sedih dan menangis, sang ibu berkata
"Nak, kamu harus dengar nasehat ibu. Tinggallah di sini. Ayah, kakek dan
nenek akan bermain bersamamu." "Tidak, aku tidak mau mereka. Saya hanya mau
ibu, saya sayang ibu, bukankah ibu juga sayang saya? Ibu sekarang tidak mau
saya lagi", sang anak mulai menangis.

Bujukan demi bujukan ibunya untuk tinggal di rumah besar tersebut tidak
didengarkan anak kecil tersebut. Sang anak menangis tersedu-sedu "Kalau ibu
sayang padaku, bawalah saya pergi, Bu". Sampai pada akhirnya, ibunya memaksa
dengan mengatakan "Benar, ibu tidak sayang kamu lagi. Tinggallah disini",
ibunya segera lari keluar meninggalkan rumah tersebut. Tampak anaknya
meronta-ronta dengan ledakan tangis yang memilukan.

Di rumah, sang ibu kembali meratapi nasibnya. Tangisannya begitu menyayat
hati, ia telah berpisah dengan anaknya. Ia tidak diperbolehkan menjenguk
anaknya, tetapi mereka berjanji akan merawat anaknya dengan baik. Diantara
isak tangisnya, ia tidak menemukan arti hidup ini lagi. Ia telah kehilangan
satu-satunyanya alasan untuk hidup, anaknya tercinta.

Kemudian ibu yang malang itu mengambil pisau dapur untuk memotong urat
nadinya. Tetapi saat akan dilakukan, ia sadar bahwa anaknya mungkin tidak
akan diperlakukan dengan baik. Tidak, ia harus hidup untuk mengetahui bahwa
anaknya diperlakukan dengan baik. Segera, niat bunuh diri itu dibatalkan,
demi anaknya juga……….

Setahun berlalu. Sang ibu telah pindah ke tempat lain, mendapatkan kerja
yang lebih baik lagi. Sang anak telah sehat, walaupun tetap menjalani
perawatan medis secara rutin setiap bulan. Seperti biasa, sang anak ingat
akan hari ulang tahun ibunya. Uang pun dapat ia peroleh dengan mudah, tanpa
perlu bersusah payah mengumpulkannya. Maka, pada hari tersebut, sepulang
dari sekolah, ia tidak pulang ke rumah, ia segera naik bus menuju ke desa
tempat tinggal ibunya, yang memakan waktu beberapa jam. Sang anak telah
mempersiapkan setangkai bunga, sepucuk surat yang menyatakan ia setiap hari
merindukan ibu, sebuah kartu ucapan selamat ulang tahun, dan nilai ujian
yang sangat bagus. Ia akan memberikan semuanya untuk ibu.

Sang anak berlari riang gembira melewati gang-gang kecil menuju rumahnya.
Tetapi ketika sampai di rumah, ia mendapati rumah ini telah kosong. Tetangga
mengatakan ibunya telah pindah, dan tidak ada yang tahu kemana ibunya pergi.
Sang anak tidak tahu harus berbuat apa, ia duduk di depan rumah tersebut,
menangis "Ibu benar-benar tidak menginginkan saya lagi."

Sementara itu, keluarga sang ayah begitu cemas, ketika sang anak sudah
terlambat pulang ke rumah selama lebih dari 3 jam. Guru sekolah mengatakan
semuanya sudah pulang. Semua tempat sudah dicari, tetapi tidak ada kabar.
Mereka panik. Sang ayah menelpon ibunya, yang juga sangat terkejut. Polisi
pun dihubungi untuk melaporkan anak hilang.

Ketika sang ibu sedang berpikir keras, tiba-tiba ia teringat sesuatu. Hari
ini adalah hari ulang tahunnya. Ia terlalu sibuk sampai melupakannya.
Anaknya mungkin pulang ke rumah. Maka sang ayah dan sang ibu segera naik
mobil menuju rumah tersebut. Sayangnya, mereka hanya menemukan kartu ulang
tahun, setangkai bunga, nilai ujian yang bagus, dan sepucuk surat anaknya.
Sang ibu tidak mampu menahan tangisannya, saat membaca tulisan-tulisan imut
anaknya dalam surat itu.

Hari mulai gelap. Mereka sibuk mencari di sekitar desa tersebut, tanpa
mendapatkan petunjuk apapun. Sang ibu semakin resah. Kemudian sang ibu
membakar dupa, berlutut di hadapan altar Dewi Kuan Im, sambil menangis ia
memohon agar bisa menemukan anaknya.

Seperti mendapat petunjuk, sang ibu tiba-tiba ingat bahwa ia dan anaknya
pernah pergi ke sebuah kuil Kuan Im di desa tersebut. Ibunya pernah berkata,
bahwa bila kamu memerlukan pertolongan, mohonlah kepada Dewi Kuan Im yang
welas asih. Dewi Kuan Im pasti akan menolongmu, jika niat kamu baik. Ibunya
memprediksikan bahwa anaknya mungkin pergi ke kuil tersebut untuk memohon
agar bisa bertemu dengan dirinya.

Benar saja, ternyata sang anak berada di sana. Tetapi ia pingsan, demamnya
tinggi sekali. Sang ayah segera menggendong anaknya untuk dilarikan ke rumah
sakit. Saat menuruni tangga kuil, sang ibu terjatuh dari tangga, dan
berguling-guling jatuh ke bawah……….

Sepuluh tahun sudah berlalu. Kini sang anak sudah memasuki bangku kuliah. Ia
sering beradu mulut dengan ayah, mengenai persoalan ibunya. Sejak jatuh dari
tangga, ibunya tidak pernah ditemukan. Sang anak telah banyak menghabiskan
uang untuk mencari ibunya kemana-mana, tetapi hasilnya nihil.

Siang itu, seperti biasa sehabis kuliah, sang anak berjalan bersama dengan
teman wanitanya. Mereka tampak serasi. Saat melaju dengan mobil, di
persimpangan sebuah jalan, ia melihat seorang wanita tua yang sedang
mengemis. Ibu tersebut terlihat kumuh, dan tampak memakai tongkat. Ia tidak
pernah melihat wanita itu sebelumnya. Wajahnya kumal, dan ia tampak
berkomat-kamit. Di dorong rasa ingin tahu, ia menghentikan mobilnya, dan
turun bersama pacar untuk menghampiri pengemis tua itu.

Ternyata sang pengemis tua sambil mengacungkan kaleng kosong untuk minta
sedekah, ia berucap dengan lemah "Dimanakah anakku? Apakah kalian melihat
anakku?". Sang anak merasa mengenal wanita tua itu. Tanpa disadari, ia
segera menyanyikan lagu "Shi Sang Ci You Mama Hau" dengan suara perlahan,
tak disangka sang pengemis tua ikut menyanyikannya dengan suara lemah.
Mereka berdua menyanyi bersama. Ia segera mengenal suara ibunya yang selalu
menyanyikan lagu tersebut saat ia kecil, sang anak segera memeluk pengemis
tua itu dan berteriak dengan haru "Ibu? Ini saya ibu".
Sang pengemis tua itu terkejut, ia meraba-raba muka sang anak, lalu
bertanya, "Apakah kamu ??..(nama anak itu)?" "Benar bu, saya adalah anak
ibu?". Keduanya pun berpelukan dengan erat, air mata keduanya berbaur
membasahi bumi …………… .
Karena jatuh dari tangga, sang ibu yang terbentur kepalanya menjadi hilang
ingatan, tetapi ia setiap hari selama sepuluh tahun terus mencari anaknya,
tanpa peduli dengan keadaaan dirinya. Sebagian orang menganggapnya sebagai
orang gila.

Perenungkan untuk kita renungkan bersama-sama:
Dalam kondisi kritis, Ibu kita akan melakukan apa saja demi kita. Ibu bahkan
rela mengorbankan nyawanya.. Simaklah penggalan doa keputusasaan berikut
ini, di saat Ibu masih muda, ataupun disaat Ibu sudah tua :

1. Anakku masih kecil, masa depannya masih panjang. Oh Tuhan, ambillah aku
sebagai gantinya.
2. Aku sudah tua, Oh Tuhan, ambillah aku sebagai gantinya.

Diantara orang-orang disekeliling Anda, yang Anda kenal, Saudara/I kandung
Anda, diantara lebih dari 6 Milyar manusia, siapakah yang rela mengorbankan
nyawanya untuk Anda, kapan pun, dimana pun, dengan cara apapun ………..

Sumber : www.henlia.com
*--
RAHMADSYAH
Practitioner NLP I 081511448147 I Motivator & Mind-Therapist
www.facebook.com/rahmadsyahI YM ; rahmad_aceh
6.

Ukuran Sepatu, Empati, dan Toleransi

Posted by: "Dadang Kadarusman" dkadarusman@yahoo.com   dkadarusman

Tue Jan 26, 2010 8:19 pm (PST)



Hore,
Hari Baru!
Teman-teman.
 
Anda tentu masih ingat nasihat untuk ̢۪mengenakan sepatu orang lain̢۪. Maksudnya, kita dihimbau untuk bersedia menyelami perasaan dan pikiran orang lain. Suatu sikap yang mendasari lahirnya empati, dan toleransi. Kita tahu tidaklah mudah untuk benar-benar mampu menyelami jiwa orang lain. Namun, tahukah anda bagaimana rasanya menggunakan sepatu yang tidak sesuai dengan ukuran kaki anda sendiri?
 
Beberapa waktu lalu, saya bertugas memfasilitasi training tentang kepribadian selama 2 hari untuk sebuah perusahaan multinasional. Saya memutuskan membawa kendaraan sendiri, dan check-in sehari sebelumnya. LCD, sound system, setting ruangan, dan segala perlengkapan training untuk besok pagi sudah dipersiapkan semua. Sempurna.
 
Keesokan harinya pagi-pagi sekali, saya sudah ̢۪siap tempur̢۪. Tinggal mengenakan sepatu. Sepatu? Oh, iya. Sepatu saya masih dimobil. Itu tidak masalah, karena kamar yang saya tinggali punya tempat parkir sendiri. Sebentar dulu. Dimana kunci mobil saya? Nah, ini baru masalah. Saya lupa dimana meletakkan kunci mobil. Segigih apapun saya mencarinya dengan bantuan petugas hotel, kunci itu tidak kunjung ketemu. Sepatu saya masih terperangkap didalam mobil. Sedangkan satu jam lagi acara akan dimulai. Sementara mengharapkan ada toko sepatu yang sudah buka dipagi buta seperti itu sungguh tidak realistis. Sebagai solusinya, saya meminta petugas hotel mencarikan sepatu ̢۪menganggur̢۪ milik staf hotel yang boleh saya pinjam.
 
Saya tahu ini agak menggelikan. Tapi, layak dicoba. Walhasil, saya mendapatkan 2 pasang sepatu yang ditawarkan. Hebatnya, tak satupun yang sesuai dengan ukuran kaki saya. Yang nomor 42 jelas kebesaran. Sedangkan yang nomor 39 pasti kekecilan. Mana yang harus saya kenakan? Kalau saya pakai nomor 42, bisa-bisa copot tanpa sengaja ketika saya sedang bicara. Tapi, kalau memilih nomor 39, sudah terbayang betapa sakitnya kaki ini nanti. Akhirnya, saya meyakinkan diri sendiri bahwa lebih baik menahan rasa sakit, daripada menanggung resiko sepatu yang saya kenakan melayang mengenai peserta pelatihan dikelas saya. Rasa sakit ini juga sekaligus sebagai pelajaran dari keteledoran yang telah saya lakukan.
 
Sungguh, peristiwa itu mempertegas pesan nasihat tentang ̢۪menempatkan diri disepatu orang lain̢۪ itu. Hari itu, saya merasakan betapa tidak nyamannya mengenakan sepatu orang lain. Tidak nyaman dalam pengertian yang sesungguhnya. Saat sepatu itu kebesaran, maupun saat kekecilan. Sungguh tidak mungkin untuk membesarkan ukuran kaki kita supaya cocok pada sepatu yang kebesaran. Atau mengecilkan kaki supaya pas pada sepatu yang kekecilan. Mustahil untuk dilakukan.
 
Untungnya, ungkapan ̢۪menempatkan dirimu disepatu orang lain̢۪ itu tidak bermakna ̢۪sepatu sesungguhnya̢۪, dan bukan pula berarti ̢۪kaki̢۪ dalam pengertian fisikal. Melainkan bagaimana kita bisa menerima kenyataan bahwa orang lain memiliki kepribadian yang berbeda dengan diri kita. Dengan penerimaan itu, kita tidak lantas menghakimi orang lain hanya karena perbedaan yang ada. Sebaliknya, kita lebih memahami dan bersedia mengerti. Maka, ketika ̢۪sepatu̢۪ orang lain itu kebesaran, kita bisa membesarkan hati ini supaya sesuai dengan mereka. Sebaliknya, ketika sepatu orang lain kekecilan, kita tidak keberatan untuk mengecilkan egosentrisme ini. Sehingga, kita bisa lebih mampu memahami keadaan orang lain untuk memberi ruang bagi lahirlah empati dan toleransi yang tinggi.
 
Sebagai imbalannya, ketika kita bersedia menyesuaikan diri dengan orang lain, ada peluang untuk memperoleh ’penerimaan’ dari mereka. Penerimaan yang bukan dari keterpaksaan. Sebab, jika kita bersedia memahami keadaan orang lain, lalu  menunjukkan empati dan bertoleransi kepadanya; tentu mereka merasa senang karenanya. Padahal, tidak ada orang yang lebih menyenangkan untuk berhubungan selain mereka yang bersedia memahami dan menerima kita apa adanya. Sehingga, kesediaan untuk berempati memiliki nilai yang sangat tinggi.
 
Pertanyaannya adalah; apakah kita harus selalu ̢۪berada dalam sepatu orang lain̢۪ itu? Butuh waktu setengah hari bagi kurir untuk mengirimkan kunci cadangan dari rumah ke hotel itu. Begitu kunci cadangan tiba, saya segera mengambil sepatu dari mobil. Lalu, melepaskan sepatu pinjaman itu. Kemudian mengenakan sepatu saya sendiri. Sama seperti kepribadian. Kita tidak harus mengubah kepribadian untuk bisa menyesuaikan diri dengan orang lain. Karena, kita selalu bisa kembali kepada ̢۪kepribadian kita̢۪ yang sudah menjadi zona nyaman itu, kapan saja kita mau.
 
Sungguh, saya merasakan betapa nyamannya kembali menggunakan sepatu sendiri. Seolah saya disadarkan bahwa nikmat mengenakan sepatu sendiri itu sangat jarang untuk disyukuri. Setiap hari kita mengenakan sepatu yang nyaman. Namun, tidak setiap hari kita mensyukurinya. Setiap hari kita menerima berjuta nikmat dalam hidup. Namun tidak setiap hari kita bersungguh-sungguh mengucapkan terimakasih pada yang memberinya.
 
Seandainya Mas Joko sang pemilik sepatu yang saya pinjam itu mencoba memakai sepatu saya juga, mungkin saya bisa mengatakan bahwa dalam proses interaksi dengan orang lain; kita perlu ̢۪saling bertukar sepatu̢۪. Supaya kita bisa saling memahami satu sama lain. Dengan begitu, hubungan yang terbentuk menjadi seimbang.
 
Mari kita perhatikan. Pertengkaran-pertengkaran yang kita alami sering bersumber kepada egoisme. Atau perasaan benar sendiri. Ketika kita bersikeras dengan argumen-argumen kita. Dan pada saat yang sama orang lain juga ngotot dengan pendiriannya mereka. Jurang lebar yang menganga memisahkan kita. Sehingga tidaklah mungkin bagi kita untuk saling berjabat tangan.  Bukti bahwa egoisme dan sikap mau menang sendiri memiliki sifat kontra produktif.
 
Mari kita perhatikan. Kerukunan dan perdamaian yang berhasil kita ciptakan adalah buah dari saling pengertian. Atau rasa hormat kepada pendapat orang lain. Ketika kita berbesar hati untuk memberi tempat kepada argumen orang lain.  Dan pada saat yang sama orang lain juga menghormati pendirian kita. Tiba-tiba saja jarak yang begitu jauh seolah menjadi dekat. Lalu kita berjabat tangan, bahkan bisa sampai berpelukan. Bukti, bahwa empati dan toleransi memiliki sifat produktif.
 
Dunia yang indah, hanya bisa dihasilkan oleh orang-orang yang memiliki sikap dan perilaku yang indah. Karena, orang-orang yang berperilaku buruk tidak mungkin memberikan keindahan. Dunia yang bersih hanya bisa dihasilkan oleh orang-orang yang memiliki hati nurani yang bersih. Sebab, orang-orang yang hati nuraninya kotor, tidak mungkin bisa memberikan kebersihan. Sedangkan kebersihan hati, dan keindahan tingkah laku hanya bisa dimiliki oleh mereka yang bersedia menempatkan dirinya dalam sepatu orang lain. Karena dengan cara itu, kita bisa saling mengerti. Dan saling memahami.  Satu sama lain.
 
Mari Berbagi Semangat!
Dadang Kadarusman
Natural Intelligence & Mental Fitness Learning Facilitator  
http://www.dadangkadarusman.com/  
 
Catatan Kaki:
Saling pengertian adalah bentuk lain dari reaksi kimia yang membutuhkan kesetimbangan energi yang dikontribusikan oleh kedua belah pihak.
 
Melalui project Mari Berbagi Semangat! (MBS!) sekarang buku saya yang berjudul ”Belajar Sukses Kepada Alam” versi Bahasa Indonesia dapat diperoleh secara GRATIS. Jika Anda ingin mendapatkan ebook tersebut secara gratis silakan perkenalkan diri disertai dengan alamat email kantor dan email pribadi (yahoo atau gmail) lalu kirim ke bukudadang@yahoo.com

7.

Catatan Cinta Wanita Pekerja

Posted by: "dhimaskahar" dhimaskahar@yahoo.com   dhimaskahar

Tue Jan 26, 2010 8:24 pm (PST)



Usia muda tidak selalu identik dengan miskin pengalaman. Bunga misalnya, dalam usianya yang baru 28 tahun, ia sudah memiliki perjalanan hidup yang cukup panjang. Betapa tidak, belum juga usianya genap 30 tahun, Ibu dari satu anak ini sudah tiga kali menjadi janda. Untuk menghidupi anak semata wayangnya, saat ini Bunga bekerja sebagai buruh borongan dengan gaji 600 ribu per bulan di sebuah pabrik yang berlokasi di Kabupaten Tangerang.

Saya mengenal Bunga belum lama. Tubuhnya jangkung dan kulitnya bersih. Sangat ideal untuk mendapatkan gelar sebagai 'wanita yang cantik jelita'. Bahkan, mereka yang tidak mengetahui kehidupannya secara dekat pasti akan menyangka Bunga masih perawan. Bunga memang menawan, hanya sayang, banyak kumbang yang hinggap dalam kehidupannya sekedar ingin mencicipi madunya.

Maka jangan heran, di tempat kami bekerja, Bunga seperti permata di tengah kerikil yang berserakan. Ia cepat dikenal. Kurang dari satu bulan, ia sudah sedemikian fenomenal. Menjadi sosok dan buah bibir hampir seribu orang karyawan yang bekerja di perusahaan ini. Kemunculannya dikagumi sebagaimana layaknya sang juara.

Sudah saya bilang tadi, Bunga memang cantik dan memiliki pesona yang penuh dengan daya tarik. Padahal, menurut pengakuannya, menjadi buruh pabrik adalah sebuah pekerjaan yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Apalagi dengan status karyawan borongan, pekerjaan kasar, yang mengharuskannya 8 jam dalam sehari terkurung dibalik tebalnya dinding pabrik.

Bunga sendiri hanya berijazah SMP. Ia tidak sempat lulus SMA, karena sudah menikah saat duduk di bangku kelas tiga. Maka, barangkali pekerjaan borongan (dengan gaji kecil dan jam kerja yang panjang) inilah satu-satunya pekerjaan yang masih tersisa bagi pemegang ijazah SMP sepertinya.

Tidak usah diceritakan disini, atas sebab apa kembang desa ini memilih putus sekolah dan segera menikah. Namun, dalam sebuah kesempatan berbincang di kantin perusahaan, kepada saya ia mengatakan bahwa pekerjaan sebagai buruh borongan ini adalah demi anak semata wayangnya.

"Saya ingin menebus kesalahan masa lalu saya yang kelam," ujarnya pelan. Sudah sedari tadi, nasi di piring yang masih tersisa setengah tidak lagi disentuhnya.

"Saya ingin membiayai sekolah anak saya hingga sarjana dengan pekerjaan yang halal, Mas" lanjutnya. Bahkan sebelum saya merespon kalimatnya yang pertama.

"Baguslah," pikir saya. Lagipula, kata-kata apa yang pantas saya ucapkan dalam kondisi demikian. Memang sebaiknya saya tidak terlibat dalam pembicaraan yang terlalu jauh dengan Bunga. Wanita yang baru sebulan lalu saya kenal itu.

"Anak saya sekarang sekolah di pondok pesantren," lagi, kalimat itu keluar dengan antusias. Tanpa saya tanya.

Oh, lihatlah kawan, matanya berbinar saat mengucapkan kalimat itu. Wajahnya sumringah, dan senyum simpul di bibirnya nampak sekali sedang merekah. Dari suaranya, saya bisa menangkap kesan bahwa ia bangga sekali kepada anaknya. Naluri keibuannya sungguh mengesankan.

"Di Pesantren mana?"

"Di daerah Rangkas Bitung."

Pada detik berikutnya, pembicaraan diisi dengan cerita Bunga tentang anaknya. Ia mengaku, sudah sejak lama berniat menyekolahkan anaknya ke Pesantren. Dengan begitu, ia berharap anaknya akan mendapatkan pendidikan yang benar. Bukan hanya pengetahuan umum, namun juga mendalami ilmu agama. Tidak seperti dirinya, yang tersesat dalam pergaulan serba bebas, justru ketika masih muda.

"Lagi pula, kalau di pesantren ia akan dibimbing oleh ustad-ustadzahnya selama 24 jam. Saya tidak tahu apa-apa soal pendidikan anak," matanya mulai berkaca-kaca.

Meskipun saya tidak pernah melihat bagaimana putri kecil yang dibangga-banggakannya itu, namun saya semakin yakin kalau cinta kasih Bunga kepada anaknya sedemikian tulus. Saya kira, tadinya, Bunga adalah sosok yang cuek dan sangat tidak peduli dengan sekelilingnya. Nyatanya, ia gampang sekali menangis.

"Saya bercerai dengan dua orang mantan suami karena mereka tidak bisa memperlakukan anak saya seperti anaknya sendiri."

Kalau anaknya mendengar kalimat Bungan yang terakhir ini, saya yakin ia akan semakin bangga kepada ibunya.

Beruntung, bel tanda istirahat berakhir berbunyi. Kalau tidak, saya akan semakin merasa bersalah telah menyingkap jatidiri perempuan pekerja yang satu ini. Ia berjanji untuk mewujudkan mimpi anaknya yang bercita-cita menjadi seorang dokter, meskipun harus bekerja keras membanting tulang. Bunga bahkan sudah tidak lagi memikirkan dirinya sendiri. (*)

Cerita ini juga bisa dibaca di http://kaharscahyono.wordpress.com

8.

[Artikel] Kebijakan Obama & Prinsip Perbankan Syariah

Posted by: "ali" ali.hozi@yahoo.co.id   ali.hozi

Tue Jan 26, 2010 8:25 pm (PST)



By : Alihozi

Indeks harga saham dalam negeri kembali merosot mengikuti pelemahan yang terjadi di semua bursa regional dan global, para pengamat ekonomi mengatakan hal ini dipicu kekhawatiran pengetatan likuiditas di China dan kebijakan Presiden AS Barack Obama melarang perbankan AS untuk berinvestasi di bisnis pengelolaan dana (hedge fund) dan sahan-saham swasta. Larangan itu disampaikan Obama untuk mengurangi risiko dan mencegah terulangnya krisis ekonomi.

Pengumuman larangan Obama pada hari kamis tgl 21 Januari 2010 di Washington itu, membuat pasar saham di AS terguncang dengan berita tsb. Obama mengatakan " Kita telah melewati krisis yang mengerikan. Rakyat AS telah memembayarnya dengan harga mahal. Itulah sebabnya mengapa kita akan tetap dan mempelajari dan menghilangkan apa yang hampir membuat system finansial kita hancur berantakan, ujar Obama. (Kompas 23 Januari 2010).

Kebijakan Obama tsb yang melarang perbankan AS untuk berinvestasi di bisnis pengelolaan dana (hedge fund) dan saham-saham swasta tsb mengingatkan kita akan salah satu prinsip perbankan syariah yang sudah lama digunakan di Indonesia yaitu prinsip larangan bertransaksi MAYSIR. Transaksi Maysir yaitu semua bentuk perpindahan harta ataupun barang dari satu pihak kepada pihak lain tanpa melalui jalur akad yang telah digariskan syariah, namun perpindahan itu terjadi melalui permainan, seperti taruhan uang pada permainan kartu, sepakbola dan permainan pertaruhan saham.

Jadi sebenarnya ajaran Islam (Syariah) itu seperti larangan bertransaksi Maysir (yang menjadi prinsip perbankan syariah) sudah mulai dilakukan di negara AS untuk menyelamatkan negara tsb dari krisis ekonomi global serupa seperti pada tahun 2008. Ini adalah merupakan salah satu bukti bahwa ajaran Islam (Syariah) itu sebenarnya sangat cocok dengan seluruh ummat manusia bukan hanya untuk ummat muslim saja.

Firman Allah,SWT : " Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah), (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu, tidak ada perubahan pada fitrah Allah, itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.

Pertanyaanya sekarang : " Sudahkah Anda dan Keluarga Anda bertransaksi keuangan dengan perbankan syariah agar negara ini bisa terhindar dari krisis keuangan seperti yang melanda di AS ?

Wallahua'lam

Salam

http://alihozi77.blogspot.com

9a.

Maaf Mengganggu

Posted by: "Lygia Nostalina, Ms" lygianostalina@yahoo.com   lygianostalina

Tue Jan 26, 2010 8:56 pm (PST)



mohon bantuan teman2...

Aku punya sahabat yg lagi mendapat ujian dari Allah SWT. ibunda beliau harus dioperasi krn gagal ginjal dan pengangkatan tumor di rahim. Namun sayang operasi itu terpaksa ditunda karena kndisi keuangan yg tdk memungkinkan. Sahabatku itu hanyalah seorang guru honorer bergaji 200rb/bulan di daerah pelosok Bandung.

Oleh karenanya aku dan kawan2 berniat untuk membantu beliau dgn cara mengumpulkan dana dari teman2 yg mungkin terketuk hatinya untuk berbagi. Sementara operasi blm dpat dilaksanakan, sang ibu diharuskan melakukan cuci darah seminggu sekali dgn biaya yg tidak sedikit.

Bagi yg ikhlas membantu, dapat mentransfer ke Rekening BCA no 2080077842 atas nama Neneng Elly Herlina

Atau ke Rek Bank Syariah Mandiri norek 1887004420 atas nama Lygia Nostalina.

konfirmasi dapat dilakukan via Multiply, Facebook ( lygianostalina@yahoo.com / pecandu hujan ) atau YM lygianostalina@yahoo.com

Nuhun....

10.

[Puisi} Dunia Kita

Posted by: "Nia Robie'" musimbunga@gmail.com

Tue Jan 26, 2010 10:31 pm (PST)



*Dunia Kita*

Macam mana pula

Di layar kaca,

Dunia maya,

Dan nyata,

Banyak orang memicing mata,

Bertindak dengan ulah matanya,

Dan cibir halus senyum manis menusuk

Yang tak pernah mengantuk

Awas akan makhluk lain di kanan kirinya

Mendewakan popularitas belaka

Ah boleh jadi dunia gila

Tapi mau tak mau di dunia ini

Tempat kita makan lalu mengeluarkan sisa

Sekehendaknya

Sekebutuhannya

Maka jangan salah banyak orang menjadi cinta dunia

Gila memang gila

Namun mau bilang apa

Jelek-jelek begini dunia kita

Dan satu saat pun kita terkubur di dalamnya

Lalu mata yang memicing mulut yang mencibir

Tercatat sudah

Entah keputusan itu datang di kiri atau kanan bahu kita

Silahkan pilih yang mana

Dunia oh dunia

*terinspirasi dari obrolan 'bermanfaat' dengan mas Rama :D tengkyu..
Recent Activity
Visit Your Group
Sell Online

Start selling with

our award-winning

e-commerce tools.

Y! Messenger

PC-to-PC calls

Call your friends

worldwide - free!

Group Charity

GiveWell.net

Identifying the

best non-profits

Need to Reply?

Click one of the "Reply" links to respond to a specific message in the Daily Digest.

Create New Topic | Visit Your Group on the Web

Tidak ada komentar: