Jumat, 29 Januari 2010

[daarut-tauhiid] Hukum Wakaf Dengan Uang Tunai

http://www.dakwatuna.com

Hukum Wakaf Dengan Uang Tunai

Ekonomi Syari'ah

Oleh: Tim dakwatuna.com


Uang Tunaidakwatuna.com – Wacana pemberdayaan ekonomi umat melalui
sertifikasi wakaf dengan uang tunai yang lazim dikenal Sertifikat
Wakaf Tunai (Cash Waqf Certificate) tidak terlepas dari pendekatan
konseptual, sistematika dan metodologinya. Prof. Volker Nienhaus,
peneliti senior non muslim dan ahli ekonomi Islam dari Universitas
Bochum Jerman dalam artikelnya berjudul Islamic Economics: Policy
between Pragmatism and Utopia (1982) mengungkapkan empat formula
pendekatan kajian ekonomi Islam: pragmatis, resitatif, utopian, dan
adaptif.

Menurutnya, dari keempat pendekatan itu, yang paling banyak dipakai
adalah pendekatan resitatif. Berasal dari kata kerja recitation
(pembacaan, imlak, hafalan dan pengajian), adalah pendekatan mengacu
pada teks ajaran Islam Secara khusus, pendekatan ini di antaranya
mengacu pada hukum Fiqih Mu'amalah kalangan fuqaha yang disebutnya the
orthodox jurist. Termasuk kategori pendekatan ini, kajian yang
berorientasi teologis dan analisis moral yang pada perkembangan
selanjutnya melahirkan formula etika ekonomi seperti yang ditulis oleh
Dr. Yusuf Al-Qardhawi dalam Daurul Qiyam wal Akhlaq fi al-Iqtishad
al-Islami (1995). Dalam litaratur klasik pendekatan teologi akhlak
tersebut dikenal dengan Adab Al-Kasb wal Ma'asy seperti dikenalkan
Imam Al-Ghozali (w.505H) dalam Ihya' Ulumuddinnya.

Wakaf memasuki wilayah sistem ekonomi dapat dipahami bila disertai
kajian kritis mengenai paradigma ekonomi yang kesejatiannya membawa
kepada kemaslahatan (kesejahteraan sosial). Paradigma ekonomi yang
berlaku selama dua abad, bukan saja menunjukkan kerapuhan dasar
teoritisnya itu sendiri, bahkan asumsi-asumsi yang mendasarinya dan
kemampuannya untuk memprediksi perilaku di masa datang. Itulah yang
diungkap Dr. Khurshid Ahmad ketika memberi pengantar buku terbaru
Chapra The Future of Economics; An Islamic Perspective (2000). Diskusi
tidak lagi terbatas pada perubahan-perubahan di dalam paradigma;
perdebatan mengarah kepada kebutuhan akan adanya perubahan paradigma
itu sendiri. Tantangan ini, tulis Amitai Etzioni dalam The Moral
Dimension; Towards a New Economics (1988) adalah paradigma
utilitarian, rasionalistik, individualistik, neo-klasik yang
diterapkan bukan saja pada perekonomian, bahkan meningkat pada
berbagai aturan hubungan sosial.

Senada dengan pandangan itu, Critovan Buarque, ekonom dari Universitas
Brasil dalam bukunya The End of Economics: Ethics and the Disorder of
Progress (1993), melontarkan sebuah gugatan terhadap paradigma ekonomi
modern yang mengabaikan nilai-nilai sosial dan etika. Hal tersebut
menimbulkan efek negatif dalam bentuk yang disebut Fukuyama "kekacauan
dahsyat" dalam bukunya yang paling anyar, The End of Order (1997)
berkaitan dengan runtuhnya solidaritas keluarga dan sosial. Oleh
karena itu, wakaf menjadi jawaban tepat atas kekisruhan paradigma
ekonomi tersebut. Karena, wakaf membuktikan fenomena semangat
solidaritas sosial.

Wakaf tidak akan valid sebagai amal jariyah kecuali setelah
benar-benar pemiliknya menyatakan aset yang diwakafkannya menjadi aset
publik dan ia bekukan haknya untuk kemaslahatan umat. Dan wakaf tidak
akan bernilai amal jariyah (amal yang senantiasa mengalir pahala dan
manfaatnya) sampai benar-benar didayagunakan secara produktif sehingga
berkembang atau bermanfaat tanpa menggerus habis aset pokok wakaf.

Menurut A.Mannan (1998), unsur esensial wakaf berupa keputusan
penahanan diri dari menggunakan asset miliknya yang telah diwakafkan
(refraining) yang disertai penyerahannya kepada kemasalahaatan publik
menyiratkan tujuan pemanfaatannya secara optimal untuk kesejahteraan
masyarakat luas secara permanen dan kontinyu sebagaimana doktrin amal
jariah. Oleh karena itu, sangat relevan, terlepas dari perdebatan
fiqih, bolehnya wakaf dengan dana tunai (cash) dan bukan harta tetap.
Bahwa, gagasan sertifikat wakaf tunai dengan pola sertifikasi sebagai
bukti 'share holder' proyek wakaf guna pengawasan dan wasiat
pemanfaatan dari hasil (return) investasi dan pengelolaannya secara
produktif.

Substansi wacana wakaf tunai sebenarnya telah lama muncul. Bahkan,
dalam kajian fiqih klasik sekalipun seiring dengan munculnya ide
revitalisasi fiqih mu'amalah dalam perspektif maqashid syariah
(filosofi dan tujuan syariah) yang dalam pandangan Umar Chapra (1992)
bermuara pada Al-Mashalih Al-Mursalah (kemashlahatan universal)
termasuk upaya mewujudkan kesejahteraan sosial melalui keadilan
distribusi pendapatan dan kekayaan.

Dalam konteks ini, melalui pembahasan awal di Dewan Syariah Nasional
(DSN)-MUI yang ditindaklanjuti oleh keputusan rapat Komisi Fatwa – MUI
dalam mengakomodir kemaslahatan sejalan dengan maqashid asy-syari'ah
yang terdapat pada konsep wakaf tunai berdasarkan pendapat Az-Zuhri,
ulama madzhab Hanafi, Maliki dan Hanbali seperti Ibnu Taimiyah dan
Ibnu Qudamah, para ulama Indonesia telah memutuskan untuk membolehkan
wakaf tunai.

Isu kesejahteraan sosial dan ekonomi kerakyatan ternyata secara
empiris telah gagal dimanivestasikan sistem Sosialis maupun Kapitalis.
Bahkan, Keynes (1930) dengan menyerabot secara sepotong gagasan Ibnu
Khaldun berusaha mengusung slogan dan wacana kesejahteraan sekalipun
melalui gagasan model Negara Sejahtera (Welfare State) di Inggris dan
modifikasinya model New Deal yang dikembangkan oleh Franklin Delano
Rosevelt mengalami kemandulan. Pasalnya, format eksperimental tersebut
tidak menyentuh inti persoalan yang sesungguhnya. Yaitu, keadilan
ekonomi yang universal.

Sungguhpun dalam kajian utopian dunia Barat berusaha mengkongkretkan
cita-cita keadilan sosial, tapi tetap saja terjadi kerancuan dalam
pelaksanaannya. Kemandulan yang dihasilkan elaborasi teori dan praktek
yang dilakukan Filsuf sosial Amerika, John Rawls, dalam bukunya The
Theory of Justice (1971) yang ditanggapi oleh Robert Nozik dalam
bukunya Anarchy, State and Utopia (1974) telah menjadi contoh yang
merepresentasikan kegagalan teori keadilan perspektif Barat dalam
tataran impelentasi historis.

Sayyid Quthb (1964) pemikir Islam dari Mesir dengan gaya pendekatan
komprehensif dalam bukunya Al-'Adalah Al-Ijtima'iyah fil Islam
berhasil memformulasikan teori keadilan sosial dalam Islam dan
instrumen pendukungnya termasuk wakaf yang bukan sebatas teori utopis
belaka melainkan kajiannya berangkat dari fakta sejarah peradaban
Islam. Setelah mengupas pandangan Islam mengenai kasih sayang,
kebajikan, keadilan dan jaminan sosial yang menyeluruh antara orang
yang mampu dan yang tidak, antara kelompok yang kaya dan yang miskin,
antara individu dan masyarakat, antara pemerintah dan rakyat, bahkan
antara segenap umat manusia, Quthb selalu membeberkan fakta historis
bagaimana konsep tersebut membumi dalam perjalanan kesejarahan
generasi terbaik Islam.

Sebagai contoh, Quthb mengisahkan sepenggal fragmen sejarah
solidaritas kalangan sahabat; Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali. Di
antara impelementasi keadilan sosial melalui prakarsa wakaf dalam
pengalaman kesejarahan awal Islam telah dibuktikan Umar bin Khathab
sebagai warga sederhana bersedia secara ikhlas atas petunjuk Nabi saw.
untuk mewakafkan satu-satunya aset berharga yang dimilikinya berupa
sebidang tanah di Khaibar untuk kemaslahatan umat. Dengan menukil
pandangan Gibb untuk mendukung kritik sosialnya, Quthb menawarkan
sebuah tantangan bagi umat Islam untuk mengulang pengalaman sejarah
dalam mewujudkan kembali cita-cita keadilan sosial dengan modal
populasi umat yang begitu besar di wilayah Afrika, Pakistan dan
Indonesia. Menurutnya, hal itu sangat potensial memberi kontribusi
bagi kesejahteraan sosial secara luas.

Gagasan Wakaf Tunai yang dipopulerkan oleh M.A. Mannan melalui
pembentukan Social Investment Bank Limited (SIBL) di Banglades yang
dikemas dalam mekanisme instrumen Cash Waqf Certificate juga telah
memberikan kombinasi alternatif solusi mengatasi krisis kesejahteraan
yang ditawarkan Chapra. Model Wakaf Tunai adalah sangat tepat
memberikan jawaban yang menjanjikan dalam mewujudkan kesejahteraan
sosial. Ia juga mampu mengatasi krisis ekonomi Indonesia kontemporer
di tengah kegalauan pemberian insentif Tax Holiday untuk merangsang
masuknya modal asing. Model wakaf tunai juga bisa mengalahkan
kontroversi seputar policy pemerintah pada UKM yang belum mengena
sasaran dan menyentuh inti permasalahan. Wakaf Tunai sangat potensial
untuk menjadi sumber pendanaan abadi guna melepaskan bangsa dari jerat
hutang dan ketergantungan luar negeri sebagaimana disoroti ekonomi UI,
Mustafa E. Nasution (2001) dan menjadi keprihatinan kalangan pengamat
semisal Dr. Tulus Tambunan dalam Krisis Ekonomi dan Masa Depan
Reformasi (1998).

Wakaf Tunai sekaligus sebagai tantangan untuk mengubah pola dan
preferensi konsumsi umat dengan filter moral kesadaran akan
solidaritas sosial. Sehingga, tidak berlaku lagi konsep pareto optimum
yang tidak mengakui adanya solusi yang membutuhkan pengorbanan dari
pihak minoritas (kaya) guna meningkatkan kesejahteraan pihak yang
mayoritas (kaum miskin). Sebagaimana, gugatan Chapra dalam berbagai
tulisannya.

Berdasarkan laporan yang ditulis Maurice Allais peraih Nobel tahun
1988 dalam bidang ekonomi, dari sebanyak US$ 420 M uang yang beredar
di dunia per hari, hanya sebesar US$ 12,4 M (2,95%) saja yang
digunakan untuk keperluan transaksi. Sisanya, untuk keperluan
spekulasi dan judi. Sedangkan situasi yang diharapkan adalah bila
terjadi keseimbangan antara sektor moneter dan sektor riil. Sektor
moneter semestinya tidak berjalan sendiri meninggalkan sektor riil.

Oleh karena itu, sangat tepat bila penyaluran dana dalam bentuk
pembiayaan produktif ke sektor riil dimobilisir. Salah satunya, dengan
memberikan kredit mikro melalui mekanisme kontrak investasi kolektif
(KIK) semacam reksadana syariah yang dihimpun Sertifikat Wakaf Tunai
(SWT) kepada masyarakat menengah dan kecil agar memiliki peluang
usaha.

Pemberian skim kredit mikro ini cukup mendidik. Ibarat memberi kail,
bukan hanya ikan kepada rakyat. Hal itu diharapkan mampu menumbuhkan
kemandirian. Porsi bagi hasil untuk fund manager setelah dikurang
biaya oprasional dapat disalurkan untuk kebutuhan konsumtif dalam
menunjang kesejahteraan kaum fuqara melalui wasiat wakif ataupun tanpa
wasiatnya.

Dalam perkembangan kekinian di Indonesia, wacana wakaf tunai telah
muncul dan menjelma secara nyata dalam produk-produk funding lembaga
keuangan syariah dan Lembaga Amil zakat. Contohnya, Wakaf Tunai Dompet
Dhua'fa Republika, Wakaf Tunai PKPU dan Waqtumu (Waqaf Tunai Muamalat)
yang diluncurkan Baitul Muamalat – BMI.

Dalam sebuah konferensi yang dihadiri oleh para pemimpin negara
anggota PBB yang kategori termiskin dan maju di Brussel, Belgia pada
tanggal 14 Mei 2001, diangkatlah topik "Melebarnya Jurang antara Kaya
dan Miskin". Pada konferensi itu Presiden Perancis Jacques Chirac
menyatakan bahwa lebih separuh dari 630 juta penduduk di negara miskin
hidup dengan pendapatan kurang dari US$ 1 sehari. Meskipun terjadi
pertumbuhan global serta adanya bantuan pembangunan, namun jumlah
negara yang digolongkan PBB sebagai negara 'paling terbelakang' malah
meningkat dari 25 negara pada tahun 1971 menjadi 49 negara tahun 2001.
Yang dimaksud sebagai negara "paling terbelakang" adalah negara yang
angka pendapatan perkapitanya kurang dari US$ 900 per tahun.

Negara Indonesia saat ini hampir memenuhi semua ciri-ciri negara
miskin. Antara lain, pendapatan perkapita rendah, tingkat pertumbuhan
populasi tinggi, produktivitas rendah, pengangguran tinggi, penggunaan
sumber daya rendah, kelembagaan dan infrastruktur tidak memadai.
Karena itu, untuk mengurangi beban pemerintah dan rakyat, model Wakaf
Tunai sangat tepat untuk melancarkan ketersumbatan fungsi financial
intermediary. Sehingga, terjadi arus lancar penyaluran dana ke seluruh
anggota masyarakat. Sebagaimana, disebutkan Alquran terhadap pantangan
konsentrasi kekayaan (dulah bainal aghniya') pada segelintir anggota
masyarakat serta resistensi terhadap status idle (nganggur) bagi
segenap sumber daya dan asset yang bertentangan dengan kosep syukur.
(Lihat, QS.Al-Hasyr:7)

Dalam rangka mobilisasi dana masyarakat dan optimalisasi potensi
finansial umat untuk kemaslahatan perekonomian, gagasan Wakaf Tunai
akan dapat melengkapi UU No.17 tahun 2000 tentang perubahan ketiga
atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang pajak penghasilan. Di
mana, zakat dimasukkan sebagai faktor pengurang pajak. Di samping itu,
juga dapat mendukung lembaga-lembaga pengelola zakat dengan
diberlakukannya UU Pengelolaan Zakat Nomor 38 tahun 1999. Departemen
Agama sebagai otoritas keagamaan dan saat ini juga otoritas
administrasi wakaf secara proaktif telah memintakan fatwa kepada DSN
mengenai status hukum wakaf tunai guna penyempurnaan PP No. 28 Th 1977
agar lebih akomodatif dan ekstensif.

Selama ini sudah terdapat beberapa instrumen pendanaan seperti Zakat,
Infak dan Sedekah (ZIS). Masing-masing mempunyai kelebihan dan
kelemahan sendiri-sendiri. Selain instrumen yang telah ada tersebut,
tentunya sangat mendesak dan krusial dibutuhkan suatu pendekatan baru
dan inovatif sebagai pendamping mobilisasi dana umat lebih optimal.
Bukankah Nabi saw bersabda bahwa selain zakat ada kewajiban lain dalam
harta kita.

Dalam konteks ini, Indonesia saatnya belajar dari negara Bangladesh.
Melalui Social Investment Bank Limited (SIBL), Bangladesh menggalang
dana dari orang-orang kaya untuk dikelola dan disalurkan kepada rakyat
dalam bidang pendidikan, kesehatan, kesejahteraan sosial, melalui
mekanisme produk funding baru yang berupa sertifikat wakaf tunai (Cash
Waqf Certificate) yang akan dimiliki oleh pemberi dana tersebut. Dalam
Instrumen keuangan baru ini, sertifikat wakaf tunai merupakan
alternatif pembiayaan yang bersifat sosial dan bisnis.

Penerapan instrumen sertifikat wakaf tunai ini mampu menjadi salah
satu alternatif sumber pendanaan sosial (M.A.Mannan, 1999). Efek
kemaslahatan SWT sudah mulai terasa di Bangladesh. Memang, negara ini
tergolong miskin. Tapi, fasilitas pendidikan dan kesehatannya jauh
lebih baik dari Indonesia.

Selama ini, sumber dana pengentasan kemiskinan bersumber antara lain dari :

1. Pemerintah pusat, yang disalurkan melalui departemen-departemen dan
pemerintah daerah (pemda) masing-masing.

2. Pihak luar negeri, yang disalurkan melalui pemerintah,
organisasi-organisasi kemasyarakatan, LSM dan ada yang disalurkan
secara langsung kepada pihak yang membutuhkan.

3. Perusahaan swasta, yang disalurkan melalui badan-badan amal,
yayasan-yayasan, dll.

4. Masyarakat, dikumpulkan melalui BAZIS (Badan Amal Zakat, Infak dan
Sedekah) berupa zakat, infak dan sedekah masyarakat. Selain itu, ada
dana yang disalurkan langsung kepada masyarakat yang membutuhkan.
Masyarakat Islam juga mengkenal Wakaf, yaitu pemberian tanah atau
bangunan yang digunakan sepenuhnya untuk masyarakat sekitar
tanah/bangunan dimana wakaf tersebut berdiri. (Masyitha, 2001)

Dengan keterbatasan kemampuan pemerintah saat ini, timbul ide untuk
mencari alternatif sumber pendanaan yang lebih bersifat non formal.
Yaitu, dengan menggalang dana dari masyarakat Indonesia itu sendiri.
Partisipasi aktif segenap rakyat Indonesia yang mempunyai kelebihan
rezeki sangat diharapkan memperbaiki keadaan sekarang ini.

Berbagai pihak yang sangat peduli dengan situasi ini berusaha
menggalang dana dengan berbagai cara, seperti Dompet Dhuafa Republika,
Pos Keadilan Peduli Umat (PKPU), Baitul Maal Muamalat, Dompet Sosial
Ummul Qura, Pundi Amal SCTV, RCTI Peduli, Dompet Amal Pikiran Rakyat,
dll.

Berdasarkan fenomena di atas, dapat dikatakan bahwa potensi dana
masyarakat sangat besar. Berbagai badan amal tersebut, selain
mempunyai kelebihan masing-masing, juga mempunyai banyak kelemahannya,
seperti;

1. Badan amal tersebut biasanya didirikan secara sporadis dan kurang
terkoordinasi meskipun sekarang sudah ada badan akreditasi nasional
untuk lembaga penghimpun dana sosial.

2. Kurang sistematis dan koordinasinya pendistribusian bantuan, antara
badan amal yang satu dengan yang lain. Sehingga menimbulkan
ketidakmerataan bantuan tersebut yang pada akhirnya dapat menimbulkan
ketidakadilan.

3. Bila berwakaf dalam bentuk properti, hanya masyarakat di sekitar
properti itu saja yang dapat menikmati dan kurang menyebar.

4. Perangkap kemiskinan di Indonesia ini hanya dapat diatasi dengan
meningkatkan pendapatan dan kemampuan masyarakat/sumber daya manusia.
Sehingga kalau hanya ikan yang diberikan bukan kail-nya, jangan harap
kemiskinan ini akan dapat dientaskan di bumi Indonesia.

5. Bantuan dari badan sosial di atas kebanyakan efektif untuk membantu
dalam jangka pendek saja, tetapi kurang terprogram untuk jangka
panjang (long term).

Dari berbagai paparan di atas, keberadaan model wakaf tunai dirasakan
perlu sebagai instrumen keuangan alternatif yang dapat mengisi
kekurangan-kekurangan badan sosial yang telah ada. Dalam ajaran Islam,
ada yang dikenal dengan Wakaf. Penyaluran Wakaf ini sudah berlangsung
sangat lama di Indonesia. Wakaf menurut PP no. 28 Th 1977 adalah
perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian
dari harta kekayaannya yang berupa tanah milik dan melembagakannya
untuk selama-lamanya demi kepentingan peribadatan atau keperluan umum
lainnya sesuai dengan ajaran agama Islam.

Pemberi bantuan Wakaf yang disebut Wakif adalah orang atau orang-orang
atau badan hukum yang mewakafkan tanah miliknya. Biasanya wakaf ini
berupa properti seperti mesjid, tanah, bangunan sekolah, pondok
pesantren, dll. Di sisi lain, kebutuhan masyarakat saat ini juga
berupa dana tunai untuk meningkatkan kesejahteraannya.

Berdasarkan prinsip Wakaf tersebut, dibuatlah inovasi produk Wakaf
yaitu Wakaf Tunai. Yaitu, Wakaf tidak hanya berupa properti tapi
dengan dana (uang) secara tunai. Sebenarnya, ide dasar yang dirumuskan
oleh Prof. DR. M.A.Abdul Mannan dan telah diterapkan melalui Social
Investment Bank Limited (SIBL) di Bangladesh ini telah lama dilakukan
di Indonesia. Beberapa organisasi dan lembaga sosial keislaman sudah
menerapkannya dalam ukuran tradisional. Seperti, pembelian wakaf per
meter untuk pembebasan sebidang tanah guna pendirian maupun
pengembangan lembaga sosial maupun pendidikan dengan menerima bukti
(tanda) pembelian tertentu. Namun, wakaf yang ada lebih bersifat
konsumtif sosial (voluntary sector) dan belum berkembang menjadi
produktif komersial yang hasilnya untuk mustahiq.

Inti ajaran yang terkandung dalam amalan wakaf itu sendiri menghendaki
agar harta wakaf itu tidak boleh diam. Semakin banyak hasil harta
wakaf yang dapat dinikmati orang, semakin besar pula pahala yang akan
mengalir kepada pihak wakif. Dana yang dapat digalang melalui
Sertifikat Wakaf Tunai ini nantinya akan dikelola oleh suatu manajemen
investasi. Manajemen investasi dalam hal ini bertindak sebagai Nadzir
(pengelola dana wakaf) yang akan bertanggung jawab terhadap pengelola
harta wakaf.

Persoalannya sekarang, bagaimana model dan mekanisme penerapan
Sertifikat Wakaf Tunai ini dapat aplicable dan visible diterapkan di
Indonesia. Dengan menimbang dan mengakomodir keberatan kelompok
terhadap status hukum wakaf tunai seperti kalangan madzhab Syafi'i
yang mengkhawatirkan habisnya pokok wakaf, maka sangat mendesak untuk
dirumuskan dan diformulasikan model dan mekanisme semacam early
warning untuk mengontrol dan menghindari resiko pengurangan modal
wakaf dalam konteks risk management. Meskipun, dananya diputar dalam
investasi sektor riil, di samping alternatif menggunakan cara
konvensional asuransi dan penjaminan syariah.

Tergalinya potensi dana wakaf yang dahsyat sangat diharapkan melalui
impelemntasi Sertifikat Wakaf Tunai yang menyejahterakan masyarakat
secara terkoordinatif, sinergis, sitematis dan professional. Di
samping itu, tantangan integritas amanah dan kepercayaan (trust) bagi
pengelolaan dana sosial (volunteer) menjadi pemikiran bersama untuk
mewujudkan bentuk yang fit and proper bagi penerapan konsepnya.
Bukankah Allah selalu menjanjikan keberkahan dan kemaslahatan dalam
sistem sedekah pengganti sistem ribawi yang eksploitatif dan
memonopoli modal. Bukankah Allah juga menjanjikan keberkahan,
kemitraan, dan kebersamaan. Marilah kita gagas dan wujudkan bersama.

http://www.dakwatuna.com/2006/hukum-wakaf-dengan-uang-tunai/


------------------------------------

====================================================
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
website: http://dtjakarta.or.id/
====================================================Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/

<*> Your email settings:
Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/join
(Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
daarut-tauhiid-digest@yahoogroups.com
daarut-tauhiid-fullfeatured@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
daarut-tauhiid-unsubscribe@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/

Tidak ada komentar: