Perjalanan Taaruf
oleh Kelopakbiru
=====
Jika
melihat bulan, kata orang saya masih tergolong pengantin baru. Baru
satu bulan terhitung 28 Oktober yang lalu. Pengantin baru yang
benar-benar baru. Karena saya dan suami belum saling mengenal. Hanya
satu kali bertemu sebelum menikah. Satu bulan sebelumnya. Dan itu pun
tidak banyak bicara. Perkenalan mendalam baru dilakukan usai akad nikah.
Namun, pengantin baru ala saya bukanlah pengantin baru yang identik
dengan bulan madu. Sama sekali tak pernah terpikirkan dengan hal yang
nampaknya manis dan menyenangkan tersebut. Bagi saya, pernikahan ini
sudah merupakan sebuah anugerah dan rezeki yang tiada tara. Suami saya
merupakan pilihan terbaik yang Allah berikan kepada saya.
Meskipun sebenarnya suami seorang yang sibuk. Seorang yang sering
berada di luar rumah. Pekerjaannya di bidang sosial menuntutnya lebih
banyak mengurus masyarakat. Beberapa ipar agak sedih juga melihat
kondisi yang saya alami. Tiga hari usai menikah, saya langsung diboyong
ke Jakarta, tempat suami mencari nafkah.
Satu minggu kemudian, suami harus ke Padang mengirim bantuan untuk
korban gempa.
Beberapa ipar menyatakan maaf karena saya tidak bisa
merasakan kebahagiaan pengantin baru pada umumnya. Sering ditinggal dan
sebagainya. Tidak sempat jalan-jalan dan sebagainya.
Belum lagi dua minggu kemudian bapak mertua mengalami sakit parah
dan dibawa ke rumah sakit. Suami terpaksa izin kerja, dan kami langsung
meluncur ke kampung. Karena pertama kali naik kereta dari Jakarta, kami
salah jadwal. Tiga jam kami menunggu kedatangan kereta. Dalam jeda itu,
banyak hal yang saya lihat dari suami.
Termasuk bagaimana interaksinya dengan anak-anak jalanan. Bagaimana
ia menarik hati mereka, dan berkomunikasi dengan mereka. Kadang sok
kenal sok dekat, kadang supel sewajarnya. Perjalanan menggunakan kereta
api di malam hari, membuat kami lebih memilih mengobrol dengan teman
seperjalanan dibanding melihat keluar jendela.
Dari situ saya juga bisa tahu siapa suami saya. Bahwa ia ternyata
seorang yang suka sekali menambah saudara. Mudah berkenalan dengan
orang lain. Entah itu anak jalanan, teman seperjalanan, atau pedagang
asongan sekalipun. Sepanjang perjalanan, banyak hal yang baru saya
ketahui dari suami. Saya makin mengenal siapa dia.
Satu hari saya menemani suami menjaga bapaknya di rumah sakit.
Esoknya kami kembali ke Jakarta. Baru seminggu di Jakarta, bapak mertua
masuk rumah sakit lagi. Kali ini lebih parah. Selain tak bisa tidur,
beliau memanggil-manggil terus nama suami.
Seolah-olah beliau punya
pesan terakhir untuk suami.
Mau tidak mau, suami harus pulang kampung. Saya pun menemaninya ke
kampung lagi. Kembali merasakan indahnya perjalanan. Lalu sama-sama
menunggui bapak mertua di rumah sakit.
Kakak ipar kembali meminta maaf. "Maaf, ya, De. Pengantin baru
suguhannya sudah seperti ini" ujar beliau. Saya hanya tersenyum. Entah
mengapa saya tidak merasakan perjalanan bolak-balik ke kampung menjaga
bapak mertua yang sakit sebagai sebuah penderitaan. Sebaliknya, saya
merasakan perjalanan ini sebagai bulan madu kami.
Mungkin… karena
perjalanan tersebut justru membuat saya lebih dekat dan lebih mengenal
suami.
=====sumber:
Jadikanlah Sabar dan Shalat Sebagai Penolongmu. Dan Sesungguhnya Yang Demikian itu Sungguh Berat, Kecuali Bagi Orang-Orang yang Khusyu [ Al Baqarah : 45 ]
[Non-text portions of this message have been removed]
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
website: http://dtjakarta.or.id/
====================================================
Tidak ada komentar:
Posting Komentar