Rabu, 14 September 2011

[daarut-tauhiid] Sejarah Konflik Islam dan Kristen di Maluku

 

Sejarah Konflik Islam dan Kristen di Maluku
Rabu, 14/09/2011

Menurut Rustam Kastor dalam bukunya, Konspirasi Politik RMS dan Kristen
Menghancurkan Umat Islam di Ambon-Maluku (Wihdah Press: 2000 M), sejatinya
sejarah konflik antara kaum salibis dengan umat Islam adalah sebuah sejarah
perlawanan yang cukup panjang. Sejarah ini sudah berjalan ratusan tahun dengan
melibatkan banyak energi dan pengkajian. Jauh sebelum Bangsa Eropa tiba di
Maluku, para saudagar Nusantara telah berdagang penuh kedamaian dengan
masyarakat atau kerajaan-kerajaan Islam di Maluku.
Penyebaran agama Islam pun dilakukan dengan penuh perdamaian, sehingga relatif
segenap masyarakat Maluku telah memeluk agama Islam. Namun, pada tahun 1512
mulailah bangsa Portugis menemukan Maluku (Banda) dengan maksud mendapatkan
rempah-rempah langsung di bumi penghasilnya, hingga kemudian datanglah penjajah
Belanda pada tahun 1605.
Perlawanan Fisik Bersenjata.
Perdagangan yang semula damai, berkembang menjadi bentrokan fisik karena sikap
monopoli yang disertai penyebaran agama Kristen oleh pihak Belanda dengan
menggunakan kekuatan bersenjata. Dari situ mulailah terjadi sejumlah
peperangaan yang bukan saja semata-mata demi mempertahankan kedaulatan
kerajaan-kerajaan Islam di Maluku, tetapi juga berjuang mempertahankan aqidah
agama Islam.
Perlawanan dari Kerajaan-kerajaan Islam seperti Perang Hitu (1502-1605), Perang
Banda(1609-1621), Perang Hoamual (1625-1656), Perang Wawane (1633-1643), Perang
Kapaha (1636-1646), Perang Alaka (1625-1637), Perang Iha (1632-1651), dan
sejumlah perang yang dilancarkan oleh beberapa kesultanan di Maluku Utara, dan
terakhir Perang Tidore (1780-1805) yang dipimpin oleh Nuku yang sempat
menunjukkan kekuatan dan kebesarannya.
Sejumlah pahlawan perang Ummat Islam seperti Pattiwane, Kakiali, Gimelaka
Laliato, Gimelaka Lulu, Tulukabessy, Kiayi Lessy, Rijali, Khairubia, Kapitan
Ulupaha, Sudardi Monia Latuwirinnyai, Sultan Babullah, Sultan Khairun dan
terakhir Sultan Nuku adalah para pemimpin perang yang gagah berani mampu
mengalahkan penjajah di banyak medan pertempuran.
Namun pada gilirannya, Kerajaan-kerajaan Islam, secara bertahap dapat
dikalahkan oleh VOC yang kemudian menjadi Kompeni menggantikan kedudukan
Portugis, dengan memiliki armada dan kekuatan perang yang tangguh. Kala itu
pula, kegiatan perdagangan diwarnai pula dengan missi penginjilan secara paksa
yang dimulai dengan perkumpulan dagang VOC. Maka saat itu pula, perlawanan
masyarakat dan kerajaan Islam di Maluku berkembang menjadi sebuah medan jihad
mempertahankan aqidah.
VOC dan Kompeni Penjajah
VOC sebagai organisasi dagang, kemudian digantikan oleh Kompeni dengan kekuatan
bersenjata yang cukup besar. Hal ini kemudian menjadikan ekskalasi penindasan
terhadap Ummat Islam di Maluku mengalami peningkatan. Kekejaman yang mereka
lakukan pun memiliki kekejaman tiada tara. Sampai-sampai umat muslim tidak
kuasa lagi untuk menerimanya. Namum meski hidup dalam penindadsan, perlawanan
umat muslim terus berlanjut, ya walau mereka tidak mampu lagi untuk mengangkat
senjata.
Perlawanan Non Fisik/Tak Bersenjata.
Kerajaan-kerajaan Islam di Maluku telah berhasil dihancurkan satu demi satu,
tetapi tidak demikian dengan jiwa jihad umat muslim. Semangat kebencian mereka
terhadap penjajah yang telah merenggut kemerdekaan sekaligus memaksakan
keyakinan yang bertentangan dengan paham ke-Tauhidan Islam terus berjalan
seiring waktu.
Selanjutknya, bersamaan dengan kekalahan kerajaan-kerajaan Islam di Maluku,
maka terjadilah peperangan oleh kerajaan-kerajaan di Jawa, Sumatera, Sulawesi
dan Kalimantan melawan kolonial Belanda. Kerajaan-kerajaan inipun mengalami
nasib yang sama: mereka berhasil dikalahkan dan akhirnya dapat ditaklukkan oleh
pihak kafir Belanda.
Para pejuang yang tertangkap pun akhinya dibuang ke berbagai daerah di luar
Jawa diantaranya Maluku. Sebagai pejuang, mereka tidak pernah mau berhenti
memerangi kaum kafir Belanda. Dengan modal semangat perlawanan (pejuang) dan
keahlian ilmu agama Islam (Kiyai), mereka masuk ke dalam Ummat Islam di Maluku
dengan alasan kegiatan keagamaan, tetapi sesungguhnya mereka memimpin dan
menggerakkan perlawanan terhadap Belanda secara non fisik/tanpa bersenjata.
Terakhir yang bisa kita catat dari fakta ini adalah kedatangan Pangeran
Diponegoro dengan rombongan dalam status buangan Belanda. Bersama para
pengikutnya, Pangeran Diponegoro pun berdiam di kampung yang sekarang bernama
Kampung Diponegoro.
Para pejuang ini pun kemudian memimpin Ummat Islam di Maluku untuk melakukan
aksi pembangkangan yang memberikan pukulan berat bagi pihak penjajah.
Perlawanan non kooperatif/pembangkangan, adalah sebuah bentuk perlawanan yang
dilakukan secara diam-diam, yakni menolak bekerjasama dalam bentuk apa pun
dengan penjajah serta merongrong pada aspek-aspek tertentu dengan tujuan
melemahkan dan menggerogoti wibawa serta kekuatan pemerintah Belanda.
Perlawanan ini efektif pada 20-30 tahun pertama, saat para pemimpinnya aktif
memberikan petunjuk, arahan dan dorongan semangat. Namum perlawanan yang
memakan waktu seratus tahun lebih tersebut menjadi kurang efektif, sebab kurang
memiliki daya tahan. Pasalnya sederhana, tidak ada sebuah pembentukan kader dan
pemimpin lapangan yang akan melanjutkan perlawanan tersebut. Kegagalan
membentuk pemimpin pelanjut inilah yang mengakibatkan perlawanan menjadi kurang
terarah dan tidak punya tujuan yang jelas. Yang terjadi adalah semangat mereka
untuk tidak mau bekerja sama dan membangkang saja, tanpa mekanisme perjuangan
yang rapih.
Uniknya umat Islam masih bertahan. Pada waktu itu tidak ada Ummat Islam yang
bersedia menjadi serdadu Belanda, maupun menjadi guru dan pekerjaan-pekerjaan
yang senantiasa berada di bawah kendali Belanda. Ummat Islam lebih memilih
pekerjaan non formal seperti nelayan, pedagang kecil (wiraswasta), tukang dan
sejenisnya. Bahkan bersekolahpun ditolak, Ummat Islam lebih memilih pengajian
dan Madrasah.
Di luar Maluku, orang lebih mengenal orang Ambon adalah Kristen, hal ini
disebabkan oleh serdadu Belanda asal Maluku yang bertugas di luar Maluku (Jawa,
dsbnya) relatif tidak ada yang beragama Islam, sehingga terjadi opini bahwa
Ambon identik dengan nashrani.
Dalam kisah perlawanan tanpa senjata ini, barangkali perlu kita telusuri adanya
beberapa marga (Vam) di kota Ambon yang bukan marga asli dari Maluku seperti
Betawi, Bandung, Cirebon, Yogyakarta, Semarang, Surabaya, Padang, Diponegoro,
Aceh dan sebagainya. Yang jelas marga tersebut menunjukkan darimana mereka
berasal, sebab waktu itu semua orang harus mempunyai vam, mereka yang tidak
mempunyai vam memilih daerah asal mereka sebagai Vam.
Siapakah mereka ini, sekurang-kurangnya sebagiannya adalah para pejuang yang
dibuang oleh Belanda dulu. Mereka adalah para pejuang yang memimpin Ummat Islam
di Maluku untuk melakukan aksi pembangkangan/non kooperatif. Mengenai fakta
ini, Rustam Kastor dalam bukunyaKonspirasi Politik RMS dan Kristen Menghancurkan
Umat Islam di Ambon-Maluku, menulis.
"Tanyalah para tetua kita, bagaimana orang Waihaong, Talake,Silale, Soabali,
Batu Gajah (Diponegoro) Batu Merah, Pardeis dsb belajar silat? Mereka belajar
tertutup dalam rumah atau di halaman belakang agar tidak diketahui kaum
Nasrani. Bila ada Nasrani yang datang, latihan segera dihentikan agar tidak
diketahui jurus-jurusnya. Jadi para tetua itu belajar untuk menghadapi Penjajah
Belanda (dibenaknya) dan kaum Nasrani. Persis seperti kisah dalam serial film
Si Pitung dari Marunda."
Perlawanan terhadap penjajah Belanda yang berlangsung lebih 100 tahun itu,
sebagian besar terjadi tanpa koordinasi, bahkan tanpa pemimpin yang jelas
sehingga semangat melawan pemerintah kolonial tanpa disadari, berubah arah dan
tujuannya.
Banyak kerugian yang diderita Ummat Islam akibat proses perjuangan panjang
tanpa koordinasi dan pimpinan ini. Dan pada akhirnya hal ini menghasilkan
kondisi yang amat tidak menguntungkan seperti yang kita alami sekarang.
Ummat Islam di Maluku tertinggal hampir di semua aspek kehidupan berbangsa dan
bernegara secara fisik, baik tampak maupun yang tidak tampak tetapi terasa
sebagai suatu kenyataan. Setelah Indonesia merdeka, Ummat Islam di Maluku
mencapai banyak kemajuan disemua sektor, tetapi kita harus mengakui bahwa
dibandingkan dengan Ummat Kristen, ummat Islam masih terlalu terlambat, ibarat
berlomba dengan kaum yang menggunakan kendaraan, sedang kita berjalan kaki.
Dengan demikian jarak ketertinggalan Ummat muslim dari hari ke hari kian jauh,
sehingga barangkali kondisi ini dapat memicu kecemburuan sosial. Di sisi lain
kemajuan yang diperoleh Ummat Islam, terutama munculnya generasi muda
cendekiawan merupakan saingan bagi pihak Kristen yang walaupun dalam skala
rendah, mereka melihatnya sebagai ancaman yang membahayakan. Merasa adanya
ancaman (yang sesungguhnya tak seberapa besar), maka kerukunan yang selama ini
terjalin mulai goyah. Pihak Kristen melakukan aksi penghambatan dengan menutup
peluang bagi yang Islam di berbagai sektor strategis.
Ketidak adilan ini semakin terasa, sementara yang Islam hanya dapat merasakan
tetapi tidak ada upaya nyata untuk mengatasi persaingan itu. Lebih diperparah
lagi, bahwa barisan Ummat Islam masih tercerai berai dan terjadi pendangkalan
akidah yang kuat akibat tipu daya dunia. (pz)

[Non-text portions of this message have been removed]

__._,_.___
Recent Activity:
====================================================
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
       website:  http://dtjakarta.or.id/
====================================================
MARKETPLACE

Stay on top of your group activity without leaving the page you're on - Get the Yahoo! Toolbar now.


A bad score is 598. A bad idea is not checking yours, at freecreditscore.com.
.

__,_._,___

Tidak ada komentar: