14 Tahun menanti untuk berqurban
Dadang, 33 tahun, seorang buruh pabrik di Bandung, Jawa
Barat. Sebagai buruh pabrik hanya hanya lulusan SLTA, gaji
yang diterimanya pun pas-pasan. "Hanya bertahan di sepekan
pertama setelah gajian," terangnya tentang seberapa cukup
gaji yang diterima
nya untuk menopang hidup. Hari-hari selanjutnya setelah
pekan pertama itu, ia jalani dengan penuh keprihatinan.
Beruntung ia masih memiliki sepeda untuk ke tempat kerja
nya, sementara isterinya mencari penghasilan tambahan
dengan mencuci pakaian tetangganya.
Namun, keterbatasan dan kekurangan tak pernah menyurutkan
niatnya untuk bisa berqurban. "Malu saya jika setiap tahun
hanya menjadi penerima daging q urban. Saya kira jauh
lebih nikmat jika kita sendiri yang berqurban,"
semangatnya tak pernah padam jika bicara tentang dua
impiannya, berqurban dan pergi ke tanah suci. Tetapi
menurut nya, tahap pertama dan yang paling mungkin ia
lakukan adalah berqurban.
Ternyata, berqurban bagi seorang Dadang bukanlah hal
mudah. Tahun 1991, ketika baru lulus SLTA dan mendapatkan
pekerjaan, ia langsung bertekad, "Saya ingin berhaji suatu
saat, semoga cita-cita yang terkabul," sembari
menambahkan, target pertama sebelum berhaji adalah membeli
seekor kambing untuk diqurbankan. Saat itu ia belum
menikah dan masih tinggal bersama orang tuanya. Sebagai
anak pertama dari empat bersaudara, ia merasa berkewajiban
untuk membantu meringankan beban orangtuanya dengan
memberi sebagian penghasilannya untuk biaya sekolah
adik-adiknya. "Gaji saya waktu itu cuma dua ratusan ribu,
sebagian untuk biaya sekolah adik, sebagian lainnya
disimpan untuk pegangan".
Lima ribu rupiah, nilai yang bisa di tabungnya setiap
bulan untuk meraih impiannya berqurban. "Tidak peduli
perlu waktu berapa tahun untuk bisa terkumpul uang seharga
seekor kambing, yang penting tekad saya harus seratus
persen," tegasnya bersemangat. Tentang tekadnya ini, ia
tak pernah berkompromi untuk urusan dan kebutuhan apa pun,
yang pasti lima ribu rupiah harus ditabung setiap
bulannya.
Tekad seratus persen memang semestinya tak boleh
terkalahkan oleh apa pun. Empat tahun bekerja mengumpulkan
uang antara lima sampai sepuluh ribu setiap bulannya,
Dadang mengantongi cukup uang untuk membeli seekor kambing
untuk berqurban. Bahkan keinginannya untuk melanjutkan
sekolah di tahun 1995 ia redam demi seekor hewan qurban.
Pekan ketiga di bulan Ramadhan 1417 H, berbinar mata
Dadang menerima Tunjangan Hari Raya (THR). Bukan karena ia
bisa membeli baju baru, tetapi karena ia merasa punya
tambahan untuk membeli seekor kambing untuk qurban di hari
raya Idul Adha.
Tetapi di tahun itu juga, saat wajahnya be rseri menjelang
terwujudnya impian untuk berqurban, Dadang harus ikhlas
merelakan uang untuk membeli seekor kambing dipakai untuk
biaya masuk sekolah adiknya. "Saya ikhlas. Pasti Allah
yang mengatur semua ini, dan saya percaya masih ada
kesempatan saya di tahun-tahun depan," sebuah pemelajaran
berharga tentang makna berqurban sesungguhnya.
Dadang tak putus asa. Ia kembali merajut hari, menghitung
penghasilannya sebagai buruh pabrik serta menyisihkan
sebagian kecil untuk ditabung. "Untuk hewan qurban impian
saya," jelasnya. Setelah sekitar tiga tahun menabung,
cobaan atas tekadnya itu kembali datang, kali ini
cobaannya berupa keinginan Dadang untuk menikah. "Usia
saya sudah pantas untuk menikah, lagi pula sudah ada
calonnya. Saya tidak ingin berlama-lama punya hubungan
tanpa status, takut dosa," lagi-lagi uang tabungannya
terpakai untuk menikah. Saat itu, Dadang sedikit berkilah,
"Toh sama-sama ibadah".
Hari-hari setelah menikah dibayangkan Dadang akan semakin
m udah baginya untuk menabung demi hewan qurban impiannya.
Sebab, pikir Dadang, kini ia tak sendirian menabung. Ia
bisa mengajak isterinya yang juga bekerja untuk ikut
menabung agar di tahun depan bisa membeli hewan qurban.
Konon, kenyataan hidup tak pernah seindah mimpi. Begitu
pula yang dialami Dadang selama bertahun-tahun mengarungi
bahtera rumah tangga bersama isterinya, Yenni. Terlebih
setelah melahirkan putra pertama mereka satu tahun setelah
menikah, Yenni tak lagi bekerja. Dadang pun harus
sendirian membanting tulang menafkahi keluarga, belum lagi
permintaan orang tuanya untuk ikut membantu biaya
pendidikan adik bungsunya. Tetapi dalam keadaan seperti
itu, Dadang selalu teringat niatnya beberapa tahun lalu
untuk bisa berqurban. "Semoga tak hanya tinggal impian,
saya masih bertekad mewujudkannya,
lamunannya.
Meski sedikit, ia paksakan diri untuk terus menabung.
Kadang, tabungan yang terkumpul terganggu oleh kebutuhan
dapur atau su su si kecil. Kebutuhannya bertambah besar,
dengan bertambahnya anggota keluarga di rumah Dadang.
Dengan dua anak, si sulung butuh biaya sekolah, sedangkan
si kecil perlu susu dan makanan bergizi, nampaknya Dadang
harus mengubur dalam-dalam mimpinya untuk berqurban,
apalagi pergi haji ke tanah suci.
Dadang, lelaki berbadan kurus itu tetap menggenggam tekad
berqurbannya dalam genggamannya. Ia tak pernah melepaskan
dan membiarkan mimpinya terbang tak berwujud. Setelah
empat belas tahun menunggu, tahun 1428 H, impiannya untuk
berqurban terwujud sudah. Sebuah perjuangan maha berat
selama bertahun-tahun yang dilewatinya terasa begitu
ringan setelah ia melunasi mimpinya menyembelih hewan
qurbannya dengan tangannya sendiri.
Cermin kepuasan tersirat di wajahnya. Empat belas tahun,
waktu yang takkan pernah dilupakan sepanjang hidupnya
untuk sebuah mimpi. "Target saya berikutnya adalah
berhaji, entah berapa lama waktu saya untuk mewujudkannya.
Saya tak peduli," ujarnya sa mbil tersenyum.
***
Seberapa berat perjuangan dan pengorbanan kita untuk
melakukan sesuatu? (Ryan Potlot)
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
===================================================
website: http://dtjakarta.or.id/
===================================================
Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Daily Digest | Switch format to Traditional
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe
__,_._,___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar