Messages In This Digest (25 Messages)
- 1a.
- (Lonceng) SK Junior Bang Nursalam Nongol ke Bumi From: bujang kumbang
- 1b.
- Re: (Lonceng) SK Junior Bang Nursalam Nongol ke Bumi From: Lia Octavia
- 1c.
- Re: (Lonceng) SK Junior Bang Nursalam Nongol ke Bumi From: novi_ningsih
- 1d.
- Re: (Lonceng) SK Junior Bang Nursalam Nongol ke Bumi From: Bu CaturCatriks
- 1e.
- Re: (Lonceng) SK Junior Bang Nursalam Nongol ke Bumi From: WORD SMART CENTER
- 1f.
- Re: (Lonceng) SK Junior Bang Nursalam Nongol ke Bumi From: galih@asmo.co.id
- 1g.
- Re: (Lonceng) SK Junior Bang Nursalam Nongol ke Bumi From: patisayang
- 1h.
- Re: (Lonceng) SK Junior Bang Nursalam Nongol ke Bumi From: Rini Agus Hadiyono
- 1i.
- Re: (Lonceng) SK Junior Bang Nursalam Nongol ke Bumi From: Nursalam AR
- 1j.
- Re: (Lonceng) SK Junior Bang Nursalam Nongol ke Bumi From: sismanto
- 1k.
- Re: (Lonceng) SK Junior Bang Nursalam Nongol ke Bumi From: magnet zone
- 2.
- (inspirasi) Belajar Dari Seorang Rama From: Yulia Savitri
- 3.
- Hari Yang Paling menyenangkan Buat Aldy From: agussyafii
- 4.
- (Rampai) Untuk direnungkan From: satya aditya
- 5a.
- Re: [Ruang Baca] 5 Cm From: Rini Agus Hadiyono
- 6.
- Lakukan semampumu From: syahrenan
- 7a.
- Allahku Cinta... From: Ummu Alif
- 8a.
- [catcil] Hari Pertama Menjadi Ayah From: Nursalam AR
- 8b.
- Re: [catcil] Hari Pertama Menjadi Ayah From: Nurhadi@tecsg.com.sg
- 8c.
- Re: [catcil] Hari Pertama Menjadi Ayah From: Rini Agus Hadiyono
- 8d.
- Re: [catcil] Hari Pertama Menjadi Ayah From: Siwi LH
- 8e.
- Re: [catcil] Hari Pertama Menjadi Ayah From: sismanto
- 10a.
- Re: Mohon doa Untuk Istri Nursalam From: apriyanto aris
- 11.
- Bls: [sekolah-kehidupan] Re: (Lonceng) SK Junior Bang Nursalam Nongo From: Lily Ceria
Messages
- 1a.
-
(Lonceng) SK Junior Bang Nursalam Nongol ke Bumi
Posted by: "bujang kumbang" bujangkumbang@yahoo.co.id bujangkumbang
Tue Nov 18, 2008 5:11 am (PST)
Telah beronjol SK JUnior dari Bang Nursalam AR dan Yuni Meganingrum nyang diberi nama Muhammad Alham Navid dengan BB: 3,150 kg TB: 50 cm. Ngebrojol di RS Ps. Rebo Jkt Timur nyang lahir pada hari Selasa, 18 November 2008 melalui operasi caesar. Moga menjadi anak yang shale dan pintar kayak bokapnya. Jago nulis...hehehe. Selamat ya Bang....(Akhirnya BangFy duluan yang ngabarin ke millis ESKA...hehehe)
_____________________ _________ _________ _________ _________ _
Dapatkan alamat Email baru Anda!
Dapatkan nama yang selalu Anda inginkan sebelum diambil orang lain!
http://mail.promotions. yahoo.com/ newdomains/ id/ - 1b.
-
Re: (Lonceng) SK Junior Bang Nursalam Nongol ke Bumi
Posted by: "Lia Octavia" liaoctavia@gmail.com octavialia
Tue Nov 18, 2008 5:49 am (PST)
Alhamdulillah... selamat ya buat Mas Nur & Mbak Yun. semoga Alvan menjadi
anak yang soleh dan bermanfaat bagi orang banyak. Amin.
Salam
Lia
On 11/18/08, bujang kumbang <bujangkumbang@yahoo.co. > wrote:id
>
> Telah beronjol SK JUnior dari Bang Nursalam AR dan Yuni Meganingrum
> nyang diberi nama Muhammad Alham Navid dengan BB: 3,150 kg TB: 50 cm.
> Ngebrojol di RS Ps. Rebo Jkt Timur nyang lahir pada hari Selasa, 18 November
> 2008 melalui operasi caesar. Moga menjadi anak yang shale dan pintar kayak
> bokapnya. Jago nulis...hehehe. Selamat ya Bang....(Akhirnya BangFy duluan
> yang ngabarin ke millis ESKA...hehehe)
>
> --------------------- ---------
> Dapatkan nama yang Anda sukai!
> <http://sg.rd.yahoo.com/ >id/mail/domainch oice/mail/ signature/ *http://mail. promotions. yahoo.com/ newdomains/ id/
> Sekarang Anda dapat memiliki email di @ymail.com dan @rocketmail.com.
>
>
>
- 1c.
-
Re: (Lonceng) SK Junior Bang Nursalam Nongol ke Bumi
Posted by: "novi_ningsih" novi_ningsih@yahoo.com novi_ningsih
Tue Nov 18, 2008 7:43 am (PST)
Alhamdulillah :)
Begitu baca sms, langsung legaaaaaaaaaaa
siang-siang, cuma bisa sms-an dan ym-an sama temen-temen tentang kabar
terbaru dari mas nursalam... mau nelepon ga berani, pasti lagi panik
ya, mas nur :)
Inget kakak ipar yang dulu banyak diem pas kakak mau melahirkan...
sampe-sampe ketika waktunya dekat, aku harus cari dia yang lagi di
masjid...
selamat ya mas nur dan mba yuni :)
Hayu, sapa yang mau nengok?
Abinya Iman nengok apa ga?
mbak lia??
--- In sekolah-kehidupan@yahoogroups. , "Lia Octavia"com
<liaoctavia@...> wrote:
>
> Alhamdulillah... selamat ya buat Mas Nur & Mbak Yun. semoga Alvan
menjadi
> anak yang soleh dan bermanfaat bagi orang banyak. Amin.
>
> Salam
> Lia
>
>
> On 11/18/08, bujang kumbang <bujangkumbang@...> wrote:
> >
> > Telah beronjol SK JUnior dari Bang Nursalam AR dan Yuni
Meganingrum
> > nyang diberi nama Muhammad Alham Navid dengan BB: 3,150 kg TB: 50 cm.
> > Ngebrojol di RS Ps. Rebo Jkt Timur nyang lahir pada hari Selasa,
18 November
> > 2008 melalui operasi caesar. Moga menjadi anak yang shale dan
pintar kayak
> > bokapnya. Jago nulis...hehehe. Selamat ya Bang....(Akhirnya BangFy
duluan
> > yang ngabarin ke millis ESKA...hehehe)
> >
> > --------------------- ---------
> > Dapatkan nama yang Anda sukai!
> >
<http://sg.rd.yahoo.com/ >id/mail/domainch oice/mail/ signature/ *http://mail. promotions. yahoo.com/ newdomains/ id/
> > Sekarang Anda dapat memiliki email di @ymail.com dan @rocketmail.com.
> >
> >
> >
>
- 1d.
-
Re: (Lonceng) SK Junior Bang Nursalam Nongol ke Bumi
Posted by: "Bu CaturCatriks" punya_retno@yahoo.com punya_retno
Tue Nov 18, 2008 3:35 pm (PST)
gyaaaaaaaaaaaa
alhamdulillah...
selamat ya, mas nur dan mbak yuni
semoga menjadi anak yg shaleh, berguna bagi nusa dan bangsa :)
-retno&catur-
--- In sekolah-kehidupan@yahoogroups. , "novi_ningsih"com
<novi_ningsih@...> wrote:
>
> Alhamdulillah :)
>
> Begitu baca sms, langsung legaaaaaaaaaaa
>
> siang-siang, cuma bisa sms-an dan ym-an sama temen-temen tentang
kabar
> terbaru dari mas nursalam... mau nelepon ga berani, pasti lagi
panik
> ya, mas nur :)
>
> Inget kakak ipar yang dulu banyak diem pas kakak mau melahirkan...
> sampe-sampe ketika waktunya dekat, aku harus cari dia yang lagi di
> masjid...
>
> selamat ya mas nur dan mba yuni :)
>
>
> Hayu, sapa yang mau nengok?
> Abinya Iman nengok apa ga?
> mbak lia??
>
>
>
>
> --- In sekolah-kehidupan@yahoogroups. , "Lia Octavia"com
> <liaoctavia@> wrote:
> >
> > Alhamdulillah... selamat ya buat Mas Nur & Mbak Yun. semoga Alvan
> menjadi
> > anak yang soleh dan bermanfaat bagi orang banyak. Amin.
> >
> > Salam
> > Lia
> >
> >
> > On 11/18/08, bujang kumbang <bujangkumbang@> wrote:
> > >
> > > Telah beronjol SK JUnior dari Bang Nursalam AR dan Yuni
> Meganingrum
> > > nyang diberi nama Muhammad Alham Navid dengan BB: 3,150 kg TB:
50 cm.
> > > Ngebrojol di RS Ps. Rebo Jkt Timur nyang lahir pada hari
Selasa,
> 18 November
> > > 2008 melalui operasi caesar. Moga menjadi anak yang shale dan
> pintar kayak
> > > bokapnya. Jago nulis...hehehe. Selamat ya Bang....(Akhirnya
BangFy
> duluan
> > > yang ngabarin ke millis ESKA...hehehe)
> > >
> > > --------------------- ---------
> > > Dapatkan nama yang Anda sukai!
> > >
>
<http://sg.rd.yahoo.com/ id/mail/domainch oice/mail/ signature/ *http://m
ail.promotions.yahoo.com/ newdomains/ id/>
> > > Sekarang Anda dapat memiliki email di @ymail.com dan
@rocketmail.com.
> > >
> > >
> > >
> >
>
- 1e.
-
Re: (Lonceng) SK Junior Bang Nursalam Nongol ke Bumi
Posted by: "WORD SMART CENTER" wordsmartcenter@yahoo.com wordsmartcenter
Tue Nov 18, 2008 4:12 pm (PST)
alhamdulillah
smoga Alham Navid menjadi anak sholeh
dan tabungan meraih surga
udo+ami=fatih/fathin
--- On Tue, 11/18/08, bujang kumbang <bujangkumbang@yahoo.co. > wrote:id
From: bujang kumbang <bujangkumbang@yahoo.co. >id
Subject: [sekolah-kehidupan] (Lonceng) SK Junior Bang Nursalam Nongol ke Bumi
To: sekolah-kehidupan@yahoogroups. com
Date: Tuesday, November 18, 2008, 1:11 PM
Telah beronjol SK JUnior dari Bang Nursalam AR dan Yuni Meganingrum nyang diberi nama Muhammad Alham Navid dengan BB: 3,150 kg TB: 50 cm. Ngebrojol di RS Ps. Rebo Jkt Timur nyang lahir pada hari Selasa, 18 November 2008 melalui operasi caesar. Moga menjadi anak yang shale dan pintar kayak bokapnya. Jago nulis...hehehe. Selamat ya Bang....(Akhirnya BangFy duluan yang ngabarin ke millis ESKA...hehehe)
Dapatkan nama yang Anda sukai!
Sekarang Anda dapat memiliki email di @ymail.com dan @rocketmail. com.
- 1f.
-
Re: (Lonceng) SK Junior Bang Nursalam Nongol ke Bumi
Posted by: "galih@asmo.co.id" galih@asmo.co.id
Tue Nov 18, 2008 5:21 pm (PST)
Selamat Mas Nursalam, akhirnya SK Junior bertambah lagi.
Semoga keluarga Mas Nur menjadi tambah lengkap kebahagiaannya.
Salam,
Galih
bujang kumbang <bujangkumbang@yahoo.co. >id
Sent by: sekolah-kehidupan@yahoogroups. com
11/18/2008 08:11 PM
Please respond to sekolah-kehidupan
To: sekolah-kehidupan@yahoogroups. com
cc:
Subject: [sekolah-kehidupan] (Lonceng) SK Junior Bang Nursalam Nongol ke Bumi
Telah beronjol SK JUnior dari Bang Nursalam AR dan Yuni Meganingrum nyang
diberi nama Muhammad Alham Navid dengan BB: 3,150 kg TB: 50 cm. Ngebrojol
di RS Ps. Rebo Jkt Timur nyang lahir pada hari Selasa, 18 November 2008
melalui operasi caesar. Moga menjadi anak yang shale dan pintar kayak
bokapnya. Jago nulis...hehehe. Selamat ya Bang....(Akhirnya BangFy duluan
yang ngabarin ke millis ESKA...hehehe)
Dapatkan nama yang Anda sukai!
Sekarang Anda dapat memiliki email di @ymail.com dan @rocketmail.com.
- 1g.
-
Re: (Lonceng) SK Junior Bang Nursalam Nongol ke Bumi
Posted by: "patisayang" patisayang@yahoo.com patisayang
Tue Nov 18, 2008 5:49 pm (PST)
Kayaknya si Navid ini nih yang paling heboh n ditunggu kelahirannya.:)
Aku aja dari sejak diberitahu mau operasi tgl 18 udah seperti ikut
menghitung jam. Lha, secara pernah caesar juga gitu loh. Bedanya,
yang ini Yuni n Salam udah bisa siap-siap jauh2 hari. Nggak sepertiku
yang mendadak sontak 2 jam sebelumnya. ^_^
Alhamdulillah, satu langkah awal telah tertunaikan. Selamat menikmati
nyeri n sengkring2nya Yun. Enjoy aja, jangan dibawa manja, biar cepat
sembuhnya. Udah dapet obatnya kan? Kalo soal nyeri jahitan udah bisa
ditangani, siap-siap aja buat ngrasain nikmatnya nyeri '2 bendungan
yang mau jebol'.
Buat Salam, ikutan jaga malam ya. Hehe... Kan udah biasa jadi
nokturnal. Nulis sekalian jaga baby. :)
salam,
Indar
--- In sekolah-kehidupan@yahoogroups. , bujang kumbangcom
<bujangkumbang@...> wrote:
>
> Telah beronjol SK JUnior dari Bang Nursalam AR dan YuniĆ
Meganingrum nyang diberi nama Muhammad Alham Navid dengan BB: 3,150
kg TB: 50 cm. Ngebrojol di RS Ps. Rebo Jkt Timur nyang lahir pada
hari Selasa, 18 November 2008 melalui operasi caesar. Moga menjadi
anak yang shale dan pintar kayak bokapnya. Jago nulis...hehehe.
Selamat ya Bang....(Akhirnya BangFy duluan yang ngabarin ke millis
ESKA...hehehe)
>
>
>
>
_____________________ _________ _________ _________ _________ _
> Dapatkan alamat Email baru Anda!
> Dapatkan nama yang selalu Anda inginkan sebelum diambil orang lain!
> http://mail.promotions. yahoo.com/ newdomains/ id/
>
- 1h.
-
Re: (Lonceng) SK Junior Bang Nursalam Nongol ke Bumi
Posted by: "Rini Agus Hadiyono" rinurbad@yahoo.com rinurbad
Tue Nov 18, 2008 6:02 pm (PST)
Subhanallah, alhamdulillah.
Turut berbahagia atas lahirnya 'Ilham Menggembirakan' (Alham Navid).
Semoga menjadi putra yang menebarkan berkah hangat cinta..merekatkan
kemesraan ayah-ibunya dalam lindungan Sang Maha Penyayang. Amin.
Rini Nurul Badariah dan Agus Hadiyono
- 1i.
-
Re: (Lonceng) SK Junior Bang Nursalam Nongol ke Bumi
Posted by: "Nursalam AR" nursalam.ar@gmail.com
Tue Nov 18, 2008 6:35 pm (PST)
@ Fiyan: Iya, Fy, thx ya dah woro-woro ke milis SK. Makasih doanya!
@ Lia Octavia : Makasih, Mbak Lia. Ralat, bukan 'Alvan' tapi 'Alham';p.
@ Novi Ningsih: Novi, kamu tetap yang pegang rekor lho paling banyak sms aku
J. Thx sms-nya, untuk motivasi dan pengalih ketegangan,hehe�
@ Catur & Retno: Maaf, jawabnya via milis ya. Terma kasih banyak doanya.
Nanti anakku main deh sama tante Retno. Minta diajarin senam Sherina
katanya,haha..
@ Udo Yamin: Amin, allahumma amin...
@ Galih: Amin�Kapan nyusul lho? (lhoh!);p
@ Mbak Indar: hehe�si Alham Navid ini calon seleb kali yah,hehe�Matur nuwun
sanget atas tips-tipsnya, Mbak, sesame sesame caesarian (halah!)
@ Mbak Rinurbad + Mas Agus : terima kasih banyak untuk panduannya. Juga buku
gratisnya:). Moga Allah balas yang terbaik untuk kalian berdua.
2008/11/18 bujang kumbang <bujangkumbang@yahoo.co. >id
> Telah beronjol SK JUnior dari Bang Nursalam AR dan Yuni Meganingrum
> nyang diberi nama Muhammad Alham Navid dengan BB: 3,150 kg TB: 50 cm.
> Ngebrojol di RS Ps. Rebo Jkt Timur nyang lahir pada hari Selasa, 18 November
> 2008 melalui operasi caesar. Moga menjadi anak yang shale dan pintar kayak
> bokapnya. Jago nulis...hehehe. Selamat ya Bang....(Akhirnya BangFy duluan
> yang ngabarin ke millis ESKA...hehehe)
>
> --------------------- ---------
> Dapatkan nama yang Anda sukai!
> <http://sg.rd.yahoo.com/ >id/mail/domainch oice/mail/ signature/ *http://mail. promotions. yahoo.com/ newdomains/ id/
> Sekarang Anda dapat memiliki email di @ymail.com dan @rocketmail.com.
>
>
--
-"Let's dream together!"
Nursalam AR
Translator, Writer & Writing Trainer
0813-10040723
E-mail: salam.translator@gmail.com
YM ID: nursalam_ar
http://nursalam.multiply. com
- 1j.
-
Re: (Lonceng) SK Junior Bang Nursalam Nongol ke Bumi
Posted by: "sismanto" siril_wafa@yahoo.co.id siril_wafa
Tue Nov 18, 2008 6:43 pm (PST)
Alhamdulilah...selamat ya Mas Nur & mbak Yun. akhirnya tambah lagi nih
SK junior :)
-sis-
--- In sekolah-kehidupan@yahoogroups. , "Nursalam AR"com
<nursalam.ar@...> wrote:
>
- 1k.
-
Re: (Lonceng) SK Junior Bang Nursalam Nongol ke Bumi
Posted by: "magnet zone" magnetzone@gmail.com
Tue Nov 18, 2008 6:57 pm (PST)
Alhamdulillah. Baarokalloohu:)
2008/11/18 bujang kumbang <bujangkumbang@yahoo.co. >id
> Telah beronjol SK JUnior dari Bang Nursalam AR dan Yuni Meganingrum
> nyang diberi nama Muhammad Alham Navid dengan BB: 3,150 kg TB: 50 cm.
> Ngebrojol di RS Ps. Rebo Jkt Timur nyang lahir pada hari Selasa, 18 November
> 2008 melalui operasi caesar. Moga menjadi anak yang shale dan pintar kayak
> bokapnya. Jago nulis...hehehe. Selamat ya Bang....(Akhirnya BangFy duluan
> yang ngabarin ke millis ESKA...hehehe)
>
> --------------------- ---------
> Dapatkan nama yang Anda sukai!
> <http://sg.rd.yahoo.com/ >id/mail/domainch oice/mail/ signature/ *http://mail. promotions. yahoo.com/ newdomains/ id/
> Sekarang Anda dapat memiliki email di @ymail.com dan @rocketmail.com.
>
>
--
Magnet Zone Cafe Bookstore at www.magnetzone.multiply. com
- 2.
-
(inspirasi) Belajar Dari Seorang Rama
Posted by: "Yulia Savitri" metamorfosure@yahoo.com metamorfosure
Tue Nov 18, 2008 4:07 pm (PST)
Namanya Rama, lengkapnya Eko Ramaditya Adikara. Pemuda 27 tahun yang sudah sukses menjadi seorang game music composer, motivator, wartawan, penulis, dan editor. Oiya, dia juga seorang blogger!
Hari itu, dalam acara Gathering Penulis, dia datang dengan wajah ramah penuh senyum. Kejutan! Dia mengenakan kostum Star Wars lengkap dengan pedang lightcyber-nya. Bangga sekali dia dengan kostum itu. Di sela perbincangan, sesekali dia memamerkan sinar biru terang si lightcyber yang mengeluarkan suara keren layaknya pedang ksatria.
Sssst... sosok pemuda yang satu ini sungguh membuat kita jadi mati gaya. Bukan karena kostumnya. Tapi, karena semangat berkaryanya yang luar biasa. Meskipun dia memiliki keterbatasan dalam penglihatan, baginya itu bukanlah hambatan untuk bisa maju dan berprestasi. Ya, Rama terlahir tunanetra.
Dia mengakui bahwa kegelapan yang ditakdirkan kepadanya bukanlah untuk kesulitan. Oleh karena itu, dia berusaha mengasah potensi diri sebanyak-banyaknya agar bisa berdiri sendiri tanpa bantuan orang lain. Didikan orang tua yang tidak memperlakukannya berbeda seperti saudara yang normal menjadi dorongannya untuk maju.
Kemajuan teknologi pun diliriknya sebagai solusi. Dia tenggelam dalam dunia komputer, game, dan tulis menulis karena dibantu laptop yang sudah dilengkapi program screen reader, yaitu semacam pembaca layar yang memperdengarkan suara perintah komputer. Dengan teknologi ini juga, dia bisa menjelajahi internet, chat via Yahoo! Messenger, bahkan menghasilkan karya sountrack untuk game online, Final Fantasy VII. Jadi, jangan heran bagaimana dia bisa berprofesi yang membutuhkan aktivitas-aktivitas dengan indera penglihatan tersebut.
Sebuah pelajaran berharga dari Rama adalah menjadilah pribadi yang kuat dan pantang menyerah apa pun kekurangan kita. Dia yang harus akrab dengan kegelapan, menabrak sana-sini saat berjalan, dihina orang, bahkan pernah tidak diterima dalam lingkungan pendidikan (Dia Sarjana Sastra, Lho!) tetap bertahan dan berhasil dalam hidupnya. Kalau begitu, kita juga bisa, kan?!
- 3.
-
Hari Yang Paling menyenangkan Buat Aldy
Posted by: "agussyafii" agussyafii@yahoo.com agussyafii
Tue Nov 18, 2008 4:12 pm (PST)
Hari Yang Paling menyenangkan Buat Aldy
By: Agussyafii
Pagi ini saya mendapatkan sebuah surat dari Aldy Kurnia kelas 4 SD
Inpres Tangerang, salahsatu anak asuh dalam program Ananda. Ayah
aldy meninggal disaat aldy berusia 2 tahun. Suratnya Aldy berbunyi
begini.
"Hari minggu adalah hari yang menyenangkan, hari ini diadakan jalan2
ke kebun binatang bersama ibuku, kakak dan teman2, aku berangkat
naik mobil metromini sesampai disana aku sangat senang sekalidapat
melihat hewan sebenarnya. Sebelumnya aku hanya melihat di televisi,
aku dibimbing oleh kakak pemandu yang bernama Ayu, dia sangat baik
sekali selalu menemaniku berjalan2 bersama anak2 lainnya.
Makasih buat kak Ayu, kakak2 lainnya, Aldy bahagia kenal dengan
kakak2 semua. Kapan Aldy boleh maen lagi?"
surat Aldy berkali-kali saya membacanya, tak terasa air mata saya
menetes, terbayang senyum Aldy yang bahagia disaat menulis surat
itu. mungkin surat itu memang pantas buat Kak Ayu, Kakak pemandu
Aldy diacara hari minggu kemaren.
"Barangsiapa memuliakan anak yatim di bulan ini, Alloh akan
memuliakannya pada hari ia berjumpa dengan-Nya." (HR. Ibnu Khuzaimah
dari Salman Al-Farisi).
Wassalam,
agussyafii
=======
Tulisan ini dibuat dalam rangka sosialisasi Program Baksos "Ananda
Anak Sehat" Terima kasih atas berkenannya memberikan dukungan &
komentar di http://agussyafii.blogspot. atacom
- 4.
-
(Rampai) Untuk direnungkan
Posted by: "satya aditya" ukasah_aditya@yahoo.com ukasah_aditya
Tue Nov 18, 2008 4:12 pm (PST)
PUISI BUAT DIRIKU DAN SOBAT-SOBATKU
Saat Syahadatku sebatas ucapan ...
Saat Shalatku sebatas gerakan ...
Saat Shaumku sebatas kewajiban ...
Saat Zakatku sebatas keharusan ...
Saat Hajiku sebatas kebanggaan ...
Kesia-siaan terbesar ada pada diri KU
Saat Islamku sebatas Pahala ...
Saat Imanku sebatas Logika ...
Saat Insanku sebatas pengetahuan ...
Saat itu pulalah ada penipuan terbesar pada diri KU
Saat Kematian dianggap hanya cerita ...
Saat Neraka dianggap hanya berita ...
Saat Siksa dianggap hanya kata ...
Saat itu pulalah kesombongan terbesar ada pada diri KU !
Saat Takdir dipandang tak mungkin
Saat Hidup kembali dipandang mustahil
Saat Tuhan dianggap nihil
Saat itu pulalah kedurhakaan terbesar ada pada diri KU
Bukankah Manusia masih memiliki hati ? bukankah Manusia masih memiliki jasmani ?
Maka harmoniskanlah semuanya .. Living In Harmony Back To Nature .. Ya Rabbi ...
Note : Puisi ini di tulis oleh temen kantor
- 5a.
-
Re: [Ruang Baca] 5 Cm
Posted by: "Rini Agus Hadiyono" rinurbad@yahoo.com rinurbad
Tue Nov 18, 2008 4:34 pm (PST)
Wow, Inga..
berbunga-bunga hatiku pagi ini karena diperhatikan sedemikian
dalamnya oleh Inga:)
Buat saya, menulis adalah aktivitas kreatif yang bersumber dari hati.
Dengan kata lain, di sanalah ide lebih banyak diolah dan bukan dari
otak semata. Alhamdulillah, meresensi sebagai bagian dari penulisan
pun jadi nikmat. Karena saya memang ingin sedikit memodifikasi pakem
resensi, menghadirkan sesuatu yang lain di setiap ulasan. Supaya
nggak membosankan dan penulis bukunya juga (mudah-mudahan) gembira.
Terima kasih sekali lagi, Inga..terus berkarya, ya:-)
salam,
Rinurbad
- 6.
-
Lakukan semampumu
Posted by: "syahrenan" syahrenan@yahoo.co.id syahrenan
Tue Nov 18, 2008 4:46 pm (PST)
Assalamualaikum....
Satu lagi cerita yang sayang bila tidak dibagi dengan teman-temanku
semua. Ini adalah cerita tentang seorang kakak sekaligus seorang
saudara dan seorang ibu yang begitu semangat dan cintanya dalam
membiayai keluarganya.
Sebut saja namanya bu Mira. Beliau memiliki 7 orang saudara akan
tetapi semuanya itu adalah saudara tirinya. Ayahnya menikah lagi. Tapi
malang setelah anak ke tujuhnya lahir sang ayah meninggal. Otomatis
sebagai kakak tertua dia harus menggantikan posisi ayahnya sebagai
kepala keluarga dan pencari nafkah bagi keluarganya. Apalagi sekarang
dia harus menghidupi 7 orang saudara tiri dan 2 orang ibu yang sudah
renta. Ibu kandungnya dan ibu tirinya. Bu Mira mencari nafkah sebagai
penjual gorengan dan buruh cuci di lingkungan tempat tinggalnya.
Setiap hari dia melakukan semua itu tanpa banyak mengeluh. Mengeluh
karena hanya dia seorang yang harus menanggung beban keluarga,
mengeluh karena hanya dia yang notabene adalah saudara tiri harus rela
membiarkan masa sekolahnya habis untuk membiayai adik-adik tirinya.
Tapi begitulah Bu Mira. Dia tidak mengeluh karena dia sayang pada
keluarganya.
Setiap hari dia bekerja mengumpulkan uang untuk menyekolahkan
adik-adiknya dan ini tak tanggung-tanggung dia menyekolahkan adiknya
sampai ke jenjang perguruan tinggi. Mungkin sangat mustahil jika kita
memikirkannya. Dia hanyalah seorang penjual gorengan dan buruh cuci
tapi mampu menyekolahkan adik-adiknya kejenjang yang tinggi. Tak hanya
itu juga setelah ia menikah dan mempunyai anak dan suaminya meninggal
dia pun harus memikirkan nasib kedua putrinya.
Semua adiknya ia sekolahkan sampai ketujuhnya menjadi orang yang
berhasil. Ada yang menjadi seorang dokter, pegawai PLN, pegawai Telkom
dan posisi-posisi yang tidak diremehkan dimasyarakat. Dia sangat
bangga sekali dan tak pernah sekalipun terlintas dibenaknya bahwa apa
yang ia lakukan itu suatu saat bisa dikembalikan oleh saudaranya.
Tidak. Sama sekali tidak. Hal itu ia lakukan hanya semata-mata karena
kasih sayangnya dan tanggung jawabnya di hadapan Allah.
Tapi setelah semua saudaranya berhasil ia kebingungan karena kedua
anaknya telah beranjak dewasa dan mau memasuki jenjang perkuliahan
akan tetapi ia sudah tidak punya apa-apa dan tenaganya yang semakin
berkurang. Ia hanya pasrah pada pertolongan Allah, tapi tak disangka
dan tidak diduga ia mendapat berita yang sangat membahagiakan. Kedua
anaknya mendapatkan beasiswa penuh sampai jenjang S1 disebuah
perguruan tinggi terkenal di kota Malang. Subhanallah . Pertolongan
Allah memang tidak disangka-sangka dari mana. Dan harus kita garis
bawahi bahwa saat menolong seseorang janganlah kita memikirkan tentang
balasanya akan tetapi tolonglah semampu anda. Sebisa anda, karena anda
tidak hanya bertransaksi dengan manusia saja. Akan tetapi anda juga
sedang bertransaksi dengan sang pemberi segalanya. Bukankah saat kita
menolong seseorang maka Allah juga menolong kita??
- 7a.
-
Allahku Cinta...
Posted by: "Ummu Alif" ummu_alif@yahoo.com ummu_alif
Tue Nov 18, 2008 6:01 pm (PST)
Allahku Cinta...
Bahagia kini menyapaku
Aku pun sangat bersuka cita
Tapi...
Berikan suka cita yang sama
Saat sedih menyapa
Allahku Sayang...
Sehat sedang melingkupi diri ini
Aku sangat bersemangat
Tapi...
Berikan semangat yang sama
Saat sakit melingkupi diri
Allahku Maha Baik...
Luang ada disini
Aku sangat menikmatinya
Tapi...
Berikan rasa nikmat yang sama
Saat sempit yang ada
Allahku Maha Besar...
Kaya sedang memperhatikan diri ini
Aku bangga karenanya
Tapi...
Berikan rasa bangga yang sama
Saat miskin memperhatikan diri
Allahku Maha Hebat...
Hidup sedang kujalani sekarang
Aku selalu merindunya sebelum terpejam
Tapi...
Berikan rasa rindu yang sama
Saat mati harus kujalani
Sebuah bahan renungan bahwa semua hanya milik-Nya dan akan kembali pada-Nya.
-Ummu Alif-
- 8a.
-
[catcil] Hari Pertama Menjadi Ayah
Posted by: "Nursalam AR" nursalam.ar@gmail.com
Tue Nov 18, 2008 6:24 pm (PST)
*Hari Pertama Menjadi Ayah*
*Oleh Nursalam AR*
Apa pun pengalaman pertama � seperti hari pertama masuk sekolah atau malam
pertama pernikahan -- selalu menegangkan. Juga hari pertama menjadi seorang
ayah.
Di awal hari, aku bingung hendak izin tidak masuk kantor lagi atau tidak.
Sebab sehari sebelumnya aku sudah minta izin dari *boss* untuk absen sehari
terkait persiapan persalinan. Jumat pekan kemarin juga izin, karena
jadwal *check
up* istri di RSUD Pasar Rebo, Jakarta Timur. Dan dokter meminta suami
istriku � yakni aku � untuk khusus datang karena ada masalah dengan
kandungan istriku. Jadi ini hal penting yang membutuhkan aku sebagai *decision
maker*, pengambil keputusan.
Rupanya posisi bayi kami ternyata menyamping alias lintang. Juga terlilit
tali pusat. Tak ada jalan lain, kata sang dokter, selain operasi caesar.
Padahal istriku sudah aktif senam hamil. Ini akibat kandungan istriku sempat
dipijat dukun pijat saat usia kehamilan tiga bulan � karena letak kepala
bayi yang sudah menukik di jalan lahir -- sehingga istriku susah berjalan
dan kami kuatir terjadi keguguran. Ternyata itu keputusan yang salah karena
justru mengganggu pergerakan alamiah sang bayi. Benar kata orang bijak, saat
istri kita hamil semua orang di sekeliling kita mendadak menjadi ahli
kehamilan. Semua memberikan saran dan rekomendasi tak peduli benar-benar
tahu atau cuma sok tahu. Tapi semua terpulang kepada kita sebagai *decision
maker*. Dan saat itu aku membuat keputusan yang keliru. *Maafkan Abi, ya
Ummi, ya Nak!*
Dengan menahan nafas � karena kecewa istriku tak bisa melahirkan normal
sekaligus terbayang bilangan nominal tabungan yang akan keluar � sang *decision
maker *yang pernah keliru ini menyanggupi. Lebih tepatnya, terpaksa
menyanggupi karena toh tak ada opsi lain. Disepakatilah jadwal *check
up*terakhir � yang jika perlu, berdasarkan hasil pemeriksaan lab dan
lain-lain,
merupakan tanggal operasi persalinan � pada hari Selasa, 18 November 2008.
Ancer-ancer dokter, jika positif, operasi caesar akan dilakukan pukul lima
sore.
Nah, di Selasa pagi itulah, sebagai pekerja (yang notabene masih 'kuli'
orang lain) dan calon ayah, aku terjebak dilema. Di saat seperti itu aku
jadi bernostalgia masa-masa "merdeka" sebagai penerjemah *full time* *
freelance* yang relatif bebas mengatur waktu. Tidak bergantung pada jadwal
kantor atau ngamuk tidaknya *boss* kita jika kita berkali-kali izin terutama
di saat pekerjaan menumpuk.
Melihat aku pagi-pagi merenung, dengan gaya standarku yang bertopang dagu
dan kening berkerut, Yuni segera paham dan memberikan solusi. "Ya udah,
abang ngantor aja." Ajaib! Sebelas bulan berumahtangga ternyata memberikan
sang istriku tersayang kemampuan membaca pikiran. Setidaknya ilmu empatinya
lebih terasah ketimbang aku yang kadang masih saja asyik menerjemahkan �
order penerjemahan di luar kantor � sementara Yuni menatapku dengan isyarat
punggungnya minta diusap.
Ibu hamil memang paling suka jika punggung bagian bawahnya diusap-usap.
Konon rasa usapannya itu bisa terasa hingga ke perut dan bayi � yang di
trimester ketiga sangat aktif bergerak hingga membuat nyeri dan sesak ibunya
-- jadi lebih *anteng*. Alhasil, Yuni pun jadi lebih bisa tidur lelap.
Setidaknya dalam standar tidur lelap seorang ibu hamil. Karena bagi bumil,
di trimester tiga, tidur lelap adalah barang mewah.
Singkat cerita, setelah mengantongi empati dan restu istriku, aku berangkat
ngantor. Itu pun dengan perasaan paranoid sendiri (tentu saja tidak
rame-rame karena bisa terjadi histeria massal) dalam segala hal. Saat
menyeberang menuju Stasiun Lenteng Agung, aku jadi kelewat amat sangat
berhati-hati sekali. Takut ketabrak nanti tak bisa melihat bayiku yang sudah
aku tunggu 31 tahun ini (semasa bujang pun aku sudah pingin punya anak,
soalnya). Waktu naik kereta yang berjubel hingga ke pintu, meski aku berada
di tengah, jadi paranoid takut keseret ke pintu dan terjatuh. Sungguh
menyebalkan. Karena hari itu jadi tak biasa dan terasa lamban.
Di kantor, tak seperti biasa � mungkin kehendak Tuhan � kerjaan sepi.
Padahal biasanya di akhir tahun begini *deadline* order terjemahan menggila.
Persis kebiasaan pegawai kelurahan, aku dan teman-teman kantor ngobrol
ngalor-ngidul. Aku jadi pembicara utama soal kehamilan istriku. Karena
memang tak ada orang lain di kantor yang bisa bicara itu (karena yang hamil
istriku).
Jelang tengah hari, masuk sms dari Yuni. Beritanya? Ternyata pihak rumah
sakit menelepon agar istriku segera datang ke rumah sakit. Rencana tes lab
dimajukan jadi pukul satu siang. Yuni mohon doa dan mengungkapkan
ketakutannya. Dengan gaya motivator ulung *a la* Mario Teguh, aku memberikan
advis bernuansa *Law of Attraction* kepadanya plus amalan wirid Asmaul Husna
sebagai penenang.
Ketika hape ditutup, aku masih berharap dapat menemani Yuni di ruang operasi
jika hari itu juga ia harus menjalani operasi caesar. Prediksiku operasi �
jika harus dilakukan � sekitar pukul lima sore. Dan aku masih bisa
mengejarnya dengan pulang dari kantor jam empat sore. Untuk pergi ke rumah
sakit, sudah ada ibu mertua, paman istri dan adik iparku yang mengantar.
Lengkap sudah armada dan sopir menuju medan jihad.
Persis jam satu siang, setelah sholat Zuhur, ibu mertua menelpon.
"Salam, Yuni jam satu ini dioperasi. Tanda tangan suami sudah ibu wakilkan,"
ujar ibu mertua. Alamak. Rupanya tanpa tes lab lagi operasi caesar dimajukan
4 jam. Sebagai suami, aku merasa tak lengkap. Karena bukan aku yang
menandatangani surat persetujuan operasi caesar istriku. Dan aku tak dapat
mendampingi istriku di ajang hidup mati itu. Selain karena faktor waktu juga
karena mendadak perutku mulas luar biasa.
*Duh, ini kebiasaan lamaku jika sangat tegang*. Terakhir kali aku
mengalaminya saat didaulat berpidato sebagai SK Idol pada HUT ke-1 Sekolah
Kehidupan di Kuningan pada 2007. Tapi kali ini tegangnya kurang ajar betul.
Hingga aku harus buang hajat dalam waktu lama di toilet. Sekaligus membuat
Rivai � teman kantorku � yang berinisiatif baik mengantarku ke Pasar Minggu
dengan motornya harus *cengok* menunggu di depan gerbang kantor seperti
tukang ojek menunggu penumpang. Untuk hal ini tak sepenuhnya salahku. Sudah
lama aku menyarankan kepada temanku itu untuk mengganti model helm motornya.
Tiba di RSUD Pasar Rebo � di tengah macetnya lalu lintas di mendung Jakarta
� pukul setengah dua lewat, aku bergegas memburu lift ke lantai 4, sesuai
info dari adik iparku via sms, dengan gaya orang kebelet buang hajat. Lebih
sopannya, dengan gaya orang pingin ambil duit gajian. Terburu-buru, intinya.
Memang *isti'jal* alias tergesa-gesa itu tidak baik. Aku memang tiba di
lantai 4. Tapi bukan lantai 4 tempat ruang operasi. *Ola la*, ternyata RS
Pasar Rebo punya dua gedung yang dibangun menyatu. Alhasil, ada dua lantai 4
di satu bangunan. Aku, berbekal petunjuk petugas cleaning service yang
simpatik dan baik budi, turun lagi ke lantai 2 dan berbelok ke kiri dari
tempatku naik lift yang pertama. Inilah titik persambungan dua gedung itu.
Di dekat lift persis di depan kios koran dan gerai donat, aku menunggu lift
dengan dag-dig-dug-der. *Oh, God, I am nervous!* Syukurlah kali ini tidak
dibarengi dengan mulas. Ia sudah aku tinggal di kantorku di Pasar
Minggu. Karena
ia bukan pendamping yang baik saat kondisi tegang begini.
Alhamdulillah, di lantai 4 yang benar-benar tujuanku, aku ketemu dengan
rombongan pengantar istriku yang juga wajah mereka tak kalah pias. Terutama
ibu mertua. Maklum, bayiku adalah cucu pertamanya. Sementara Wak Ngah, salah
satu paman istri, berusaha menenangkan kami.
"Tenang ajalah. Ayah (*ia memang membahasakan dirinya demikian*) malah waktu
itu liat langsung persalinan caesar Eka. Lancar-lancar aja kok. Sekarang
semua sudah canggih. Sudah biasa itu di-caesar. Aman, Insya Allah," ujarnya
memberi semangat. Aku yang mengambil tempat di kursi pojok tersenyum
basa-basi. Tapi lantas tak urung Wak Ngah berjalan mondar-mandir tak keruan
di ruang tunggu itu. *Ah, tak apalah, aku hargai niat baiknya menghibur
kami�*
* *
Selama menunggu, tak putus-putus hafalan Qur'an kulafalkan. Juga Al
Ma'tsurot. Masih kurang juga, aku lanjutkan dengan tilawah Surah Yasin
dnegan penuh harap akan keselamatan istri dan anakku. Apa pun jenis
kelaminnya dan putih atau hitamkah warna kulitnya. Inilah harapan universal
setiap calon ayah di muka bumi.
"Katanya cuma setengah jam ya, Ning," ujar Wak Ngah yang mendadak lupa
kepada kata-katanya sendiri. Bu Ayuningsih, ibu mertuaku, merengut. Aku
tersenyum geli. Dalam literatur operasi caesar pengambilan bayi memang hanya
setengah jam. Namun perlu waktu lebih hingga 2-3 jam untuk menjahit luka
pada perut si ibu. Untunglah bertubi-tubi sms doa dan motivasi dari para
Sahabat di Sekolah Kehidupan (Mas Adjie, Novi, Nia, Mas Suhadi, Pak Teha,
Kang Dani, Sinta, Ugik, Mbak Rinurbad, Retno & Catur, Kang Hadian dll) dan
teman-temanku yang lain setia menemani dalam kurun waktu itu. Bahkan
sebagian langsung menelpon meski � maaf ya! � saat itu aku harus menjawab
dengan suara bergetar saking tegangnya penantian. Besarnya harapan kadang
menjadi beban.
Hukum relativitas waktu hari itu juga bekerja efektif. Waktu serasa *ngesot*.
Dalam lantunan doa dan gumpalan harap, ditingkahi siaran *infotainment *dari
TV di ruang tunggu, aku merasa pasrah pada-Nya. Aku hanya menyisipkan doa
pamungkas kepada Allah di ujung penantian dua jam yang menyiksa itu. *Ya
Allah, aku sudah banyak kehilangan. Kehilangan ayah, ibu dan kakak sulungku
yang guru menulisku dan guru ngaji pertamaku. **Kehilangan biro
penerjemahanku dan segenap hartaku selepas banjir bandang 2007 lalu. **Tapi,
ya Allah, tak usah engkau kembalikan semua itu karena aku sudah relakan
semuanya. Cukup tambahkan satu saja untukku dan jangan kau ambil istriku
sebelum aku dapat memenuhi janjiku untuk membuatnya tinggal di rumah milik
kami sendiri dan mengajaknya berhaji...*
Mungkin, kata Hanung Bramantyo, itu termasuk kategori doa yang mengancam.
Tapi setidaknya aku lega sudah curhat kepada Tuhan. Karena kita tak boleh
sombong dengan hanya bergantung pada kecanggihan teknologi manusia. Tuhanlah
yang punya kuasa. Dalam hal apa pun. Terlepas kita percaya atau tidak akan
keberadaan-Nya.
Lima menit jelang azan Ashar, pintu ruang operasi terbuka. Istriku dalam
kondisi lemas dan wajah pucat diantar keluar dengan masih berbaring di atas
tempat tidur. Dua orang perawat muda mengantarnya ke ruang perawatan. Aku
menyambutnya dengan haru dan ciuman di dahi.
"Udah liat bayinya?" Itu pertanyaan pertama Yuni. Rupanya selama di ruang
operasi Yuni belum sempat melihat bayinya. Ia hanya mendengar suara tangisan
sang bayi yang segera dibersihkan. Bahkan Yuni sempat melarangku untuk ikut
ke ruang perawatan di lantai 3 agar aku bisa melihat sang bayi. Biar bisa
menceritakan kondisi bayinya, alasan Yuni. *Ah, mungkin ini naluri seorang
ibu*. Aku jadi paham sepaham-pahamnya mengapa dalam setiap kasus perceraian
seorang ibu akan mati-matian mendapatkan hak pengasuhan anaknya.
Tepat azan Ashar. Pintu ruang operasi kembali terbuka. Kali ini seorang bayi
montok sehat kemerahan diantar para perawat dalam sebuah boks mungil beroda.
Tangisnya memekakkan telinga. Tangan dan kakinya bergerak-gerak lincah. Tertera
pada catatan di boks: berat 3,150 kg dengan panjang 50 cm. Rambutnya hitam
dan tebal ikal seperti rambutku. Tapi wajahnya seperti ibunya.
"Aih, cantiknya!" seru ibu mertuaku. Ia memang sangat ingin punya cucu
perempuan. Katanya anak perempuan enak, bisa didandanin. Maklum, ia penata
rias penganten.
"Ibu, ini laki-laki," ujar salah satu perawat seraya menyingkap selimut
bayi. Tampaklah jelas kelamin anakku. Anak pertamaku laki-laki. Sungguh
ideal sekali dalam pandangan tradisional sebagian suku di Nusantara.
Tapi ibu mertua tak patah arang. Ia memang sudah lama mendamba cucu karena
baru satu orang anaknya --- dari ketiga anaknya � yang menikah. Tatapan
matanya dan bahasa tubuhnya menyiratkan sekali hal itu. Aku jadi teringat
almarhumah ibuku yang dulu tak sempat melihat cucu pertamanya lahir. Ibuku
wafat karena tumor ginjal saat cucu pertamanya masih berusia 3 bulan dalam
kandungan. Kali ini aku jadi rindu almarhumah ibuku yang juga tak bisa
melihat anakku, cucu kelimanya. Juga rindu almarhumah *aba*, panggilan
ayahku, yang dulu selalu menyindirku dengan bilang,"pengen deh dapat cucu
dari Salam" karena beliau selalu mendesakku � dengan caranya yang khas �
untuk segera menikah. *Aba, ibu, I miss u....*
Segera, setelah menunggu ibu mertua mengagumi cucu pertamanya, aku mengazani
bayi itu. Ya, bayiku sendiri! Dulu aku pernah mengazani bayi ketika
keponakan pertamaku, Rayhan Wildan Ramadhani � ini nama pemberian dariku �
lahir tahun 2000 di RSCM, Jakarta. Mengazani bayi � dan iqomah di telinga
kiri � selalu berkesan. Tapi kali ini terasa berbeda. *Ah, inikah naluri
seorang ayah?*
Di masjid rumah sakit, selepas mengurus administrasi rumah sakit dan sholat
Ashar, aku bersujud syukur. Aku kini � dengan anugerah Allah � menjadi ayah.
Suatu amanah yang berat atas kepercayaan Allah ini. Sebuah amanah
bernama *Muhammad
Alham Navid*. Sebuah nama yang kami rancang jauh-jauh hari � bahkan
dirahasiakan kepada keluarga dekat sampai hari-H untuk menghindari
plagiarisme -- yang bermakna *"Inspirasi terpuji yang membawa gelombang
kebahagiaan"*. Berbekal panduan buku nama-nama bayi (*special thanks* to
Mbak Rinurbad!), didapatlah nama tersebut yang � menurut Mbak Rinurbad yang
konsultan nama-nama bayi � bagus, unik dan langka. *Semoga sebagus itu juga
akhlak dan takdir nasibnya!*
Khusus untuk kata *Alham*, selain varian dari *ilham *dalam bahasa Arab, ini
juga diambil dari nama Asahan Alham, yang akrab dipanggil Asan, seorang
novelis eksil Indonesia yang terusir dari Indonesia pada era 1960-an dan
mengungsi ke Vietnam hingga menjadi profesor bahasa di sana dan dianugerahi
penghargaan sekaliber Mahaputera untuk jasanya mengembangkan bahasa
Indonesia di Vietnam dan mempererat persahabatan budaya antara Vietnam dan
Indonesia. Novelnya berjudul *Perang dan Kembang* yang mengisahkan
pengalaman hidupnya bersama rakyat Vietnam melawan imperialisme Amerika
Serikat semasa Perang Vietnam (1970-an) sangat memukauku ketika aku
mendapatinya di sebuah perpustakaan umum di Jakarta. Terlepas dari anutan
ideologinya, Asahan Alham potret aktivis-penulis-pejuang pantang menyerah
yang kukuh di mana pun lubuknya ia berada. Aku harap aura positif tersebut
memancar kepada anakku kelak.
Jika ada kekecewaan � karena manusia, kurang ajarnya, tak pernah puas �
adalah karena istriku tak bisa melakukan inisiasi menyusui dini. Perih juga
hatiku menyaksikan bayiku baru bisa menikmati laktogen yang diberikan
perawat dan bukan kolostrum ASI ibunya. Tapi, apalah daya, Yuni yang
dirawat di Ruang Delima (Kelas 2) 305-8 dan Alham yang dirawat di ruang
perinatologi masih belum bisa dirawat gabung. Yuni masih terlalu lemah dan
menahan nyeri yang amat sangat � terlihat dari wajahnya � karena pengaruh
obat bius yang mulai menghilang. Panas sekali, rintihnya. Sementara obat
pereda nyeri baru boleh diberikan pada pukul sepuluh malam. Artinya, selama
setengah hari atau enam jam, istriku harus berjuang menahan sakit. Tapi
telepon dari sahabat-sahabatnya yang membuatnya berbicara dan curhat juga
dapat membuatnya melupakan nyeri.
Melihat kondisi Yuni sedemikian *nelangsa*, aku mengurungkan niatku di awal
nikah dahulu untuk punya anak sebanyak jumlah saudara kandungku. Enam orang.
Sebenarnya dua belas, karena yang enam meninggal waktu kecil atau dalam
kandungan. Maklum, ibuku menikah muda di usia 16 tahun. Dan ibuku bukan
Yuni. Mereka juga terpisah oleh zaman yang berbeda. Biarlah aku kubur
egoisme maskulinitas itu demi sang istri yang telah berjuang heroik selama
kehamilan � yang rasanya *wahnan 'ala wahnin*, sakit di atas sakit � dan
selama persalinan. *Oh, I love u, Babe...*
Terinspirasi semangat istriku, pukul sebelas malam, sepulang dari rumah
sakit, aku mencuci sendiri ari-ari bayiku dan menguburnya dengan berbungkus
kaus putih � karena tak ada kain putih sebagai syarat dari orang-orang tua
yang menyuruhku � dan menguburnya dengan didahului doa-doa di dekat pot
tanaman hias ibu mertua. Semula aku ingin menguburnya � karena banyaknya
syarat yang harus dipenuhi � sekalian saja di pot anthurium gelombang cinta
koleksi ibu mertua. *Biar makmur jadi milyader anakku*. Tapi kubatalkan
karena pertimbangan stabilitas sosial politik rumah tangga dan lain-lain.
Itu pun prosesi penguburan ari-ari sudah aku persingkat, jika dibandingkan
petuah dari Wak Ngah dan ibu mertua yang bahkan sampai harus mengubur
alat-alat tulis agar si Alham jadi anak pinter.
"Sekalian saja laptop, Wak!" ledek Sutami, adik iparku. Wak Ngah melotot
kesal. *Duh, tradisi!*
Sebelumnya pukul sepuluh malam aku melangkah pulang dari rumah sakit dengan
langkah-langkah panjang dan hati senang. Aku tidak menginap di rumah sakit.
Sudah ada ibu mertua dan Wak Ngah yang menunggui istriku. Apa boleh buat,
aku harus *ngantor *dan selesaikan proyek-proyek terjemahan di luar kantor �
sebagai penghasilan tambahan � yang bertenggat ketat. Kata istriku, demi dua
ekor kambing aqiqah. Ya, demi anak. Karena kini aku seorang ayah. Bagi
seorang ayah baru, hiruk pikuk bising berpolusi lalu-lintas Jakarta pun
serasa konser musik paling syahdu malam itu.
*Sahabat, makasih atas semua doa dan motivasinya. Terus doakan kami ya!*
* *
*Jakarta, 19 November 2008*
--
-"Let's dream together!"
Nursalam AR
Translator, Writer & Writing Trainer
0813-10040723
E-mail: salam.translator@gmail.com
YM ID: nursalam_ar
http://nursalam.multiply. com
- 8b.
-
Re: [catcil] Hari Pertama Menjadi Ayah
Posted by: "Nurhadi@tecsg.com.sg" Nurhadi@tecsg.com.sg
Tue Nov 18, 2008 6:42 pm (PST)
Mas Salam,
Selamat menjadi Ayah, mudah2an keluarga tambah semarak dan barokah.
Tapi ya itu, memang dasarnya penulis, katanya masih nervous, kok sempat2nya
bikin narasi yang panjang he he :)
--
Thanks dan wassalam
Nurhadi
Blografi : http://hady82.multiply. com
YM : hadynur
GMAIL : hadynur@gmail.com
Batam Island
--------------------- --------- --------- --------- --------- -
"Nursalam AR"
<nursalam.ar@gmai
l.com> To
Sent by: sekolah-kehidupan@yahoogroups. ,com
sekolah-kehidupan fkmui96@yahoogroups.com ,
@yahoogroups.com flpdki@yahoogroups. com ,
penulislepas@yahoogroups. com
cc
11/19/2008 09:24
AM Subject
[sekolah-kehidupan] [catcil] Hari
Pertama Menjadi Ayah
Please respond to
sekolah-kehidupan
@yahoogroups.com
Hari Pertama Menjadi Ayah
Oleh Nursalam AR
Apa pun pengalaman pertama – seperti hari pertama masuk sekolah atau malam
pertama pernikahan -- selalu menegangkan. Juga hari pertama menjadi seorang
ayah.
Di awal hari, aku bingung hendak izin tidak masuk kantor lagi atau tidak.
Sebab sehari sebelumnya aku sudah minta izin dari boss untuk absen sehari
terkait persiapan persalinan. Jumat pekan kemarin juga izin, karena jadwal
check up istri di RSUD Pasar Rebo, Jakarta Timur. Dan dokter meminta suami
istriku – yakni aku – untuk khusus datang karena ada masalah dengan
kandungan istriku. Jadi ini hal penting yang membutuhkan aku sebagai
decision maker, pengambil keputusan.
Rupanya posisi bayi kami ternyata menyamping alias lintang. Juga terlilit
tali pusat. Tak ada jalan lain, kata sang dokter, selain operasi caesar.
Padahal istriku sudah aktif senam hamil. Ini akibat kandungan istriku
sempat dipijat dukun pijat saat usia kehamilan tiga bulan – karena letak
kepala bayi yang sudah menukik di jalan lahir -- sehingga istriku susah
berjalan dan kami kuatir terjadi keguguran. Ternyata itu keputusan yang
salah karena justru mengganggu pergerakan alamiah sang bayi. Benar kata
orang bijak, saat istri kita hamil semua orang di sekeliling kita mendadak
menjadi ahli kehamilan. Semua memberikan saran dan rekomendasi tak peduli
benar-benar tahu atau cuma sok tahu. Tapi semua terpulang kepada kita
sebagai decision maker. Dan saat itu aku membuat keputusan yang keliru.
Maafkan Abi, ya Ummi, ya Nak!
Dengan menahan nafas – karena kecewa istriku tak bisa melahirkan normal
sekaligus terbayang bilangan nominal tabungan yang akan keluar – sang
decision maker yang pernah keliru ini menyanggupi. Lebih tepatnya, terpaksa
menyanggupi karena toh tak ada opsi lain. Disepakatilah jadwal check up
terakhir – yang jika perlu, berdasarkan hasil pemeriksaan lab dan
lain-lain, merupakan tanggal operasi persalinan – pada hari Selasa, 18
November 2008. Ancer-ancer dokter, jika positif, operasi caesar akan
dilakukan pukul lima sore.
Nah, di Selasa pagi itulah, sebagai pekerja (yang notabene masih 'kuli'
orang lain) dan calon ayah, aku terjebak dilema. Di saat seperti itu aku
jadi bernostalgia masa-masa "merdeka" sebagai penerjemah full time
freelance yang relatif bebas mengatur waktu. Tidak bergantung pada jadwal
kantor atau ngamuk tidaknya boss kita jika kita berkali-kali izin terutama
di saat pekerjaan menumpuk.
Melihat aku pagi-pagi merenung, dengan gaya standarku yang bertopang dagu
dan kening berkerut, Yuni segera paham dan memberikan solusi. "Ya udah,
abang ngantor aja." Ajaib! Sebelas bulan berumahtangga ternyata memberikan
sang istriku tersayang kemampuan membaca pikiran. Setidaknya ilmu empatinya
lebih terasah ketimbang aku yang kadang masih saja asyik menerjemahkan –
order penerjemahan di luar kantor – sementara Yuni menatapku dengan isyarat
punggungnya minta diusap.
Ibu hamil memang paling suka jika punggung bagian bawahnya diusap-usap.
Konon rasa usapannya itu bisa terasa hingga ke perut dan bayi – yang di
trimester ketiga sangat aktif bergerak hingga membuat nyeri dan sesak
ibunya -- jadi lebih anteng. Alhasil, Yuni pun jadi lebih bisa tidur lelap.
Setidaknya dalam standar tidur lelap seorang ibu hamil. Karena bagi bumil,
di trimester tiga, tidur lelap adalah barang mewah.
Singkat cerita, setelah mengantongi empati dan restu istriku, aku berangkat
ngantor. Itu pun dengan perasaan paranoid sendiri (tentu saja tidak
rame-rame karena bisa terjadi histeria massal) dalam segala hal. Saat
menyeberang menuju Stasiun Lenteng Agung, aku jadi kelewat amat sangat
berhati-hati sekali. Takut ketabrak nanti tak bisa melihat bayiku yang
sudah aku tunggu 31 tahun ini (semasa bujang pun aku sudah pingin punya
anak, soalnya). Waktu naik kereta yang berjubel hingga ke pintu, meski aku
berada di tengah, jadi paranoid takut keseret ke pintu dan terjatuh.
Sungguh menyebalkan. Karena hari itu jadi tak biasa dan terasa lamban.
Di kantor, tak seperti biasa – mungkin kehendak Tuhan – kerjaan sepi.
Padahal biasanya di akhir tahun begini deadline order terjemahan menggila.
Persis kebiasaan pegawai kelurahan, aku dan teman-teman kantor ngobrol
ngalor-ngidul. Aku jadi pembicara utama soal kehamilan istriku. Karena
memang tak ada orang lain di kantor yang bisa bicara itu (karena yang hamil
istriku).
Jelang tengah hari, masuk sms dari Yuni. Beritanya? Ternyata pihak rumah
sakit menelepon agar istriku segera datang ke rumah sakit. Rencana tes lab
dimajukan jadi pukul satu siang. Yuni mohon doa dan mengungkapkan
ketakutannya. Dengan gaya motivator ulung a la Mario Teguh, aku memberikan
advis bernuansa Law of Attraction kepadanya plus amalan wirid Asmaul Husna
sebagai penenang.
Ketika hape ditutup, aku masih berharap dapat menemani Yuni di ruang
operasi jika hari itu juga ia harus menjalani operasi caesar. Prediksiku
operasi – jika harus dilakukan – sekitar pukul lima sore. Dan aku masih
bisa mengejarnya dengan pulang dari kantor jam empat sore. Untuk pergi ke
rumah sakit, sudah ada ibu mertua, paman istri dan adik iparku yang
mengantar. Lengkap sudah armada dan sopir menuju medan jihad.
Persis jam satu siang, setelah sholat Zuhur, ibu mertua menelpon.
"Salam, Yuni jam satu ini dioperasi. Tanda tangan suami sudah ibu
wakilkan," ujar ibu mertua. Alamak. Rupanya tanpa tes lab lagi operasi
caesar dimajukan 4 jam. Sebagai suami, aku merasa tak lengkap. Karena bukan
aku yang menandatangani surat persetujuan operasi caesar istriku. Dan aku
tak dapat mendampingi istriku di ajang hidup mati itu. Selain karena faktor
waktu juga karena mendadak perutku mulas luar biasa.
Duh, ini kebiasaan lamaku jika sangat tegang. Terakhir kali aku
mengalaminya saat didaulat berpidato sebagai SK Idol pada HUT ke-1 Sekolah
Kehidupan di Kuningan pada 2007. Tapi kali ini tegangnya kurang ajar betul.
Hingga aku harus buang hajat dalam waktu lama di toilet. Sekaligus membuat
Rivai – teman kantorku – yang berinisiatif baik mengantarku ke Pasar Minggu
dengan motornya harus cengok menunggu di depan gerbang kantor seperti
tukang ojek menunggu penumpang. Untuk hal ini tak sepenuhnya salahku. Sudah
lama aku menyarankan kepada temanku itu untuk mengganti model helm
motornya.
Tiba di RSUD Pasar Rebo – di tengah macetnya lalu lintas di mendung Jakarta
– pukul setengah dua lewat, aku bergegas memburu lift ke lantai 4, sesuai
info dari adik iparku via sms, dengan gaya orang kebelet buang hajat. Lebih
sopannya, dengan gaya orang pingin ambil duit gajian. Terburu-buru,
intinya.
Memang isti'jal alias tergesa-gesa itu tidak baik. Aku memang tiba di
lantai 4. Tapi bukan lantai 4 tempat ruang operasi. Ola la, ternyata RS
Pasar Rebo punya dua gedung yang dibangun menyatu. Alhasil, ada dua lantai
4 di satu bangunan. Aku, berbekal petunjuk petugas cleaning service yang
simpatik dan baik budi, turun lagi ke lantai 2 dan berbelok ke kiri dari
tempatku naik lift yang pertama. Inilah titik persambungan dua gedung itu.
Di dekat lift persis di depan kios koran dan gerai donat, aku menunggu lift
dengan dag-dig-dug-der. Oh, God, I am nervous! Syukurlah kali ini tidak
dibarengi dengan mulas. Ia sudah aku tinggal di kantorku di Pasar Minggu.
Karena ia bukan pendamping yang baik saat kondisi tegang begini.
Alhamdulillah, di lantai 4 yang benar-benar tujuanku, aku ketemu dengan
rombongan pengantar istriku yang juga wajah mereka tak kalah pias. Terutama
ibu mertua. Maklum, bayiku adalah cucu pertamanya. Sementara Wak Ngah,
salah satu paman istri, berusaha menenangkan kami.
"Tenang ajalah. Ayah (ia memang membahasakan dirinya demikian) malah waktu
itu liat langsung persalinan caesar Eka. Lancar-lancar aja kok. Sekarang
semua sudah canggih. Sudah biasa itu di-caesar. Aman, Insya Allah," ujarnya
memberi semangat. Aku yang mengambil tempat di kursi pojok tersenyum
basa-basi. Tapi lantas tak urung Wak Ngah berjalan mondar-mandir tak keruan
di ruang tunggu itu. Ah, tak apalah, aku hargai niat baiknya menghibur
kami…
Selama menunggu, tak putus-putus hafalan Qur'an kulafalkan. Juga Al
Ma'tsurot. Masih kurang juga, aku lanjutkan dengan tilawah Surah Yasin
dnegan penuh harap akan keselamatan istri dan anakku. Apa pun jenis
kelaminnya dan putih atau hitamkah warna kulitnya. Inilah harapan universal
setiap calon ayah di muka bumi.
"Katanya cuma setengah jam ya, Ning," ujar Wak Ngah yang mendadak lupa
kepada kata-katanya sendiri. Bu Ayuningsih, ibu mertuaku, merengut. Aku
tersenyum geli. Dalam literatur operasi caesar pengambilan bayi memang
hanya setengah jam. Namun perlu waktu lebih hingga 2-3 jam untuk menjahit
luka pada perut si ibu. Untunglah bertubi-tubi sms doa dan motivasi dari
para Sahabat di Sekolah Kehidupan (Mas Adjie, Novi, Nia, Mas Suhadi, Pak
Teha, Kang Dani, Sinta, Ugik, Mbak Rinurbad, Retno & Catur, Kang Hadian
dll) dan teman-temanku yang lain setia menemani dalam kurun waktu itu.
Bahkan sebagian langsung menelpon meski – maaf ya! – saat itu aku harus
menjawab dengan suara bergetar saking tegangnya penantian. Besarnya harapan
kadang menjadi beban.
Hukum relativitas waktu hari itu juga bekerja efektif. Waktu serasa ngesot.
Dalam lantunan doa dan gumpalan harap, ditingkahi siaran infotainment dari
TV di ruang tunggu, aku merasa pasrah pada-Nya. Aku hanya menyisipkan doa
pamungkas kepada Allah di ujung penantian dua jam yang menyiksa itu. Ya
Allah, aku sudah banyak kehilangan. Kehilangan ayah, ibu dan kakak sulungku
yang guru menulisku dan guru ngaji pertamaku. Kehilangan biro
penerjemahanku dan segenap hartaku selepas banjir bandang 2007 lalu. Tapi,
ya Allah, tak usah engkau kembalikan semua itu karena aku sudah relakan
semuanya. Cukup tambahkan satu saja untukku dan jangan kau ambil istriku
sebelum aku dapat memenuhi janjiku untuk membuatnya tinggal di rumah milik
kami sendiri dan mengajaknya berhaji...
Mungkin, kata Hanung Bramantyo, itu termasuk kategori doa yang mengancam.
Tapi setidaknya aku lega sudah curhat kepada Tuhan. Karena kita tak boleh
sombong dengan hanya bergantung pada kecanggihan teknologi manusia.
Tuhanlah yang punya kuasa. Dalam hal apa pun. Terlepas kita percaya atau
tidak akan keberadaan-Nya.
Lima menit jelang azan Ashar, pintu ruang operasi terbuka. Istriku dalam
kondisi lemas dan wajah pucat diantar keluar dengan masih berbaring di atas
tempat tidur. Dua orang perawat muda mengantarnya ke ruang perawatan. Aku
menyambutnya dengan haru dan ciuman di dahi.
"Udah liat bayinya?" Itu pertanyaan pertama Yuni. Rupanya selama di ruang
operasi Yuni belum sempat melihat bayinya. Ia hanya mendengar suara
tangisan sang bayi yang segera dibersihkan. Bahkan Yuni sempat melarangku
untuk ikut ke ruang perawatan di lantai 3 agar aku bisa melihat sang bayi.
Biar bisa menceritakan kondisi bayinya, alasan Yuni. Ah, mungkin ini naluri
seorang ibu. Aku jadi paham sepaham-pahamnya mengapa dalam setiap kasus
perceraian seorang ibu akan mati-matian mendapatkan hak pengasuhan anaknya.
Tepat azan Ashar. Pintu ruang operasi kembali terbuka. Kali ini seorang
bayi montok sehat kemerahan diantar para perawat dalam sebuah boks mungil
beroda. Tangisnya memekakkan telinga. Tangan dan kakinya bergerak-gerak
lincah. Tertera pada catatan di boks: berat 3,150 kg dengan panjang 50 cm.
Rambutnya hitam dan tebal ikal seperti rambutku. Tapi wajahnya seperti
ibunya.
"Aih, cantiknya!" seru ibu mertuaku. Ia memang sangat ingin punya cucu
perempuan. Katanya anak perempuan enak, bisa didandanin. Maklum, ia penata
rias penganten.
"Ibu, ini laki-laki," ujar salah satu perawat seraya menyingkap selimut
bayi. Tampaklah jelas kelamin anakku. Anak pertamaku laki-laki. Sungguh
ideal sekali dalam pandangan tradisional sebagian suku di Nusantara.
Tapi ibu mertua tak patah arang. Ia memang sudah lama mendamba cucu karena
baru satu orang anaknya --- dari ketiga anaknya – yang menikah. Tatapan
matanya dan bahasa tubuhnya menyiratkan sekali hal itu. Aku jadi teringat
almarhumah ibuku yang dulu tak sempat melihat cucu pertamanya lahir. Ibuku
wafat karena tumor ginjal saat cucu pertamanya masih berusia 3 bulan dalam
kandungan. Kali ini aku jadi rindu almarhumah ibuku yang juga tak bisa
melihat anakku, cucu kelimanya. Juga rindu almarhumah aba, panggilan
ayahku, yang dulu selalu menyindirku dengan bilang,"pengen deh dapat cucu
dari Salam" karena beliau selalu mendesakku – dengan caranya yang khas –
untuk segera menikah. Aba, ibu, I miss u....
Segera, setelah menunggu ibu mertua mengagumi cucu pertamanya, aku
mengazani bayi itu. Ya, bayiku sendiri! Dulu aku pernah mengazani bayi
ketika keponakan pertamaku, Rayhan Wildan Ramadhani – ini nama pemberian
dariku – lahir tahun 2000 di RSCM, Jakarta. Mengazani bayi – dan iqomah di
telinga kiri – selalu berkesan. Tapi kali ini terasa berbeda. Ah, inikah
naluri seorang ayah?
Di masjid rumah sakit, selepas mengurus administrasi rumah sakit dan sholat
Ashar, aku bersujud syukur. Aku kini – dengan anugerah Allah – menjadi
ayah. Suatu amanah yang berat atas kepercayaan Allah ini. Sebuah amanah
bernama Muhammad Alham Navid. Sebuah nama yang kami rancang jauh-jauh hari
– bahkan dirahasiakan kepada keluarga dekat sampai hari-H untuk menghindari
plagiarisme -- yang bermakna "Inspirasi terpuji yang membawa gelombang
kebahagiaan". Berbekal panduan buku nama-nama bayi (special thanks to Mbak
Rinurbad!), didapatlah nama tersebut yang – menurut Mbak Rinurbad yang
konsultan nama-nama bayi – bagus, unik dan langka. Semoga sebagus itu juga
akhlak dan takdir nasibnya!
Khusus untuk kata Alham, selain varian dari ilham dalam bahasa Arab, ini
juga diambil dari nama Asahan Alham, yang akrab dipanggil Asan, seorang
novelis eksil Indonesia yang terusir dari Indonesia pada era 1960-an dan
mengungsi ke Vietnam hingga menjadi profesor bahasa di sana dan dianugerahi
penghargaan sekaliber Mahaputera untuk jasanya mengembangkan bahasa
Indonesia di Vietnam dan mempererat persahabatan budaya antara Vietnam dan
Indonesia. Novelnya berjudul Perang dan Kembang yang mengisahkan pengalaman
hidupnya bersama rakyat Vietnam melawan imperialisme Amerika Serikat
semasa Perang Vietnam (1970-an) sangat memukauku ketika aku mendapatinya di
sebuah perpustakaan umum di Jakarta. Terlepas dari anutan ideologinya,
Asahan Alham potret aktivis-penulis-pejuang pantang menyerah yang kukuh di
mana pun lubuknya ia berada. Aku harap aura positif tersebut memancar
kepada anakku kelak.
Jika ada kekecewaan – karena manusia, kurang ajarnya, tak pernah puas –
adalah karena istriku tak bisa melakukan inisiasi menyusui dini. Perih juga
hatiku menyaksikan bayiku baru bisa menikmati laktogen yang diberikan
perawat dan bukan kolostrum ASI ibunya. Tapi, apalah daya, Yuni yang
dirawat di Ruang Delima (Kelas 2) 305-8 dan Alham yang dirawat di ruang
perinatologi masih belum bisa dirawat gabung. Yuni masih terlalu lemah dan
menahan nyeri yang amat sangat – terlihat dari wajahnya – karena pengaruh
obat bius yang mulai menghilang. Panas sekali, rintihnya. Sementara obat
pereda nyeri baru boleh diberikan pada pukul sepuluh malam. Artinya, selama
setengah hari atau enam jam, istriku harus berjuang menahan sakit. Tapi
telepon dari sahabat-sahabatnya yang membuatnya berbicara dan curhat juga
dapat membuatnya melupakan nyeri.
Melihat kondisi Yuni sedemikian nelangsa, aku mengurungkan niatku di awal
nikah dahulu untuk punya anak sebanyak jumlah saudara kandungku. Enam
orang. Sebenarnya dua belas, karena yang enam meninggal waktu kecil atau
dalam kandungan. Maklum, ibuku menikah muda di usia 16 tahun. Dan ibuku
bukan Yuni. Mereka juga terpisah oleh zaman yang berbeda. Biarlah aku kubur
egoisme maskulinitas itu demi sang istri yang telah berjuang heroik selama
kehamilan – yang rasanya wahnan 'ala wahnin, sakit di atas sakit – dan
selama persalinan. Oh, I love u, Babe...
Terinspirasi semangat istriku, pukul sebelas malam, sepulang dari rumah
sakit, aku mencuci sendiri ari-ari bayiku dan menguburnya dengan berbungkus
kaus putih – karena tak ada kain putih sebagai syarat dari orang-orang tua
yang menyuruhku – dan menguburnya dengan didahului doa-doa di dekat pot
tanaman hias ibu mertua. Semula aku ingin menguburnya – karena banyaknya
syarat yang harus dipenuhi – sekalian saja di pot anthurium gelombang cinta
koleksi ibu mertua. Biar makmur jadi milyader anakku. Tapi kubatalkan
karena pertimbangan stabilitas sosial politik rumah tangga dan lain-lain.
Itu pun prosesi penguburan ari-ari sudah aku persingkat, jika dibandingkan
petuah dari Wak Ngah dan ibu mertua yang bahkan sampai harus mengubur
alat-alat tulis agar si Alham jadi anak pinter.
"Sekalian saja laptop, Wak!" ledek Sutami, adik iparku. Wak Ngah melotot
kesal. Duh, tradisi!
Sebelumnya pukul sepuluh malam aku melangkah pulang dari rumah sakit dengan
langkah-langkah panjang dan hati senang. Aku tidak menginap di rumah sakit.
Sudah ada ibu mertua dan Wak Ngah yang menunggui istriku. Apa boleh buat,
aku harus ngantor dan selesaikan proyek-proyek terjemahan di luar kantor –
sebagai penghasilan tambahan – yang bertenggat ketat. Kata istriku, demi
dua ekor kambing aqiqah. Ya, demi anak. Karena kini aku seorang ayah. Bagi
seorang ayah baru, hiruk pikuk bising berpolusi lalu-lintas Jakarta pun
serasa konser musik paling syahdu malam itu.
Sahabat, makasih atas semua doa dan motivasinya. Terus doakan kami ya!
Jakarta, 19 November 2008
--
-"Let's dream together!"
Nursalam AR
Translator, Writer & Writing Trainer
0813-10040723
E-mail: salam.translator@gmail.com
YM ID: nursalam_ar
http://nursalam.multiply. com
- 8c.
-
Re: [catcil] Hari Pertama Menjadi Ayah
Posted by: "Rini Agus Hadiyono" rinurbad@yahoo.com rinurbad
Tue Nov 18, 2008 6:49 pm (PST)
Olala, Salaaam..Salaaam.. (manggilin begini, semoga dikau selamat,
ya..amiin)..
Sempet-sempetnya melantur, ke perceraian segala..
Alhamdulillah, ikut bahagia karena buku sederhanaku itu bermanfaat.
Rasanya royalti sebesar apa pun tidak dapat menandingi keharuan
mengingat 'anakku' yang begitu banyak.. 'Anak kami', tepatnya.
Teriring doa selalu buat Salam sekeluarga, percayalah.. si kecil akan
membawa rizki tak terhingga. Sekarang saja sudah kelihatan,
'gelombang kegembiraan'-nya manjur kan? Hehehe..
Makasih kembali ya. amiin amiin..
Rini Nurul Badariah
- 8d.
-
Re: [catcil] Hari Pertama Menjadi Ayah
Posted by: "Siwi LH" siuhik@yahoo.com siuhik
Tue Nov 18, 2008 6:54 pm (PST)
selalu dengan nyengir membaca tulisan MAs Salam, walaupun ada prembik-prembiknya alias rada-rada nangis gitu....
Selamat menikmati menjadi Ayah, semoga kelahiran Alham menjadi sumber inspirasi, dan sumber keberkahan amin....
Salam Buat Mbak Yuni juga ya, semoga jadi Ibu yang istimewa...!!!
Salam Hebat Penuh Berkah
Siwi LH
cahayabintang. wordpress.com
siu-elha. blogspot.com
YM : siuhik
_____________________ _________ __
From: Nursalam AR <nursalam.ar@gmail.com >
To: sekolah-kehidupan@yahoogroups. ; fkmui96@yahoogroupscom .com ; flpdki@yahoogroups.com ; penulislepas@yahoogroups. com
Sent: Wednesday, November 19, 2008 9:24:46 AM
Subject: [sekolah-kehidupan] [catcil] Hari Pertama Menjadi Ayah
Hari Pertama
Menjadi Ayah
Oleh Nursalam AR
Apa pun pengalaman
pertama � seperti hari pertama masuk sekolah atau malam pertama pernikahan --
selalu menegangkan. Juga hari pertama menjadi seorang ayah.
Di awal hari, aku
bingung hendak izin tidak masuk kantor lagi atau tidak. Sebab sehari sebelumnya
aku sudah minta izin dari boss untuk
absen sehari terkait persiapan persalinan. Jumat pekan kemarin juga izin, karena jadwal check up istri di RSUD Pasar Rebo,
Jakarta Timur. Dan dokter meminta suami istriku � yakni aku � untuk khusus
datang karena ada masalah dengan kandungan istriku. Jadi ini hal penting yang
membutuhkan aku sebagai decision maker,
pengambil keputusan.
Rupanya posisi bayi kami ternyata menyamping
alias lintang. Juga terlilit tali pusat. Tak ada jalan lain, kata sang dokter,
selain operasi caesar. Padahal istriku sudah aktif senam hamil. Ini akibat
kandungan istriku sempat dipijat dukun pijat saat usia kehamilan tiga bulan �
karena letak kepala bayi yang sudah menukik di jalan lahir -- sehingga istriku
susah berjalan dan kami kuatir terjadi keguguran. Ternyata itu keputusan yang
salah karena justru mengganggu pergerakan alamiah sang bayi. Benar kata orang
bijak, saat istri kita hamil semua orang di sekeliling kita mendadak menjadi
ahli kehamilan. Semua memberikan saran dan rekomendasi tak peduli benar-benar
tahu atau cuma sok tahu. Tapi semua terpulang kepada kita sebagai decision maker. Dan saat itu aku membuat
keputusan yang keliru. Maafkan Abi, ya
Ummi, ya Nak!
Dengan menahan nafas � karena kecewa istriku
tak bisa melahirkan normal sekaligus terbayang bilangan nominal tabungan yang
akan keluar � sang decision maker yang
pernah keliru ini menyanggupi. Lebih tepatnya, terpaksa menyanggupi karena toh
tak ada opsi lain. Disepakatilah jadwal check
up terakhir � yang jika perlu, berdasarkan hasil pemeriksaan lab dan
lain-lain, merupakan tanggal operasi persalinan � pada hari Selasa, 18 November
2008. Ancer-ancer dokter, jika positif, operasi caesar akan dilakukan pukul lima sore.
Nah, di Selasa pagi itulah, sebagai pekerja
(yang notabene masih 'kuli' orang lain) dan calon ayah, aku terjebak dilema. Di
saat seperti itu aku jadi bernostalgia masa-masa "merdeka" sebagai penerjemah full time freelance yang relatif bebas mengatur waktu. Tidak bergantung pada
jadwal kantor atau ngamuk tidaknya boss kita jika kita berkali-kali izin terutama di saat pekerjaan menumpuk.
Melihat aku pagi-pagi
merenung, dengan gaya standarku yang bertopang dagu dan kening berkerut, Yuni
segera paham dan memberikan solusi. "Ya udah, abang ngantor aja." Ajaib! Sebelas bulan berumahtangga ternyata
memberikan sang istriku tersayang kemampuan membaca pikiran. Setidaknya ilmu
empatinya lebih terasah ketimbang aku yang kadang masih saja asyik
menerjemahkan � order penerjemahan di luar kantor � sementara Yuni menatapku
dengan isyarat punggungnya minta diusap.
Ibu hamil memang paling suka jika punggung
bagian bawahnya diusap-usap. Konon rasa usapannya itu bisa terasa hingga ke
perut dan bayi � yang di trimester ketiga sangat aktif bergerak hingga membuat
nyeri dan sesak ibunya -- jadi lebih anteng.
Alhasil, Yuni pun jadi lebih bisa tidur lelap. Setidaknya dalam standar tidur
lelap seorang ibu hamil. Karena bagi bumil, di trimester tiga, tidur lelap
adalah barang mewah.
Singkat cerita, setelah mengantongi empati
dan restu istriku, aku berangkat ngantor. Itu pun dengan perasaan paranoid sendiri
(tentu saja tidak rame-rame karena bisa terjadi histeria massal) dalam segala
hal. Saat menyeberang menuju
Stasiun Lenteng Agung, aku jadi kelewat amat sangat berhati-hati sekali. Takut
ketabrak nanti tak bisa melihat bayiku yang sudah aku tunggu 31 tahun ini
(semasa bujang pun aku sudah pingin punya anak, soalnya). Waktu naik kereta
yang berjubel hingga ke pintu, meski aku berada di tengah, jadi paranoid takut
keseret ke pintu dan terjatuh. Sungguh menyebalkan. Karena hari itu jadi tak
biasa dan terasa lamban.
Di kantor, tak seperti biasa � mungkin
kehendak Tuhan � kerjaan sepi. Padahal biasanya di akhir tahun begini deadline order terjemahan menggila.
Persis kebiasaan pegawai kelurahan, aku dan teman-teman kantor ngobrol
ngalor-ngidul. Aku jadi pembicara utama soal kehamilan istriku. Karena memang
tak ada orang lain di kantor yang bisa bicara itu (karena yang hamil istriku).
Jelang tengah hari, masuk sms dari Yuni.
Beritanya? Ternyata pihak rumah sakit menelepon agar istriku segera datang ke
rumah sakit. Rencana tes lab dimajukan jadi pukul satu siang. Yuni mohon doa
dan mengungkapkan ketakutannya. Dengan gaya motivator ulung a la Mario Teguh, aku memberikan advis
bernuansa Law of Attraction kepadanya
plus amalan wirid Asmaul Husna sebagai penenang.
Ketika hape ditutup, aku masih berharap
dapat menemani Yuni di ruang operasi jika hari itu juga ia harus menjalani
operasi caesar. Prediksiku operasi � jika harus dilakukan � sekitar pukul lima sore. Dan aku masih
bisa mengejarnya dengan pulang dari kantor jam empat sore. Untuk pergi ke rumah sakit, sudah ada ibu
mertua, paman istri dan adik iparku yang mengantar. Lengkap sudah armada dan
sopir menuju medan
jihad.
Persis jam satu siang, setelah sholat Zuhur,
ibu mertua menelpon.
"Salam, Yuni jam satu
ini dioperasi. Tanda tangan suami sudah ibu wakilkan," ujar ibu mertua. Alamak.
Rupanya tanpa tes lab lagi operasi caesar dimajukan 4 jam. Sebagai suami, aku
merasa tak lengkap. Karena bukan aku yang menandatangani surat persetujuan
operasi caesar istriku. Dan aku
tak dapat mendampingi istriku di ajang hidup mati itu. Selain karena faktor
waktu juga karena mendadak perutku mulas luar biasa.
Duh,
ini kebiasaan lamaku jika sangat tegang. Terakhir kali aku mengalaminya saat didaulat berpidato
sebagai SK Idol pada HUT ke-1 Sekolah Kehidupan di Kuningan pada 2007. Tapi
kali ini tegangnya kurang ajar betul. Hingga aku harus buang hajat dalam waktu
lama di toilet. Sekaligus membuat Rivai � teman kantorku � yang berinisiatif
baik mengantarku ke Pasar Minggu dengan motornya harus cengok menunggu di depan gerbang kantor seperti tukang ojek
menunggu penumpang. Untuk hal ini tak sepenuhnya salahku. Sudah lama aku menyarankan
kepada temanku itu untuk mengganti model helm motornya.
Tiba di RSUD Pasar Rebo
� di tengah macetnya lalu lintas di mendung Jakarta � pukul setengah dua lewat,
aku bergegas memburu lift ke lantai 4, sesuai info dari adik iparku via sms,
dengan gaya orang kebelet buang hajat. Lebih
sopannya, dengan gaya
orang pingin ambil duit gajian. Terburu-buru, intinya.
Memang isti'jal alias tergesa-gesa itu tidak
baik. Aku memang tiba di lantai 4. Tapi bukan lantai 4 tempat ruang operasi. Ola la, ternyata RS Pasar Rebo punya dua
gedung yang dibangun menyatu. Alhasil, ada dua lantai 4 di satu bangunan. Aku,
berbekal petunjuk petugas cleaning service yang simpatik dan baik budi, turun
lagi ke lantai 2 dan berbelok ke kiri dari tempatku naik lift yang pertama. Inilah
titik persambungan dua gedung itu. Di dekat lift persis di depan kios koran dan
gerai donat, aku menunggu lift dengan dag-dig-dug- der. Oh,
God, I am nervous!Syukurlah kali ini tidak dibarengi dengan mulas. Ia sudah aku tinggal di
kantorku di Pasar Minggu. Karena
ia bukan pendamping yang baik saat kondisi tegang begini.
Alhamdulillah, di lantai 4 yang benar-benar
tujuanku, aku ketemu dengan rombongan pengantar istriku yang juga wajah mereka
tak kalah pias. Terutama ibu mertua. Maklum, bayiku adalah cucu pertamanya.
Sementara Wak Ngah, salah satu paman istri, berusaha menenangkan kami.
"Tenang ajalah. Ayah (ia memang membahasakan dirinya demikian) malah waktu itu liat
langsung persalinan caesar Eka. Lancar-lancar aja kok. Sekarang semua sudah canggih. Sudah
biasa itu di-caesar. Aman, Insya Allah," ujarnya memberi semangat. Aku yang
mengambil tempat di kursi pojok tersenyum basa-basi. Tapi lantas tak urung Wak Ngah berjalan
mondar-mandir tak keruan di ruang tunggu itu. Ah, tak apalah, aku hargai niat baiknya menghibur kami�
Selama menunggu, tak putus-putus hafalan
Qur'an kulafalkan. Juga Al Ma'tsurot. Masih kurang juga, aku lanjutkan dengan
tilawah Surah Yasin dnegan penuh harap akan keselamatan istri dan anakku. Apa
pun jenis kelaminnya dan putih atau hitamkah warna kulitnya. Inilah harapan
universal setiap calon ayah di muka bumi.
"Katanya cuma setengah jam ya, Ning," ujar
Wak Ngah yang mendadak lupa kepada kata-katanya sendiri. Bu Ayuningsih, ibu
mertuaku, merengut. Aku tersenyum geli. Dalam literatur operasi caesar
pengambilan bayi memang hanya setengah jam. Namun perlu waktu lebih hingga 2-3
jam untuk menjahit luka pada perut si ibu. Untunglah bertubi-tubi sms doa dan
motivasi dari para Sahabat di Sekolah Kehidupan (Mas Adjie, Novi,
Nia, Mas Suhadi, Pak Teha, Kang Dani, Sinta, Ugik, Mbak Rinurbad, Retno &
Catur, Kang Hadian dll) dan teman-temanku yang lain setia menemani dalam kurun
waktu itu. Bahkan sebagian langsung menelpon meski � maaf ya! � saat itu aku
harus menjawab dengan suara bergetar saking tegangnya penantian. Besarnya
harapan kadang menjadi beban.
Hukum relativitas waktu hari itu juga bekerja
efektif. Waktu serasa ngesot. Dalam
lantunan doa dan gumpalan harap, ditingkahi siaran infotainment dari TV di ruang tunggu, aku merasa pasrah pada-Nya.
Aku hanya menyisipkan doa pamungkas kepada Allah di ujung penantian dua jam
yang menyiksa itu. Ya Allah, aku sudah
banyak kehilangan. Kehilangan ayah, ibu dan kakak sulungku yang guru menulisku
dan guru ngaji pertamaku. Kehilangan biro penerjemahanku dan segenap
hartaku selepas banjir bandang 2007 lalu. Tapi,
ya Allah, tak usah engkau kembalikan semua itu karena aku sudah relakan
semuanya. Cukup tambahkan satu saja untukku dan jangan kau ambil istriku
sebelum aku dapat memenuhi janjiku untuk membuatnya tinggal di rumah milik kami
sendiri dan mengajaknya berhaji...
Mungkin, kata Hanung
Bramantyo, itu termasuk kategori doa yang mengancam. Tapi setidaknya aku lega
sudah curhat kepada Tuhan. Karena kita tak boleh sombong dengan hanya
bergantung pada kecanggihan teknologi manusia. Tuhanlah yang punya kuasa. Dalam
hal apa pun. Terlepas kita percaya atau tidak akan keberadaan-Nya.
Lima menit jelang azan
Ashar, pintu ruang operasi terbuka. Istriku dalam kondisi lemas dan wajah pucat
diantar keluar dengan masih berbaring di atas tempat tidur. Dua orang perawat
muda mengantarnya ke ruang perawatan. Aku menyambutnya dengan haru dan ciuman
di dahi.
"Udah liat bayinya?"
Itu pertanyaan pertama Yuni. Rupanya selama di ruang operasi Yuni belum sempat
melihat bayinya. Ia hanya mendengar suara tangisan sang bayi yang segera
dibersihkan. Bahkan Yuni sempat melarangku untuk ikut ke ruang perawatan di
lantai 3 agar aku bisa melihat sang bayi. Biar bisa menceritakan kondisi
bayinya, alasan Yuni. Ah, mungkin ini
naluri seorang ibu. Aku jadi paham sepaham-pahamnya mengapa dalam setiap
kasus perceraian seorang ibu akan mati-matian mendapatkan hak pengasuhan
anaknya.
Tepat azan Ashar. Pintu
ruang operasi kembali terbuka. Kali ini seorang bayi montok sehat kemerahan
diantar para perawat dalam sebuah boks mungil beroda. Tangisnya memekakkan
telinga. Tangan dan kakinya bergerak-gerak lincah. Tertera pada catatan di boks: berat 3,150 kg
dengan panjang 50 cm. Rambutnya hitam dan tebal ikal seperti rambutku. Tapi
wajahnya seperti ibunya.
"Aih, cantiknya!" seru
ibu mertuaku. Ia memang sangat ingin punya cucu perempuan. Katanya anak
perempuan enak, bisa didandanin. Maklum, ia penata rias penganten.
"Ibu, ini laki-laki," ujar salah satu
perawat seraya menyingkap selimut bayi. Tampaklah jelas kelamin anakku. Anak
pertamaku laki-laki. Sungguh ideal sekali dalam pandangan tradisional sebagian
suku di Nusantara.
Tapi ibu mertua tak
patah arang. Ia memang sudah lama mendamba cucu karena baru satu orang anaknya
--- dari ketiga anaknya � yang menikah. Tatapan matanya dan bahasa tubuhnya
menyiratkan sekali hal itu. Aku jadi teringat almarhumah ibuku yang dulu tak
sempat melihat cucu pertamanya lahir. Ibuku wafat karena tumor ginjal saat cucu
pertamanya masih berusia 3 bulan dalam kandungan. Kali ini aku jadi rindu
almarhumah ibuku yang juga tak bisa melihat anakku, cucu kelimanya. Juga rindu
almarhumah aba, panggilan ayahku,
yang dulu selalu menyindirku dengan bilang,"pengen deh dapat cucu dari Salam"
karena beliau selalu mendesakku � dengan caranya yang khas � untuk segera menikah. Aba, ibu, I miss u....
Segera, setelah
menunggu ibu mertua mengagumi cucu pertamanya, aku mengazani bayi itu. Ya,
bayiku sendiri! Dulu aku pernah mengazani bayi ketika keponakan pertamaku,
Rayhan Wildan Ramadhani � ini nama pemberian dariku � lahir tahun 2000 di RSCM,
Jakarta. Mengazani bayi � dan iqomah di telinga kiri � selalu berkesan. Tapi
kali ini terasa berbeda. Ah, inikah
naluri seorang ayah?
Di masjid rumah sakit, selepas mengurus
administrasi rumah sakit dan sholat Ashar, aku bersujud syukur. Aku kini �
dengan anugerah Allah � menjadi ayah. Suatu amanah yang berat atas kepercayaan
Allah ini. Sebuah amanah bernama Muhammad
Alham Navid. Sebuah nama yang kami rancang jauh-jauh hari � bahkan
dirahasiakan kepada keluarga dekat sampai hari-H untuk menghindari plagiarisme
-- yang bermakna "Inspirasi terpuji yang
membawa gelombang kebahagiaan". Berbekal panduan buku nama-nama bayi (special thanks to Mbak Rinurbad!),
didapatlah nama tersebut yang � menurut Mbak Rinurbad yang konsultan nama-nama
bayi � bagus, unik dan langka. Semoga
sebagus itu juga akhlak dan takdir nasibnya!
Khusus untuk kata Alham, selain varian dari ilham dalam bahasa Arab, ini juga diambil dari nama Asahan Alham, yang akrab
dipanggil Asan, seorang novelis eksil Indonesia yang terusir dari Indonesia
pada era 1960-an dan mengungsi ke Vietnam hingga menjadi profesor bahasa di
sana dan dianugerahi penghargaan sekaliber Mahaputera untuk jasanya
mengembangkan bahasa Indonesia di Vietnam dan mempererat persahabatan budaya
antara Vietnam dan Indonesia. Novelnya berjudul Perang dan Kembang yang mengisahkan pengalaman hidupnya bersama
rakyat Vietnam melawan imperialisme Amerika Serikat semasa
Perang Vietnam (1970-an)
sangat memukauku ketika aku mendapatinya di sebuah perpustakaan umum di Jakarta. Terlepas dari
anutan ideologinya, Asahan Alham potret aktivis-penulis- pejuang pantang
menyerah yang kukuh di mana pun lubuknya ia berada. Aku harap aura positif
tersebut memancar kepada anakku kelak.
Jika ada kekecewaan � karena manusia, kurang
ajarnya, tak pernah puas � adalah karena istriku tak bisa melakukan inisiasi
menyusui dini. Perih juga hatiku menyaksikan bayiku baru bisa menikmati
laktogen yang diberikan perawat dan bukan kolostrum ASI ibunya. Tapi, apalah daya, Yuni yang dirawat di Ruang
Delima (Kelas 2) 305-8 dan Alham yang dirawat di ruang perinatologi masih belum
bisa dirawat gabung. Yuni masih terlalu lemah dan menahan nyeri yang amat
sangat � terlihat dari wajahnya � karena pengaruh obat bius yang mulai menghilang. Panas
sekali, rintihnya. Sementara obat pereda nyeri baru boleh diberikan pada pukul
sepuluh malam. Artinya, selama setengah hari atau enam jam, istriku harus
berjuang menahan sakit. Tapi telepon dari sahabat-sahabatnya yang membuatnya
berbicara dan curhat juga dapat membuatnya melupakan nyeri.
Melihat kondisi Yuni sedemikian nelangsa, aku mengurungkan niatku di
awal nikah dahulu untuk punya anak sebanyak jumlah saudara kandungku. Enam
orang. Sebenarnya dua belas, karena yang enam meninggal waktu kecil atau dalam
kandungan. Maklum, ibuku menikah muda di usia 16 tahun. Dan ibuku bukan Yuni.
Mereka juga terpisah oleh zaman yang berbeda. Biarlah aku kubur egoisme
maskulinitas itu demi sang istri yang telah berjuang heroik selama kehamilan �
yang rasanya wahnan 'ala wahnin,
sakit di atas sakit � dan selama persalinan. Oh, I love u, Babe...
Terinspirasi semangat
istriku, pukul sebelas malam, sepulang dari rumah sakit, aku mencuci sendiri
ari-ari bayiku dan menguburnya dengan berbungkus kaus putih � karena tak ada
kain putih sebagai syarat dari orang-orang tua yang menyuruhku � dan
menguburnya dengan didahului doa-doa di dekat pot tanaman hias ibu mertua.
Semula aku ingin menguburnya � karena banyaknya syarat yang harus dipenuhi �
sekalian saja di pot anthurium gelombang cinta koleksi ibu mertua. Biar makmur jadi milyader anakku. Tapi
kubatalkan karena pertimbangan stabilitas sosial politik rumah tangga dan
lain-lain. Itu pun prosesi penguburan ari-ari sudah aku persingkat, jika
dibandingkan petuah dari Wak Ngah dan ibu mertua yang bahkan sampai harus
mengubur alat-alat tulis agar si Alham jadi anak pinter.
"Sekalian saja laptop, Wak!" ledek Sutami,
adik iparku. Wak Ngah melotot kesal. Duh,
tradisi!
Sebelumnya pukul sepuluh malam aku melangkah
pulang dari rumah sakit dengan langkah-langkah panjang dan hati senang. Aku
tidak menginap di rumah sakit. Sudah ada ibu mertua dan Wak Ngah yang menunggui
istriku. Apa boleh buat, aku harus ngantor dan selesaikan proyek-proyek terjemahan di luar kantor � sebagai penghasilan
tambahan � yang bertenggat ketat. Kata istriku, demi dua ekor kambing aqiqah.
Ya, demi anak. Karena kini aku seorang ayah. Bagi seorang ayah baru, hiruk
pikuk bising berpolusi lalu-lintas Jakarta
pun serasa konser musik paling syahdu malam itu.
Sahabat, makasih atas semua doa dan motivasinya. Terus
doakan kami ya!
Jakarta, 19
November 2008
--
-"Let's dream together!"
Nursalam AR
Translator, Writer & Writing Trainer
0813-10040723
E-mail: salam.translator@ gmail.com
YM ID: nursalam_ar
http://nursalam. multiply. com
- 8e.
-
Re: [catcil] Hari Pertama Menjadi Ayah
Posted by: "sismanto" siril_wafa@yahoo.co.id siril_wafa
Tue Nov 18, 2008 6:56 pm (PST)
He...iya Mbak RIn, koq sempat-sempate rebutan anak, suatu saat bisa
konsultasi nama sama Mbak Rini ^_^ (hikss...ngelantur koq mbak)
Sekali lagi selamat ya mas Nur,sebagai ayah semoga Alham menjadi anak
yang sholeh.
-sis-
--- In sekolah-kehidupan@yahoogroups. , "Nursalam AR"com
<nursalam.ar@...> wrote:
>
> *Hari Pertama Menjadi Ayah*
>
- 9.
-
Pendaftaran Beasiswa Sekolah-Menulis Online Tinggal 6 Hari Lagi :)
Posted by: "Jonru" jonrusaja@gmail.com j0nru
Tue Nov 18, 2008 6:27 pm (PST)
Buruan bagi yang belum mendaftar.
Klik saja http://www.belajarmenulis.com/ beasiswa- sekolah-menulis- online-angkatan- ke-3
--
Thanks dan wassalam
Jonru
Penulis Buku "Menerbitkan Buku Itu Gampang!" (MBIG)
http://www.MenerbitkanBukuItuGampan g.com/
Founder PenulisLepas.com & BelajarMenulis. com
http://www.penulislepas.com/ v2
http://www.belajarmenulis.com/
Telp: 0852-1701-4194 / 021-9829-3326
YM: jonrusaja
Belajar Menulis Jarak Jauh, Kapan Saja di Mana Saja, Berlaku Internasional
=====>>> http://www.SekolahMenulisOnline. com
Personal blog:
http://www.jonru.net
http://jonru.multiply. com
- 10a.
-
Re: Mohon doa Untuk Istri Nursalam
Posted by: "apriyanto aris" apri_eldurra@yahoo.com aris_eldurra
Tue Nov 18, 2008 6:39 pm (PST)
semoga Allah memberi kemudahan mas...doa kami dari solo...
- 11.
-
Bls: [sekolah-kehidupan] Re: (Lonceng) SK Junior Bang Nursalam Nongo
Posted by: "Lily Ceria" lilyceria@yahoo.co.id lilyceria
Tue Nov 18, 2008 6:40 pm (PST)
Amiin Allohumma Amiiin
Salam
Lily Liandiana
_____________________ _________ __
Dari: Rini Agus Hadiyono <rinurbad@yahoo.com >
Kepada: sekolah-kehidupan@yahoogroups. com
Terkirim: Rabu, 19 November, 2008 07:35:54
Topik: [sekolah-kehidupan] Re: (Lonceng) SK Junior Bang Nursalam Nongol ke Bumi
Subhanallah, alhamdulillah.
Turut berbahagia atas lahirnya 'Ilham Menggembirakan' (Alham Navid).
Semoga menjadi putra yang menebarkan berkah hangat cinta..merekatkan
kemesraan ayah-ibunya dalam lindungan Sang Maha Penyayang. Amin.
Rini Nurul Badariah dan Agus Hadiyono
_____________________ _________ _________ _________ _________ _
Dapatkan alamat Email baru Anda!
Dapatkan nama yang selalu Anda inginkan sebelum diambil orang lain!
http://mail.promotions. yahoo.com/ newdomains/ id/
Need to Reply?
Click one of the "Reply" links to respond to a specific message in the Daily Digest.
Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Individual | Switch format to Traditional
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe
Tidak ada komentar:
Posting Komentar