Senin, 17 November 2008

[daarut-tauhiid] Maryudi, Guru dengan Bayaran Rp. 100,-/minggu

taken from http://warnaislam.com

Boleh jadi kita termasuk yang sering menyepelekan uang receh nilai
seratus rupiah. Kembalian belanja di warung, dianggap tidak berharga.
Beberapa orang bahkan sengaja tidak mengambil uang kembalian berupa
beberapa koin cepe'an itu dan dibiarkan tergeletak begitu saja di meja
kasir pusat perbelanjaan. Sebagian orang tersenyum tanda setuju kepada
petugas kasir yang menukar uang seratus dengan sebutir permen.

Di rumah dan di kantor, uang koin seratus rupiah berserakan di lantai
atau menumpuk di laci tanpa kejelasan penggunaannya kecuali menunggu
pengamen dan pengemis datang. Sebab nilai mata uang terkecil itu pun
kadang tak berlaku untuk tukang parkir, bahkan untuk uang jajan
anak-anak di sekolah pun tak disentuh, "Seratus? Dapat apa?" kata mereka.

Tahukah Anda bahwa uang receh seratus rupiah sangat berharga bagi
seseorang? Maryudi, 36 tahun, seorang guru mengaji anak-anak di
Kampung Nangela, Desa Jagabita, Kecamatan Parung Panjang, Kabupaten
Bogor. Setiap sore mengajar anak-anak di majelis yang berdiri di
halaman rumahnya, bayaran Yudi hanya Rp. 100,- per anak per minggu.
"Itu juga nggak wajib, dan kebanyakan yang nggak bayar," sela Linda,
isteri Yudi.

Mulanya, ungkap Yudi, anak-anak yang belajar mengaji ada sekitar
seratus anak. Tapi sekarang tinggal lima puluhan anak. "mereka takut,
soalnya majelisnya hampir roboh," terang Yudi sedih. Majelis seluas
7x7 meter yang berdiri di halaman rumah Yudi dibangun sekitar tahun
1993 dengan swadaya masyarakat. Seluruh bahan bangunan model panggung
itu menggunakan bambu, mulai dari bawah sampai ke penyangga atap.
Atapnya menggunakan genteng tanah, sedangkan dindingnya terbuat dari
bilik.

Sebagian lantainya sudah bolong, hal ini yang membuat anak-anak takut
karena bisa kejeblos ke bawah. Belum lagi beberapa kaki penyangga yang
agak miring, jelas sangat mengkhawatirkan. Pintunya sudah rusak,
atapnya pun bocor di beberapa bagian. Padahal majelis ini masih sering
dipakai untuk mengaji anak-anak setiap sore, pengajian ibu-ibu setiap
hari Kamis dan untuk bapak-bapak Minggu malam. "Ingin sekali
memperbaikinya, tapi tidak ada dananya," ungkap guru muda itu.

Uang seratus rupiah sangat berharga bagi Yudi, namun ia jelas tak bisa
mengandalkan kebutuhan hidupnya dari uang yang tak seberapa itu. Maka
ia pun bertani, menggarap sawah dan kebun yang bukan miliknya, sekadar
untuk mendapatkan makan sehari-hari ia, isteri dan lima anaknya.

Tidak ada barang berharga di rumah berdinding bata merah yang belum
diplester itu. Hanya ada satu televisi hitam putih 14 inchi keluaran
tahun 1980an bermerk Intel, merk yang mungkin sudah tidak diproduksi
lagi. Barang berharga lainnya ada sebuah magic jar, untuk memasak dan
menghangatkan nasi. Selebihnya, nyaris tidak ada apapun di rumah itu.
Dapurnya masih berlantai tanah, dihiasi dua baris tungku api. Mereka
masih menggunakan kayu bakar untuk memasak. Tidak ada kamar mandi di
rumah itu, hanya ada bilik berukuran 3x4 meter dengan sebuah sumur tua
yang sangat dalam.

Isterinya yang masih berusia 25 tahun, terlihat masih sangat muda
menanggung amanah mendidik lima anak, masing-masing Ulfi Mahendra
(12), Selvi (9), Sela (8), Resa (4) dan Olip (16 bulan). Ketika
penulis bertandang ke rumah Yudi, Resa si pengais bungsu tengah
menikmati sepiring kecil nasi dengan kerupuk sebagai lauknya. Resa
diduga menderita gizi buruk karena di usianya yang sudah empat tahun
hanya memiliki berat badan 9,5 kg. Lingkar lengannya seukuran bayi
usia 6 bulan, matanya celong, dan wajahnya pucat tanpa ekspresi.

Serba salah bagi Yudi, ingin sekali ia mencari pekerjaan lain di luar
kampungnya demi memberikan penghidupan yang lebih baik untuk
keluarganya. Namun keterbatasan keterampilan membuatnya ragu
melangkah. Selain itu, ia juga khawatir dengan pembinaan anak-anak di
kampungnya. "nggak ada yang mau ngajar ngaji tanpa dibayar, kalau pun
ada ya segitu bayarannya…"

Sebaiknya memang harus ada orang-orang yang mendedikasikan dirinya
untuk pembinaan anak-anak di sekitarnya. Namun dengan kondisi seperti
Yudi, ia harus bertarung antara kebutuhan hidupnya dengan keinginan
untuk terus membina anak-anak kampung. Sebuah kondisi yang selalu
membuatnya bingung. Ditambah lagi dengan kondisi majelis yang nyaris
roboh, berdoa saja tidak cukup bagi Yudi. Namun usaha seorang Yudi pun
sendirian bisa dipastikan takkan berhasil menyelesaikannya. Untuk
memenuhi kebutuhan hidup keluarganya saja ia masih kewalahan.

Hmm, sekadar membaca artikel ini saja tidak cukup buat kita bukan?
Mulailah dengan tak menganggap remeh koin seratus rupiah Anda, karena
itu sangat berarti bagi seorang seperti Maryudi. (Gaw)

__._,_.___
===================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
===================================================
       website:  http://dtjakarta.or.id/
===================================================
Recent Activity
Visit Your Group
New web site?

Drive traffic now.

Get your business

on Yahoo! search.

Moderator Central

Get answers to

your questions about

running Y! Groups.

John McEnroe

on Yahoo! Groups

Join him for the

10 Day Challenge.

.

__,_._,___

Tidak ada komentar: