Messages In This Digest (25 Messages)
- 1a.
- Re: Lakukan semampumu From: sismanto
- 1b.
- Re: Lakukan semampumu From: galih@asmo.co.id
- 2a.
- Re: (inspirasi) Belajar Dari Seorang Rama From: sismanto
- 3a.
- Re: (Lonceng) SK Junior Bang Nursalam Nongol ke Bumi From: fil_ardy
- 4a.
- Re: [catcil] Hari Pertama Menjadi Ayah From: Andri Triwidyastuti
- 4b.
- Re: [catcil] Hari Pertama Menjadi Ayah From: fil_ardy
- 4c.
- Re: [catcil] Hari Pertama Menjadi Ayah From: aisyah muchtar
- 4d.
- Re: [catcil] Hari Pertama Menjadi Ayah From: WORD SMART CENTER
- 4e.
- Re: [catcil] Hari Pertama Menjadi Ayah From: WORD SMART CENTER
- 4f.
- Re: [catcil] Hari Pertama Menjadi Ayah From: veby
- 4g.
- Re: [catcil] Hari Pertama Menjadi Ayah From: novi_ningsih
- 4h.
- Re: [catcil] Hari Pertama Menjadi Ayah From: Lia Indriati
- 4i.
- Re: [catcil] Hari Pertama Menjadi Ayah From: Lia Indriati
- 5a.
- Re: Apa Khabar ESKA? From: fil_ardy
- 6a.
- [Lonceng] Mohon doa - Mirza opname (anak Mbak Syasya) From: Humas Sekolahkehidupan
- 6b.
- Re: [Lonceng] Mohon doa - Mirza opname (anak Mbak Syasya) From: fil_ardy
- 6c.
- Re: [Lonceng] Mohon doa - Mirza opname (anak Mbak Syasya) From: fil_ardy
- 6d.
- Re: [Lonceng] Mohon doa - Mirza opname (anak Mbak Syasya) From: yudhi mulianto
- 7.
- [Info] Buku Puisi Nur Wahida Idris - Mata Air Akar Pohon From: Epri Saqib
- 8.
- (catcil) and The Winner is... From: aisyah muchtar
- 9a.
- (Ruang Lobi) Perkenalan... From: Putri Agus Sofyan
- 9b.
- Re: (Ruang Lobi) Perkenalan... From: ugik madyo
- 10.
- (mimbar) Selamat Karena Shodaqoh From: agussyafii
- 11a.
- Bls: [sekolah-kehidupan] [catcil] Hari Pertama Menjadi Ayah From: bujang kumbang
- 12a.
- Re: (CERPEN) Dia Tak lagi Mengepak----bwt Mba retno From: Arrizki Abidin
Messages
- 1a.
-
Re: Lakukan semampumu
Posted by: "sismanto" siril_wafa@yahoo.co.id siril_wafa
Tue Nov 18, 2008 7:01 pm (PST)
Waalaikumsalam wr. wb.
Makasih ceritanya hari ini Pak/Bu Syahrenan..
menambah pelajaran saya hari ini. ditunggu cerita lainnya ya.
oh iya...diawal judul nanti ditambahi (Catcil) ya pak :)
-sis-
--- In sekolah-kehidupan@yahoogroups. , "syahrenan" <syahrenan@.com ..>
wrote:
>
- 1b.
-
Re: Lakukan semampumu
Posted by: "galih@asmo.co.id" galih@asmo.co.id
Wed Nov 19, 2008 12:16 am (PST)
Membacanya membuat mata saya kembali terjaga dan keyakinan ini kembali
menguat
bahwa apapun kebaikan yang dilakukan tidak ada yang sia-sia di sisi Allah.
TFS dan salam kenal dari saya.
Salam,
Galih
"syahrenan" <syahrenan@yahoo.co.id >
Sent by: sekolah-kehidupan@yahoogroups. com
11/18/2008 05:56 PM
Please respond to sekolah-kehidupan
To: sekolah-kehidupan@yahoogroups. com
cc:
Subject: [sekolah-kehidupan] Lakukan semampumu
Assalamualaikum....
Satu lagi cerita yang sayang bila tidak dibagi dengan teman-temanku
semua. Ini adalah cerita tentang seorang kakak sekaligus seorang
saudara dan seorang ibu yang begitu semangat dan cintanya dalam
membiayai keluarganya.
Sebut saja namanya bu Mira. Beliau memiliki 7 orang saudara akan
tetapi semuanya itu adalah saudara tirinya. Ayahnya menikah lagi. Tapi
malang setelah anak ke tujuhnya lahir sang ayah meninggal. Otomatis
sebagai kakak tertua dia harus menggantikan posisi ayahnya sebagai
kepala keluarga dan pencari nafkah bagi keluarganya. Apalagi sekarang
dia harus menghidupi 7 orang saudara tiri dan 2 orang ibu yang sudah
renta. Ibu kandungnya dan ibu tirinya. Bu Mira mencari nafkah sebagai
penjual gorengan dan buruh cuci di lingkungan tempat tinggalnya.
Setiap hari dia melakukan semua itu tanpa banyak mengeluh. Mengeluh
karena hanya dia seorang yang harus menanggung beban keluarga,
mengeluh karena hanya dia yang notabene adalah saudara tiri harus rela
membiarkan masa sekolahnya habis untuk membiayai adik-adik tirinya.
Tapi begitulah Bu Mira. Dia tidak mengeluh karena dia sayang pada
keluarganya.
Setiap hari dia bekerja mengumpulkan uang untuk menyekolahkan
adik-adiknya dan ini tak tanggung-tanggung dia menyekolahkan adiknya
sampai ke jenjang perguruan tinggi. Mungkin sangat mustahil jika kita
memikirkannya. Dia hanyalah seorang penjual gorengan dan buruh cuci
tapi mampu menyekolahkan adik-adiknya kejenjang yang tinggi. Tak hanya
itu juga setelah ia menikah dan mempunyai anak dan suaminya meninggal
dia pun harus memikirkan nasib kedua putrinya.
Semua adiknya ia sekolahkan sampai ketujuhnya menjadi orang yang
berhasil. Ada yang menjadi seorang dokter, pegawai PLN, pegawai Telkom
dan posisi-posisi yang tidak diremehkan dimasyarakat. Dia sangat
bangga sekali dan tak pernah sekalipun terlintas dibenaknya bahwa apa
yang ia lakukan itu suatu saat bisa dikembalikan oleh saudaranya.
Tidak. Sama sekali tidak. Hal itu ia lakukan hanya semata-mata karena
kasih sayangnya dan tanggung jawabnya di hadapan Allah.
Tapi setelah semua saudaranya berhasil ia kebingungan karena kedua
anaknya telah beranjak dewasa dan mau memasuki jenjang perkuliahan
akan tetapi ia sudah tidak punya apa-apa dan tenaganya yang semakin
berkurang. Ia hanya pasrah pada pertolongan Allah, tapi tak disangka
dan tidak diduga ia mendapat berita yang sangat membahagiakan. Kedua
anaknya mendapatkan beasiswa penuh sampai jenjang S1 disebuah
perguruan tinggi terkenal di kota Malang. Subhanallah?. Pertolongan
Allah memang tidak disangka-sangka dari mana. Dan harus kita garis
bawahi bahwa saat menolong seseorang janganlah kita memikirkan tentang
balasanya akan tetapi tolonglah semampu anda. Sebisa anda, karena anda
tidak hanya bertransaksi dengan manusia saja. Akan tetapi anda juga
sedang bertransaksi dengan sang pemberi segalanya. Bukankah saat kita
menolong seseorang maka Allah juga menolong kita??
- 2a.
-
Re: (inspirasi) Belajar Dari Seorang Rama
Posted by: "sismanto" siril_wafa@yahoo.co.id siril_wafa
Tue Nov 18, 2008 7:05 pm (PST)
makasih inspirasinya Bu Yulia,
ada banyak hal yang bisa dipelajari dari tulisan ibu, semakin membuat
saya semangat. melihat yang punya keterbatasan aja semangatnya luar
biasa, masak saya dan yang lainnya kalah :)
bukan masalah kalah mengalahkan,tapi minimal masalah semangat yang
perlu dijadikan guru. ^_^
-sis-
--- In sekolah-kehidupan@yahoogroups. , Yulia Savitricom
<metamorfosure@...> wrote:
>
> Namanya Rama, lengkapnya Eko Ramaditya Adikara. Pemuda 27 tahun
- 3a.
-
Re: (Lonceng) SK Junior Bang Nursalam Nongol ke Bumi
Posted by: "fil_ardy" fil_ardy@yahoo.com fil_ardy
Tue Nov 18, 2008 7:11 pm (PST)
Alhamdulillah Wasyukurillah. Bersyukur Pada Mu Ya Allah. Kau jadikan
kami saudara. Indah Dalam Kebersamaan. *loh kok nyanyi?*
Hehehe, selamat ya, Brow. Semoga Navid menjadi seperti yang kusebutkan
di sms tea. heuheuheu. Mangap telat ngucapinnya, lagi migrasi kantor
nih, jadi agak-agak riweuh. Hehehee
Pokokke sekali lagi, selamat beraktifitas di tengah malam ya. Hihihi
banyak2 minum vitamin biar bisa tetap vit kapanpun navid membutuhkan, mu.
Selamat menjadi ayaaah.
DANI
--- In sekolah-kehidupan@yahoogroups. , bujang kumbangcom
<bujangkumbang@...> wrote:
>
> Telah beronjol SK JUnior dari Bang Nursalam AR dan YuniĆ
Meganingrum nyang diberi nama Muhammad Alham Navid dengan BB: 3,150 kg
TB: 50 cm. Ngebrojol di RS Ps. Rebo Jkt Timur nyang lahir pada hari
Selasa, 18 November 2008 melalui operasi caesar. Moga menjadi anak
yang shale dan pintar kayak bokapnya. Jago nulis...hehehe. Selamat ya
Bang....(Akhirnya BangFy duluan yang ngabarin ke millis ESKA...hehehe)
- 4a.
-
Re: [catcil] Hari Pertama Menjadi Ayah
Posted by: "Andri Triwidyastuti" andricupu@yahoo.com andricupu
Tue Nov 18, 2008 7:12 pm (PST)
selamat ya, mas Salam. Semoga ananda Alham menjadi anak yang sholeh, pintar dan menjadi kebanggaan agama & keluarga. amien
--- On Tue, 11/18/08, Nursalam AR <nursalam.ar@gmail.com > wrote:
From: Nursalam AR <nursalam.ar@gmail.com >
Subject: [sekolah-kehidupan] [catcil] Hari Pertama Menjadi Ayah
To: sekolah-kehidupan@yahoogroups. , fkmui96@yahoogroupscom .com , flpdki@yahoogroups.com , penulislepas@yahoogroups. com
Date: Tuesday, November 18, 2008, 6:24 PM
Hari Pertama
Menjadi Ayah
Oleh Nursalam AR
Apa pun pengalaman
pertama seperti hari pertama masuk sekolah atau malam pertama pernikahan --
selalu menegangkan. Juga hari pertama menjadi seorang ayah.
Di awal hari, aku
bingung hendak izin tidak masuk kantor lagi atau tidak. Sebab sehari sebelumnya
aku sudah minta izin dari boss untuk
absen sehari terkait persiapan persalinan. Jumat pekan kemarin juga izin, karena jadwal check up istri di RSUD Pasar Rebo,
Jakarta Timur. Dan dokter meminta suami istriku yakni aku untuk khusus
datang karena ada masalah dengan kandungan istriku. Jadi ini hal penting yang
membutuhkan aku sebagai decision maker,
pengambil keputusan.
--
-"Let's dream together!"
Nursalam AR
Translator, Writer & Writing Trainer
0813-10040723
E-mail: salam.translator@ gmail.com
YM ID: nursalam_ar
http://nursalam. multiply. com
- 4b.
-
Re: [catcil] Hari Pertama Menjadi Ayah
Posted by: "fil_ardy" fil_ardy@yahoo.com fil_ardy
Tue Nov 18, 2008 7:33 pm (PST)
Uhuuuuy, Baarokallohulaka fiil mauhuubilaka, wa syakartal waahiba, wa
balagho asyuddahu, wa ruziqta birrohu.
Semoga Alloh memberikan keberkahan untuk dirimu atas (karunia) yg
diberikan kepadamu. Semoga engkau mensyukuri Yang Maha Memberi hingga
sang anak menjadi dewasa dan menjadi anak yang berbakti.
Selamat ya, brow. lengkap sudah kebahagiaanmu. Heuheuheu, jadi ikut
nostalgia juga nih, brow. Hehehe, wes pokoke sekarang mah udah tenang
lah ya.^^
Hehehe
DANI
In sekolah-kehidupan@yahoogroups. , "Nursalam AR" <nursalam.ar@com ...>
wrote:
>
> *Hari Pertama Menjadi Ayah*
>
> *Oleh Nursalam AR*
>
>
>
> Apa pun pengalaman pertama seperti hari pertama masuk sekolah atau
malam
> pertama pernikahan -- selalu menegangkan. Juga hari pertama menjadi
seorang
> ayah.
- 4c.
-
Re: [catcil] Hari Pertama Menjadi Ayah
Posted by: "aisyah muchtar" myaisyah_mymuchtar@yahoo.co.id myaisyah_mymuchtar
Tue Nov 18, 2008 9:53 pm (PST)
Subhanallah....:-)
Semoga Allah selalu memberikan kemudahan untuk keluarga Mas Nur :-).
Jadi ingat ibuku (allhu yarham). Aku juga kangen berat sama ibu (Allhu
yarham). Dan aku jadi gak bisa bayangin, begitu kuat dan sehatnya
kondisi beliau sehingga bisa melahirkan 12 anak dengan normal.
Alhamdulllah :-).
Salam untuk Alham dan Bundanya ya:-)
Salam kenal
nurhasanah muchtar
- 4d.
-
Re: [catcil] Hari Pertama Menjadi Ayah
Posted by: "WORD SMART CENTER" wordsmartcenter@yahoo.com wordsmartcenter
Tue Nov 18, 2008 10:24 pm (PST)
alhamdulillah
masa-masa menegangkan itu tlah berlalu
dan berganti dgn kebahagiaan
selamat datang Muhammad Alham Navid
smoga nanti bisa bermain bersama Fatih & Fathin
udo+ami=fatih/fathin
--- On Wed, 11/19/08, Nursalam AR <nursalam.ar@gmail.com > wrote:
From: Nursalam AR <nursalam.ar@gmail.com >
Subject: [sekolah-kehidupan] [catcil] Hari Pertama Menjadi Ayah
To: sekolah-kehidupan@yahoogroups. , fkmui96@yahoogroupscom .com , flpdki@yahoogroups.com , penulislepas@yahoogroups. com
Date: Wednesday, November 19, 2008, 2:24 AM
Hari Pertama
Menjadi Ayah
Oleh Nursalam AR
Apa pun pengalaman
pertama seperti hari pertama masuk sekolah atau malam pertama pernikahan --
selalu menegangkan. Juga hari pertama menjadi seorang ayah.
Di awal hari, aku
bingung hendak izin tidak masuk kantor lagi atau tidak. Sebab sehari sebelumnya
aku sudah minta izin dari boss untuk
absen sehari terkait persiapan persalinan. Jumat pekan kemarin juga izin, karena jadwal check up istri di RSUD Pasar Rebo,
Jakarta Timur. Dan dokter meminta suami istriku yakni aku untuk khusus
datang karena ada masalah dengan kandungan istriku. Jadi ini hal penting yang
membutuhkan aku sebagai decision maker,
pengambil keputusan.
Rupanya posisi bayi kami ternyata menyamping
alias lintang. Juga terlilit tali pusat. Tak ada jalan lain, kata sang dokter,
selain operasi caesar. Padahal istriku sudah aktif senam hamil. Ini akibat
kandungan istriku sempat dipijat dukun pijat saat usia kehamilan tiga bulan
karena letak kepala bayi yang sudah menukik di jalan lahir -- sehingga istriku
susah berjalan dan kami kuatir terjadi keguguran. Ternyata itu keputusan yang
salah karena justru mengganggu pergerakan alamiah sang bayi. Benar kata orang
bijak, saat istri kita hamil semua orang di sekeliling kita mendadak menjadi
ahli kehamilan. Semua memberikan saran dan rekomendasi tak peduli benar-benar
tahu atau cuma sok tahu. Tapi semua terpulang kepada kita sebagai decision maker. Dan saat itu aku membuat
keputusan yang keliru. Maafkan Abi, ya
Ummi, ya Nak!
Dengan menahan nafas karena kecewa istriku
tak bisa melahirkan normal sekaligus terbayang bilangan nominal tabungan yang
akan keluar sang decision maker yang
pernah keliru ini menyanggupi. Lebih tepatnya, terpaksa menyanggupi karena toh
tak ada opsi lain. Disepakatilah jadwal check
up terakhir yang jika perlu, berdasarkan hasil pemeriksaan lab dan
lain-lain, merupakan tanggal operasi persalinan pada hari Selasa, 18 November
2008. Ancer-ancer dokter, jika positif, operasi caesar akan dilakukan pukul lima sore.
Nah, di Selasa pagi itulah, sebagai pekerja
(yang notabene masih 'kuli' orang lain) dan calon ayah, aku terjebak dilema.. Di
saat seperti itu aku jadi bernostalgia masa-masa "merdeka" sebagai penerjemah full time freelance yang relatif bebas mengatur waktu. Tidak bergantung pada
jadwal kantor atau ngamuk tidaknya boss
kita jika kita berkali-kali izin terutama di saat pekerjaan menumpuk.
Melihat aku pagi-pagi
merenung, dengan gaya standarku yang bertopang dagu dan kening berkerut, Yuni
segera paham dan memberikan solusi. "Ya udah, abang ngantor aja." Ajaib! Sebelas bulan berumahtangga ternyata
memberikan sang istriku tersayang kemampuan membaca pikiran. Setidaknya ilmu
empatinya lebih terasah ketimbang aku yang kadang masih saja asyik
menerjemahkan order penerjemahan di luar kantor sementara Yuni menatapku
dengan isyarat punggungnya minta diusap.
Ibu hamil memang paling suka jika punggung
bagian bawahnya diusap-usap. Konon rasa usapannya itu bisa terasa hingga ke
perut dan bayi yang di trimester ketiga sangat aktif bergerak hingga membuat
nyeri dan sesak ibunya -- jadi lebih anteng.
Alhasil, Yuni pun jadi lebih bisa tidur lelap. Setidaknya dalam standar tidur
lelap seorang ibu hamil. Karena bagi bumil, di trimester tiga, tidur lelap
adalah barang mewah.
Singkat cerita, setelah mengantongi empati
dan restu istriku, aku berangkat ngantor. Itu pun dengan perasaan paranoid sendiri
(tentu saja tidak rame-rame karena bisa terjadi histeria massal) dalam segala
hal. Saat menyeberang menuju
Stasiun Lenteng Agung, aku jadi kelewat amat sangat berhati-hati sekali. Takut
ketabrak nanti tak bisa melihat bayiku yang sudah aku tunggu 31 tahun ini
(semasa bujang pun aku sudah pingin punya anak, soalnya). Waktu naik kereta
yang berjubel hingga ke pintu, meski aku berada di tengah, jadi paranoid takut
keseret ke pintu dan terjatuh. Sungguh menyebalkan. Karena hari itu jadi tak
biasa dan terasa lamban.
Di kantor, tak seperti biasa mungkin
kehendak Tuhan kerjaan sepi. Padahal biasanya di akhir tahun begini deadline order terjemahan menggila.
Persis kebiasaan pegawai kelurahan, aku dan teman-teman kantor ngobrol
ngalor-ngidul. Aku jadi pembicara utama soal kehamilan istriku. Karena memang
tak ada orang lain di kantor yang bisa bicara itu (karena yang hamil istriku).
Jelang tengah hari, masuk sms dari Yuni.
Beritanya? Ternyata pihak rumah sakit menelepon agar istriku segera datang ke
rumah sakit. Rencana tes lab dimajukan jadi pukul satu siang. Yuni mohon doa
dan mengungkapkan ketakutannya. Dengan gaya motivator ulung a la Mario Teguh, aku memberikan advis
bernuansa Law of Attraction kepadanya
plus amalan wirid Asmaul Husna sebagai penenang.
Ketika hape ditutup, aku masih berharap
dapat menemani Yuni di ruang operasi jika hari itu juga ia harus menjalani
operasi caesar. Prediksiku operasi jika harus dilakukan sekitar pukul lima sore. Dan aku masih
bisa mengejarnya dengan pulang dari kantor jam empat sore. Untuk pergi ke rumah sakit, sudah ada ibu
mertua, paman istri dan adik iparku yang mengantar. Lengkap sudah armada dan
sopir menuju medan
jihad.
Persis jam satu siang, setelah sholat Zuhur,
ibu mertua menelpon.
"Salam, Yuni jam satu
ini dioperasi. Tanda tangan suami sudah ibu wakilkan," ujar ibu mertua. Alamak.
Rupanya tanpa tes lab lagi operasi caesar dimajukan 4 jam. Sebagai suami, aku
merasa tak lengkap. Karena bukan aku yang menandatangani surat persetujuan
operasi caesar istriku. Dan aku
tak dapat mendampingi istriku di ajang hidup mati itu. Selain karena faktor
waktu juga karena mendadak perutku mulas luar biasa.
Duh,
ini kebiasaan lamaku jika sangat tegang. Terakhir kali aku mengalaminya saat didaulat berpidato
sebagai SK Idol pada HUT ke-1 Sekolah Kehidupan di Kuningan pada 2007. Tapi
kali ini tegangnya kurang ajar betul. Hingga aku harus buang hajat dalam waktu
lama di toilet. Sekaligus membuat Rivai teman kantorku yang berinisiatif
baik mengantarku ke Pasar Minggu dengan motornya harus cengok menunggu di depan gerbang kantor seperti tukang ojek
menunggu penumpang. Untuk hal ini tak sepenuhnya salahku. Sudah lama aku menyarankan
kepada temanku itu untuk mengganti model helm motornya.
Tiba di RSUD Pasar Rebo
di tengah macetnya lalu lintas di mendung Jakarta pukul setengah dua lewat,
aku bergegas memburu lift ke lantai 4, sesuai info dari adik iparku via sms,
dengan gaya orang kebelet buang hajat. Lebih
sopannya, dengan gaya
orang pingin ambil duit gajian. Terburu-buru, intinya.
Memang isti'jal alias tergesa-gesa itu tidak
baik. Aku memang tiba di lantai 4. Tapi bukan lantai 4 tempat ruang operasi.. Ola la, ternyata RS Pasar Rebo punya dua
gedung yang dibangun menyatu. Alhasil, ada dua lantai 4 di satu bangunan. Aku,
berbekal petunjuk petugas cleaning service yang simpatik dan baik budi, turun
lagi ke lantai 2 dan berbelok ke kiri dari tempatku naik lift yang pertama. Inilah
titik persambungan dua gedung itu. Di dekat lift persis di depan kios koran dan
gerai donat, aku menunggu lift dengan dag-dig-dug- der. Oh,
God, I am nervous!
Syukurlah kali ini tidak dibarengi dengan mulas. Ia sudah aku tinggal di
kantorku di Pasar Minggu. Karena
ia bukan pendamping yang baik saat kondisi tegang begini.
Alhamdulillah, di lantai 4 yang benar-benar
tujuanku, aku ketemu dengan rombongan pengantar istriku yang juga wajah mereka
tak kalah pias. Terutama ibu mertua. Maklum, bayiku adalah cucu pertamanya.
Sementara Wak Ngah, salah satu paman istri, berusaha menenangkan kami.
"Tenang ajalah. Ayah (ia memang membahasakan dirinya demikian) malah waktu itu liat
langsung persalinan caesar Eka. Lancar-lancar aja kok. Sekarang semua sudah canggih. Sudah
biasa itu di-caesar. Aman, Insya Allah," ujarnya memberi semangat. Aku yang
mengambil tempat di kursi pojok tersenyum basa-basi. Tapi lantas tak urung Wak Ngah berjalan
mondar-mandir tak keruan di ruang tunggu itu. Ah, tak apalah, aku hargai niat baiknya menghibur kami
Selama menunggu, tak putus-putus hafalan
Qur'an kulafalkan. Juga Al Ma'tsurot. Masih kurang juga, aku lanjutkan dengan
tilawah Surah Yasin dnegan penuh harap akan keselamatan istri dan anakku. Apa
pun jenis kelaminnya dan putih atau hitamkah warna kulitnya. Inilah harapan
universal setiap calon ayah di muka bumi.
"Katanya cuma setengah jam ya, Ning," ujar
Wak Ngah yang mendadak lupa kepada kata-katanya sendiri. Bu Ayuningsih, ibu
mertuaku, merengut. Aku tersenyum geli. Dalam literatur operasi caesar
pengambilan bayi memang hanya setengah jam. Namun perlu waktu lebih hingga 2-3
jam untuk menjahit luka pada perut si ibu. Untunglah bertubi-tubi sms doa dan
motivasi dari para Sahabat di Sekolah Kehidupan (Mas Adjie, Novi,
Nia, Mas Suhadi, Pak Teha, Kang Dani, Sinta, Ugik, Mbak Rinurbad, Retno &
Catur, Kang Hadian dll) dan teman-temanku yang lain setia menemani dalam kurun
waktu itu. Bahkan sebagian langsung menelpon meski maaf ya! saat itu aku
harus menjawab dengan suara bergetar saking tegangnya penantian. Besarnya
harapan kadang menjadi
- 4e.
-
Re: [catcil] Hari Pertama Menjadi Ayah
Posted by: "WORD SMART CENTER" wordsmartcenter@yahoo.com wordsmartcenter
Tue Nov 18, 2008 10:24 pm (PST)
alhamdulillah
masa-masa menegangkan itu tlah berlalu
dan berganti dgn kebahagiaan
selamat datang Muhammad Alham Navid
smoga nanti bisa bermain bersama Fatih & Fathin
udo+ami=fatih/fathin
--- On Wed, 11/19/08, Nursalam AR <nursalam.ar@gmail.com > wrote:
From: Nursalam AR <nursalam.ar@gmail.com >
Subject: [sekolah-kehidupan] [catcil] Hari Pertama Menjadi Ayah
To: sekolah-kehidupan@yahoogroups. , fkmui96@yahoogroupscom .com , flpdki@yahoogroups.com , penulislepas@yahoogroups. com
Date: Wednesday, November 19, 2008, 2:24 AM
Hari Pertama
Menjadi Ayah
Oleh Nursalam AR
Apa pun pengalaman
pertama seperti hari pertama masuk sekolah atau malam pertama pernikahan --
selalu menegangkan. Juga hari pertama menjadi seorang ayah.
Di awal hari, aku
bingung hendak izin tidak masuk kantor lagi atau tidak. Sebab sehari sebelumnya
aku sudah minta izin dari boss untuk
absen sehari terkait persiapan persalinan. Jumat pekan kemarin juga izin, karena jadwal check up istri di RSUD Pasar Rebo,
Jakarta Timur. Dan dokter meminta suami istriku yakni aku untuk khusus
datang karena ada masalah dengan kandungan istriku. Jadi ini hal penting yang
membutuhkan aku sebagai decision maker,
pengambil keputusan.
Rupanya posisi bayi kami ternyata menyamping
alias lintang. Juga terlilit tali pusat. Tak ada jalan lain, kata sang dokter,
selain operasi caesar. Padahal istriku sudah aktif senam hamil. Ini akibat
kandungan istriku sempat dipijat dukun pijat saat usia kehamilan tiga bulan
karena letak kepala bayi yang sudah menukik di jalan lahir -- sehingga istriku
susah berjalan dan kami kuatir terjadi keguguran. Ternyata itu keputusan yang
salah karena justru mengganggu pergerakan alamiah sang bayi. Benar kata orang
bijak, saat istri kita hamil semua orang di sekeliling kita mendadak menjadi
ahli kehamilan. Semua memberikan saran dan rekomendasi tak peduli benar-benar
tahu atau cuma sok tahu. Tapi semua terpulang kepada kita sebagai decision maker. Dan saat itu aku membuat
keputusan yang keliru. Maafkan Abi, ya
Ummi, ya Nak!
Dengan menahan nafas karena kecewa istriku
tak bisa melahirkan normal sekaligus terbayang bilangan nominal tabungan yang
akan keluar sang decision maker yang
pernah keliru ini menyanggupi. Lebih tepatnya, terpaksa menyanggupi karena toh
tak ada opsi lain. Disepakatilah jadwal check
up terakhir yang jika perlu, berdasarkan hasil pemeriksaan lab dan
lain-lain, merupakan tanggal operasi persalinan pada hari Selasa, 18 November
2008. Ancer-ancer dokter, jika positif, operasi caesar akan dilakukan pukul lima sore.
Nah, di Selasa pagi itulah, sebagai pekerja
(yang notabene masih 'kuli' orang lain) dan calon ayah, aku terjebak dilema.. Di
saat seperti itu aku jadi bernostalgia masa-masa "merdeka" sebagai penerjemah full time freelance yang relatif bebas mengatur waktu. Tidak bergantung pada
jadwal kantor atau ngamuk tidaknya boss
kita jika kita berkali-kali izin terutama di saat pekerjaan menumpuk.
Melihat aku pagi-pagi
merenung, dengan gaya standarku yang bertopang dagu dan kening berkerut, Yuni
segera paham dan memberikan solusi. "Ya udah, abang ngantor aja." Ajaib! Sebelas bulan berumahtangga ternyata
memberikan sang istriku tersayang kemampuan membaca pikiran. Setidaknya ilmu
empatinya lebih terasah ketimbang aku yang kadang masih saja asyik
menerjemahkan order penerjemahan di luar kantor sementara Yuni menatapku
dengan isyarat punggungnya minta diusap.
Ibu hamil memang paling suka jika punggung
bagian bawahnya diusap-usap. Konon rasa usapannya itu bisa terasa hingga ke
perut dan bayi yang di trimester ketiga sangat aktif bergerak hingga membuat
nyeri dan sesak ibunya -- jadi lebih anteng.
Alhasil, Yuni pun jadi lebih bisa tidur lelap. Setidaknya dalam standar tidur
lelap seorang ibu hamil. Karena bagi bumil, di trimester tiga, tidur lelap
adalah barang mewah.
Singkat cerita, setelah mengantongi empati
dan restu istriku, aku berangkat ngantor. Itu pun dengan perasaan paranoid sendiri
(tentu saja tidak rame-rame karena bisa terjadi histeria massal) dalam segala
hal. Saat menyeberang menuju
Stasiun Lenteng Agung, aku jadi kelewat amat sangat berhati-hati sekali. Takut
ketabrak nanti tak bisa melihat bayiku yang sudah aku tunggu 31 tahun ini
(semasa bujang pun aku sudah pingin punya anak, soalnya). Waktu naik kereta
yang berjubel hingga ke pintu, meski aku berada di tengah, jadi paranoid takut
keseret ke pintu dan terjatuh. Sungguh menyebalkan. Karena hari itu jadi tak
biasa dan terasa lamban.
Di kantor, tak seperti biasa mungkin
kehendak Tuhan kerjaan sepi. Padahal biasanya di akhir tahun begini deadline order terjemahan menggila.
Persis kebiasaan pegawai kelurahan, aku dan teman-teman kantor ngobrol
ngalor-ngidul. Aku jadi pembicara utama soal kehamilan istriku. Karena memang
tak ada orang lain di kantor yang bisa bicara itu (karena yang hamil istriku).
Jelang tengah hari, masuk sms dari Yuni.
Beritanya? Ternyata pihak rumah sakit menelepon agar istriku segera datang ke
rumah sakit. Rencana tes lab dimajukan jadi pukul satu siang. Yuni mohon doa
dan mengungkapkan ketakutannya. Dengan gaya motivator ulung a la Mario Teguh, aku memberikan advis
bernuansa Law of Attraction kepadanya
plus amalan wirid Asmaul Husna sebagai penenang.
Ketika hape ditutup, aku masih berharap
dapat menemani Yuni di ruang operasi jika hari itu juga ia harus menjalani
operasi caesar. Prediksiku operasi jika harus dilakukan sekitar pukul lima sore. Dan aku masih
bisa mengejarnya dengan pulang dari kantor jam empat sore. Untuk pergi ke rumah sakit, sudah ada ibu
mertua, paman istri dan adik iparku yang mengantar. Lengkap sudah armada dan
sopir menuju medan
jihad.
Persis jam satu siang, setelah sholat Zuhur,
ibu mertua menelpon.
"Salam, Yuni jam satu
ini dioperasi. Tanda tangan suami sudah ibu wakilkan," ujar ibu mertua. Alamak.
Rupanya tanpa tes lab lagi operasi caesar dimajukan 4 jam. Sebagai suami, aku
merasa tak lengkap. Karena bukan aku yang menandatangani surat persetujuan
operasi caesar istriku. Dan aku
tak dapat mendampingi istriku di ajang hidup mati itu. Selain karena faktor
waktu juga karena mendadak perutku mulas luar biasa.
Duh,
ini kebiasaan lamaku jika sangat tegang. Terakhir kali aku mengalaminya saat didaulat berpidato
sebagai SK Idol pada HUT ke-1 Sekolah Kehidupan di Kuningan pada 2007. Tapi
kali ini tegangnya kurang ajar betul. Hingga aku harus buang hajat dalam waktu
lama di toilet. Sekaligus membuat Rivai teman kantorku yang berinisiatif
baik mengantarku ke Pasar Minggu dengan motornya harus cengok menunggu di depan gerbang kantor seperti tukang ojek
menunggu penumpang. Untuk hal ini tak sepenuhnya salahku. Sudah lama aku menyarankan
kepada temanku itu untuk mengganti model helm motornya.
Tiba di RSUD Pasar Rebo
di tengah macetnya lalu lintas di mendung Jakarta pukul setengah dua lewat,
aku bergegas memburu lift ke lantai 4, sesuai info dari adik iparku via sms,
dengan gaya orang kebelet buang hajat. Lebih
sopannya, dengan gaya
orang pingin ambil duit gajian. Terburu-buru, intinya.
Memang isti'jal alias tergesa-gesa itu tidak
baik. Aku memang tiba di lantai 4. Tapi bukan lantai 4 tempat ruang operasi.. Ola la, ternyata RS Pasar Rebo punya dua
gedung yang dibangun menyatu. Alhasil, ada dua lantai 4 di satu bangunan. Aku,
berbekal petunjuk petugas cleaning service yang simpatik dan baik budi, turun
lagi ke lantai 2 dan berbelok ke kiri dari tempatku naik lift yang pertama. Inilah
titik persambungan dua gedung itu. Di dekat lift persis di depan kios koran dan
gerai donat, aku menunggu lift dengan dag-dig-dug- der. Oh,
God, I am nervous!
Syukurlah kali ini tidak dibarengi dengan mulas. Ia sudah aku tinggal di
kantorku di Pasar Minggu. Karena
ia bukan pendamping yang baik saat kondisi tegang begini.
Alhamdulillah, di lantai 4 yang benar-benar
tujuanku, aku ketemu dengan rombongan pengantar istriku yang juga wajah mereka
tak kalah pias. Terutama ibu mertua. Maklum, bayiku adalah cucu pertamanya.
Sementara Wak Ngah, salah satu paman istri, berusaha menenangkan kami.
"Tenang ajalah. Ayah (ia memang membahasakan dirinya demikian) malah waktu itu liat
langsung persalinan caesar Eka. Lancar-lancar aja kok. Sekarang semua sudah canggih. Sudah
biasa itu di-caesar. Aman, Insya Allah," ujarnya memberi semangat. Aku yang
mengambil tempat di kursi pojok tersenyum basa-basi. Tapi lantas tak urung Wak Ngah berjalan
mondar-mandir tak keruan di ruang tunggu itu. Ah, tak apalah, aku hargai niat baiknya menghibur kami
Selama menunggu, tak putus-putus hafalan
Qur'an kulafalkan. Juga Al Ma'tsurot. Masih kurang juga, aku lanjutkan dengan
tilawah Surah Yasin dnegan penuh harap akan keselamatan istri dan anakku. Apa
pun jenis kelaminnya dan putih atau hitamkah warna kulitnya. Inilah harapan
universal setiap calon ayah di muka bumi.
"Katanya cuma setengah jam ya, Ning," ujar
Wak Ngah yang mendadak lupa kepada kata-katanya sendiri. Bu Ayuningsih, ibu
mertuaku, merengut. Aku tersenyum geli. Dalam literatur operasi caesar
pengambilan bayi memang hanya setengah jam. Namun perlu waktu lebih hingga 2-3
jam untuk menjahit luka pada perut si ibu. Untunglah bertubi-tubi sms doa dan
motivasi dari para Sahabat di Sekolah Kehidupan (Mas Adjie, Novi,
Nia, Mas Suhadi, Pak Teha, Kang Dani, Sinta, Ugik, Mbak Rinurbad, Retno &
Catur, Kang Hadian dll) dan teman-temanku yang lain setia menemani dalam kurun
waktu itu. Bahkan sebagian langsung menelpon meski maaf ya! saat itu aku
harus menjawab dengan suara bergetar saking tegangnya penantian. Besarnya
harapan kadang menjadi beban.
Hukum relativitas waktu hari itu juga bekerja
efektif. Waktu serasa ngesot. Dalam
lantunan doa dan gumpalan harap, ditingkahi siaran infotainment dari TV di ruang tunggu, aku merasa pasrah pada-Nya.
Aku hanya menyisipkan doa pamungkas kepada Allah di ujung penantian dua jam
yang menyiksa itu. Ya Allah, aku sudah
banyak kehilangan. Kehilangan ayah, ibu dan kakak sulungku yang guru menulisku
dan guru ngaji pertamaku. Kehilangan biro penerjemahanku dan segenap
hartaku selepas banjir bandang 2007 lalu. Tapi,
ya Allah, tak usah engkau kembalikan semua itu karena aku sudah relakan
semuanya. Cukup tambahkan satu saja untukku dan jangan kau ambil istriku
sebelum aku dapat memenuhi janjiku untuk membuatnya tinggal di rumah milik kami
sendiri dan mengajaknya berhaji...
Mungkin, kata Hanung
Bramantyo, itu termasuk kategori doa yang mengancam. Tapi setidaknya aku lega
sudah curhat kepada Tuhan. Karena kita tak boleh sombong dengan hanya
bergantung pada kecanggihan teknologi manusia. Tuhanlah yang punya kuasa. Dalam
hal apa pun. Terlepas kita percaya atau tidak akan keberadaan-Nya.
Lima menit jelang azan
Ashar, pintu ruang operasi terbuka. Istriku dalam kondisi lemas dan wajah pucat
diantar keluar dengan masih berbaring di atas tempat tidur. Dua orang perawat
muda mengantarnya ke ruang perawatan. Aku menyambutnya dengan haru dan ciuman
di dahi.
"Udah liat bayinya?"
Itu pertanyaan pertama Yuni. Rupanya selama di ruang operasi Yuni belum sempat
melihat bayinya. Ia hanya mendengar suara tangisan sang bayi yang segera
dibersihkan. Bahkan Yuni sempat melarangku untuk ikut ke ruang perawatan di
lantai 3 agar aku bisa melihat sang bayi. Biar bisa menceritakan kondisi
bayinya, alasan Yuni. Ah, mungkin ini
naluri seorang ibu. Aku jadi paham sepaham-pahamnya mengapa dalam setiap
kasus perceraian seorang ibu akan mati-matian mendapatkan hak pengasuhan
anaknya.
Tepat azan Ashar. Pintu
ruang operasi kembali terbuka. Kali ini seorang bayi montok sehat kemerahan
diantar para perawat dalam sebuah boks mungil beroda. Tangisnya memekakkan
telinga. Tangan dan kakinya bergerak-gerak lincah. Tertera pada catatan di boks: berat 3,150 kg
dengan panjang 50 cm. Rambutnya hitam dan tebal ikal seperti rambutku. Tapi
wajahnya seperti ibunya.
"Aih, cantiknya!" seru
ibu mertuaku. Ia memang sangat ingin punya cucu perempuan. Katanya anak
perempuan enak, bisa didandanin. Maklum, ia penata rias penganten.
"Ibu, ini laki-laki," ujar salah satu
perawat seraya menyingkap selimut bayi. Tampaklah jelas kelamin anakku. Anak
pertamaku laki-laki. Sungguh ideal sekali dalam pandangan tradisional sebagian
suku di Nusantara.
Tapi ibu mertua tak
patah arang. Ia memang sudah lama mendamba cucu karena baru satu orang anaknya
--- dari ketiga anaknya yang menikah. Tatapan matanya dan bahasa tubuhnya
menyiratkan sekali hal itu. Aku jadi teringat almarhumah ibuku yang dulu tak
sempat melihat cucu pertamanya lahir. Ibuku wafat karena tumor ginjal saat cucu
pertamanya masih berusia 3 bulan dalam kandungan. Kali ini aku jadi rindu
almarhumah ibuku yang juga tak bisa melihat anakku, cucu kelimanya. Juga rindu
almarhumah aba, panggilan ayahku,
yang dulu selalu menyindirku dengan bilang,"pengen deh dapat cucu dari Salam"
karena beliau selalu mendesakku dengan caranya yang khas untuk segera menikah.
Aba, ibu, I miss u....
Segera, setelah
menunggu ibu mertua mengagumi cucu pertamanya, aku mengazani bayi itu. Ya,
bayiku sendiri! Dulu aku pernah mengazani bayi ketika keponakan pertamaku,
Rayhan Wildan Ramadhani ini nama pemberian dariku lahir tahun 2000 di RSCM,
Jakarta. Mengazani bayi dan iqomah di telinga kiri selalu berkesan. Tapi
kali ini terasa berbeda. Ah, inikah
naluri seorang ayah?
Di masjid rumah sakit, selepas mengurus
administrasi rumah sakit dan sholat Ashar, aku bersujud syukur. Aku kini
dengan anugerah Allah menjadi ayah. Suatu amanah yang berat atas kepercayaan
Allah ini. Sebuah amanah bernama Muhammad
Alham Navid. Sebuah nama yang kami rancang jauh-jauh hari bahkan
dirahasiakan kepada keluarga dekat sampai hari-H untuk menghindari plagiarisme
-- yang bermakna "Inspirasi terpuji yang
membawa gelombang kebahagiaan". Berbekal panduan buku nama-nama bayi (special thanks to Mbak Rinurbad!),
didapatlah nama tersebut yang menurut Mbak Rinurbad yang konsultan nama-nama
bayi bagus, unik dan langka. Semoga
sebagus itu juga akhlak dan takdir nasibnya!
Khusus untuk kata Alham, selain varian dari ilham
dalam bahasa Arab, ini juga diambil dari nama Asahan Alham, yang akrab
dipanggil Asan, seorang novelis eksil Indonesia yang terusir dari Indonesia
pada era 1960-an dan mengungsi ke Vietnam hingga menjadi profesor bahasa di
sana dan dianugerahi penghargaan sekaliber Mahaputera untuk jasanya
mengembangkan bahasa Indonesia di Vietnam dan mempererat persahabatan budaya
antara Vietnam dan Indonesia. Novelnya berjudul Perang dan Kembang yang mengisahkan pengalaman hidupnya bersama
rakyat Vietnam melawan imperialisme Amerika Serikat semasa
Perang Vietnam (1970-an)
sangat memukauku ketika aku mendapatinya di sebuah perpustakaan umum di Jakarta. Terlepas dari
anutan ideologinya, Asahan Alham potret aktivis-penulis- pejuang pantang
menyerah yang kukuh di mana pun lubuknya ia berada. Aku harap aura positif
tersebut memancar kepada anakku kelak.
Jika ada kekecewaan karena manusia, kurang
ajarnya, tak pernah puas adalah karena istriku tak bisa melakukan inisiasi
menyusui dini. Perih juga hatiku menyaksikan bayiku baru bisa menikmati
laktogen yang diberikan perawat dan bukan kolostrum ASI ibunya. Tapi, apalah daya, Yuni yang dirawat di Ruang
Delima (Kelas 2) 305-8 dan Alham yang dirawat di ruang perinatologi masih belum
bisa dirawat gabung. Yuni masih terlalu lemah dan menahan nyeri yang amat
sangat terlihat dari wajahnya karena pengaruh obat bius yang mulai menghilang.
Panas
sekali, rintihnya. Sementara obat pereda nyeri baru boleh diberikan pada pukul
sepuluh malam. Artinya, selama setengah hari atau enam jam, istriku harus
berjuang menahan sakit. Tapi telepon dari sahabat-sahabatnya yang membuatnya
berbicara dan curhat juga dapat membuatnya melupakan nyeri.
Melihat kondisi Yuni sedemikian
nelangsa, aku mengurungkan niatku di
awal nikah dahulu untuk punya anak sebanyak jumlah saudara kandungku. Enam
orang. Sebenarnya dua belas, karena yang enam meninggal waktu kecil atau dalam
kandungan. Maklum, ibuku menikah muda di usia 16 tahun. Dan ibuku bukan Yuni.
Mereka juga terpisah oleh zaman yang berbeda. Biarlah aku kubur egoisme
maskulinitas itu demi sang istri yang telah berjuang heroik selama kehamilan
yang rasanya wahnan 'ala wahnin,
sakit di atas sakit dan selama persalinan. Oh, I love u, Babe...
Terinspirasi semangat
istriku, pukul sebelas malam, sepulang dari rumah sakit, aku mencuci sendiri
ari-ari bayiku dan menguburnya dengan berbungkus kaus putih karena tak ada
kain putih sebagai syarat dari orang-orang tua yang menyuruhku dan
menguburnya dengan didahului doa-doa di dekat pot tanaman hias ibu mertua.
Semula aku ingin menguburnya karena banyaknya syarat yang harus dipenuhi
sekalian saja di pot anthurium gelombang cinta koleksi ibu mertua. Biar makmur jadi milyader anakku. Tapi
kubatalkan karena pertimbangan stabilitas sosial politik rumah tangga dan
lain-lain. Itu pun prosesi penguburan ari-ari sudah aku persingkat, jika
dibandingkan petuah dari Wak Ngah dan ibu mertua yang bahkan sampai harus
mengubur alat-alat tulis agar si Alham jadi anak pinter.
"Sekalian saja laptop, Wak!" ledek Sutami,
adik iparku. Wak Ngah melotot kesal. Duh,
tradisi!
Sebelumnya pukul sepuluh malam aku melangkah
pulang dari rumah sakit dengan langkah-langkah panjang dan hati senang. Aku
tidak menginap di rumah sakit. Sudah ada ibu mertua dan Wak Ngah yang menunggui
istriku. Apa boleh buat, aku harus ngantor
dan selesaikan proyek-proyek terjemahan di luar kantor sebagai penghasilan
tambahan yang bertenggat ketat. Kata istriku, demi dua ekor kambing aqiqah.
Ya, demi anak. Karena kini aku seorang ayah. Bagi seorang ayah baru, hiruk
pikuk bising berpolusi lalu-lintas Jakarta
pun serasa konser musik paling syahdu malam itu.
Sahabat, makasih atas semua doa dan motivasinya. Terus
doakan kami ya!
Jakarta, 19
November 2008
--
-"Let's dream together!"
Nursalam AR
Translator, Writer & Writing Trainer
0813-10040723
E-mail: salam.translator@ gmail.com
YM ID: nursalam_ar
http://nursalam. multiply. com
- 4f.
-
Re: [catcil] Hari Pertama Menjadi Ayah
Posted by: "veby" vbi_djenggotten@yahoo.com vbi_djenggotten
Tue Nov 18, 2008 11:12 pm (PST)
alhamdulillaah...
welcome to the club ya mas...
siap2 ronda malam
hehehehe...
--- On Tue, 11/18/08, Nursalam AR <nursalam.ar@gmail.com > wrote:
From: Nursalam AR <nursalam.ar@gmail.com >
Subject: [sekolah-kehidupan] [catcil] Hari Pertama Menjadi Ayah
To: sekolah-kehidupan@yahoogroups. , fkmui96@yahoogroupscom .com , flpdki@yahoogroups.com , penulislepas@yahoogroups. com
Date: Tuesday, November 18, 2008, 6:24 PM
Hari Pertama
Menjadi Ayah
Oleh Nursalam AR
Apa pun pengalaman
pertama seperti hari pertama masuk sekolah atau malam pertama pernikahan --
selalu menegangkan. Juga hari pertama menjadi seorang ayah.
Di awal hari, aku
bingung hendak izin tidak masuk kantor lagi atau tidak. Sebab sehari sebelumnya
aku sudah minta izin dari boss untuk
absen sehari terkait persiapan persalinan. Jumat pekan kemarin juga izin, karena jadwal check up istri di RSUD Pasar Rebo,
Jakarta Timur. Dan dokter meminta suami istriku yakni aku untuk khusus
datang karena ada masalah dengan kandungan istriku. Jadi ini hal penting yang
membutuhkan aku sebagai decision maker,
pengambil keputusan.
Rupanya posisi bayi kami ternyata menyamping
alias lintang. Juga terlilit tali pusat. Tak ada jalan lain, kata sang dokter,
selain operasi caesar. Padahal istriku sudah aktif senam hamil. Ini akibat
kandungan istriku sempat dipijat dukun pijat saat usia kehamilan tiga bulan
karena letak kepala bayi yang sudah menukik di jalan lahir -- sehingga istriku
susah berjalan dan kami kuatir terjadi keguguran. Ternyata itu keputusan yang
salah karena justru mengganggu pergerakan alamiah sang bayi. Benar kata orang
bijak, saat istri kita hamil semua orang di sekeliling kita mendadak menjadi
ahli kehamilan. Semua memberikan saran dan rekomendasi tak peduli benar-benar
tahu atau cuma sok tahu. Tapi semua terpulang kepada kita sebagai decision maker. Dan saat itu aku membuat
keputusan yang keliru. Maafkan Abi, ya
Ummi, ya Nak!
Dengan menahan nafas karena kecewa istriku
tak bisa melahirkan normal sekaligus terbayang bilangan nominal tabungan yang
akan keluar sang decision maker yang
pernah keliru ini menyanggupi. Lebih tepatnya, terpaksa menyanggupi karena toh
tak ada opsi lain. Disepakatilah jadwal check
up terakhir yang jika perlu, berdasarkan hasil pemeriksaan lab dan
lain-lain, merupakan tanggal operasi persalinan pada hari Selasa, 18 November
2008. Ancer-ancer dokter, jika positif, operasi caesar akan dilakukan pukul lima sore.
Nah, di Selasa pagi itulah, sebagai pekerja
(yang notabene masih 'kuli' orang lain) dan calon ayah, aku terjebak dilema. Di
saat seperti itu aku jadi bernostalgia masa-masa "merdeka" sebagai penerjemah full time freelance yang relatif bebas mengatur waktu. Tidak bergantung pada
jadwal kantor atau ngamuk tidaknya boss
kita jika kita berkali-kali izin terutama di saat pekerjaan menumpuk.
Melihat aku pagi-pagi
merenung, dengan gaya standarku yang bertopang dagu dan kening berkerut, Yuni
segera paham dan memberikan solusi. "Ya udah, abang ngantor aja." Ajaib! Sebelas bulan berumahtangga ternyata
memberikan sang istriku tersayang kemampuan membaca pikiran. Setidaknya ilmu
empatinya lebih terasah ketimbang aku yang kadang masih saja asyik
menerjemahkan order penerjemahan di luar kantor sementara Yuni menatapku
dengan isyarat punggungnya minta diusap.
Ibu hamil memang paling suka jika punggung
bagian bawahnya diusap-usap. Konon rasa usapannya itu bisa terasa hingga ke
perut dan bayi yang di trimester ketiga sangat aktif bergerak hingga membuat
nyeri dan sesak ibunya -- jadi lebih anteng.
Alhasil, Yuni pun jadi lebih bisa tidur lelap. Setidaknya dalam standar tidur
lelap seorang ibu hamil. Karena bagi bumil, di trimester tiga, tidur lelap
adalah barang mewah.
Singkat cerita, setelah mengantongi empati
dan restu istriku, aku berangkat ngantor. Itu pun dengan perasaan paranoid sendiri
(tentu saja tidak rame-rame karena bisa terjadi histeria massal) dalam segala
hal. Saat menyeberang menuju
Stasiun Lenteng Agung, aku jadi kelewat amat sangat berhati-hati sekali. Takut
ketabrak nanti tak bisa melihat bayiku yang sudah aku tunggu 31 tahun ini
(semasa bujang pun aku sudah pingin punya anak, soalnya). Waktu naik kereta
yang berjubel hingga ke pintu, meski aku berada di tengah, jadi paranoid takut
keseret ke pintu dan terjatuh. Sungguh menyebalkan. Karena hari itu jadi tak
biasa dan terasa lamban.
Di kantor, tak seperti biasa mungkin
kehendak Tuhan kerjaan sepi. Padahal biasanya di akhir tahun begini deadline order terjemahan menggila.
Persis kebiasaan pegawai kelurahan, aku dan teman-teman kantor ngobrol
ngalor-ngidul. Aku jadi pembicara utama soal kehamilan istriku. Karena memang
tak ada orang lain di kantor yang bisa bicara itu (karena yang hamil istriku).
Jelang tengah hari, masuk sms dari Yuni.
Beritanya? Ternyata pihak rumah sakit menelepon agar istriku segera datang ke
rumah sakit. Rencana tes lab dimajukan jadi pukul satu siang. Yuni mohon doa
dan mengungkapkan ketakutannya. Dengan gaya motivator ulung a la Mario Teguh, aku memberikan advis
bernuansa Law of Attraction kepadanya
plus amalan wirid Asmaul Husna sebagai penenang.
Ketika hape ditutup, aku masih berharap
dapat menemani Yuni di ruang operasi jika hari itu juga ia harus menjalani
operasi caesar. Prediksiku operasi jika harus dilakukan sekitar pukul lima sore. Dan aku masih
bisa mengejarnya dengan pulang dari kantor jam empat sore. Untuk pergi ke rumah sakit, sudah ada ibu
mertua, paman istri dan adik iparku yang mengantar. Lengkap sudah armada dan
sopir menuju medan
jihad.
Persis jam satu siang, setelah sholat Zuhur,
ibu mertua menelpon.
"Salam, Yuni jam satu
ini dioperasi. Tanda tangan suami sudah ibu wakilkan," ujar ibu mertua. Alamak.
Rupanya tanpa tes lab lagi operasi caesar dimajukan 4 jam. Sebagai suami, aku
merasa tak lengkap. Karena bukan aku yang menandatangani surat persetujuan
operasi caesar istriku. Dan aku
tak dapat mendampingi istriku di ajang hidup mati itu. Selain karena faktor
waktu juga karena mendadak perutku mulas luar biasa.
Duh,
ini kebiasaan lamaku jika sangat tegang. Terakhir kali aku mengalaminya saat didaulat berpidato
sebagai SK Idol pada HUT ke-1 Sekolah Kehidupan di Kuningan pada 2007. Tapi
kali ini tegangnya kurang ajar betul. Hingga aku harus buang hajat dalam waktu
lama di toilet. Sekaligus membuat Rivai teman kantorku yang berinisiatif
baik mengantarku ke Pasar Minggu dengan motornya harus cengok menunggu di depan gerbang kantor seperti tukang ojek
menunggu penumpang. Untuk hal ini tak sepenuhnya salahku. Sudah lama aku menyarankan
kepada temanku itu untuk mengganti model helm motornya.
Tiba di RSUD Pasar Rebo
di tengah macetnya lalu lintas di mendung Jakarta pukul setengah dua lewat,
aku bergegas memburu lift ke lantai 4, sesuai info dari adik iparku via sms,
dengan gaya orang kebelet buang hajat. Lebih
sopannya, dengan gaya
orang pingin ambil duit gajian. Terburu-buru, intinya.
Memang isti'jal alias tergesa-gesa itu tidak
baik. Aku memang tiba di lantai 4. Tapi bukan lantai 4 tempat ruang operasi. Ola la, ternyata RS Pasar Rebo punya dua
gedung yang dibangun menyatu. Alhasil, ada dua lantai 4 di satu bangunan. Aku,
berbekal petunjuk petugas cleaning service yang simpatik dan baik budi, turun
lagi ke lantai 2 dan berbelok ke kiri dari tempatku naik lift yang pertama. Inilah
titik persambungan dua gedung itu. Di dekat lift persis di depan kios koran dan
gerai donat, aku menunggu lift dengan dag-dig-dug- der. Oh,
God, I am nervous!
Syukurlah kali ini tidak dibarengi dengan mulas. Ia sudah aku tinggal di
kantorku di Pasar Minggu. Karena
ia bukan pendamping yang baik saat kondisi tegang begini.
Alhamdulillah, di lantai 4 yang benar-benar
tujuanku, aku ketemu dengan rombongan pengantar istriku yang juga wajah mereka
tak kalah pias. Terutama ibu mertua. Maklum, bayiku adalah cucu pertamanya.
Sementara Wak Ngah, salah satu paman istri, berusaha menenangkan kami.
"Tenang ajalah. Ayah (ia memang membahasakan dirinya demikian) malah waktu itu liat
langsung persalinan caesar Eka. Lancar-lancar aja kok. Sekarang semua sudah canggih. Sudah
biasa itu di-caesar. Aman, Insya Allah," ujarnya memberi semangat. Aku yang
mengambil tempat di kursi pojok tersenyum basa-basi. Tapi lantas tak urung Wak Ngah berjalan
mondar-mandir tak keruan di ruang tunggu itu. Ah, tak apalah, aku hargai niat baiknya menghibur kami
Selama menunggu, tak putus-putus hafalan
Qur'an kulafalkan. Juga Al Ma'tsurot. Masih kurang juga, aku lanjutkan dengan
tilawah Surah Yasin dnegan penuh harap akan keselamatan istri dan anakku. Apa
pun jenis kelaminnya dan putih atau hitamkah warna kulitnya. Inilah harapan
universal setiap calon ayah di muka bumi.
"Katanya cuma setengah jam ya, Ning," ujar
Wak Ngah yang mendadak lupa kepada kata-katanya sendiri. Bu Ayuningsih, ibu
mertuaku, merengut. Aku tersenyum geli. Dalam literatur operasi caesar
pengambilan bayi memang hanya setengah jam. Namun perlu waktu lebih hingga 2-3
jam untuk menjahit luka pada perut si ibu. Untunglah bertubi-tubi sms doa dan
motivasi dari para Sahabat di Sekolah Kehidupan (Mas Adjie, Novi,
Nia, Mas Suhadi, Pak Teha, Kang Dani, Sinta, Ugik, Mbak Rinurbad, Retno &
Catur, Kang Hadian dll) dan teman-temanku yang lain setia menemani dalam kurun
waktu itu. Bahkan sebagian langsung menelpon meski maaf ya! saat itu aku
harus menjawab dengan suara bergetar saking tegangnya penantian. Besarnya
harapan kadang menjadi beban.
Hukum relativitas waktu hari itu juga bekerja
efektif. Waktu serasa ngesot. Dalam
lantunan doa dan gumpalan harap, ditingkahi siaran infotainment dari TV di ruang tunggu, aku merasa pasrah pada-Nya.
Aku hanya menyisipkan doa pamungkas kepada Allah di ujung penantian dua jam
yang menyiksa itu. Ya Allah, aku sudah
banyak kehilangan. Kehilangan ayah, ibu dan kakak sulungku yang guru menulisku
dan guru ngaji pertamaku. Kehilangan biro penerjemahanku dan segenap
hartaku selepas banjir bandang 2007 lalu. Tapi,
ya Allah, tak usah engkau kembalikan semua itu karena aku sudah relakan
semuanya. Cukup tambahkan satu saja untukku dan jangan kau ambil istriku
sebelum aku dapat memenuhi janjiku untuk membuatnya tinggal di rumah milik kami
sendiri dan mengajaknya berhaji...
Mungkin, kata Hanung
Bramantyo, itu termasuk kategori doa yang mengancam. Tapi setidaknya aku lega
sudah curhat kepada Tuhan. Karena kita tak boleh sombong dengan hanya
bergantung pada kecanggihan teknologi manusia. Tuhanlah yang punya kuasa. Dalam
hal apa pun. Terlepas kita percaya atau tidak akan keberadaan-Nya.
Lima menit jelang azan
Ashar, pintu ruang operasi terbuka. Istriku dalam kondisi lemas dan wajah pucat
diantar keluar dengan masih berbaring di atas tempat tidur. Dua orang perawat
muda mengantarnya ke ruang perawatan. Aku menyambutnya dengan haru dan ciuman
di dahi.
"Udah liat bayinya?"
Itu pertanyaan pertama Yuni. Rupanya selama di ruang operasi Yuni belum sempat
melihat bayinya. Ia hanya mendengar suara tangisan sang bayi yang segera
dibersihkan. Bahkan Yuni sempat melarangku untuk ikut ke ruang perawatan di
lantai 3 agar aku bisa melihat sang bayi. Biar bisa menceritakan kondisi
bayinya, alasan Yuni. Ah, mungkin ini
naluri seorang ibu. Aku jadi paham sepaham-pahamnya mengapa dalam setiap
kasus perceraian seorang ibu akan mati-matian mendapatkan hak pengasuhan
anaknya.
Tepat azan Ashar. Pintu
ruang operasi kembali terbuka. Kali ini seorang bayi montok sehat kemerahan
diantar para perawat dalam sebuah boks mungil beroda. Tangisnya memekakkan
telinga. Tangan dan kakinya bergerak-gerak lincah. Tertera pada catatan di boks: berat 3,150 kg
dengan panjang 50 cm. Rambutnya hitam dan tebal ikal seperti rambutku. Tapi
wajahnya seperti ibunya.
"Aih, cantiknya!" seru
ibu mertuaku. Ia memang sangat ingin punya cucu perempuan. Katanya anak
perempuan enak, bisa didandanin. Maklum, ia penata rias penganten.
"Ibu, ini laki-laki," ujar salah satu
perawat seraya menyingkap selimut bayi. Tampaklah jelas kelamin anakku. Anak
pertamaku laki-laki. Sungguh ideal sekali dalam pandangan tradisional sebagian
suku di Nusantara.
Tapi ibu mertua tak
patah arang. Ia memang sudah lama mendamba cucu karena baru satu orang anaknya
--- dari ketiga anaknya yang menikah. Tatapan matanya dan bahasa tubuhnya
menyiratkan sekali hal itu. Aku jadi teringat almarhumah ibuku yang dulu tak
sempat melihat cucu pertamanya lahir. Ibuku wafat karena tumor ginjal saat cucu
pertamanya masih berusia 3 bulan dalam kandungan. Kali ini aku jadi rindu
almarhumah ibuku yang juga tak bisa melihat anakku, cucu kelimanya. Juga rindu
almarhumah aba, panggilan ayahku,
yang dulu selalu menyindirku dengan bilang,"pengen deh dapat cucu dari Salam"
karena beliau selalu mendesakku dengan caranya yang khas untuk segera menikah.
Aba, ibu, I miss u....
Segera, setelah
menunggu ibu mertua mengagumi cucu pertamanya, aku mengazani bayi itu. Ya,
bayiku sendiri! Dulu aku pernah mengazani bayi ketika keponakan pertamaku,
Rayhan Wildan Ramadhani ini nama pemberian dariku lahir tahun 2000 di RSCM,
Jakarta. Mengazani bayi dan iqomah di telinga kiri selalu berkesan. Tapi
kali ini terasa berbeda. Ah, inikah
naluri seorang ayah?
Di masjid rumah sakit, selepas mengurus
administrasi rumah sakit dan sholat Ashar, aku bersujud syukur. Aku kini
dengan anugerah Allah menjadi ayah. Suatu amanah yang berat atas kepercayaan
Allah ini. Sebuah amanah bernama Muhammad
Alham Navid. Sebuah nama yang kami rancang jauh-jauh hari bahkan
dirahasiakan kepada keluarga dekat sampai hari-H untuk menghindari plagiarisme
-- yang bermakna "Inspirasi terpuji yang
membawa gelombang kebahagiaan". Berbekal panduan buku nama-nama bayi (special thanks to Mbak Rinurbad!),
didapatlah nama tersebut yang menurut Mbak Rinurbad yang konsultan nama-nama
bayi bagus, unik dan langka. Semoga
sebagus itu juga akhlak dan takdir nasibnya!
Khusus untuk kata Alham, selain varian dari ilham
dalam bahasa Arab, ini juga diambil dari nama Asahan Alham, yang akrab
dipanggil Asan, seorang novelis eksil Indonesia yang terusir dari Indonesia
pada era 1960-an dan mengungsi ke Vietnam hingga menjadi profesor bahasa di
sana dan dianugerahi penghargaan sekaliber Mahaputera untuk jasanya
mengembangkan bahasa Indonesia di Vietnam dan mempererat persahabatan budaya
antara Vietnam dan Indonesia. Novelnya berjudul Perang dan Kembang yang mengisahkan pengalaman hidupnya bersama
rakyat Vietnam melawan imperialisme Amerika Serikat semasa
Perang Vietnam (1970-an)
sangat memukauku ketika aku mendapatinya di sebuah perpustakaan umum di Jakarta. Terlepas dari
anutan ideologinya, Asahan Alham potret aktivis-penulis- pejuang pantang
menyerah yang kukuh di mana pun lubuknya ia berada. Aku harap aura positif
tersebut memancar kepada anakku kelak.
Jika ada kekecewaan karena manusia, kurang
ajarnya, tak pernah puas adalah karena istriku tak bisa melakukan inisiasi
menyusui dini. Perih juga hatiku menyaksikan bayiku baru bisa menikmati
laktogen yang diberikan perawat dan bukan kolostrum ASI ibunya. Tapi, apalah daya, Yuni yang dirawat di Ruang
Delima (Kelas 2) 305-8 dan Alham yang dirawat di ruang perinatologi masih belum
bisa dirawat gabung. Yuni masih terlalu lemah dan menahan nyeri yang amat
sangat terlihat dari wajahnya karena pengaruh obat bius yang mulai menghilang.
Panas
sekali, rintihnya. Sementara obat pereda nyeri baru boleh diberikan pada pukul
sepuluh malam. Artinya, selama setengah hari atau enam jam, istriku harus
berjuang menahan sakit. Tapi telepon dari sahabat-sahabatnya yang membuatnya
berbicara dan curhat juga dapat membuatnya melupakan nyeri.
Melihat kondisi Yuni sedemikian
nelangsa, aku mengurungkan niatku di
awal nikah dahulu untuk punya anak sebanyak jumlah saudara kandungku. Enam
orang. Sebenarnya dua belas, karena yang enam meninggal waktu kecil atau dalam
kandungan. Maklum, ibuku menikah muda di usia 16 tahun. Dan ibuku bukan Yuni.
Mereka juga terpisah oleh zaman yang berbeda. Biarlah aku kubur egoisme
maskulinitas itu demi sang istri yang telah berjuang heroik selama kehamilan
yang rasanya wahnan 'ala wahnin,
sakit di atas sakit dan selama persalinan. Oh, I love u, Babe...
Terinspirasi semangat
istriku, pukul sebelas malam, sepulang dari rumah sakit, aku mencuci sendiri
ari-ari bayiku dan menguburnya dengan berbungkus kaus putih karena tak ada
kain putih sebagai syarat dari orang-orang tua yang menyuruhku dan
menguburnya dengan didahului doa-doa di dekat pot tanaman hias ibu mertua.
Semula aku ingin menguburnya karena banyaknya syarat yang harus dipenuhi
sekalian saja di pot anthurium gelombang cinta koleksi ibu mertua. Biar makmur jadi milyader anakku. Tapi
kubatalkan karena pertimbangan stabilitas sosial politik rumah tangga dan
lain-lain. Itu pun prosesi penguburan ari-ari sudah aku persingkat, jika
dibandingkan petuah dari Wak Ngah dan ibu mertua yang bahkan sampai harus
mengubur alat-alat tulis agar si Alham jadi anak pinter.
"Sekalian saja laptop, Wak!" ledek Sutami,
adik iparku. Wak Ngah melotot kesal. Duh,
tradisi!
Sebelumnya pukul sepuluh malam aku melangkah
pulang dari rumah sakit dengan langkah-langkah panjang dan hati senang. Aku
tidak menginap di rumah sakit. Sudah ada ibu mertua dan Wak Ngah yang menunggui
istriku. Apa boleh buat, aku harus ngantor
dan selesaikan proyek-proyek terjemahan di luar kantor sebagai penghasilan
tambahan yang bertenggat ketat. Kata istriku, demi dua ekor kambing aqiqah.
Ya, demi anak. Karena kini aku seorang ayah. Bagi seorang ayah baru, hiruk
pikuk bising berpolusi lalu-lintas Jakarta
pun serasa konser musik paling syahdu malam itu.
Sahabat, makasih atas semua doa dan motivasinya. Terus
doakan kami ya!
Jakarta, 19
November 2008
--
-"Let's dream together!"
Nursalam AR
Translator, Writer & Writing Trainer
0813-10040723
E-mail: salam.translator@ gmail.com
YM ID: nursalam_ar
http://nursalam. multiply. com
- 4g.
-
Re: [catcil] Hari Pertama Menjadi Ayah
Posted by: "novi_ningsih" novi_ningsih@yahoo.com novi_ningsih
Wed Nov 19, 2008 12:58 am (PST)
Selamat sekali lagi
Akhirnya, bisa baca tulisan panjang ini setelah sempat meliriknya tadi
pagi dan sedikit membahas dengan mbak Rini soal nama, dll :)
Salam buat mba Yuny, ya ....
Perjuangannya hebat........
-- In sekolah-kehidupan@yahoogroups. , "Nursalam AR"com
<nursalam.ar@...> wrote:
>
> *Hari Pertama Menjadi Ayah*
>
> *Oleh Nursalam AR*
>
>
>
> Apa pun pengalaman pertama seperti hari pertama masuk sekolah atau
malam
> pertama pernikahan -- selalu menegangkan. Juga hari pertama menjadi
seorang
> ayah.
>
>
>
> Di awal hari, aku bingung hendak izin tidak masuk kantor lagi atau
tidak.
> Sebab sehari sebelumnya aku sudah minta izin dari *boss* untuk absen
sehari
> terkait persiapan persalinan. Jumat pekan kemarin juga izin, karena
> jadwal *check
> up* istri di RSUD Pasar Rebo, Jakarta Timur. Dan dokter meminta suami
> istriku yakni aku untuk khusus datang karena ada masalah dengan
> kandungan istriku. Jadi ini hal penting yang membutuhkan aku sebagai
*decision
> maker*, pengambil keputusan.
>
>
>
> Rupanya posisi bayi kami ternyata menyamping alias lintang. Juga
terlilit
> tali pusat. Tak ada jalan lain, kata sang dokter, selain operasi caesar.
> Padahal istriku sudah aktif senam hamil. Ini akibat kandungan
istriku sempat
> dipijat dukun pijat saat usia kehamilan tiga bulan karena letak kepala
> bayi yang sudah menukik di jalan lahir -- sehingga istriku susah
berjalan
> dan kami kuatir terjadi keguguran. Ternyata itu keputusan yang salah
karena
> justru mengganggu pergerakan alamiah sang bayi. Benar kata orang
bijak, saat
> istri kita hamil semua orang di sekeliling kita mendadak menjadi ahli
> kehamilan. Semua memberikan saran dan rekomendasi tak peduli benar-benar
> tahu atau cuma sok tahu. Tapi semua terpulang kepada kita sebagai
*decision
> maker*. Dan saat itu aku membuat keputusan yang keliru. *Maafkan Abi, ya
> Ummi, ya Nak!*
>
>
>
> Dengan menahan nafas karena kecewa istriku tak bisa melahirkan normal
> sekaligus terbayang bilangan nominal tabungan yang akan keluar
sang *decision
> maker *yang pernah keliru ini menyanggupi. Lebih tepatnya, terpaksa
> menyanggupi karena toh tak ada opsi lain. Disepakatilah jadwal *check
> up*terakhir yang jika perlu, berdasarkan hasil pemeriksaan lab dan
> lain-lain,
> merupakan tanggal operasi persalinan pada hari Selasa, 18 November
2008.
> Ancer-ancer dokter, jika positif, operasi caesar akan dilakukan
pukul lima
> sore.
>
>
>
> Nah, di Selasa pagi itulah, sebagai pekerja (yang notabene masih 'kuli'
> orang lain) dan calon ayah, aku terjebak dilema. Di saat seperti itu aku
> jadi bernostalgia masa-masa "merdeka" sebagai penerjemah *full time* *
> freelance* yang relatif bebas mengatur waktu. Tidak bergantung pada
jadwal
> kantor atau ngamuk tidaknya *boss* kita jika kita berkali-kali izin
terutama
> di saat pekerjaan menumpuk.
>
>
>
> Melihat aku pagi-pagi merenung, dengan gaya standarku yang bertopang
dagu
> dan kening berkerut, Yuni segera paham dan memberikan solusi. "Ya udah,
> abang ngantor aja." Ajaib! Sebelas bulan berumahtangga ternyata
memberikan
> sang istriku tersayang kemampuan membaca pikiran. Setidaknya ilmu
empatinya
> lebih terasah ketimbang aku yang kadang masih saja asyik menerjemahkan
> order penerjemahan di luar kantor sementara Yuni menatapku dengan
isyarat
> punggungnya minta diusap.
>
>
>
> Ibu hamil memang paling suka jika punggung bagian bawahnya diusap-usap.
> Konon rasa usapannya itu bisa terasa hingga ke perut dan bayi yang di
> trimester ketiga sangat aktif bergerak hingga membuat nyeri dan
sesak ibunya
> -- jadi lebih *anteng*. Alhasil, Yuni pun jadi lebih bisa tidur lelap.
> Setidaknya dalam standar tidur lelap seorang ibu hamil. Karena bagi
bumil,
> di trimester tiga, tidur lelap adalah barang mewah.
>
>
>
> Singkat cerita, setelah mengantongi empati dan restu istriku, aku
berangkat
> ngantor. Itu pun dengan perasaan paranoid sendiri (tentu saja tidak
> rame-rame karena bisa terjadi histeria massal) dalam segala hal. Saat
> menyeberang menuju Stasiun Lenteng Agung, aku jadi kelewat amat sangat
> berhati-hati sekali. Takut ketabrak nanti tak bisa melihat bayiku
yang sudah
> aku tunggu 31 tahun ini (semasa bujang pun aku sudah pingin punya anak,
> soalnya). Waktu naik kereta yang berjubel hingga ke pintu, meski aku
berada
> di tengah, jadi paranoid takut keseret ke pintu dan terjatuh. Sungguh
> menyebalkan. Karena hari itu jadi tak biasa dan terasa lamban.
>
>
>
> Di kantor, tak seperti biasa mungkin kehendak Tuhan kerjaan sepi.
> Padahal biasanya di akhir tahun begini *deadline* order terjemahan
menggila.
> Persis kebiasaan pegawai kelurahan, aku dan teman-teman kantor ngobrol
> ngalor-ngidul. Aku jadi pembicara utama soal kehamilan istriku. Karena
> memang tak ada orang lain di kantor yang bisa bicara itu (karena
yang hamil
> istriku).
>
>
>
> Jelang tengah hari, masuk sms dari Yuni. Beritanya? Ternyata pihak rumah
> sakit menelepon agar istriku segera datang ke rumah sakit. Rencana
tes lab
> dimajukan jadi pukul satu siang. Yuni mohon doa dan mengungkapkan
> ketakutannya. Dengan gaya motivator ulung *a la* Mario Teguh, aku
memberikan
> advis bernuansa *Law of Attraction* kepadanya plus amalan wirid
Asmaul Husna
> sebagai penenang.
>
>
>
> Ketika hape ditutup, aku masih berharap dapat menemani Yuni di ruang
operasi
> jika hari itu juga ia harus menjalani operasi caesar. Prediksiku
operasi
> jika harus dilakukan sekitar pukul lima sore. Dan aku masih bisa
> mengejarnya dengan pulang dari kantor jam empat sore. Untuk pergi ke
rumah
> sakit, sudah ada ibu mertua, paman istri dan adik iparku yang mengantar.
> Lengkap sudah armada dan sopir menuju medan jihad.
>
>
>
> Persis jam satu siang, setelah sholat Zuhur, ibu mertua menelpon.
>
>
>
> "Salam, Yuni jam satu ini dioperasi. Tanda tangan suami sudah ibu
wakilkan,"
> ujar ibu mertua. Alamak. Rupanya tanpa tes lab lagi operasi caesar
dimajukan
> 4 jam. Sebagai suami, aku merasa tak lengkap. Karena bukan aku yang
> menandatangani surat persetujuan operasi caesar istriku. Dan aku tak
dapat
> mendampingi istriku di ajang hidup mati itu. Selain karena faktor
waktu juga
> karena mendadak perutku mulas luar biasa.
>
>
>
> *Duh, ini kebiasaan lamaku jika sangat tegang*. Terakhir kali aku
> mengalaminya saat didaulat berpidato sebagai SK Idol pada HUT ke-1
Sekolah
> Kehidupan di Kuningan pada 2007. Tapi kali ini tegangnya kurang ajar
betul.
> Hingga aku harus buang hajat dalam waktu lama di toilet. Sekaligus
membuat
> Rivai teman kantorku yang berinisiatif baik mengantarku ke Pasar
Minggu
> dengan motornya harus *cengok* menunggu di depan gerbang kantor seperti
> tukang ojek menunggu penumpang. Untuk hal ini tak sepenuhnya
salahku. Sudah
> lama aku menyarankan kepada temanku itu untuk mengganti model helm
motornya.
>
>
>
> Tiba di RSUD Pasar Rebo di tengah macetnya lalu lintas di mendung
Jakarta
> pukul setengah dua lewat, aku bergegas memburu lift ke lantai 4,
sesuai
> info dari adik iparku via sms, dengan gaya orang kebelet buang
hajat. Lebih
> sopannya, dengan gaya orang pingin ambil duit gajian. Terburu-buru,
intinya.
>
>
>
> Memang *isti'jal* alias tergesa-gesa itu tidak baik. Aku memang tiba di
> lantai 4. Tapi bukan lantai 4 tempat ruang operasi. *Ola la*,
ternyata RS
> Pasar Rebo punya dua gedung yang dibangun menyatu. Alhasil, ada dua
lantai 4
> di satu bangunan. Aku, berbekal petunjuk petugas cleaning service yang
> simpatik dan baik budi, turun lagi ke lantai 2 dan berbelok ke kiri dari
> tempatku naik lift yang pertama. Inilah titik persambungan dua
gedung itu.
> Di dekat lift persis di depan kios koran dan gerai donat, aku
menunggu lift
> dengan dag-dig-dug-der. *Oh, God, I am nervous!* Syukurlah kali ini
tidak
> dibarengi dengan mulas. Ia sudah aku tinggal di kantorku di Pasar
> Minggu. Karena
> ia bukan pendamping yang baik saat kondisi tegang begini.
>
>
>
> Alhamdulillah, di lantai 4 yang benar-benar tujuanku, aku ketemu dengan
> rombongan pengantar istriku yang juga wajah mereka tak kalah pias.
Terutama
> ibu mertua. Maklum, bayiku adalah cucu pertamanya. Sementara Wak
Ngah, salah
> satu paman istri, berusaha menenangkan kami.
>
>
>
> "Tenang ajalah. Ayah (*ia memang membahasakan dirinya demikian*)
malah waktu
> itu liat langsung persalinan caesar Eka. Lancar-lancar aja kok. Sekarang
> semua sudah canggih. Sudah biasa itu di-caesar. Aman, Insya Allah,"
ujarnya
> memberi semangat. Aku yang mengambil tempat di kursi pojok tersenyum
> basa-basi. Tapi lantas tak urung Wak Ngah berjalan mondar-mandir tak
keruan
> di ruang tunggu itu. *Ah, tak apalah, aku hargai niat baiknya menghibur
> kami *
>
> * *
>
> Selama menunggu, tak putus-putus hafalan Qur'an kulafalkan. Juga Al
> Ma'tsurot. Masih kurang juga, aku lanjutkan dengan tilawah Surah Yasin
> dnegan penuh harap akan keselamatan istri dan anakku. Apa pun jenis
> kelaminnya dan putih atau hitamkah warna kulitnya. Inilah harapan
universal
> setiap calon ayah di muka bumi.
>
>
>
> "Katanya cuma setengah jam ya, Ning," ujar Wak Ngah yang mendadak lupa
> kepada kata-katanya sendiri. Bu Ayuningsih, ibu mertuaku, merengut. Aku
> tersenyum geli. Dalam literatur operasi caesar pengambilan bayi
memang hanya
> setengah jam. Namun perlu waktu lebih hingga 2-3 jam untuk menjahit luka
> pada perut si ibu. Untunglah bertubi-tubi sms doa dan motivasi dari para
> Sahabat di Sekolah Kehidupan (Mas Adjie, Novi, Nia, Mas Suhadi, Pak
Teha,
> Kang Dani, Sinta, Ugik, Mbak Rinurbad, Retno & Catur, Kang Hadian
dll) dan
> teman-temanku yang lain setia menemani dalam kurun waktu itu. Bahkan
> sebagian langsung menelpon meski maaf ya! saat itu aku harus
menjawab
> dengan suara bergetar saking tegangnya penantian. Besarnya harapan
kadang
> menjadi beban.
>
>
>
> Hukum relativitas waktu hari itu juga bekerja efektif. Waktu serasa
*ngesot*.
> Dalam lantunan doa dan gumpalan harap, ditingkahi siaran
*infotainment *dari
> TV di ruang tunggu, aku merasa pasrah pada-Nya. Aku hanya
menyisipkan doa
> pamungkas kepada Allah di ujung penantian dua jam yang menyiksa itu. *Ya
> Allah, aku sudah banyak kehilangan. Kehilangan ayah, ibu dan kakak
sulungku
> yang guru menulisku dan guru ngaji pertamaku. **Kehilangan biro
> penerjemahanku dan segenap hartaku selepas banjir bandang 2007 lalu.
**Tapi,
> ya Allah, tak usah engkau kembalikan semua itu karena aku sudah relakan
> semuanya. Cukup tambahkan satu saja untukku dan jangan kau ambil istriku
> sebelum aku dapat memenuhi janjiku untuk membuatnya tinggal di rumah
milik
> kami sendiri dan mengajaknya berhaji...*
>
>
>
> Mungkin, kata Hanung Bramantyo, itu termasuk kategori doa yang
mengancam.
> Tapi setidaknya aku lega sudah curhat kepada Tuhan. Karena kita tak
boleh
> sombong dengan hanya bergantung pada kecanggihan teknologi manusia.
Tuhanlah
> yang punya kuasa. Dalam hal apa pun. Terlepas kita percaya atau
tidak akan
> keberadaan-Nya.
>
>
>
> Lima menit jelang azan Ashar, pintu ruang operasi terbuka. Istriku dalam
> kondisi lemas dan wajah pucat diantar keluar dengan masih berbaring
di atas
> tempat tidur. Dua orang perawat muda mengantarnya ke ruang
perawatan. Aku
> menyambutnya dengan haru dan ciuman di dahi.
>
>
>
> "Udah liat bayinya?" Itu pertanyaan pertama Yuni. Rupanya selama di
ruang
> operasi Yuni belum sempat melihat bayinya. Ia hanya mendengar suara
tangisan
> sang bayi yang segera dibersihkan. Bahkan Yuni sempat melarangku
untuk ikut
> ke ruang perawatan di lantai 3 agar aku bisa melihat sang bayi. Biar
bisa
> menceritakan kondisi bayinya, alasan Yuni. *Ah, mungkin ini naluri
seorang
> ibu*. Aku jadi paham sepaham-pahamnya mengapa dalam setiap kasus
perceraian
> seorang ibu akan mati-matian mendapatkan hak pengasuhan anaknya.
>
>
>
> Tepat azan Ashar. Pintu ruang operasi kembali terbuka. Kali ini
seorang bayi
> montok sehat kemerahan diantar para perawat dalam sebuah boks mungil
beroda.
> Tangisnya memekakkan telinga. Tangan dan kakinya bergerak-gerak
lincah. Tertera
> pada catatan di boks: berat 3,150 kg dengan panjang 50 cm. Rambutnya
hitam
> dan tebal ikal seperti rambutku. Tapi wajahnya seperti ibunya.
>
>
>
> "Aih, cantiknya!" seru ibu mertuaku. Ia memang sangat ingin punya cucu
> perempuan. Katanya anak perempuan enak, bisa didandanin. Maklum, ia
penata
> rias penganten.
>
>
>
> "Ibu, ini laki-laki," ujar salah satu perawat seraya menyingkap selimut
> bayi. Tampaklah jelas kelamin anakku. Anak pertamaku laki-laki. Sungguh
> ideal sekali dalam pandangan tradisional sebagian suku di Nusantara.
>
>
>
> Tapi ibu mertua tak patah arang. Ia memang sudah lama mendamba cucu
karena
> baru satu orang anaknya --- dari ketiga anaknya yang menikah. Tatapan
> matanya dan bahasa tubuhnya menyiratkan sekali hal itu. Aku jadi
teringat
> almarhumah ibuku yang dulu tak sempat melihat cucu pertamanya lahir.
Ibuku
> wafat karena tumor ginjal saat cucu pertamanya masih berusia 3 bulan
dalam
> kandungan. Kali ini aku jadi rindu almarhumah ibuku yang juga tak bisa
> melihat anakku, cucu kelimanya. Juga rindu almarhumah *aba*, panggilan
> ayahku, yang dulu selalu menyindirku dengan bilang,"pengen deh dapat
cucu
> dari Salam" karena beliau selalu mendesakku dengan caranya yang khas
> untuk segera menikah. *Aba, ibu, I miss u....*
>
>
>
> Segera, setelah menunggu ibu mertua mengagumi cucu pertamanya, aku
mengazani
> bayi itu. Ya, bayiku sendiri! Dulu aku pernah mengazani bayi ketika
> keponakan pertamaku, Rayhan Wildan Ramadhani ini nama pemberian
dariku
> lahir tahun 2000 di RSCM, Jakarta. Mengazani bayi dan iqomah di
telinga
> kiri selalu berkesan. Tapi kali ini terasa berbeda. *Ah, inikah naluri
> seorang ayah?*
>
>
>
> Di masjid rumah sakit, selepas mengurus administrasi rumah sakit dan
sholat
> Ashar, aku bersujud syukur. Aku kini dengan anugerah Allah
menjadi ayah.
> Suatu amanah yang berat atas kepercayaan Allah ini. Sebuah amanah
> bernama *Muhammad
> Alham Navid*. Sebuah nama yang kami rancang jauh-jauh hari bahkan
> dirahasiakan kepada keluarga dekat sampai hari-H untuk menghindari
> plagiarisme -- yang bermakna *"Inspirasi terpuji yang membawa gelombang
> kebahagiaan"*. Berbekal panduan buku nama-nama bayi (*special thanks* to
> Mbak Rinurbad!), didapatlah nama tersebut yang menurut Mbak
Rinurbad yang
> konsultan nama-nama bayi bagus, unik dan langka. *Semoga sebagus
itu juga
> akhlak dan takdir nasibnya!*
>
>
>
> Khusus untuk kata *Alham*, selain varian dari *ilham *dalam bahasa
Arab, ini
> juga diambil dari nama Asahan Alham, yang akrab dipanggil Asan, seorang
> novelis eksil Indonesia yang terusir dari Indonesia pada era 1960-an dan
> mengungsi ke Vietnam hingga menjadi profesor bahasa di sana dan
dianugerahi
> penghargaan sekaliber Mahaputera untuk jasanya mengembangkan bahasa
> Indonesia di Vietnam dan mempererat persahabatan budaya antara
Vietnam dan
> Indonesia. Novelnya berjudul *Perang dan Kembang* yang mengisahkan
> pengalaman hidupnya bersama rakyat Vietnam melawan imperialisme Amerika
> Serikat semasa Perang Vietnam (1970-an) sangat memukauku ketika aku
> mendapatinya di sebuah perpustakaan umum di Jakarta. Terlepas dari
anutan
> ideologinya, Asahan Alham potret aktivis-penulis-pejuang pantang
menyerah
> yang kukuh di mana pun lubuknya ia berada. Aku harap aura positif
tersebut
> memancar kepada anakku kelak.
>
>
>
> Jika ada kekecewaan karena manusia, kurang ajarnya, tak pernah puas
> adalah karena istriku tak bisa melakukan inisiasi menyusui dini.
Perih juga
> hatiku menyaksikan bayiku baru bisa menikmati laktogen yang diberikan
> perawat dan bukan kolostrum ASI ibunya. Tapi, apalah daya, Yuni yang
> dirawat di Ruang Delima (Kelas 2) 305-8 dan Alham yang dirawat di ruang
> perinatologi masih belum bisa dirawat gabung. Yuni masih terlalu
lemah dan
> menahan nyeri yang amat sangat terlihat dari wajahnya karena
pengaruh
> obat bius yang mulai menghilang. Panas sekali, rintihnya. Sementara obat
> pereda nyeri baru boleh diberikan pada pukul sepuluh malam. Artinya,
selama
> setengah hari atau enam jam, istriku harus berjuang menahan sakit. Tapi
> telepon dari sahabat-sahabatnya yang membuatnya berbicara dan curhat
juga
> dapat membuatnya melupakan nyeri.
>
>
>
> Melihat kondisi Yuni sedemikian *nelangsa*, aku mengurungkan niatku
di awal
> nikah dahulu untuk punya anak sebanyak jumlah saudara kandungku.
Enam orang.
> Sebenarnya dua belas, karena yang enam meninggal waktu kecil atau dalam
> kandungan. Maklum, ibuku menikah muda di usia 16 tahun. Dan ibuku bukan
> Yuni. Mereka juga terpisah oleh zaman yang berbeda. Biarlah aku kubur
> egoisme maskulinitas itu demi sang istri yang telah berjuang heroik
selama
> kehamilan yang rasanya *wahnan 'ala wahnin*, sakit di atas sakit dan
> selama persalinan. *Oh, I love u, Babe...*
>
>
>
> Terinspirasi semangat istriku, pukul sebelas malam, sepulang dari rumah
> sakit, aku mencuci sendiri ari-ari bayiku dan menguburnya dengan
berbungkus
> kaus putih karena tak ada kain putih sebagai syarat dari
orang-orang tua
> yang menyuruhku dan menguburnya dengan didahului doa-doa di dekat pot
> tanaman hias ibu mertua. Semula aku ingin menguburnya karena banyaknya
> syarat yang harus dipenuhi sekalian saja di pot anthurium
gelombang cinta
> koleksi ibu mertua. *Biar makmur jadi milyader anakku*. Tapi kubatalkan
> karena pertimbangan stabilitas sosial politik rumah tangga dan
lain-lain.
> Itu pun prosesi penguburan ari-ari sudah aku persingkat, jika
dibandingkan
> petuah dari Wak Ngah dan ibu mertua yang bahkan sampai harus mengubur
> alat-alat tulis agar si Alham jadi anak pinter.
>
>
>
> "Sekalian saja laptop, Wak!" ledek Sutami, adik iparku. Wak Ngah melotot
> kesal. *Duh, tradisi!*
>
>
>
> Sebelumnya pukul sepuluh malam aku melangkah pulang dari rumah sakit
dengan
> langkah-langkah panjang dan hati senang. Aku tidak menginap di rumah
sakit.
> Sudah ada ibu mertua dan Wak Ngah yang menunggui istriku. Apa boleh
buat,
> aku harus *ngantor *dan selesaikan proyek-proyek terjemahan di luar
kantor
> sebagai penghasilan tambahan yang bertenggat ketat. Kata istriku,
demi dua
> ekor kambing aqiqah. Ya, demi anak. Karena kini aku seorang ayah. Bagi
> seorang ayah baru, hiruk pikuk bising berpolusi lalu-lintas Jakarta pun
> serasa konser musik paling syahdu malam itu.
>
>
>
> *Sahabat, makasih atas semua doa dan motivasinya. Terus doakan kami ya!*
>
> * *
>
> *Jakarta, 19 November 2008*
>
>
>
>
>
>
> --
> -"Let's dream together!"
> Nursalam AR
> Translator, Writer & Writing Trainer
> 0813-10040723
> E-mail: salam.translator@...
> YM ID: nursalam_ar
> http://nursalam.multiply. com
>
- 4h.
-
Re: [catcil] Hari Pertama Menjadi Ayah
Posted by: "Lia Indriati" eeya_este@yahoo.com eeya_este
Wed Nov 19, 2008 1:34 am (PST)
Barakallah...Selamat atas kelahiran putra pertamanya Mas. Ikut merasakan bagaimana tegang dan bahagianya. Hari - hari selanjutnya adalah hari - hari yang semakin indah, insyaAllah :). Sekali lagi selamat! Salam untuk istri dan si kecil. Tak apalah kolostrumnya terlewat karena kondisi yang memang tidak memungkinkan. Tapi setelah pulih. ASI tetep yang utama ya ;)
Salam,
-indry-
http://cintasempurna.multiply. com
http://tawadhu.blogspot. com
YM ID: l_indry99
--- On Wed, 11/19/08, Nursalam AR <nursalam.ar@gmail.com > wrote:
From: Nursalam AR <nursalam.ar@gmail.com >
Subject: [sekolah-kehidupan] [catcil] Hari Pertama Menjadi Ayah
To: sekolah-kehidupan@yahoogroups. , fkmui96@yahoogroupscom .com , flpdki@yahoogroups.com , penulislepas@yahoogroups. com
Date: Wednesday, November 19, 2008, 9:24 AM
Hari Pertama Menjadi Ayah
Oleh Nursalam AR
Apa pun pengalaman pertama seperti hari pertama masuk sekolah atau malam pertama pernikahan -- selalu menegangkan. Juga hari pertama menjadi seorang ayah.
Di awal hari, aku bingung hendak izin tidak masuk kantor lagi atau tidak. Sebab sehari sebelumnya aku sudah minta izin dari boss untuk absen sehari terkait persiapan persalinan. Jumat pekan kemarin juga izin, karena jadwal check up istri di RSUD Pasar Rebo, Jakarta Timur. Dan dokter meminta suami istriku yakni aku untuk khusus datang karena ada masalah dengan kandungan istriku. Jadi ini hal penting yang membutuhkan aku sebagai decision maker, pengambil keputusan.
Rupanya posisi bayi kami ternyata menyamping alias lintang. Juga terlilit tali pusat. Tak ada jalan lain, kata sang dokter, selain operasi caesar. Padahal istriku sudah aktif senam hamil. Ini akibat kandungan istriku sempat dipijat dukun pijat saat usia kehamilan tiga bulan karena letak kepala bayi yang sudah menukik di jalan lahir -- sehingga istriku susah berjalan dan kami kuatir terjadi keguguran. Ternyata itu keputusan yang salah karena justru mengganggu pergerakan alamiah sang bayi. Benar kata orang bijak, saat istri kita hamil semua orang di sekeliling kita mendadak menjadi ahli kehamilan. Semua memberikan saran dan rekomendasi tak peduli benar-benar tahu atau cuma sok tahu. Tapi semua terpulang kepada kita sebagai decision maker. Dan saat itu aku membuat keputusan yang keliru. Maafkan Abi, ya Ummi, ya Nak!
Dengan menahan nafas karena kecewa istriku tak bisa melahirkan normal sekaligus terbayang bilangan nominal tabungan yang akan keluar sang decision maker yang pernah keliru ini menyanggupi. Lebih tepatnya, terpaksa menyanggupi karena toh tak ada opsi lain. Disepakatilah jadwal check up terakhir yang jika perlu, berdasarkan hasil pemeriksaan lab dan lain-lain, merupakan tanggal operasi persalinan pada hari Selasa, 18 November 2008. Ancer-ancer dokter, jika positif, operasi caesar akan dilakukan pukul lima sore.
Nah, di Selasa pagi itulah, sebagai pekerja (yang notabene masih 'kuli' orang lain) dan calon ayah, aku terjebak dilema. Di saat seperti itu aku jadi bernostalgia masa-masa "merdeka" sebagai penerjemah full time freelance yang relatif bebas mengatur waktu. Tidak bergantung pada jadwal kantor atau ngamuk tidaknya boss kita jika kita berkali-kali izin terutama di saat pekerjaan menumpuk.
Melihat aku pagi-pagi merenung, dengan gaya standarku yang bertopang dagu dan kening berkerut, Yuni segera paham dan memberikan solusi. "Ya udah, abang ngantor aja." Ajaib! Sebelas bulan berumahtangga ternyata memberikan sang istriku tersayang kemampuan membaca pikiran. Setidaknya ilmu empatinya lebih terasah ketimbang aku yang kadang masih saja asyik menerjemahkan order penerjemahan di luar kantor sementara Yuni menatapku dengan isyarat punggungnya minta diusap.
Ibu hamil memang paling suka jika punggung bagian bawahnya diusap-usap. Konon rasa usapannya itu bisa terasa hingga ke perut dan bayi yang di trimester ketiga sangat aktif bergerak hingga membuat nyeri dan sesak ibunya -- jadi lebih anteng. Alhasil, Yuni pun jadi lebih bisa tidur lelap. Setidaknya dalam standar tidur lelap seorang ibu hamil. Karena bagi bumil, di trimester tiga, tidur lelap adalah barang mewah.
Singkat cerita, setelah mengantongi empati dan restu istriku, aku berangkat ngantor. Itu pun dengan perasaan paranoid sendiri (tentu saja tidak rame-rame karena bisa terjadi histeria massal) dalam segala hal. Saat menyeberang menuju Stasiun Lenteng Agung, aku jadi kelewat amat sangat berhati-hati sekali. Takut ketabrak nanti tak bisa melihat bayiku yang sudah aku tunggu 31 tahun ini (semasa bujang pun aku sudah pingin punya anak, soalnya). Waktu naik kereta yang berjubel hingga ke pintu, meski aku berada di tengah, jadi paranoid takut keseret ke pintu dan terjatuh. Sungguh menyebalkan. Karena hari itu jadi tak biasa dan terasa lamban.
Di kantor, tak seperti biasa mungkin kehendak Tuhan kerjaan sepi. Padahal biasanya di akhir tahun begini deadline order terjemahan menggila. Persis kebiasaan pegawai kelurahan, aku dan teman-teman kantor ngobrol ngalor-ngidul. Aku jadi pembicara utama soal kehamilan istriku. Karena memang tak ada orang lain di kantor yang bisa bicara itu (karena yang hamil istriku).
Jelang tengah hari, masuk sms dari Yuni. Beritanya? Ternyata pihak rumah sakit menelepon agar istriku segera datang ke rumah sakit. Rencana tes lab dimajukan jadi pukul satu siang. Yuni mohon doa dan mengungkapkan ketakutannya. Dengan gaya motivator ulung a la Mario Teguh, aku memberikan advis bernuansa Law of Attraction kepadanya plus amalan wirid Asmaul Husna sebagai penenang.
Ketika hape ditutup, aku masih berharap dapat menemani Yuni di ruang operasi jika hari itu juga ia harus menjalani operasi caesar. Prediksiku operasi jika harus dilakukan sekitar pukul lima sore. Dan aku masih bisa mengejarnya dengan pulang dari kantor jam empat sore. Untuk pergi ke rumah sakit, sudah ada ibu mertua, paman istri dan adik iparku yang mengantar. Lengkap sudah armada dan sopir menuju medan jihad.
Persis jam satu siang, setelah sholat Zuhur, ibu mertua menelpon.
"Salam, Yuni jam satu ini dioperasi. Tanda tangan suami sudah ibu wakilkan," ujar ibu mertua. Alamak. Rupanya tanpa tes lab lagi operasi caesar dimajukan 4 jam. Sebagai suami, aku merasa tak lengkap. Karena bukan aku yang menandatangani surat persetujuan operasi caesar istriku. Dan aku tak dapat mendampingi istriku di ajang hidup mati itu. Selain karena faktor waktu juga karena mendadak perutku mulas luar biasa.
Duh, ini kebiasaan lamaku jika sangat tegang. Terakhir kali aku mengalaminya saat didaulat berpidato sebagai SK Idol pada HUT ke-1 Sekolah Kehidupan di Kuningan pada 2007. Tapi kali ini tegangnya kurang ajar betul. Hingga aku harus buang hajat dalam waktu lama di toilet. Sekaligus membuat Rivai teman kantorku yang berinisiatif baik mengantarku ke Pasar Minggu dengan motornya harus cengok menunggu di depan gerbang kantor seperti tukang ojek menunggu penumpang. Untuk hal ini tak sepenuhnya salahku. Sudah lama aku menyarankan kepada temanku itu untuk mengganti model helm motornya.
Tiba di RSUD Pasar Rebo di tengah macetnya lalu lintas di mendung Jakarta pukul setengah dua lewat, aku bergegas memburu lift ke lantai 4, sesuai info dari adik iparku via sms, dengan gaya orang kebelet buang hajat. Lebih sopannya, dengan gaya orang pingin ambil duit gajian. Terburu-buru, intinya.
Memang isti'jal alias tergesa-gesa itu tidak baik. Aku memang tiba di lantai 4. Tapi bukan lantai 4 tempat ruang operasi. Ola la, ternyata RS Pasar Rebo punya dua gedung yang dibangun menyatu. Alhasil, ada dua lantai 4 di satu bangunan. Aku, berbekal petunjuk petugas cleaning service yang simpatik dan baik budi, turun lagi ke lantai 2 dan berbelok ke kiri dari tempatku naik lift yang pertama. Inilah titik persambungan dua gedung itu. Di dekat lift persis di depan kios koran dan gerai donat, aku menunggu lift dengan dag-dig-dug- der. Oh, God, I am nervous! Syukurlah kali ini tidak dibarengi dengan mulas. Ia sudah aku tinggal di kantorku di Pasar Minggu. Karena ia bukan pendamping yang baik saat kondisi tegang begini.
Alhamdulillah, di lantai 4 yang benar-benar tujuanku, aku ketemu dengan rombongan pengantar istriku yang juga wajah mereka tak kalah pias. Terutama ibu mertua. Maklum, bayiku adalah cucu pertamanya. Sementara Wak Ngah, salah satu paman istri, berusaha menenangkan kami.
"Tenang ajalah. Ayah (ia memang membahasakan dirinya demikian) malah waktu itu liat langsung persalinan caesar Eka. Lancar-lancar aja kok. Sekarang semua sudah canggih. Sudah biasa itu di-caesar. Aman, Insya Allah," ujarnya memberi semangat. Aku yang mengambil tempat di kursi pojok tersenyum basa-basi. Tapi lantas tak urung Wak Ngah berjalan mondar-mandir tak keruan di ruang tunggu itu. Ah, tak apalah, aku hargai niat baiknya menghibur kami
Selama menunggu, tak putus-putus hafalan Qur'an kulafalkan. Juga Al Ma'tsurot. Masih kurang juga, aku lanjutkan dengan tilawah Surah Yasin dnegan penuh harap akan keselamatan istri dan anakku. Apa pun jenis kelaminnya dan putih atau hitamkah warna kulitnya. Inilah harapan universal setiap calon ayah di muka bumi.
"Katanya cuma setengah jam ya, Ning," ujar Wak Ngah yang mendadak lupa kepada kata-katanya sendiri. Bu Ayuningsih, ibu mertuaku, merengut. Aku tersenyum geli. Dalam literatur operasi caesar pengambilan bayi memang hanya setengah jam. Namun perlu waktu lebih hingga 2-3 jam untuk menjahit luka pada perut si ibu. Untunglah bertubi-tubi sms doa dan motivasi dari para Sahabat di Sekolah Kehidupan (Mas Adjie, Novi, Nia, Mas Suhadi, Pak Teha, Kang Dani, Sinta, Ugik, Mbak Rinurbad, Retno & Catur, Kang Hadian dll) dan teman-temanku yang lain setia menemani dalam kurun waktu itu. Bahkan sebagian langsung menelpon meski maaf ya! saat itu aku harus menjawab dengan suara bergetar saking tegangnya penantian. Besarnya harapan kadang menjadi beban.
Hukum relativitas waktu hari itu juga bekerja efektif. Waktu serasa ngesot. Dalam lantunan doa dan gumpalan harap, ditingkahi siaran infotainment dari TV di ruang tunggu, aku merasa pasrah pada-Nya. Aku hanya menyisipkan doa pamungkas kepada Allah di ujung penantian dua jam yang menyiksa itu. Ya Allah, aku sudah banyak kehilangan. Kehilangan ayah, ibu dan kakak sulungku yang guru menulisku dan guru ngaji pertamaku. Kehilangan biro penerjemahanku dan segenap hartaku selepas banjir bandang 2007 lalu. Tapi, ya Allah, tak usah engkau kembalikan semua itu karena aku sudah relakan semuanya. Cukup tambahkan satu saja untukku dan jangan kau ambil istriku sebelum aku dapat memenuhi janjiku untuk membuatnya tinggal di rumah milik kami sendiri dan mengajaknya berhaji...
Mungkin, kata Hanung Bramantyo, itu termasuk kategori doa yang mengancam. Tapi setidaknya aku lega sudah curhat kepada Tuhan. Karena kita tak boleh sombong dengan hanya bergantung pada kecanggihan teknologi manusia. Tuhanlah yang punya kuasa. Dalam hal apa pun. Terlepas kita percaya atau tidak akan keberadaan-Nya.
Lima menit jelang azan Ashar, pintu ruang operasi terbuka. Istriku dalam kondisi lemas dan wajah pucat diantar keluar dengan masih berbaring di atas tempat tidur. Dua orang perawat muda mengantarnya ke ruang perawatan. Aku menyambutnya dengan haru dan ciuman di dahi.
"Udah liat bayinya?" Itu pertanyaan pertama Yuni. Rupanya selama di ruang operasi Yuni belum sempat melihat bayinya. Ia hanya mendengar suara tangisan sang bayi yang segera dibersihkan. Bahkan Yuni sempat melarangku untuk ikut ke ruang perawatan di lantai 3 agar aku bisa melihat sang bayi. Biar bisa menceritakan kondisi bayinya, alasan Yuni. Ah, mungkin ini naluri seorang ibu. Aku jadi paham sepaham-pahamnya mengapa dalam setiap kasus perceraian seorang ibu akan mati-matian mendapatkan hak pengasuhan anaknya.
Tepat azan Ashar. Pintu ruang operasi kembali terbuka. Kali ini seorang bayi montok sehat kemerahan diantar para perawat dalam sebuah boks mungil beroda. Tangisnya memekakkan telinga. Tangan dan kakinya bergerak-gerak lincah. Tertera pada catatan di boks: berat 3,150 kg dengan panjang 50 cm. Rambutnya hitam dan tebal ikal seperti rambutku. Tapi wajahnya seperti ibunya.
"Aih, cantiknya!" seru ibu mertuaku. Ia memang sangat ingin punya cucu perempuan. Katanya anak perempuan enak, bisa didandanin. Maklum, ia penata rias penganten.
"Ibu, ini laki-laki," ujar salah satu perawat seraya menyingkap selimut bayi. Tampaklah jelas kelamin anakku. Anak pertamaku laki-laki. Sungguh ideal sekali dalam pandangan tradisional sebagian suku di Nusantara.
Tapi ibu mertua tak patah arang. Ia memang sudah lama mendamba cucu karena baru satu orang anaknya --- dari ketiga anaknya yang menikah. Tatapan matanya dan bahasa tubuhnya menyiratkan sekali hal itu. Aku jadi teringat almarhumah ibuku yang dulu tak sempat melihat cucu pertamanya lahir. Ibuku wafat karena tumor ginjal saat cucu pertamanya masih berusia 3 bulan dalam kandungan. Kali ini aku jadi rindu almarhumah ibuku yang juga tak bisa melihat anakku, cucu kelimanya. Juga rindu almarhumah aba, panggilan ayahku, yang dulu selalu menyindirku dengan bilang,"pengen deh dapat cucu dari Salam" karena beliau selalu mendesakku dengan caranya yang khas untuk segera menikah. Aba, ibu, I miss u....
Segera, setelah menunggu ibu mertua mengagumi cucu pertamanya, aku mengazani bayi itu. Ya, bayiku sendiri! Dulu aku pernah mengazani bayi ketika keponakan pertamaku, Rayhan Wildan Ramadhani ini nama pemberian dariku lahir tahun 2000 di RSCM, Jakarta. Mengazani bayi dan iqomah di telinga kiri selalu berkesan. Tapi kali ini terasa berbeda. Ah, inikah naluri seorang ayah?
Di masjid rumah sakit, selepas mengurus administrasi rumah sakit dan sholat Ashar, aku bersujud syukur. Aku kini dengan anugerah Allah menjadi ayah. Suatu amanah yang berat atas kepercayaan Allah ini. Sebuah amanah bernama Muhammad Alham Navid. Sebuah nama yang kami rancang jauh-jauh hari bahkan dirahasiakan kepada keluarga dekat sampai hari-H untuk menghindari plagiarisme -- yang bermakna "Inspirasi terpuji yang membawa gelombang kebahagiaan". Berbekal panduan buku nama-nama bayi (special thanks to Mbak Rinurbad!), didapatlah nama tersebut yang menurut Mbak Rinurbad yang konsultan nama-nama bayi bagus, unik dan langka. Semoga sebagus itu juga akhlak dan takdir nasibnya!
Khusus untuk kata Alham, selain varian dari ilham dalam bahasa Arab, ini juga diambil dari nama Asahan Alham, yang akrab dipanggil Asan, seorang novelis eksil Indonesia yang terusir dari Indonesia pada era 1960-an dan mengungsi ke Vietnam hingga menjadi profesor bahasa di sana dan dianugerahi penghargaan sekaliber Mahaputera untuk jasanya mengembangkan bahasa Indonesia di Vietnam dan mempererat persahabatan budaya antara Vietnam dan Indonesia. Novelnya berjudul Perang dan Kembang yang mengisahkan pengalaman hidupnya bersama rakyat Vietnam melawan imperialisme Amerika Serikat semasa Perang Vietnam (1970-an) sangat memukauku ketika aku mendapatinya di sebuah perpustakaan umum di Jakarta. Terlepas dari anutan ideologinya, Asahan Alham potret aktivis-penulis- pejuang pantang menyerah yang kukuh di mana pun lubuknya ia berada. Aku harap aura positif tersebut memancar kepada anakku kelak.
Jika ada kekecewaan karena manusia, kurang ajarnya, tak pernah puas adalah karena istriku tak bisa melakukan inisiasi menyusui dini. Perih juga hatiku menyaksikan bayiku baru bisa menikmati laktogen yang diberikan perawat dan bukan kolostrum ASI ibunya. Tapi, apalah daya, Yuni yang dirawat di Ruang Delima (Kelas 2) 305-8 dan Alham yang dirawat di ruang perinatologi masih belum bisa dirawat gabung. Yuni masih terlalu lemah dan menahan nyeri yang amat sangat terlihat dari wajahnya karena pengaruh obat bius yang mulai menghilang. Panas sekali, rintihnya. Sementara obat pereda nyeri baru boleh diberikan pada pukul sepuluh malam. Artinya, selama setengah hari atau enam jam, istriku harus berjuang menahan sakit. Tapi telepon dari sahabat-sahabatnya yang membuatnya berbicara dan curhat juga dapat membuatnya melupakan nyeri.
Melihat kondisi Yuni sedemikian nelangsa, aku mengurungkan niatku di awal nikah dahulu untuk punya anak sebanyak jumlah saudara kandungku. Enam orang. Sebenarnya dua belas, karena yang enam meninggal waktu kecil atau dalam kandungan. Maklum, ibuku menikah muda di usia 16 tahun. Dan ibuku bukan Yuni. Mereka juga terpisah oleh zaman yang berbeda. Biarlah aku kubur egoisme maskulinitas itu demi sang istri yang telah berjuang heroik selama kehamilan yang rasanya wahnan 'ala wahnin, sakit di atas sakit dan selama persalinan. Oh, I love u, Babe...
Terinspirasi semangat istriku, pukul sebelas malam, sepulang dari rumah sakit, aku mencuci sendiri ari-ari bayiku dan menguburnya dengan berbungkus kaus putih karena tak ada kain putih sebagai syarat dari orang-orang tua yang menyuruhku dan menguburnya dengan didahului doa-doa di dekat pot tanaman hias ibu mertua. Semula aku ingin menguburnya karena banyaknya syarat yang harus dipenuhi sekalian saja di pot anthurium gelombang cinta koleksi ibu mertua. Biar makmur jadi milyader anakku. Tapi kubatalkan karena pertimbangan stabilitas sosial politik rumah tangga dan lain-lain. Itu pun prosesi penguburan ari-ari sudah aku persingkat, jika dibandingkan petuah dari Wak Ngah dan ibu mertua yang bahkan sampai harus mengubur alat-alat tulis agar si Alham jadi anak pinter.
"Sekalian saja laptop, Wak!" ledek Sutami, adik iparku. Wak Ngah melotot kesal. Duh, tradisi!
Sebelumnya pukul sepuluh malam aku melangkah pulang dari rumah sakit dengan langkah-langkah panjang dan hati senang. Aku tidak menginap di rumah sakit. Sudah ada ibu mertua dan Wak Ngah yang menunggui istriku. Apa boleh buat, aku harus ngantor dan selesaikan proyek-proyek terjemahan di luar kantor sebagai penghasilan tambahan yang bertenggat ketat. Kata istriku, demi dua ekor kambing aqiqah. Ya, demi anak. Karena kini aku seorang ayah. Bagi seorang ayah baru, hiruk pikuk bising berpolusi lalu-lintas Jakarta pun serasa konser musik paling syahdu malam itu.
Sahabat, makasih atas semua doa dan motivasinya. Terus doakan kami ya!
Jakarta, 19 November 2008
--
-"Let's dream together!"
Nursalam AR
Translator, Writer & Writing Trainer
0813-10040723
E-mail: salam.translator@ gmail.com
YM ID: nursalam_ar
http://nursalam. multiply. com
Messages in this topic (1) Reply (via web post) | Start a new topic
Messages | Files | Photos | Polls | Calendar
MARKETPLACE
From kitchen basics to easy recipes - join the Group from Kraft Foods
Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Daily Digest |
- 4i.
-
Re: [catcil] Hari Pertama Menjadi Ayah
Posted by: "Lia Indriati" eeya_este@yahoo.com eeya_este
Wed Nov 19, 2008 1:35 am (PST)
Barakallah...Selamat atas kelahiran putra pertamanya Mas. Ikut merasakan bagaimana tegang dan bahagianya. Hari - hari selanjutnya adalah hari - hari yang semakin indah, insyaAllah :). Sekali lagi selamat! Salam untuk istri dan si kecil. Tak apalah kolostrumnya terlewat karena kondisi yang memang tidak memungkinkan. Tapi setelah pulih. ASI tetep yang utama ya ;)
Salam,
-indry-
http://cintasempurna.multiply. com
http://tawadhu.blogspot. com
YM ID: l_indry99
--- On Wed, 11/19/08, Nursalam AR <nursalam.ar@gmail.com > wrote:
From: Nursalam AR <nursalam.ar@gmail.com >
Subject: [sekolah-kehidupan] [catcil] Hari Pertama Menjadi Ayah
To: sekolah-kehidupan@yahoogroups. , fkmui96@yahoogroupscom .com , flpdki@yahoogroups.com , penulislepas@yahoogroups. com
Date: Wednesday, November 19, 2008, 9:24 AM
Hari Pertama Menjadi Ayah
Oleh Nursalam AR
Apa pun pengalaman pertama seperti hari pertama masuk sekolah atau malam pertama pernikahan -- selalu menegangkan. Juga hari pertama menjadi seorang ayah.
Di awal hari, aku bingung hendak izin tidak masuk kantor lagi atau tidak. Sebab sehari sebelumnya aku sudah minta izin dari boss untuk absen sehari terkait persiapan persalinan. Jumat pekan kemarin juga izin, karena jadwal check up istri di RSUD Pasar Rebo, Jakarta Timur. Dan dokter meminta suami istriku yakni aku untuk khusus datang karena ada masalah dengan kandungan istriku. Jadi ini hal penting yang membutuhkan aku sebagai decision maker, pengambil keputusan.
Rupanya posisi bayi kami ternyata menyamping alias lintang. Juga terlilit tali pusat. Tak ada jalan lain, kata sang dokter, selain operasi caesar. Padahal istriku sudah aktif senam hamil. Ini akibat kandungan istriku sempat dipijat dukun pijat saat usia kehamilan tiga bulan karena letak kepala bayi yang sudah menukik di jalan lahir -- sehingga istriku susah berjalan dan kami kuatir terjadi keguguran. Ternyata itu keputusan yang salah karena justru mengganggu pergerakan alamiah sang bayi. Benar kata orang bijak, saat istri kita hamil semua orang di sekeliling kita mendadak menjadi ahli kehamilan. Semua memberikan saran dan rekomendasi tak peduli benar-benar tahu atau cuma sok tahu. Tapi semua terpulang kepada kita sebagai decision maker. Dan saat itu aku membuat keputusan yang keliru. Maafkan Abi, ya Ummi, ya Nak!
Dengan menahan nafas karena kecewa istriku tak bisa melahirkan normal sekaligus terbayang bilangan nominal tabungan yang akan keluar sang decision maker yang pernah keliru ini menyanggupi. Lebih tepatnya, terpaksa menyanggupi karena toh tak ada opsi lain. Disepakatilah jadwal check up terakhir yang jika perlu, berdasarkan hasil pemeriksaan lab dan lain-lain, merupakan tanggal operasi persalinan pada hari Selasa, 18 November 2008. Ancer-ancer dokter, jika positif, operasi caesar akan dilakukan pukul lima sore.
Nah, di Selasa pagi itulah, sebagai pekerja (yang notabene masih 'kuli' orang lain) dan calon ayah, aku terjebak dilema. Di saat seperti itu aku jadi bernostalgia masa-masa "merdeka" sebagai penerjemah full time freelance yang relatif bebas mengatur waktu. Tidak bergantung pada jadwal kantor atau ngamuk tidaknya boss kita jika kita berkali-kali izin terutama di saat pekerjaan menumpuk.
Melihat aku pagi-pagi merenung, dengan gaya standarku yang bertopang dagu dan kening berkerut, Yuni segera paham dan memberikan solusi. "Ya udah, abang ngantor aja." Ajaib! Sebelas bulan berumahtangga ternyata memberikan sang istriku tersayang kemampuan membaca pikiran. Setidaknya ilmu empatinya lebih terasah ketimbang aku yang kadang masih saja asyik menerjemahkan order penerjemahan di luar kantor sementara Yuni menatapku dengan isyarat punggungnya minta diusap.
Ibu hamil memang paling suka jika punggung bagian bawahnya diusap-usap. Konon rasa usapannya itu bisa terasa hingga ke perut dan bayi yang di trimester ketiga sangat aktif bergerak hingga membuat nyeri dan sesak ibunya -- jadi lebih anteng. Alhasil, Yuni pun jadi lebih bisa tidur lelap. Setidaknya dalam standar tidur lelap seorang ibu hamil. Karena bagi bumil, di trimester tiga, tidur lelap adalah barang mewah.
Singkat cerita, setelah mengantongi empati dan restu istriku, aku berangkat ngantor. Itu pun dengan perasaan paranoid sendiri (tentu saja tidak rame-rame karena bisa terjadi histeria massal) dalam segala hal. Saat menyeberang menuju Stasiun Lenteng Agung, aku jadi kelewat amat sangat berhati-hati sekali. Takut ketabrak nanti tak bisa melihat bayiku yang sudah aku tunggu 31 tahun ini (semasa bujang pun aku sudah pingin punya anak, soalnya). Waktu naik kereta yang berjubel hingga ke pintu, meski aku berada di tengah, jadi paranoid takut keseret ke pintu dan terjatuh. Sungguh menyebalkan. Karena hari itu jadi tak biasa dan terasa lamban.
Di kantor, tak seperti biasa mungkin kehendak Tuhan kerjaan sepi. Padahal biasanya di akhir tahun begini deadline order terjemahan menggila. Persis kebiasaan pegawai kelurahan, aku dan teman-teman kantor ngobrol ngalor-ngidul. Aku jadi pembicara utama soal kehamilan istriku. Karena memang tak ada orang lain di kantor yang bisa bicara itu (karena yang hamil istriku).
Jelang tengah hari, masuk sms dari Yuni. Beritanya? Ternyata pihak rumah sakit menelepon agar istriku segera datang ke rumah sakit. Rencana tes lab dimajukan jadi pukul satu siang. Yuni mohon doa dan mengungkapkan ketakutannya. Dengan gaya motivator ulung a la Mario Teguh, aku memberikan advis bernuansa Law of Attraction kepadanya plus amalan wirid Asmaul Husna sebagai penenang.
Ketika hape ditutup, aku masih berharap dapat menemani Yuni di ruang operasi jika hari itu juga ia harus menjalani operasi caesar. Prediksiku operasi jika harus dilakukan sekitar pukul lima sore. Dan aku masih bisa mengejarnya dengan pulang dari kantor jam empat sore. Untuk pergi ke rumah sakit, sudah ada ibu mertua, paman istri dan adik iparku yang mengantar. Lengkap sudah armada dan sopir menuju medan jihad.
Persis jam satu siang, setelah sholat Zuhur, ibu mertua menelpon.
"Salam, Yuni jam satu ini dioperasi. Tanda tangan suami sudah ibu wakilkan," ujar ibu mertua. Alamak. Rupanya tanpa tes lab lagi operasi caesar dimajukan 4 jam. Sebagai suami, aku merasa tak lengkap. Karena bukan aku yang menandatangani surat persetujuan operasi caesar istriku. Dan aku tak dapat mendampingi istriku di ajang hidup mati itu. Selain karena faktor waktu juga karena mendadak perutku mulas luar biasa.
Duh, ini kebiasaan lamaku jika sangat tegang. Terakhir kali aku mengalaminya saat didaulat berpidato sebagai SK Idol pada HUT ke-1 Sekolah Kehidupan di Kuningan pada 2007. Tapi kali ini tegangnya kurang ajar betul. Hingga aku harus buang hajat dalam waktu lama di toilet. Sekaligus membuat Rivai teman kantorku yang berinisiatif baik mengantarku ke Pasar Minggu dengan motornya harus cengok menunggu di depan gerbang kantor seperti tukang ojek menunggu penumpang. Untuk hal ini tak sepenuhnya salahku. Sudah lama aku menyarankan kepada temanku itu untuk mengganti model helm motornya.
Tiba di RSUD Pasar Rebo di tengah macetnya lalu lintas di mendung Jakarta pukul setengah dua lewat, aku bergegas memburu lift ke lantai 4, sesuai info dari adik iparku via sms, dengan gaya orang kebelet buang hajat. Lebih sopannya, dengan gaya orang pingin ambil duit gajian. Terburu-buru, intinya.
Memang isti'jal alias tergesa-gesa itu tidak baik. Aku memang tiba di lantai 4. Tapi bukan lantai 4 tempat ruang operasi. Ola la, ternyata RS Pasar Rebo punya dua gedung yang dibangun menyatu. Alhasil, ada dua lantai 4 di satu bangunan. Aku, berbekal petunjuk petugas cleaning service yang simpatik dan baik budi, turun lagi ke lantai 2 dan berbelok ke kiri dari tempatku naik lift yang pertama. Inilah titik persambungan dua gedung itu. Di dekat lift persis di depan kios koran dan gerai donat, aku menunggu lift dengan dag-dig-dug- der. Oh, God, I am nervous! Syukurlah kali ini tidak dibarengi dengan mulas. Ia sudah aku tinggal di kantorku di Pasar Minggu. Karena ia bukan pendamping yang baik saat kondisi tegang begini.
Alhamdulillah, di lantai 4 yang benar-benar tujuanku, aku ketemu dengan rombongan pengantar istriku yang juga wajah mereka tak kalah pias. Terutama ibu mertua. Maklum, bayiku adalah cucu pertamanya. Sementara Wak Ngah, salah satu paman istri, berusaha menenangkan kami.
"Tenang ajalah. Ayah (ia memang membahasakan dirinya demikian) malah waktu itu liat langsung persalinan caesar Eka. Lancar-lancar aja kok. Sekarang semua sudah canggih. Sudah biasa itu di-caesar. Aman, Insya Allah," ujarnya memberi semangat. Aku yang mengambil tempat di kursi pojok tersenyum basa-basi. Tapi lantas tak urung Wak Ngah berjalan mondar-mandir tak keruan di ruang tunggu itu. Ah, tak apalah, aku hargai niat baiknya menghibur kami
Selama menunggu, tak putus-putus hafalan Qur'an kulafalkan. Juga Al Ma'tsurot. Masih kurang juga, aku lanjutkan dengan tilawah Surah Yasin dnegan penuh harap akan keselamatan istri dan anakku. Apa pun jenis kelaminnya dan putih atau hitamkah warna kulitnya. Inilah harapan universal setiap calon ayah di muka bumi.
"Katanya cuma setengah jam ya, Ning," ujar Wak Ngah yang mendadak lupa kepada kata-katanya sendiri. Bu Ayuningsih, ibu mertuaku, merengut. Aku tersenyum geli. Dalam literatur operasi caesar pengambilan bayi memang hanya setengah jam. Namun perlu waktu lebih hingga 2-3 jam untuk menjahit luka pada perut si ibu. Untunglah bertubi-tubi sms doa dan motivasi dari para Sahabat di Sekolah Kehidupan (Mas Adjie, Novi, Nia, Mas Suhadi, Pak Teha, Kang Dani, Sinta, Ugik, Mbak Rinurbad, Retno & Catur, Kang Hadian dll) dan teman-temanku yang lain setia menemani dalam kurun waktu itu. Bahkan sebagian langsung menelpon meski maaf ya! saat itu aku harus menjawab dengan suara bergetar saking tegangnya penantian. Besarnya harapan kadang menjadi beban.
Hukum relativitas waktu hari itu juga bekerja efektif. Waktu serasa ngesot. Dalam lantunan doa dan gumpalan harap, ditingkahi siaran infotainment dari TV di ruang tunggu, aku merasa pasrah pada-Nya. Aku hanya menyisipkan doa pamungkas kepada Allah di ujung penantian dua jam yang menyiksa itu. Ya Allah, aku sudah banyak kehilangan. Kehilangan ayah, ibu dan kakak sulungku yang guru menulisku dan guru ngaji pertamaku. Kehilangan biro penerjemahanku dan segenap hartaku selepas banjir bandang 2007 lalu. Tapi, ya Allah, tak usah engkau kembalikan semua itu karena aku sudah relakan semuanya. Cukup tambahkan satu saja untukku dan jangan kau ambil istriku sebelum aku dapat memenuhi janjiku untuk membuatnya tinggal di rumah milik kami sendiri dan mengajaknya berhaji...
Mungkin, kata Hanung Bramantyo, itu termasuk kategori doa yang mengancam. Tapi setidaknya aku lega sudah curhat kepada Tuhan. Karena kita tak boleh sombong dengan hanya bergantung pada kecanggihan teknologi manusia. Tuhanlah yang punya kuasa. Dalam hal apa pun. Terlepas kita percaya atau tidak akan keberadaan-Nya.
Lima menit jelang azan Ashar, pintu ruang operasi terbuka. Istriku dalam kondisi lemas dan wajah pucat diantar keluar dengan masih berbaring di atas tempat tidur. Dua orang perawat muda mengantarnya ke ruang perawatan. Aku menyambutnya dengan haru dan ciuman di dahi.
"Udah liat bayinya?" Itu pertanyaan pertama Yuni. Rupanya selama di ruang operasi Yuni belum sempat melihat bayinya. Ia hanya mendengar suara tangisan sang bayi yang segera dibersihkan. Bahkan Yuni sempat melarangku untuk ikut ke ruang perawatan di lantai 3 agar aku bisa melihat sang bayi. Biar bisa menceritakan kondisi bayinya, alasan Yuni. Ah, mungkin ini naluri seorang ibu. Aku jadi paham sepaham-pahamnya mengapa dalam setiap kasus perceraian seorang ibu akan mati-matian mendapatkan hak pengasuhan anaknya.
Tepat azan Ashar. Pintu ruang operasi kembali terbuka. Kali ini seorang bayi montok sehat kemerahan diantar para perawat dalam sebuah boks mungil beroda. Tangisnya memekakkan telinga. Tangan dan kakinya bergerak-gerak lincah. Tertera pada catatan di boks: berat 3,150 kg dengan panjang 50 cm. Rambutnya hitam dan tebal ikal seperti rambutku. Tapi wajahnya seperti ibunya.
"Aih, cantiknya!" seru ibu mertuaku. Ia memang sangat ingin punya cucu perempuan. Katanya anak perempuan enak, bisa didandanin. Maklum, ia penata rias penganten.
"Ibu, ini laki-laki," ujar salah satu perawat seraya menyingkap selimut bayi. Tampaklah jelas kelamin anakku. Anak pertamaku laki-laki. Sungguh ideal sekali dalam pandangan tradisional sebagian suku di Nusantara.
Tapi ibu mertua tak patah arang. Ia memang sudah lama mendamba cucu karena baru satu orang anaknya --- dari ketiga anaknya yang menikah. Tatapan matanya dan bahasa tubuhnya menyiratkan sekali hal itu. Aku jadi teringat almarhumah ibuku yang dulu tak sempat melihat cucu pertamanya lahir. Ibuku wafat karena tumor ginjal saat cucu pertamanya masih berusia 3 bulan dalam kandungan. Kali ini aku jadi rindu almarhumah ibuku yang juga tak bisa melihat anakku, cucu kelimanya. Juga rindu almarhumah aba, panggilan ayahku, yang dulu selalu menyindirku dengan bilang,"pengen deh dapat cucu dari Salam" karena beliau selalu mendesakku dengan caranya yang khas untuk segera menikah. Aba, ibu, I miss u....
Segera, setelah menunggu ibu mertua mengagumi cucu pertamanya, aku mengazani bayi itu. Ya, bayiku sendiri! Dulu aku pernah mengazani bayi ketika keponakan pertamaku, Rayhan Wildan Ramadhani ini nama pemberian dariku lahir tahun 2000 di RSCM, Jakarta. Mengazani bayi dan iqomah di telinga kiri selalu berkesan. Tapi kali ini terasa berbeda. Ah, inikah naluri seorang ayah?
Di masjid rumah sakit, selepas mengurus administrasi rumah sakit dan sholat Ashar, aku bersujud syukur. Aku kini dengan anugerah Allah menjadi ayah. Suatu amanah yang berat atas kepercayaan Allah ini. Sebuah amanah bernama Muhammad Alham Navid. Sebuah nama yang kami rancang jauh-jauh hari bahkan dirahasiakan kepada keluarga dekat sampai hari-H untuk menghindari plagiarisme -- yang bermakna "Inspirasi terpuji yang membawa gelombang kebahagiaan". Berbekal panduan buku nama-nama bayi (special thanks to Mbak Rinurbad!), didapatlah nama tersebut yang menurut Mbak Rinurbad yang konsultan nama-nama bayi bagus, unik dan langka. Semoga sebagus itu juga akhlak dan takdir nasibnya!
Khusus untuk kata Alham, selain varian dari ilham dalam bahasa Arab, ini juga diambil dari nama Asahan Alham, yang akrab dipanggil Asan, seorang novelis eksil Indonesia yang terusir dari Indonesia pada era 1960-an dan mengungsi ke Vietnam hingga menjadi profesor bahasa di sana dan dianugerahi penghargaan sekaliber Mahaputera untuk jasanya mengembangkan bahasa Indonesia di Vietnam dan mempererat persahabatan budaya antara Vietnam dan Indonesia. Novelnya berjudul Perang dan Kembang yang mengisahkan pengalaman hidupnya bersama rakyat Vietnam melawan imperialisme Amerika Serikat semasa Perang Vietnam (1970-an) sangat memukauku ketika aku mendapatinya di sebuah perpustakaan umum di Jakarta. Terlepas dari anutan ideologinya, Asahan Alham potret aktivis-penulis- pejuang pantang menyerah yang kukuh di mana pun lubuknya ia berada. Aku harap aura positif tersebut memancar kepada anakku kelak.
Jika ada kekecewaan karena manusia, kurang ajarnya, tak pernah puas adalah karena istriku tak bisa melakukan inisiasi menyusui dini. Perih juga hatiku menyaksikan bayiku baru bisa menikmati laktogen yang diberikan perawat dan bukan kolostrum ASI ibunya. Tapi, apalah daya, Yuni yang dirawat di Ruang Delima (Kelas 2) 305-8 dan Alham yang dirawat di ruang perinatologi masih belum bisa dirawat gabung. Yuni masih terlalu lemah dan menahan nyeri yang amat sangat terlihat dari wajahnya karena pengaruh obat bius yang mulai menghilang. Panas sekali, rintihnya. Sementara obat pereda nyeri baru boleh diberikan pada pukul sepuluh malam. Artinya, selama setengah hari atau enam jam, istriku harus berjuang menahan sakit. Tapi telepon dari sahabat-sahabatnya yang membuatnya berbicara dan curhat juga dapat membuatnya melupakan nyeri.
Melihat kondisi Yuni sedemikian nelangsa, aku mengurungkan niatku di awal nikah dahulu untuk punya anak sebanyak jumlah saudara kandungku. Enam orang. Sebenarnya dua belas, karena yang enam meninggal waktu kecil atau dalam kandungan. Maklum, ibuku menikah muda di usia 16 tahun. Dan ibuku bukan Yuni. Mereka juga terpisah oleh zaman yang berbeda. Biarlah aku kubur egoisme maskulinitas itu demi sang istri yang telah berjuang heroik selama kehamilan yang rasanya wahnan 'ala wahnin, sakit di atas sakit dan selama persalinan. Oh, I love u, Babe...
Terinspirasi semangat istriku, pukul sebelas malam, sepulang dari rumah sakit, aku mencuci sendiri ari-ari bayiku dan menguburnya dengan berbungkus kaus putih karena tak ada kain putih sebagai syarat dari orang-orang tua yang menyuruhku dan menguburnya dengan didahului doa-doa di dekat pot tanaman hias ibu mertua. Semula aku ingin menguburnya karena banyaknya syarat yang harus dipenuhi sekalian saja di pot anthurium gelombang cinta koleksi ibu mertua. Biar makmur jadi milyader anakku. Tapi kubatalkan karena pertimbangan stabilitas sosial politik rumah tangga dan lain-lain. Itu pun prosesi penguburan ari-ari sudah aku persingkat, jika dibandingkan petuah dari Wak Ngah dan ibu mertua yang bahkan sampai harus mengubur alat-alat tulis agar si Alham jadi anak pinter.
"Sekalian saja laptop, Wak!" ledek Sutami, adik iparku. Wak Ngah melotot kesal. Duh, tradisi!
Sebelumnya pukul sepuluh malam aku melangkah pulang dari rumah sakit dengan langkah-langkah panjang dan hati senang. Aku tidak menginap di rumah sakit. Sudah ada ibu mertua dan Wak Ngah yang menunggui istriku. Apa boleh buat, aku harus ngantor dan selesaikan proyek-proyek terjemahan di luar kantor sebagai penghasilan tambahan yang bertenggat ketat. Kata istriku, demi dua ekor kambing aqiqah. Ya, demi anak. Karena kini aku seorang ayah. Bagi seorang ayah baru, hiruk pikuk bising berpolusi lalu-lintas Jakarta pun serasa konser musik paling syahdu malam itu.
Sahabat, makasih atas semua doa dan motivasinya. Terus doakan kami ya!
Jakarta, 19 November 2008
--
-"Let's dream together!"
Nursalam AR
Translator, Writer & Writing Trainer
0813-10040723
E-mail: salam.translator@ gmail.com
YM ID: nursalam_ar
http://nursalam. multiply. com
- 5a.
-
Re: Apa Khabar ESKA?
Posted by: "fil_ardy" fil_ardy@yahoo.com fil_ardy
Tue Nov 18, 2008 7:46 pm (PST)
Waaah, maaf telat balasnya, Pak.
migrasi ke kantor baru cukup menyita waktu dan kesibukan.
Alhamdulillah, Raker SK seperti yg ditulis oleh Pak Teha
berjalan dengan baik dan menyenangkan. InsyaAllah SK tidak
akan kehilangan atau keluar dari visi dan misinya semula.
Tapi sebaliknya, kami akan mencoba merealisasikan visi dan misi
tersebut menjadi sesuatu yg nyata, semampu kami tentunya.
InsyaAllah, hasil pleno raker akan diposting oleh sekretaris SK
agar bisa dianalisa oleh seluruh sahabat SK dan menjadi
alasan kenapa harus bergabung dengan SK ^_^
Btw, jgn lupa oleh2 pandangan matanya selama di korea, pak :)
Terimaksih
DANI
--- In sekolah-kehidupan@yahoogroups. , Pandika Sampurnacom
<pandika_sampurna@...> wrote:
>
> Anak-anak ESKA, apa khabar?
>
> Cukup jauh perjalanan saya di Seoul, Korea ini, mungkin sampai akhir
November nanti. Di sini sudah mulai dingin, sepuluh derajat-an kalau
pagi. Bagaimana Mbak Fety di Chiba juga dingin ya?
> Daun-daun keemasan satu persatu sudah mulai jatuh, musim dingin
sudah menjelang.
> Alhamdulillah saya sehat.
> Apa khabar semua?
>
> Bagaimana dengan Raker ESKAnya ya.
>
> Mudah-mudahanESKA kita tidak kehilangan jati dirinya bukan? Baik
itu visi maupun visi awalnya.
> BRAVO anak-anak ESKA!
>
> Salam Sukses,
> Pandika Sampurna
>
- 6a.
-
[Lonceng] Mohon doa - Mirza opname (anak Mbak Syasya)
Posted by: "Humas Sekolahkehidupan" humas.sekolahkehidupan@yahoo.com humas.sekolahkehidupan
Tue Nov 18, 2008 8:05 pm (PST)
Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Selamat pagi, siang, sore dan malam
Sahabat SK dimana pun berada :)
Mohon doa sebanyak-banyaknya.
Untuk Mirza (putra sulung Mbak Syasya) yang saat ini opname karena Diare di RS Hasanah Graha Afiah - depok.
Kondisinya sekarang sudah mulai membaik (dengan bantuan infus), meski tadi pagi sempat bikin Bundanya panik karena demam, lemas, diare plus mimisan.
Meskipun begitu, mohon kesediaan para sahabat semua mendokan Mirza agar segera sehat kembali dan bisa segera pulang ke rumah. Amin
Tim Humas
- 6b.
-
Re: [Lonceng] Mohon doa - Mirza opname (anak Mbak Syasya)
Posted by: "fil_ardy" fil_ardy@yahoo.com fil_ardy
Tue Nov 18, 2008 8:11 pm (PST)
Pet sembuh ya, Mas Mirza
biar bisa nemenin dek jazmine
terus nemenin, Bunda ngeMPi lagi
Amiin
om Dani
In sekolah-kehidupan@yahoogroups. , Humas Sekolahkehidupancom
<humas.sekolahkehidupan@...> wrote:
>
> Assalamu'alaikum Wr. Wb.
> Selamat pagi, siang, sore dan malam
>
> Sahabat SK dimana pun berada :)
>
> Mohon doa sebanyak-banyaknya.
> Untuk Mirza (putra sulung Mbak Syasya) yang saat ini opname karena
Diare di RS Hasanah Graha Afiah - depok.
> Kondisinya sekarang sudah mulai membaik (dengan bantuan infus),
meski tadi pagi sempat bikin Bundanya panik karena demam, lemas, diare
plus mimisan.
>
> Meskipun begitu, mohon kesediaan para sahabat semua mendokan Mirza
agar segera sehat kembali dan bisa segera pulang ke rumah. Amin
>
> Tim Humas
>
- 6c.
-
Re: [Lonceng] Mohon doa - Mirza opname (anak Mbak Syasya)
Posted by: "fil_ardy" fil_ardy@yahoo.com fil_ardy
Tue Nov 18, 2008 8:12 pm (PST)
Pet sembuh ya, Mas Mirza
biar bisa nemenin dek jazmine
terus nemenin, Bunda ngeMPi lagi
Amiin
om Dani
In sekolah-kehidupan@yahoogroups. , Humas Sekolahkehidupancom
<humas.sekolahkehidupan@...> wrote:
>
> Assalamu'alaikum Wr. Wb.
> Selamat pagi, siang, sore dan malam
>
> Sahabat SK dimana pun berada :)
>
> Mohon doa sebanyak-banyaknya.
> Untuk Mirza (putra sulung Mbak Syasya) yang saat ini opname karena
Diare di RS Hasanah Graha Afiah - depok.
> Kondisinya sekarang sudah mulai membaik (dengan bantuan infus),
meski tadi pagi sempat bikin Bundanya panik karena demam, lemas, diare
plus mimisan.
>
> Meskipun begitu, mohon kesediaan para sahabat semua mendokan Mirza
agar segera sehat kembali dan bisa segera pulang ke rumah. Amin
>
> Tim Humas
>
- 6d.
-
Re: [Lonceng] Mohon doa - Mirza opname (anak Mbak Syasya)
Posted by: "yudhi mulianto" yudhi_sipdeh@yahoo.com yudhi_sipdeh
Wed Nov 19, 2008 1:13 am (PST)
wa alaikum salam wr wb
Semoga Mirza lekas sembuh dan sehat kembali ya. amin
rekan-rekan mungkin ada yang ingin membesuk?
salam
yudhi
--- On Tue, 11/18/08, Humas Sekolahkehidupan <humas.sekolahkehidupan@yahoo. > wrote:com
Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Selamat pagi, siang, sore dan malam
Sahabat SK dimana pun berada :)
Mohon doa sebanyak-banyaknya.
Untuk Mirza (putra sulung Mbak Syasya) yang saat ini opname karena Diare di RS Hasanah Graha Afiah - depok.
Kondisinya sekarang sudah mulai membaik (dengan bantuan infus), meski tadi pagi sempat bikin Bundanya panik karena demam, lemas, diare plus mimisan.
Meskipun begitu, mohon kesediaan para sahabat semua mendokan Mirza agar segera sehat kembali dan bisa segera pulang ke rumah. Amin
Tim Humas
- 7.
-
[Info] Buku Puisi Nur Wahida Idris - Mata Air Akar Pohon
Posted by: "Epri Saqib" epri_tsi@yahoo.com epri_tsi
Tue Nov 18, 2008 8:46 pm (PST)
http://geraibuku.multiply. com/photos/ album/82
BUKU CERITA
: manafit
novilata
Santuni aku dengan pengharapan
Dan puisi-puisi yang belum jadi
Biar padat pijakan, menyikat jalan sulit di belakang
Dan lapang pandangan menjangkaumu
Jangan sesali mengapa rumah tak berakar,
Dinding-dinding tembus pandang
Alang-alang tumbuh di jendela kamar
Aku pergi belajar menjauh dari dekapan
Memilih-milih akar tunjang
Buat kutanam di kaki ayah-ibu
Biar terus beranak dan kasihnya abadi menjarahmnu
Kita memang tak selamanya
Bisa bersama di dapur sempit
Dengan atap yang suka main hujan
Menjuluk bintang-bintang dari celah atap
Membicarakan orang-orang kaya
Yang berharap kita putus sekolah,
Lalu meminta kita bekerja di dapur mereka
Mata-mata yang mengintai itu
Bagaiamana bisa tak diajak berhitung
saat menyelidik celengan, buku harian
dan buku pelajaran sekolah yang kita simpan
di bawah bale
tempat tidur
tapi siapa yang menyangka
kita tak pandai berhitung
karena kini bintang-bintang yang kita petik
di atap rumah berbiak jadi kata-kata
jadi bahasa
jadi buku
cerita
menjadi
puisi-puisi
jadi
teropong rahasia
mencari
bintang-bintang....
Yang jatuh di atap-atap rumah yang bocor
Menympannya di buku-buku harian
Buku cerita yang kubuat
Ada
di tanganmu
Bukan menghibur keliaran rasa sakit
Atau membuat kau mati rasa
Alur kisahnya menjadi seribu cabang aliran sungai
Yang akan membuat keram tubuhmu
Karena penghinaan, tatapan mata bodoh
Dan tuah restu bagi kemiskinanmu
Sewon, Februari 2008
[Nur Wahida Idris ; Hal 94-94 Buku Mata Air Akar Pohon]
56 Sajak dalam buku puisi Mata Air Akar Pohon ini menurut
penulisnya, Nur Wahida terkumpul dalam kurun waktu 14 tahun. Penyair wanita yang
lahir di Bali dan sekarang menetap di Jogjakarta
ini aktif di komunitas Rumah Lebah dan AKAR Indonesia. Menyelesaikan studi
Jurusan Kriya/Tekstil Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta, 2007.
Puisi-puisi awalnya banyak muncul di rubrik "Apresiasi" Bali
Post Minggu di bawah asuhan Umbu Landu Paranggi, terutama kisaran tahun
1995-2000. Selain di Bali Post, puisi-puisinya dipublikasikan di Koran
Tempo, Kompas, Suara Merdeka, Bernas, Minggu Pagi , PCF Journal dan
Majalah Sastra Horison, serta dalam antologi bersama, seperti
Kidung Kawijayan (1996), Filantropi (2001), Surat Putih 2
(2002) dan Living Together (2005). Beberapa di antaranya mendapat
penghargaan. Diundang membacakan puisi-puisinya dalam Festival Kesenian
Jogjakarta (FKY) XVII/2005) dan International Literary Biennale 2005 di Bandung.
Judul Buku : Mata Air Akar Pohon
Penulis : Nur Wahid Idris
Penerbit : [SIC]
Yogyakarta
Cetakan :
Pertama, April 2008
Tebal : 96 hlm;
13,5 x 20 cm
Harga : Rp 23.000,-
Anda bisa memperoleh buku ini dengan memesan melalui Gerai
Buku On-Line via email ke geraibuku@gmail.com
atau sms ke [021] 3099 8655.
www.geraibuku.com
_____________________ _________ _________ _________ _________ _
Yahoo! sekarang memiliki alamat Email baru.
Dapatkan nama yang selalu Anda inginkan di domain baru @ymail dan @rocketmail.
Cepat sebelum diambil orang lain!
http://mail.promotions. yahoo.com/ newdomains/ id/
- 8.
-
(catcil) and The Winner is...
Posted by: "aisyah muchtar" myaisyah_mymuchtar@yahoo.co.id myaisyah_mymuchtar
Tue Nov 18, 2008 9:53 pm (PST)
Lingkunganku tempat tinggal memiliki karakteristik hampir sama
dengan kebanyakan lingkungan kumuh lain di Jakarta. Adalah tugasku
sebagai anggota masayarakat yang berbudi luhur, tidak sombong dan
baik hati (caelah .jayus ) untuk turut andil mencerdaskan
masyarakat. Dengan segala keterbatasan, akhirnya aku memulai proyek
pencerdasan ini pada lingkup Taman Pendidikan Al-Qur'an (selanjutnya
ku sebut TPA saja). Bismillairrahmaanirrahim..
Berulang kali aku mencoba menganalisis penyakit masyarakat di
sekitarku dengan menggunakan tehnik analisa SWOT. Berbekal
pengamatan sekasarnya yang minim data, maka dirumuskanlah suatu
formulasi; tinggalkan dahulu para orang tua, dekati anak-anak
mereka, fasilitasi anak-anak sebisa dan sebanyak mungkin sumber
belajar, lalu ajak mereka mentauladani kisah-kisah bersejarah
tentang ahklak yang mulia. Titik. Suit suit.. hehe..:-). Ah..
formula biasa itu mah :-)
Maka senangnya aku bukan main ketika ada teman yang mau
menginvestasikan rezekinya 750.000 rupiah untuk menambah koleksi
perpustakaan keluargaku. Akan ku belikan buku-buku anak-anak dan
remaja yang sangat mudah dibaca, dicerna, dipraktekkan anak-anak di
lingkunganku. Maka mulailah aku mencari tau sana dan sini tentang
konsep pembelajaran TPA yang unggul dan berhasil. Maka mulailah aku
menerapkan kedisiplinan untuk membuang rasa malas mereka yang luar
biasa dalam mencari ilmu dan memotivasi mereka bergerak menuju
perubahan.
Ini adalah jalan panjang, tidak mungkin aku bisa `merubah' mereka
dalam waktu sekejap. Awalnya aku sempat prustasi dan ilfill.
Bagaimana tidak, orang tua mereka menghidangkan sinetron setiap hari
setiap malam, memperdengarkan lagu-lagu dangdut setiap pagi setiap
spre, memaki mereka dengan kata-kata kasar bahkan nama-nama
binatang, memukul mereka dengan tangan, tidak memprioritaskan
pendidikan untuk mereka dan mengajarkan hal-hal yang buruk. Akhirnya
tumbuhlah mereka menjadi anak-anak yang senang mengadu domba,
mengejek, menghasut, berbohong, membangkang, malas, egois dan lain-
lain. Miskin ilmu, miskin hati, miskin harta pula. Miris.
Keputusasaanku didengar Allah. Suatu ketika, setelah salat Isya
berjama'ah di Mushala TPA, Allah memberiku inspirasi tentang reward
dan punishment. Ahaa !!!.
Langsung ku umumkan seolah-olah sedang bersabda: "barang siapa yang
berbuat baik ini, ini, ini, itu..maka akan dapat bintang pada setiap
kebaikan tapi barangsiapa yang berbuat jelek; ini, ini, ini, itu,
dia akan dapat (apa ya..lawannya bintang *mikir*) akan dapat..paku! .
Murid-muridku melongo. Aku melanjutkan, "nah tiap dua minggu sekali,
kita akan hitung berapa jumlah bintang kamu, berapa jumlah petir
kamu, nanti jumlah bintang diambil jumlah petir, siapa yang jumlah
bintang paling banyak dikasih es krim sama Teh Neneng :-), setuju???
Ada yang mau protes??" Indri, salah satu muridku
nyeletuk "Ah..paling-paling es krim yang gope-an". "Aiiih, enak
ajeee, yang 5000-an lah " kataku dengan nada seolah-olah setara
dengan hadiah 1 milyar, hehe:D. Mereka pun berseri-seri. "Ini
seperti pahala dan dosa. Pahala di kurangi dosa. Kalo hasllnya minus
maka kamu bangkrut. Jadi bangkrut itu bukan orang yang gak punya
harta. Bangkrut itu orang yang dosanya lebih banyak daripada
pahalanya. Ato orang yang pakunya lebih banyak daripada bintangnya".
Mereka mengangguk tanda mengerti.
Dan mulai saat itu, shalat mereka tertib, sama sekali tidak ada yang
becanda. Wudhu mereka juga. Kepatuhan mereka pada ku dan Teh Yuli
(guru TPA juga) meningkat, omongan kami didengar, hafalan mereka
giat. Beda sekali dengan sebelumnya: diberi pengertian dan pemahaman
bahwa ini salah, itu benar, seringkali gak mempan. Diberi
keteladanan juga gak mempan, dingatkan dengan lembut gak didengar,
diingatkan dengan keras bertambah nakal. Mungkin karena waktu
bersama kami lebih sedikit dibandingkan waktu mereka bersama
orangtua dan lingkungan. Bayangkan, kami hanya bertemu efektif 30
menit sehari, 5 kali seminggu, maka jangan heran kalo yang kami
ajarkan juga mental.
Aku memahami betul bahwa sistem yang sama akan menghasilkan hal yang
sama, kalau mau hasil yang beda ubahlah sistemnya!. Begitulah
latarbelakangannya muncul inspirasi reward dan punishment. Ini hanya
langkah awal usahaku untuk membuat sistem baru. Semoga ada inspirasi
lagi yang lebih luarbiasa, hehe :-).
Aku sebenarnya tidak ingin menerapkan punisment, punisment hanya
akan menambah daftar stempel negatif di diri mereka. Tapi dengan
pertimbangan; kenakalan mereka yang akut punisment harus diterapkan
sebagai suatu konsekwensi perbuatan buruk. Punishment jika
diterapkan dengan bijak hasilnya pun pasti positif.
Kesepakatan reward dan punishment yang disambut baik oleh mereka,
memberikanku bukti nyata bahwa mereka jarang sekali diapresiasi oleh
lingkungan terutama oleh orang tua. Jarang bahkan tidak pernah
dipuji, dihargai, dibelajarkan. Ah..disinilah tugas utamaku;
mengenalkan pada mereka dunia yang lebih `manusiawi'.
Ternyata ada konsekwensi lain dari reward dan punishment yang sangat
aku syukuri. Konsekwensi ini di luar perkiraanku. Yaitu, tiap habis
shalat isya ketika mau pulang adalah saat mengumumkan jumlah bintang
dan paku, saat itulah akan banyak yang protes ini dan itu, juga
banyan yang mengadu tentang kesalahan temannya yang tidak terdeksi
olehku. Aku menggunakan kesempatan ini sebagai kesempatan emas
melatih mereka mengkomunikasikan sesuatu dengan sopan dan bijak,
melatih mereka bertabayun, melatih mereka untuk legowo, melatih
mereka beristighfar ketika melakukan kejelekan dan melatih mereka
berhamdalah setelah melakukan kebaikan. Maka kesempatan ini tanpa
disettingpun menjadi ajang muhasabah. Alhamdulillah senang sekali.
Walau begitu aku tahu tugasku yang lain masih dengan rapihnya
berjajar untuk menunggu diselesaikan, salah satunya adalah membangun
kesadaran mereka bahwa bintang dan paku sangat kecil nilainya
dibandingkan keikhlasan pada Allah. Karena hanya dengan keikhlasan
rahmat-Nya akan datang sebagai jaminan mereka masuk syurga. Amin
Dua minggupun berlalu "and the winner is Yeni Rahma Sari dengan 51
bintang!!" itulah sabda tersingkatku tanggal 15 November yang lalu
didepan murid-muridku. Tanggal 16 November tepat di hari Ahad, aku
melunasi janjiku: membawakan Yeni sebuah es krim Conello, masya
Allah senangnya dia bukan main. Alhamdulillah yang lain iri, tapi
tidak dengki :-). Doakan kami semoga menjadi lebih baik dari waktu
ke waktu ya :-).
- 9a.
-
(Ruang Lobi) Perkenalan...
Posted by: "Putri Agus Sofyan" iastrito126ps@yahoo.co.id
Tue Nov 18, 2008 10:20 pm (PST)
Haiiii... Perkenalkan saya Bunda IASTRITO...saya seorang ibu dengan 3 anak.... iastrito adalah singkatan dari ke3 anak saya..(ias, astri, rito)..
Saya ingin bergabung dengan komunitas sekolah-kehidupan..dan ijinkan saya untuk memasukan tulisan saya dibawah ini..
Mohon feedback nya...atas tulisan saya ini..hal ini berguna bagi saya karena sebagai acuan dalam menuliskan sesuatu yang kemudian dapat dituangkan dalam sebuah cerita..
salam kenal
Bunda iastrito...
JANGAN BENTAK AKU, MAMA.....
(iastrito)
Siang itu udara sangat panas sekali... aku baru saja sampai di halaman sekolah dimana tempat anakku sedang menuntut ilmu..
Anakku, baru kelas 1, sekolah dasar.. aku menunggu bersama dengan orang tua murid lainnya. Terlihat sekumpulan ibu-ibu sedang bersenda gurau.. Mereka adalah orang tua murid yang memiliki waktu lebih untuk selalu menunggu anak-anaknya dari pagi hingga siang hari. Suasananya begitu meriah....tertawa....penuh dengan keceriaan.
Sempat aku melirik ke arah kumpulan tersebut, aku melihat cara penampilan mereka mulai dari rias wajah hingga asesories yang dikenakan, akupun melihat cara senda gurau mereka...begitu ceria seakan-akan tidak ada masalah yang dihadapi oleh para ibu-ibu orang tua murid tersebut.
Tak lama kemudian, dentang bel sekolah berbunyi... aku siap-siap menyambut kedatangan anakku... Aku telah menyiapkan makanan kecil dan sebotol air minum dingin untuk menyambut kedatangannya.. Ku lihat langkah kaki kecil muncul dari ruang kelas..terlihat capai sekali di wajahnya yang lucu dan lugu... Ku hampiri anakku dan sempat ku beri dia ciuman di keningnya sambil berbisik.."cape ya de..." kepala mungilnya mengangguk, memberi isyarat bahwa bisikanku, benar.
Aku memberi makanan kecil dan sebotol air minum dingin kepadanya..dan disambut sukacita melalui tangan-tangan mungilnya... Kamipun berpindah tempat duduk tetapi tak jauh dari kumpulan para ibu-ibu tadi..
Sambil memakan makan yang aku bawa, anakku cerita bahwa tadi ada ulangan Matematika dan iapun menceritakan kalau soalnya sangat sulit sehingga kepalanya agak pusing... aku pun hanya tersenyum dan membesarkan hatinya bahwa bisa atau tidak, itu adalah proses.. karena tidak semua anak bisa menerima seketika apa yang dijelaskan oleh Ibu guru dan pelajaran matematika harus selalu di latih agar mengerti. Lagi-lagi anakku menganggukan kepalanya. "Tapi dede dapat nilai 74, Mah...maafin dede ya...tidak bisa memberikan nilai yang bagus untuk Mama...tapi dede gak remed (remedial-mengulang) kok.." lanjut anakku... "tidak apa-apa de...dede kan sudah berusaha...nanti kita coba lagi dirumah ya...sampai ade ngerti..."jawabku dengan nada yang tidak membuat hati anakku ciut.
Tanpa sengaja, kulihat kelompok ibu-ibu tadi..menyambut anak-anaknya tanpa bergeming dari kursi-kursi yang mereka duduki... kulihat beberapa ibu menanyakan anaknya tentang pelajaran yang baru saja mereka lalui... Dengan polos anak-anak menceritakan apa yang dialami dari pagi hari hingga siang hari...
Tiba-tiba...aku dikejutkan dengan hentakan yang benar-benar membuat aku dan anakku bahkan lingkungan tempat tunggu, benar-benar dibuatnya terkejut... Salah satu dari ibu-ibu tersebut, sangat marah kepada anaknya... "Kamu ini bagaimana sih... masa gini aja gak bisa...! Bodoh amat kamu ini...! Mama malu...kamu dapat nilai 30...coba liat..! sementara tangan ibu tersebut mendorongkan kepala anaknya... Aku melihat anaknya diam tertunduk...
"Eh..anak loe..dapat berapa? Masa anak gue dapat 30 ulangan matematikanya" tanya ibu tersebut kepada ibu-ibu lainnya dikelompok tersebut....
"Anak gue dapat 60....lumayan...., eh anak gue dapat 85...." sahut ibu-ibu yang lain...
"Mah, itu temen dede satu kelas..." bisik anakku ketelinga ku.... "oooo..., jawabku" sambil menyuruh anakku untuk segera menghabiskan makanannya...
"Tuh lihat...masa teman-teman kamu bisa dapat 60 dan 85, sedangkan kamu hanya 30... makanya sana main terus..kalau disuruh belajar malas, maunya nonton tivi.." ibunya terus memarahi anaknya tersebut..
Aku melihat anaknya makin tertunduk..."nangis mama pukul kamu, ya!" bentak ibunya. Aku melihatnya semakin tidak tega, sedangkan ibu-ibu dikelompoknya tidak menghiraukan kekesalan ibu tersebut.
Tiba-tiba terdengar jeritan kecil yang keluar dari mulut mungil anak yang tertunduk tersebut...."Jangan bentak aku, Mama..!" meledaklah tangis anak tersebut sambil berlari kelapangan halaman sekolah...
Aku hanya berfikir....pantaskan anak seusia anakku memperoleh hardikan yang sangat menyakitkan hati... aku teringat pesan ibuku saat anakku baru lahir..."Putri, kelak anak ini sudah memasuki usia sekolah... masukilah ke sekolah yang baik dan ajarilah ia dengan penuh kesabaran, kelembutan...bila suatu saat ia mendapat nilai yang jelek, jangan kamu marahi tapi bimbinglah terus...hingga ia mengerti... karena kalau ia mendapat nilai jelek..sebenarnya kesalahan bukan pada anak itu sendiri, tetapi pada orangtuanya...lihatlah...ibuku menunjuk kepadaku memberikan ilustrasi dari jari telunjuknya....bila kamu menunjuk anakmu...kesalahan hanya satu jari saja yang mengarah padanya (jari telunjuk), sedangkan tiga jari lainnya (jari tengah, jari manis dan jari kelingking) semua mengarah kepada diri kita sendiri dan jari jempol (ibu jari) mengikat ketiga jari tersebut..
Akhirnya aku memahami apa yang ibuku pernah katakan kepadaku 6 tahun yang lalu. Aku melihat wajah anakku...terlihat wajah yang lucu dan lugu tapi tersirat rasa takut yang sama. Aku memahami....aku mengerti..anakku takut kalau aku akan berlaku seperti yang dialami oleh temannya tadi.
Habiskan, sayang..makannya....yuk kita pulang...nanti sampai dirumah..kita solat, abis solat ...kita main pokemon, terus kita tidur....terus ....terus......,sambil tanganku membereskan tempat makannya...dan berdiri meninggalkan kursi tempat kami duduk tadi...dan....kami pun berlalu sambil bergandengan tangan... Ku lihat..wajah anakku tersenyum sambil mengayunkan tangan mungilnya kedalam genggaman tanganku....sambil sesekali wajah mungilnya tersenyum padaku berkali-kali....
Terima kasih, ya Allah... Kau telah perlihatkan padaku pelajaran yang paling berarti...semoga aku bisa menjalani amanah yang Kau berikan padaku dengan baik dan menjadikan amanahMu ini menjadi anak yang sholeh....amin...
(medio, Rabu-19 Nopember 2008)
--------------------- --------- ---
Nama baru untuk Anda!
Dapatkan nama yang selalu Anda inginkan di domain baru @ymail dan @rocketmail.
Cepat sebelum diambil orang lain! - 9b.
-
Re: (Ruang Lobi) Perkenalan...
Posted by: "ugik madyo" ugikmadyo@gmail.com ugikmadyo
Tue Nov 18, 2008 11:27 pm (PST)
Salam kenal Bunda :)
Senangnya... bertambah satu lagi bunda yg gabung di kelas ini.
Boleh saya duduk samping Bunda?
Saya pengin belajar banyak soal anak-anak :)
Terima kasih Bunda atas tulisannya yang indah
Saya jadi dapat ilmu baru nih?
Ditunggu tulisan-tulisanya yang lain Bunda >:D<
Ugik Madyo
SK Surabaya
2008/11/19 Putri Agus Sofyan <iastrito126ps@yahoo.co. >id
> Haiiii... Perkenalkan saya Bunda IASTRITO...saya seorang ibu dengan 3
> anak.... iastrito adalah singkatan dari ke3 anak saya..(ias, astri, rito)..
> Saya ingin bergabung dengan komunitas sekolah-kehidupan..dan ijinkan saya
> untuk memasukan tulisan saya dibawah ini..
> Mohon *feedback* nya...atas tulisan saya ini..hal ini berguna bagi saya
> karena sebagai acuan dalam menuliskan sesuatu yang kemudian dapat dituangkan
> dalam sebuah cerita..
>
> salam kenal
> Bunda iastrito...
> JANGAN BENTAK AKU, MAMA ..
> (iastrito)
>
>
> Siang itu udara sangat panas sekali aku baru saja sampai di halaman
> sekolah dimana tempat anakku sedang menuntut ilmu..
>
> Anakku, baru kelas 1, sekolah dasar.. aku menunggu bersama dengan orang tua
> murid lainnya. Terlihat sekumpulan ibu-ibu sedang bersenda gurau.. Mereka
> adalah orang tua murid yang memiliki waktu lebih untuk selalu menunggu
> anak-anaknya dari pagi hingga siang hari. Suasananya begitu
> meriah .tertawa.penuh dengan keceriaan.
>
> Sempat aku melirik ke arah kumpulan tersebut, aku melihat cara penampilan
> mereka mulai dari rias wajah hingga asesories yang dikenakan, akupun melihat
> cara senda gurau mereka begitu ceria seakan-akan tidak ada masalah yang
> dihadapi oleh para ibu-ibu orang tua murid tersebut.
>
- 10.
-
(mimbar) Selamat Karena Shodaqoh
Posted by: "agussyafii" agussyafii@yahoo.com agussyafii
Tue Nov 18, 2008 10:48 pm (PST)
Selamat Karena Shodaqoh
By: agussyafii
Pernah satu hari seorang teman bertutur bahwa dirinya selamat dari
kecelakaan karena shodaqoh. Saat itu dia dan sahabatnya sedang liburan
akhir pekan. masing-masing membawa mobil pribadinya setelah seminggu
bekerja keras mereka sengaja untuk melepaskan lelah.
Disaat lampu merah ada seorang ibu tua yang meminta belas kasihan
pada setiap pengendara mobil. Keduanya memperhatikan ibu tua tersebut.
teman itu membuka kaca mobilnya kemudian memberikan beberapa lembar
ribuan untuk dishodaqohkan.
kejadian itu begitu cepat. Tuturnya. Tidak lama, terjadi satu
peristiwa yang menyeramkan. Mobil yang dikendarai sahabatnya yang
tidak memberikan shodaqoh melewati jalan yang berlobang cukup dalam
dan mobil itu terbalik. Teman yang bershodaqoh itupun turun untuk
mengetahui apa yang sebenarnya sedang terjadi.
Ternyata sahabatnya meninggal dunia. Berlinag air matanya menghadapi
kejadian yang menyayat hati itu. Dia teringat, jika saja dia yang
dalam kondisi sahabatnya tentunya dialah yang akan mengalami
kecelakaan itu, tetapi karena ada ibu tua yang telah menghentikan
dirinya untuk bershodaqoh dalam hitungan detik sehingga dia selamat
dari peristiwa yang menyeramkan itu.
"Peristiwa baik dapat menjaga dari kematian buruk" (HR. Tirmidzi).
Wassalam,
agussyafii
=======
Tulisan ini dibuat dalam rangka sosialisasi Program Baksos "Ananda
Anak Sehat" Terima kasih atas berkenannya berpartisipasi maupun
memberikan dukungannya, silahkan kunjungi kami di
http://agussyafii.blogspot. atau sms 087 8777 12 431com
- 11a.
-
Bls: [sekolah-kehidupan] [catcil] Hari Pertama Menjadi Ayah
Posted by: "bujang kumbang" bujangkumbang@yahoo.co.id bujangkumbang
Tue Nov 18, 2008 11:08 pm (PST)
Apa pun pengalaman
pertama - malam pertama pernikahan --
selalu menegangkan.
kalimat ini yang BangFy suka.....huwakakakhappy wanna be young father Bang .....sukses selalu!jangan kalo udah pulang ke rumah di LA tolong di SMSin biar BangFy sam Mbak Lia kesana. Nengok SK Jr dari abang....... Trims!
_____________________ _________ _________ _________ _________ _
Dapatkan alamat Email baru Anda!
Dapatkan nama yang selalu Anda inginkan sebelum diambil orang lain!
http://mail.promotions. yahoo.com/ newdomains/ id/
- 12a.
-
Re: (CERPEN) Dia Tak lagi Mengepak----bwt Mba retno
Posted by: "Arrizki Abidin" arrizki_abidin@yahoo.com arrizki_abidin
Wed Nov 19, 2008 1:27 am (PST)
Assalamu'alaikum
ya,mba retno maaf juga cerpennya kurang informatif...hehehehe. ...btw, dia gila karena suaminya, ryan, mendua dengan pelacur yang biasa dia ryan jual....trus dulu itu rusdi dah bilang klo calon suami sahabatnya itu germo bukan wirausahawan, dan sahabatnya itu gak percaya. Lalu rusdi yg dapet kerjaan yg jauh jadi putus komunikasi ma sahabatnya karna masalah itu. gitu deh......... hehee.
Wassalamu'alaikum
--- On Mon, 11/17/08, Bu CaturCatriks <punya_retno@yahoo.com > wrote:
From: Bu CaturCatriks <punya_retno@yahoo.com >
Subject: [sekolah-kehidupan] Re: (CERPEN) Dia Tak lagi Mengepak
To: sekolah-kehidupan@yahoogroups. com
Date: Monday, November 17, 2008, 4:32 PM
duh, sedih sekali, ya, tulisan ini...
ps: maaf mas rizki, ada banyak yg saya nggak paham. jadi mau nanya,--
maaf dodol.
1. si perempuan itu sakit jiwa knp ya?
2. maksudnya berbagi dgn pelacur suami itu apa ya?
3. hubungannya dgn ryan itu apa?
4. meninggalnya knp ya?
duh, maafkan pertanyaan2 boodoh ini ya...
thanks.
-retno-
--- In sekolah-kehidupan@ yahoogroups. com, Arrizki Abidin
<arrizki_abidin@ ...> wrote:
>
> CERPEN :
>
> "DIA TAK LAGI MENGEPAK"
> By : Riz-Q
>
> Aku duduk disampingnya. Satu kursi dengannya disebuah kursi kayu
yang panjang. Disebuah taman indah, hijau, dan sangat menyejukan
pandangan mata. Kusatukan kesepuluh jari sambil menarik nafas dalam-
dalam. Pandanganku jatuh kebawah, mengarah kearah rerumputan hijau
yang mengayun-ayun ditiup angin. Sesekali kulihat ia. Kutolehkan
kepala ini agar aku tahu ia sudah menatapku atau belum. Sama seperti
sebelumnya. Ia hanya memegang secarik kertas putih tanpa goresan.
Mengelus-elus bagian pinggirnya dengan kedua jempol mungilnya.
Benarkah ia berkaca pada kertas putih itu?
> "Coba dilipat bagian atasnya kebagian bawah, de" pintaku halus.
> Kertas itu dilipatnya. Sudut kanan atas dilipatnya menuju pusat
kertas. Ia tekan garis lipatan secara tegas dengan telunjuknya.
Tampak ragu. Sempat dibuka kembali lipatan itu, tapi bekasnya
terlanjur memberi kesan bergaris. Garis tanpa goresan pena. Sedikit
berpikir, akhirnya ia melipatnya kembali dan dengan tenang ia
memberikannya padaku.
> Dengan kedua tangannya yang menjepit pinggiran kertas, ia suguhkan
kertas berlipat itu pada ku. Aku mengambilnya. Kuteruskan lipatan
itu. Kulakukan hal yang sama dengannya dari sudut yang berbeda.
Sudut kanan bagian bawah kulekukkan dan kutekan untuk memberikan
lipatan yang sama, sehingga terbentuklah lipatan kembar.
> "Boleh dilipat seperti ini `kan?"
> "Ya."
> "Hehe...Aku buka lagi yah."
> "TIdak."
> Ia berdiri dari duduknya. Berjalan kedepan beberapa langkah.
Kemudian berjongkok dan mencabut sebuah rumput hijau sampai keakar-
akarnya. Ia kembali dan duduk lagi disampingku. Ia gulung-gulung
rumput itu hingga membulat penuh.
> "Untuk apa itu, de?"
> "Untukku."
> "Lalu kertas ini?"
> "Letakan saja tapi jangan dibuka yang dilipat."
> Tak aku letakan kertas putih itu. Aku terus memegangnya sembari
melihat apa yang sedang ia perbuat. Tak berubah. Sedari tadi hanya
menggulung-gulung rumput hijau. Kucoba lihat wajahnya. Tersenyum ia.
Entah apa yang disenyumkannya. Tapi kulihat ia senang dengan
kerjaannya saat ini.
> "Ini lihat."
> Hanya bulatan rumput yang mulai berubah warna yang kulihat.
Berubah karena sudah bercampur warna. Mungkin bagian akarnya yang
menyatu dengan tanah tercampur dalam gulungan itu, sehingga rumput
itu berubah warna. Lebih kehitaman kelihatannya. HIjau tua lebih
tepatnya. Tidak muda lagi. Tidak seperti saat sebelum ia cabut dari
tanah.
> "Untuk apa, de?"
> "Jangan diambil. Dilihat saja."
> Kutarik kembali tanganku yang siap meraih gulungan rumput itu.
Senyumannya belum berubah sedari tadi. Apanya yang menarik dari
sebuah gulungan yang kini terlihat seperti remukan saja? Kecil,
terlihat tampak tua. Dibuangpun tak akan ada yang memperhatikannya.
> Lalu ia sentilkan gulungan kecil itu kearah kertas yang tetap
kupegang. Tak kusangka, sentilannya mengenai pusat kertas, tempat
bertemunya kedua sudut tadi. Gulungan kecil itu kemudian jatuh
setelah terbentur kertas. Tidak sampai sedetik.
> "Lihat itu."
> "Apanya, de?"
> "Kertasnya. Tengahnya."
> Ya, ada bekas kehitaman disana walau sedikit. Itupun perlu
penglihatan yang terfokus sekali. Melipat kertas. Memberikannya
padaku. Lalu entah kenapa kulakukan lipatan yang sama dengannya
hanya saja dari sudut yang lain. Bagian tengah kertas itu
mempersatukan sudut yang tadinya terpisah. Dan kini terkena sentilan
jari mungilnya yang membekaskan noda hitam nyaris tak terlihat tepat
ditengahnya. Ini bukan kebetulan. Apa benar katanya kalau ia hanya
sekedar lelah, bukan gila? Apa dokter salah memberi statement?
> "Rus, aku ingin seperti noda hitam itu. Membekas. Lipatan itu
mengingatkanku pada kita yang bertemu disuatu tempat. Dan aku ingin
bernoda dipertemuan kita, walau sedikit dan tak terperhatikan,
sekalipun olehmu." ucapnya sembari terus tersenyum.
>
> 5 Tahun Kemudian
> "De, ini kertasnya. Sudah kulipat, juga bagianmu. Gulungan
kecilnya juga sudah kugulung. Sentillah kapanpun kau mau. Tinggalkan
noda itu sekali lagi. Arke sudah besar sekarang. Sudah bisa buatkan
aku kopi. Sudah jadi jagoan pula. Nakal memang hehe.. .tapi pintar."
> Kubasuhkan air se-botol aqua besar. Kualirkan dari keramik tempat
namanya terpampang, memanjang dan menyeluruh hingga ke bagian
bawahnya. Kurapihkan bunga-bunga berwarna-warni yang sebagian kecil
terjatuh tadi saat kutebarkan.
> "Aku tak menyesal menikahimu, de. "
> Aku tahu ia cuman lelah, bukan gila. Lelah dipaksa berbagi dengan
pelacur suami. Tak tega kutinggalkan sahabat baikku dan anaknya.
Aku tahu aku telat. Seharusnya dari dulu aku maafkan kesalahannya.
Salah tak mengikuti kataku. Ryan itu hanya seorang germo, bukan
wirausahawan.
> Ribuan kertas berisi cerita sudah menumpuk dikamar saatku pulang
dari Manokwari, Papua. Perkerjaan dan karir telah membuatku lupa ada
dia yang menderita hingga tak sanggup lagi menulis satu katapun
dikertas yang ia pegang saat kutemui di Rumah Sakit Jiwa.
Menikahinya hanya menjadikanku cercaan saja, tapi inilah caraku
membayar kesalahan dulu. Mungkin aku yang gila. Peduli tak peduli,
yang jelas dia mencariku, menunggu kata "kumaafkan" dariku,
dirangkul, dilindungi, hingga bersandar dibahuku. Dia cuman ingin
dijemput pulang. Pulang ke kehidupan normal. Bukan aku tak tahu,
tapi dia kirim surat ditempat yang aku tiada. Terlihat dari tulisan
terakhirnya yang ia buat di RS Jiwa ...dia lelah.
>
> "Aku Tak Mengepak"
>
> Untuk Rusdi :
>
> Aku damba gemamu berjanji
> Usik-usik kau punya mimpi
> Pada malam gerah akan langka ketinggian
>
> Matamu hanya melihat suatu kurva
> Lengkung menyembah kebawah
> Malaikatkah itu?
>
> Kenapa yakin ia sempurna jika hanya datang kelengkapan dari aku?
>
> Bisakah ia bawamu terbang tinggi?
> Bukankah kau tak sanggup melihat yang tak terbayang?
> Sekedar bersayap?
> Cuman itu maumu?
>
> Milyaran aku yang tak mengepak
> Tersisa satu aku disudut lampu
> Itu cahaya aku
> Datanglah pada aku
> Jemput aku dalam mundurnya waktu
>
> Aku tak mengepak
> Aku redup meniduri cahayaku sendiri
> Aku bukan tak bisa terbang
> Aku hanya tak bisa mengepak
>
> Karena melukismu itu tanpa jawab
> Aku tanya pula tanpa tanda
> Pijaklah pergi jika erat meremukkan hati
> Tapi jika benci julangkan mimpi
> Aku siap mencari sayap
> Merangkai benda mati itu jadi rupawan
> Lalu bawamu terbang
>
> Sekalipun dengan bencimu
> Aku siap bersamamu
> Sampai aku tiada
> Dan tetap tak mengepak
>
Need to Reply?
Click one of the "Reply" links to respond to a specific message in the Daily Digest.
Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Individual | Switch format to Traditional
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe
Tidak ada komentar:
Posting Komentar