Senin, 26 Oktober 2009

[sekolah-kehidupan] Digest Number 2857

sekolah-kehidupan

Messages In This Digest (14 Messages)

Messages

1a.

Re: [Catcil] Pertanyaan

Posted by: "ukhti hazimah" ukhtihazimah@yahoo.com   ukhtihazimah

Sun Oct 25, 2009 3:22 am (PDT)



Setelah beberapa hari liat komen2nya doank...akhirnya nyampe juga ke sumbernya :P

Seorang ibu pernah bilang, kalo kamu ditanya Kapan Lulus? Nikah? Punya Anak? Jawab aja segera!--anggap itu doa...kalo pertanyaan berlanjut pada apa dan siapa, jawab aja, "Hanya Allah yang tau" sejauh ini sih selalu berhasil menyesaikan bombardir pertanyaan. Aku pikir jawaban Wallahualam, lebih melegakan dan tidak mengandung beban atau janji...

Tapi yang selalu berputar di kepala, kenapa orang lebih cenderung bertanya "kapan" atau "siapa" dibanding "bagaimana" atau "kenapa"? apakah karena manusia selalu menyukai segala yang instan daripada cerdas? karena pertanyaan "kapan" atau "siapa" lebih cenderung menuntut jawaban berupa kepastian yaitu waktu atau sesuatu--instan kan? tapi gak terlalu bermutu, berbeda dengan pertanyaan "bagaimana" atau "kenapa" yang lebih cenderung mengajak berpikir dan menganalisa--lebih cerdas dan solutif kan?? hehehehe...riweuh dah!

Tengkyu Mbak Ugik ;)
:sinta:

"Keindahan selalu hadir saat manusia berpikir positif"

BloG aKu & buKu
http://jendelakumenatapdunia.blogspot.com

BloG RaMe-RaMe
http://sinthionk.multiply.com
http://berceritapadadunia.blogspot.com

YM : SINTHIONK

--- On Wed, 10/21/09, Sugeanti Madyoningrum <ugikmadyo@gmail.com> wrote:

From: Sugeanti Madyoningrum <ugikmadyo@gmail.com>
Subject: [sekolah-kehidupan] [Catcil] Pertanyaan
To: sekolah-kehidupan@yahoogroups.com
Date: Wednesday, October 21, 2009, 6:02 AM

 

Sebuat tulisan indah yang dibuat oleh seorang teman. sayang dia belum jadi anggota milist ini. maka saya forwadkan saja :)
============ ========= ========= ========= ========= ========= ========= ========= ========= ======

Pertanyaan by Lutfiah alhabsy










__________________________________________________
Do You Yahoo!?
Tired of spam? Yahoo! Mail has the best spam protection around
http://mail.yahoo.com
2a.

Re: (Etalase) Novel Warepacker

Posted by: "Novi Khansa" novi_ningsih@yahoo.com   novi_ningsih

Sun Oct 25, 2009 6:40 am (PDT)




Subhanallah, produktif sekali ibu yang satu ini.... :)

Selamat mbak Indar atas novel terbarunya...

--- In sekolah-kehidupan@yahoogroups.com, Indarwati Indarpati <patisayang@...> wrote:
>
>
>
>
>
> Penulis              : 
> Indarpati
>
> Ukuran             : 
> 13,5 cm x 18,5 cm
>
> Jumlah hlm.      :  256 hal.
>
> Penerbit            :
> Masmedia Buana Pustaka
>
> Harga               : Rp. 32.000,-
>
>  
>
> Bagaimana jika lelaki idaman menyodorkan sebentuk hubungan
> di saat kau memutuskan hijrah secara kaffah sementara bibit merah jambu itu
> masih menggelutimu? Bagaimana jika Awan, lelaki pendiam itu ternyata seorang
> gay? Bagaimana pula kau harus bersikap terhadap Huda sahabat Awan yang juga
> ingin menjadi pacar?
>
>  
>
> Pertanyaan itu tak pernah dilontarkan kepada Nur, tapi justru
> itulah yang harus dihadapinya. Ada
> pergulatan jiwa antara hidayahNya dan asmara.
> Dan ketika dia telah menerima Awan apa adanya lalu bermaksud membantunya,
> lelaki itu justru diam-diam meninggalkannya. Tak berhenti sampai di sana,
> kejutan demi kejutan berikutnya telah menantinya.
>
>  
>
> Ingin tahu kelanjutannya? Silakan baca novel berjudul Warepacker ini yang pernah dimuat di
> majalah Annida (sebelum berubah format menjadi on-line seperti sekarang) dalam
> bentuk cerbung berjudul Bahtera di Ujung
> Dermaga.
>
>  
>
> Salam,Indarpati
> penulis novel Warepacker
> curhatan http://lembarkertas.multiply.com
> kreasi tangan http://www.kedaicraft.com
> FB: indar7510@...
>

2b.

Re: (Etalase) Novel Warepacker

Posted by: "INDARWATI" patisayang@yahoo.com   patisayang

Sun Oct 25, 2009 6:54 pm (PDT)




makasih Novi. Sbnarnya it nvel pertama yg kubuat 2006 lalu. )

--- In sekolah-kehidupan@yahoogroups.com, "Novi Khansa" <novi_ningsih@...> wrote:
>
>
> Subhanallah, produktif sekali ibu yang satu ini.... :)
>
> Selamat mbak Indar atas novel terbarunya...
>
>
>
>
>
> --- In sekolah-kehidupan@yahoogroups.com, Indarwati Indarpati <patisayang@> wrote:
> >
> >
> >
> >
> >
> > Penulis              : 
> > Indarpati
> >
> > Ukuran             : 
> > 13,5 cm x 18,5 cm
> >
> > Jumlah hlm.      :  256 hal.
> >
> > Penerbit            :
> > Masmedia Buana Pustaka
> >
> > Harga               : Rp. 32.000,-
> >
> >  
> >
> > Bagaimana jika lelaki idaman menyodorkan sebentuk hubungan
> > di saat kau memutuskan hijrah secara kaffah sementara bibit merah jambu itu
> > masih menggelutimu? Bagaimana jika Awan, lelaki pendiam itu ternyata seorang
> > gay? Bagaimana pula kau harus bersikap terhadap Huda sahabat Awan yang juga
> > ingin menjadi pacar?
> >
> >  
> >
> > Pertanyaan itu tak pernah dilontarkan kepada Nur, tapi justru
> > itulah yang harus dihadapinya. Ada
> > pergulatan jiwa antara hidayahNya dan asmara.
> > Dan ketika dia telah menerima Awan apa adanya lalu bermaksud membantunya,
> > lelaki itu justru diam-diam meninggalkannya. Tak berhenti sampai di sana,
> > kejutan demi kejutan berikutnya telah menantinya.
> >
> >  
> >
> > Ingin tahu kelanjutannya? Silakan baca novel berjudul Warepacker ini yang pernah dimuat di
> > majalah Annida (sebelum berubah format menjadi on-line seperti sekarang) dalam
> > bentuk cerbung berjudul Bahtera di Ujung
> > Dermaga.
> >
> >  
> >
> > Salam,Indarpati
> > penulis novel Warepacker
> > curhatan http://lembarkertas.multiply.com
> > kreasi tangan http://www.kedaicraft.com
> > FB: indar7510@
> >
>

3.

[REVIEW] Sisa Pikiran dan Imajinasi Mantan Lelaki Sempurna

Posted by: "Anwar Holid" wartax@yahoo.com   wartax

Sun Oct 25, 2009 2:47 pm (PDT)



Sisa Pikiran dan Imajinasi Mantan Lelaki Sempurna
---Anwar Holid

The Diving Bell and the Butterfly
Sutradara: Julian Schnabel
Produksi: Kathleen Kennedy, Jon Kilik
Penulis: Jean-Dominique Bauby
Screenplay: Ronald Harwood
Pemain: Mathieu Amalric, Emmanuelle Seigner, Marie-Josée Croze, Max Von Sydow
Sinematografi: Janusz Kaminski
Editing: Juliette Welfling
Musik: Paul Cantelon
Distribusi: Pathé Renn Productions, Miramax Films
Rilis: 23 Mei 2007
Durasi: 112 minutes
Bahasa: Prancis; subtitle Inggris
Rating: ****

Seorang penderita locked-in syndrome hidup seperti dalam kepompong mahaberat, membungkus tubuhnya begitu ketat, sampai ia merasa dirinya disemen pada tembok. Dia hanya bisa diam di tempat, seluruh tubuhnya mengalami stroke, lumpuh total, tapi pikiran dan perasaannya normal. Dia gagal memerintahkan saraf dalam tubuhnya agar bergerak. Dengan pikiran dan imajinasi itu dia masih bisa mengembara ke manapun mau. Dia mengomentari segala yang dia lihat dengan mata kirinya---satu-satunya organ masih berfungsi, bersama kedipannya. Penyakit ini merupakan kondisi yang luar biasa jarang terjadi. Salah satu penderitanya ialah Jean-Dominique Bauby, orang Prancis.

Sutradara Julian Schnabel memfilmkan kehidupan dan pikiran Bauby berdasarkan skenario karya Ronald Harwood, dengan Mathieu Amalric berperan sebagai Bauby. Film itu sepenuhnya berbahasa Prancis, dengan subtitle Inggris. Film itu langsung mengingatkan aku pada film My Left Foot (Str. Jim Sheridan, 1989), ketika Daniel Day-Lewis berperan sebagai Christy Brown, seorang penyair-pelukis-penulis penderita cerebral palsy, yang hanya bisa menggerakkan kaki kirinya. Upaya keras Bauby sebagai penderita stroke parah yang menuliskan pikiran dan perasaan dalam sisa hidupnya menjadikan kisah itu luar biasa. Schnabel cukup mengeksploitasi sisi itu.

Bagaimana Bauby menulis buku, padahal dia hanya bisa mengedip? Dia cuma bisa memberi dua kode kepada orang lain: satu kedip untuk "ya", dua kedip untuk "tidak." Lelaki kelahiran 1952 ini menggunakan cara berkomunikasi yang diajarkan pihak rumah sakit, terutama oleh Henriette Durand. Durand mula-mula melatih Bauby untuk terbiasa dengan huruf yang paling sering digunakan dalam percakapan Prancis, lantas satu demi satu huruf diucapkan sambil bertatapan, untuk memastikan bahwa huruf itu yang ingin didiktekan Bauby. Segera setelah Bauby terbiasa dengan cara itu, orang-orang di dekatnya, terutama dokter, perawat, pembaca buku untuknya, juga ibu dari anak-anaknya menggunakan cara berkomunikasi tersebut.

Secara harfiah Bauby mengetik dengan mengedip, sehuruf demi sehuruf. Dalam proses penulisannya, dia berutang besar kepada Claude Mendibil, seorang pegawai penerbit Robert Laffont yang dipekerjakan untuk menuliskan imajinasi dan pikiran Bauby. Sebelum sakit, Bauby memang punya kontrak dengan penerbit tersebut. Awalnya pihak penerbit juga ragu, "Bukankah dia tidak bisa bicara?" "Tapi bukan berarti dia tidak bisa berkomunikasi," yakin Durand. Dulu dia ingin menulis kisah tentang balas dendam berdasarkan novel The Count of Monte Cristo (Alexandre Dumas, père) dengan tokoh utama seorang wanita.

Penulisan dalam kasus Bauby merupakan proses yang betul-betul menguras energi, kesabaran, dan waktu. Mereka harus mengulang setiap awal huruf, seperti kita harus mengucapkan ABCD sampai Z sebelum memastikan memilih awalan huruf dan memulai kata. Mereka sring bekerja lima jam per hari. Selama masa perawatan itu mereka mengerjakan buku itu, mengedit, dan merevisi, dua tahun lebih lamanya. Akhirnya buku tersebut terbit berjudul Le scaphandre et le papillon, setebal kira-kira 130-an halaman.

Bauby seorang pembaca sastra yang kuat. Dia membaca karya Honore Balzac, dan terutama The Count of Monte Cristo. Dia hedonis, suka keindahan dan kenikmatan, suka berimajinasi tentang segala hal, kecuali yang berbau agama. Dalam kehidupan mudanya yang cemerlang, dia jurnalis di majalah fashion perempuan Elle, sampai menjadi editor-in-chief. Elle bukan saja populer, ia merupakan majalah terkemuka, franchisenya ada di mana-mana, termasuk Indonesia. Alih-alih menulis tentang balas dendam, Le scaphandre et le papillon lebih merupakan memoar, berisi tentang pengalamannya sebagai penderita locked-in syndrome yang dirawat di rumah sakit di pinggir pantai, hubungan dengan ibu dari ketiga anaknya, anak-anaknya, kawan-kawan baiknya, sekelumit kerjanya di Elle, makanan favoritnya, dan upaya memahami wanita. Meski sukses, dia tampak kurang terkesan dengan karirnya selama di Elle atau bagaimana dia dahulu menulis secara normal. Tapi minimal, di sana dia memperoleh
kemewahan dan sosialita kelas satu. Dia lebih suka bercerita tentang orang-orang yang dia sayangi.

"Buku itu tiada kecuali ia dibaca," demikian kata Bauby. Maka Bauby memilih mengutarakan pikirannya, perasaannya, alih-alih membicarakan atau mengeluh soal sakitnya. Untuk ukuran orang sakit mengerikan, dia cukup humoris. Bagaimanapun, yang tersisa dari dirinya hanyalah pikiran dan kenang-kenangan. Itulah yang dia ceritakan. Menjadi penderita stroke yang sia-sia mau melakukan apa-apa, bergantung sepenuhnya pada pertolongan orang lain, dia merasa dirinya sebagai bayi berumur 42 tahun.

Film The Diving Bell and the Butterfly mula-mula bercerita dan bersudut pandang kamera dari Bauby. Jadi penonton melihat dari matanya, mendengar suara dan pikirannya, merasakan penderitaannya. Tapi lama-lama sudut pandang film meluas, dan akhirnya penonton menyaksikan kisah tentang kehidupan dan keluarganya. Dia punya ayah yang sama-sama merasa sakit locked-in syndrome, hanya saja dia terkurung di apartemen. Bauby punya tiga anak dari seorang perempuan yang tidak dia cintai, karena itu tidak dia nikahi. ("Dia bukan istriku, dia ibu dari anak-anakku," tegasnya.) Memang agak aneh seseorang sampai bisa punya tiga anak dari seorang wanita yang tidak dicintai, meskipun perempuan itu tampak perhatian, tetap tampak intim merayakan Hari Ayah, dan bila bertemu dengan anak-anaknya, dia jadi ayah yang ramah. Seorang perempuan lain juga mencintai Bauby, tapi dia tak tega melihat Bauby dalam keadaan sakit. Menurut Wikipedia, film ini menyisakan kontroversi soal
akurasi tentang perempuan dalam hidup Bauby. Schnabel tampak sengaja mengubah untuk alur drama, atau mungkin dia ingin menunjukkan kasih sayang keluarga yang lebih utuh dan mengharukan.

Di ujung film Bauby ingat kembali bagaimana saat dirinya terkena stroke. Pada Jumat, 8 Januari 1995, ia berangkat ke bioskop dengan anak sulungnya, mengendarai mobil super mewahnya, sambil bicara sebagai sesama lelaki. Di tengah jalan, dia merasa ada yang salah dengan tubuhnya, membuatnya segera berhenti di pinggir jalan. Anaknya panik menyaksikan serangan mendadak itu, sebab Bauby bukan perokok dan peminum. Dia bukan lelaki dengan ciri-ciri kemungkinan terkena penyakit mengerikan seperti itu. Dia koma sekitar dua puluh hari, dan setelah bangun mendapati dirinya gagal mengucapkan sepatah kata pun. Pada dua puluh minggu pertamanya setelah stroke, dia kehilangan bobot 27 kg.

Kalau kita mengabaikan Bauby yang menderita, isi film ini mungkin biasa saja. Pada dasarnya cerita dia seperti mengawang-awang, dia banyak membicarakan mimpi, imajinasi, mengomentari ini-itu, meluapkan perasaan. Schnabel memvisualisasikan imajinasi Bauby dengan bagus sekali. Di Festival Film Cannes dan Golden Globe Award dia memenangi sutradara terbaik, sementara di Academy Award dia mendapat nominasi untuk kategori itu. Dua film terkemuka lain karya Schnabel ialah Basquiat dan Before Night Falls. Mathieu Amalric juga bermain bagus. Tapi karena perannya, gerak tubuhnya minim. Ini membuatnya jadi kurang eksploratif bila dibandingkan Daniel Day-Lewis yang tampak kepayahan berusaha menggerakkan kaki kiri atau badan lain dalam My Left Foot. Bedanya lagi, dulu Bauby sempurna, dia pencinta perempuan, kenyang dengan pengalaman itu; sementara Christy Brown cacat sejak awal, dia ditertawakan ketika akan mengucapkan perasaan pada perempuan.

Perjuangan seseorang mengatasi rintangan hidupnya bisa jadi merupakan hal klise. Budi Warsito, seorang script-writer, berkomentar, "Tapi seberat atau seringan apa pun perjuangan orang, membuat kita sering salut. Kita sulit menghakimi mereka. Karena kadang-kadang yang ringan menurut kita, mungkin berat buat orang lain. Begitu sebaliknya. Bisa jadi, semangatlah penyebabnya." Jelas semangat Bauby bisa membuat orang lain malu, apalagi bagi penulis normal.

Bauby meninggal sepuluh hari setelah Le scaphandre et le papillon terbit pada 1997 dan mendapat pujian di mana-mana.[]

Anwar Holid, suami beristri satu, ayah beranak dua. Bekerja sebagai editor dan penulis, blogger @ http://halamanganjil.blogspot.com.

KONTAK: wartax@yahoo.com | Tel.: (022) 2037348 | HP: 085721511193 | Panorama II No. 26 B Bandung 40141

Situs terkait:
http://www.thedivingbellandthebutterfly-themovie.com/
http://www.salon.com/ent/feature/2008/02/23/diving_bell/index.html (fakta tentang The Diving Bell and the Butterfly)
http://fr.wikipedia.org/wiki/Jean-Dominique_Bauby
http://en.wikipedia.org/wiki/Locked-In_syndrome

Anwar Holid: penulis, penyunting, publisis; eksponen TEXTOUR, Rumah Buku.

Kontak: wartax@yahoo.com | (022) 2037348 | 085721511193 | Panorama II No. 26 B Bandung 40141

Sudilah mengunjungi link ini, ada lebih banyak hal di sana:
http://www.goethe.de/forum-buku
http://www.rukukineruku.com
http://ultimusbandung.info
http://www.visikata.com
http://www.gramedia.com
http://halamanganjil.blogspot.com

Come away with me and I will write you
---© Norah Jones

4a.

Melatih Kepenulisan: Apabila John Bertemu John

Posted by: "Bang Aswi" bangaswi@yahoo.com   bangaswi

Sun Oct 25, 2009 2:49 pm (PDT)



Seorang penulis tidak akan menyia-nyiakan kesempatan. Waktu baginya, adalah menulis. Tanpa ide pun ia akan menulis. Yang ada di pikirannya adalah menulis, bukan ingin menulis apa. Dan ketika menulis, ia akan menemukan gagasan akan menulis apa. Sungguh tepat jika William Forrester mengatakan, "Menulislah (pada saat awal) dengan hati. Setelah itu, perbaiki tulisan Anda dengan pikiran. Kunci pertama dalam menulis adalah bukan berpikir, melainkan mengungkapkan apa saja yang dirasakan." William Forrester adalah tokoh fiksi dalam film Finding Forrester yang diperankan dengan sangat apik oleh Sean Connery.
 
Nah, yang jadi permasalahan adalah bagaimana kita mau menulis kalau apa yang mau ditulis saja tidak tahu? Ternyata jawabannya mudah, itu pun kalau sobat baraya mau meneruskan membacanya.
 

Once upon a time ... hehehehe kayak dongeng-dongeng zaman dahulu ya ... John Aktor melewati kamar kawannya, John Penulis yang sudah siap di meja kerjanya. Perlu diketahui bahwa John Penulis mempunyai kebiasaan bangun pagi pada jam tertentu dan langsung "ngejogrog" di depan mejanya. Iseng karena ingin tahu, John Aktor pun mengamati kerja John Penulis. Seperti tidak ada yang aneh, John Penulis ternyata menulis seperti apa adanya. Tidak ada komputer pada saat itu karena memang belum ada.
 
Setelah satu jam, John Aktor meninggalkan kamar John Penulis untuk melanjutkan aktivitasnya sendiri. Selang dua jam kemudian, John Aktor kembali mengamati, dimana John Penulis ternyata masih menulis dengan tekun. John Aktor sangat salut pada kawannya itu. Setelah satu jam kemudian, yaitu tepat pada tengah hari, ternyata John Penulis menghentikan aktivitasnya sehingga melegakan John Aktor yang sudah pegal-pegal mengamatinya. Nah, inilah yang membuat mata John Aktor membulat besar karena dia melihat bagaimana John Penulis malah meremas-remas kertas yang sudah ditulisnya selama 4 jam, lalu dibuang begitu saja ke tong sampah! John Aktor tidak habis pikir dengan kelakuan kawannya itu. Akan tetapi ia tidak mau menanyakan alasannya sekarang, lebih baik ia menunggu sampai waktu yang tepat.
 
Keesokan harinya, pada jam yang sama John Aktor kembali mengamati aktivitas John Penulis. Tidak ada yang aneh selama 4 jam kemudian, yaitu John Penulis sangat tekun menjalani aktivitas menulisnya. Pada saat tengah hari, kembali John Penulis membuat kening John Aktor kembali mengerut karena kertas yang ditulisnya diremas begitu saja dan dibuang lagi ke tong sampah. Dan kejadiannya ternyata bukan terjadi pada hari itu dan kemarin saja. Pada hari-hari berikutnya ternyata John Penulis melakukan hal yang sama: menulis selama 4 jam, lalu hasilnya malah diremas dan dibuang begitu saja ke dalam tong sampah. Akan tetapi ternyata tidak pada hari ketujuh, John Aktor yang sudah siap bahwa kertas yang sudah ditulis John Penulis akan dibuang lagi, malah disimpan dengan rapi ke dalam mapnya yang sudah dipersiapkan. Jelas hal ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. Sudah saatnya bagi John Aktor untuk menanyakan sesuatu yang terus mengganggu pikirannya.
 
"Nggak usah bingung, John," kata John Penulis pada kawannya yang menanyakan aktivitasnya selama ini. "Apa yang saya lakukan selama enam hari kemarin adalah proses latihan yang saya terapkan sebagai upaya menajamkan mata pena saya. Saya menulis hal-hal yang mudah saja, yaitu apa yang saya lihat di kamar ini. Saya menulis tentang warna gorden, gerakannya saat tertiup angin, maupun suara besi pengaitnya yang khas. Saya pun menulis tentang apa dan siapa saja yang lewat di depan jendela. Saya menulis semuanya dengan detail, tanpa ada sesuatu pun yang terlewat. Saya tak pernah luput menulis lalat yang kebetulan terbang memasuki kamar, dan hinggap ke manapun yang disuka sampai kemudian terbang kembali ke luar. Apa yang saya lakukan selama enam hari itu adalah bagaimana saya bisa menguasai kata-kata, sesederhana apa pun. Kata-kata hanya bisa dikuasai dengan menuliskannya."
 
John Aktor sedikit memahami, "Jadi, enam hari kamu menulis dan kemudian membuangnya begitu saja ke dalam tong sampah adalah hasil latihan saja?"
John Penulis mengangguk. "Ya, sedangkan pada hari ini saya telah menulis apa yang seharusnya saya tulis. Inilah karya saya yang sebenarnya," ujar John Penulis menyerahkan hasil karyanya, yaitu cerpen yang berjudul `Sang Kura-kura´ pada kawan karibnya itu. "Kesusastraan adalah seperti tuanya kata-kata.... Tugas zaman purba dari penulis tidak berubah. Ia ditugaskan mengadakan pembeberan banyak kesalahan menyedihkan dan kegagalan manusia, dengan menghela ke arah sinar terang mimpi kita yang gelap berbahaya untuk tujuan perbaikan," lanjut John Penulis dengan tersenyum.
 
NB: John Penulis adalah John Ernst Steinbeck yang dilahirkan di Lembah Salinas, California, 27 Februari 1902, dan meninggal pada 20 Desember 1968 di New York. Ia pernah bekerja sebagai tukang batu, tukang kayu, sopir, pembantu pelukis, dan wartawan. Novel The Grapes of Wrath (1939) memenangkan hadiah Pulitzer pada tahun 1940. Novel ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Amarah. Kata-kata terakhir di atas adalah pidatonya saat menerima hadiah Nobel Sastra pada tahun 1962 yang memberikannya karena alasan `untuk tulisan-tulisannya yang imajinatif dan realistik, dikombinasikan dengan humor yang simpatik dan persepsi sosialnya yang tajam.´ Novel masterpiece-nya adalah The Red Pony (1949) yang mengabadikan dunia kanak-kanak dengan mengungkapkan perihal kasih sayang lewat impian dan cita-cita yang tinggi.

Sumber: http://bangaswi.com

Bang Aswi - Pekerja Buku
Blog [http://bangaswi.com/]

4b.

Re: Melatih Kepenulisan: Apabila John Bertemu John

Posted by: "Nana.Proaktif" nana.proaktif@gmail.com   nanawesthi

Sun Oct 25, 2009 6:12 pm (PDT)



Trims sharing nya bang aswi. Untuk membiasakan diri menulis sebenarnya tidak sulit ya, sediakan waktu 20 menit saja setiap hari untuk menulis. menulis apa saja yang ada di kepala, ungkapan perasaaan, dll. Untuk pembiasaan menulis saja.
Yuuuuk, kita mulai menulis :)
----- Original Message -----
From: Bang Aswi
To: pasarnaskah@yahoogroups.com ; penulis-bacaan-anak@yahoogroups.com ; sekolah-kehidupan@yahoogroups.com ; sittakarina@yahoogroups.com ; menulisyuk@yahoogroups.com ; forum_lingkarpena@yahoogroups.com ; flp_jabar@yahoogroups.com
Sent: Sunday, October 25, 2009 2:22 PM
Subject: [sekolah-kehidupan] Melatih Kepenulisan: Apabila John Bertemu John

Seorang penulis tidak akan menyia-nyiakan kesempatan. Waktu baginya, adalah menulis. Tanpa ide pun ia akan menulis. Yang ada di pikirannya adalah menulis, bukan ingin menulis apa. Dan ketika menulis, ia akan menemukan gagasan akan menulis apa. Sungguh tepat jika William Forrester mengatakan, "Menulislah (pada saat awal) dengan hati. Setelah itu, perbaiki tulisan Anda dengan pikiran. Kunci pertama dalam menulis adalah bukan berpikir, melainkan mengungkapkan apa saja yang dirasakan." William Forrester adalah tokoh fiksi dalam film Finding Forrester yang diperankan dengan sangat apik oleh Sean Connery.

Nah, yang jadi permasalahan adalah bagaimana kita mau menulis kalau apa yang mau ditulis saja tidak tahu? Ternyata jawabannya mudah, itu pun kalau sobat baraya mau meneruskan membacanya.

Once upon a time ... hehehehe kayak dongeng-dongeng zaman dahulu ya ... John Aktor melewati kamar kawannya, John Penulis yang sudah siap di meja kerjanya. Perlu diketahui bahwa John Penulis mempunyai kebiasaan bangun pagi pada jam tertentu dan langsung "ngejogrog" di depan mejanya. Iseng karena ingin tahu, John Aktor pun mengamati kerja John Penulis. Seperti tidak ada yang aneh, John Penulis ternyata menulis seperti apa adanya. Tidak ada komputer pada saat itu karena memang belum ada.

Setelah satu jam, John Aktor meninggalkan kamar John Penulis untuk melanjutkan aktivitasnya sendiri. Selang dua jam kemudian, John Aktor kembali mengamati, dimana John Penulis ternyata masih menulis dengan tekun. John Aktor sangat salut pada kawannya itu. Setelah satu jam kemudian, yaitu tepat pada tengah hari, ternyata John Penulis menghentikan aktivitasnya sehingga melegakan John Aktor yang sudah pegal-pegal mengamatinya. Nah, inilah yang membuat mata John Aktor membulat besar karena dia melihat bagaimana John Penulis malah meremas-remas kertas yang sudah ditulisnya selama 4 jam, lalu dibuang begitu saja ke tong sampah! John Aktor tidak habis pikir dengan kelakuan kawannya itu. Akan tetapi ia tidak mau menanyakan alasannya sekarang, lebih baik ia menunggu sampai waktu yang tepat.

Keesokan harinya, pada jam yang sama John Aktor kembali mengamati aktivitas John Penulis. Tidak ada yang aneh selama 4 jam kemudian, yaitu John Penulis sangat tekun menjalani aktivitas menulisnya. Pada saat tengah hari, kembali John Penulis membuat kening John Aktor kembali mengerut karena kertas yang ditulisnya diremas begitu saja dan dibuang lagi ke tong sampah. Dan kejadiannya ternyata bukan terjadi pada hari itu dan kemarin saja. Pada hari-hari berikutnya ternyata John Penulis melakukan hal yang sama: menulis selama 4 jam, lalu hasilnya malah diremas dan dibuang begitu saja ke dalam tong sampah. Akan tetapi ternyata tidak pada hari ketujuh, John Aktor yang sudah siap bahwa kertas yang sudah ditulis John Penulis akan dibuang lagi, malah disimpan dengan rapi ke dalam mapnya yang sudah dipersiapkan. Jelas hal ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. Sudah saatnya bagi John Aktor untuk menanyakan sesuatu yang terus mengganggu pikirannya.

"Nggak usah bingung, John," kata John Penulis pada kawannya yang menanyakan aktivitasnya selama ini. "Apa yang saya lakukan selama enam hari kemarin adalah proses latihan yang saya terapkan sebagai upaya menajamkan mata pena saya. Saya menulis hal-hal yang mudah saja, yaitu apa yang saya lihat di kamar ini. Saya menulis tentang warna gorden, gerakannya saat tertiup angin, maupun suara besi pengaitnya yang khas. Saya pun menulis tentang apa dan siapa saja yang lewat di depan jendela. Saya menulis semuanya dengan detail, tanpa ada sesuatu pun yang terlewat. Saya tak pernah luput menulis lalat yang kebetulan terbang memasuki kamar, dan hinggap ke manapun yang disuka sampai kemudian terbang kembali ke luar. Apa yang saya lakukan selama enam hari itu adalah bagaimana saya bisa menguasai kata-kata, sesederhana apa pun. Kata-kata hanya bisa dikuasai dengan menuliskannya."

John Aktor sedikit memahami, "Jadi, enam hari kamu menulis dan kemudian membuangnya begitu saja ke dalam tong sampah adalah hasil latihan saja?"
John Penulis mengangguk. "Ya, sedangkan pada hari ini saya telah menulis apa yang seharusnya saya tulis. Inilah karya saya yang sebenarnya," ujar John Penulis menyerahkan hasil karyanya, yaitu cerpen yang berjudul `Sang Kura-kura´ pada kawan karibnya itu. "Kesusastraan adalah seperti tuanya kata-kata.... Tugas zaman purba dari penulis tidak berubah. Ia ditugaskan mengadakan pembeberan banyak kesalahan menyedihkan dan kegagalan manusia, dengan menghela ke arah sinar terang mimpi kita yang gelap berbahaya untuk tujuan perbaikan," lanjut John Penulis dengan tersenyum.

NB: John Penulis adalah John Ernst Steinbeck yang dilahirkan di Lembah Salinas, California, 27 Februari 1902, dan meninggal pada 20 Desember 1968 di New York. Ia pernah bekerja sebagai tukang batu, tukang kayu, sopir, pembantu pelukis, dan wartawan. Novel The Grapes of Wrath (1939) memenangkan hadiah Pulitzer pada tahun 1940. Novel ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Amarah. Kata-kata terakhir di atas adalah pidatonya saat menerima hadiah Nobel Sastra pada tahun 1962 yang memberikannya karena alasan `untuk tulisan-tulisannya yang imajinatif dan realistik, dikombinasikan dengan humor yang simpatik dan persepsi sosialnya yang tajam.´ Novel masterpiece-nya adalah The Red Pony (1949) yang mengabadikan dunia kanak-kanak dengan mengungkapkan perihal kasih sayang lewat impian dan cita-cita yang tinggi.

Sumber: http://bangaswi.com

Bang Aswi - Pekerja Buku
Blog [http://bangaswi.com/]


5.

Dukung Angka 350 demi Planet Bumi!

Posted by: "Bang Aswi" bangaswi@yahoo.com   bangaswi

Sun Oct 25, 2009 2:50 pm (PDT)



Angka berapakah yang menurut sobat baraya paling penting? Apakah angka 1 yang menunjukkan nomor urut pertama sehingga dianggap terbaik dan menjadi simbol kemenangan? Apakah angka 99 yang menunjukkan jumlah nama Allah Swt. yang patut diketahui oleh semua Muslim? Ataukah angka 4 dan 55 yang tidak lain adalah nomor rumah orangtua saya yang dahulu dan saat ini? Semuanya pasti mempunyai alasan mengapa memilih angka tertentu sebagai angka yang paling penting dalam hidupnya. Lalu, angka berapakah yang sangat penting bagi planet Bumi?
 
Perlu diketahui bersama bahwa sampai 200 tahun yang lalu, atmosfer kita mengandung karbondioksida (CO2) sebanyak 275 parts per million (ppm), yang berarti ada 275 molekul CO2 dari sejuta molekul gas yang tersebar di atmosfer. Dari penelitian para ilmuwan, jumlah ini adalah jumlah minimal yang harus dimiliki planet Bumi karena tanpa adanya CO2 yang dapat menangkap panas, planet kita akan terasa (bahkan terlalu) dingin bagi kehidupan manusia. Jelas bahwa kita membutuhkan adanya karbon bagi keberlangsungan hidup manusia, tetapi pertanyaan terpenting yang harus dijawab adalah sebanyak apa karbon yang kita butuhkan?
 
Dimulai pada abad ke-18, manusia mulai membakar batu bara, gas, dan minyak bumi untuk memproduksi energi dan berbagai perangkat. Secara otomatis, jumlah karbon di atmosfer pun meningkat. Banyak kegiatan yang kita lakukan tiap hari seperti menyalakan lampu, memasak, memanaskan atau mendinginkan ruangan, bepergian dengan kendaraan, dan lain-lain tentu membutuhkan sumber energi seperti batu bara dan minyak bumi, yang pada akhirnya juga menghasilkan banyak CO2. Tanpa disadari, aktivitas manusia telah mempergunakan banyak fosil di dalam bumi dan mengeluarkannya dalam bentuk gas karbon ke atmosfer. Dan sekarang, kandungan CO2 yang ada di atmosfer planet Bumi telah mencapai angka 390 ppm. Angka ini akan terus bertambah 2 ppm setiap tahunnya.
 
Para ilmuwan mengatakan kalau angka itu terlalu besar-bahkan itulah angka tertinggi dalam sejarah planet kita-dan akibatnya kita mulai melihat beberapa gejala tidak sehat pada para penghuninya maupun tempat tinggalnya di seluruh dunia. Es-es (glacier) sudah banyak yang mencair dan lenyap dengan sangat cepat, padahal mereka adalah sumber air minum bagi ratusan juta orang. Nyamuk, hewan yang senang dengan tempat hangat, sudah mulai menyebar ke seluruh dunia sambil membawa malaria dan demam berdarah. Kekeringan sudah terlihat di mana-mana, sehingga membuat tanaman sebagai sumber makanan sulit untuk tumbuh dan berkembang. Ketinggian air laut makin meningkat sehingga tak aneh kalau daratan juga makin berkurang: pulau-pulau banyak yang hilang dan kota-kota pun (terpaksa) dibangun di bawah permukaan air laut. Samudera-samudera sudah makin mengasam karena CO2 yang mereka serap, membuat beberapa makhluk hidup seperti terumbu karang dan plankton sulit hidup.
Mereka semua akan punah jika CO2 sudah mencapai konsentrasi 450-500 ppm.
 
Kenyataan mengerikan sudah ada di depan mata. Pada musim panas 2007, tercatat ada 39% daratan es di benua Antartika yang mencair. Jumlah itu sama dengan lima kali luas negara Inggris! Banyak para ilmuwan yang mempercayai bahwa benua Antartika akan habis pada musim panas antara 2011 dan 2015. Oleh karena itulah, melihat perubahan iklim yang begitu drastis dan membuat bulu kuduk kita berdiri, para ilmuwan kemudian menetapkan batas maksimal jumlah CO2 yang ada di atmosfer adalah 350 ppm. Inilah angka terpenting bagi planet Bumi. Inilah batas wilayah teraman bagi tempat tinggal kita bersama. James Hansen, ilmuwan pertama dari NASA yang sudah memperingatkan akan adanya dampak global warming lebih dari 20 tahun lalu, pernah menuliskan, "If humanity wishes to preserve a planet similar to that on which civilization developed and to which life on Earth is adapted, paleoclimate evidence and ongoing climate change suggest that CO2 will need to be reduced from its
current 385 ppm to at most 350 ppm."
 
Memang ini bukan pekerjaan mudah, tetapi bukan berarti bahwa hal itu tidak mungkin untuk dilakukan. Kita semua harus mengambil aksi mengurangi penggunaan karbon yang banyak menghasilkan CO2. Itu artinya, kita semua harus bekerja sama untuk mengurangi pembakaran banyak batu bara dan minyak bumi, dan mulai menggunakan energi matahari, energi angin, atau energi lainnya yang lebih ramah lingkungan. Salah satunya, sobat baraya bisa mengganti moda transportasi untuk beraktivitas dengan sepeda minimal satu kali dalam seminggu. Jangan lupa juga untuk mencegah pembabatan dan pembakaran hutan karena pohon-pohon itulah yang bisa mengubah CO2 menjadi O2. Jelas ini bukan lagi sebuah pilihan, tetapi sebuah keharusan agar generasi manusia berikutnya masih tetap ada. Ya, angka 350 adalah harga mati bagi keberlangsungan kita semua di planet Bumi.[]
 
Sumber: http://bangaswi.com
Bang Aswi - Pekerja Buku
Blog [http://bangaswi.com/]

6.

Artikel: Apakah Pekerjaan Ini Layak Untuk Disyukuri?

Posted by: "Dadang Kadarusman" dkadarusman@yahoo.com   dkadarusman

Sun Oct 25, 2009 2:52 pm (PDT)




Artikel: Apakah Pekerjaan Ini Layak Untuk Disyukuri?
 
Hore,
Hari Baru!
Teman-teman.
 
Jika kita mengeluh tentang pekerjaan, siapa sih sesungguhnya yang rugi? Perusahaan jelas rugi karena kalau terlampau sering mengeluh kita tidak dapat berkonsentrasi kepada pekerjaan, sehingga hasil yang bisa kita berikan tidak sebagaimana mestinya. Ini logis, sebab tidaklah mungkin seseorang yang tengah mengeluh bisa berkontribusi secara optimal kepada perusahaan. Kita bisa mengerahkan seluruh kapasitas diri yang kita miliki jika dan hanya jika bersedia melayani dengan sepenuh hati. Sedangkan, hati yang sudah dipenuhi oleh keluhan tidak lagi memiliki ruang untuk berkontribusi. Itulah sebabnya, mengapa setiap orang yang sering mengeluh dikantor bukanlah orang yang berprestasi tinggi.
 
Alkisah, ada seorang petani yang memiliki dua ekor kuda. Kedua kuda itu biasa digunakan untuk menarik pedati. Pada suatu malam, keduanya mengobrol sambil memandang bintang-bintang yang bertaburan. Mereka sepakat untuk saling membuka perasaan masing-masing. Kata kuda pertama;"Rasanya aku sebal sekali berada ditanah pertanian ini...."
 
Kuda yang satu lagi menimpali;"memangnya kenapa?" katanya.
"Aku sudah bosan dengan perlakuan petani itu kepadaku," balasnya.
"Memangnya apa yang dilakukan petani kepadamu?" tanya kuda kedua.
"Yaaah...., dia memperlakukan aku seperti halnya memperlakukan dirimu...." jawabnya. "Terus, bagaimana dengan kamu?" Dia segera melanjutkan kata-katanya.
 
Si kuda kedua menjawab; "Aku bersyukur sekali berada ditanah pertanian ini....."
Kuda yang satu lagi menimpali;"memangnya kenapa?" katanya.
"Aku menikmati perlakuan petani itu kepadaku," balasnya.
"Memangnya apa yang dilakukan petani kepadamu?" tanya kuda pertama.
"Yaaah...., dia memperlakukan aku seperti halnya memperlakukan dirimu...." jawabnya.
 
Apa yang saya ceritakan itu tidak lebih dari sekedar dongeng yang saya karang-karang sendiri. Itulah sebabanya anda tidak pernah mendengar dongeng itu sebelumnya, sehingga mungkin agak janggal dibenak anda. Namun, mari perhatikan sekali lagi dialog yang dilakukan oleh kedua kuda tadi. Rasanya kok relevan sekali dengan kehidupan kita. Di kantor, mungkin kita menghadapi perlakuan yang sama dengan orang lain. Namun, mengapa orang lain bisa menjalani kehidupan kerjanya dengan senang hati, sedangkan kita penuh dengan keluhan seperti ini?
 
Anda mungkin bilang; "Atasan saya pilih kasih. Dia baik kepada orang-orang tertentu tapi tidak kepada saya."  Perhatikan; ketika bekerja, kuda pertama melakukannya dengan terpaksa. Dia cemberut. Bahkan, saking kesalnya dia dengan sengaja meliak-liukkan pedati supaya sang petani merasa tidak nyaman. Kalau ada lubang dijalan, sang kuda sengaja berlari lebih kencang sehingga ketika roda pedati melindas lubang itu petani merasakan guncangan yang keras. Kalau sudah begitu, sang kuda meringkik untuk mentertawakan ketidaknyamanan penumpang pedatinya. Lalu, petani itu memecutnya supaya kuda itu berjalan dengan benar.
 
Perhatikan lagi;  ketika bekerja, kuda kedua melakukannya dengan senang hati. Dia tersenyum. Bahkan, saking senangnya dia dengan hati-hati dan telaten menarik pedati  supaya sang petani merasa nyaman. Kalau ada lubang dijalan, sang kuda memperlambat jalannya, sehingga ketika roda pedati melindas lubang itu petani sama sekali tidak merasakan guncangan yang berarti. Kalau sudah begitu, sang kuda meringkik turut terseyum atas kenyamanan penumpang pedatinya. Dan karena semuanya berjalan lancar, petani itu tidak perlu menggunakan pecutnya karena sang kuda sudah berjalan dengan benar.
 
Sekarang kita tahu bahwa tidak terlalu sulit untuk memahami; mengapa atasan kita baik kepada para karyawan teladan, dan keras kepada para karyawan yang asal-asalan, bukan?
 
Pada suatu malam, kuda kedua bertanya kepada temannya;"Kalau kamu tidak lagi suka bekerja disini, mengapa kamu tidak pergi?"
 
"Gila saja kamu," kuda pertama segera menghardiknya. "Memangnya gampang cari tempat lain?" katanya.
 
"Aku rasa ada saja, kalau kamu bersedia mencarinya..." jawab kuda kedua dengan santai.
"Mungkin sih, tapi kan kalau pun aku bisa menemukan majikan baru..." sergah kuda pertama, "Belum tentu lebih baik dari tempat ini......" lanjutnya.
 
"Nah, kalau kamu merasa tidak mudah untuk  mendapatkan tempat lain yang lebih baik, bukankah lebih baik jika kamu mensyukuri saja apa yang saat ini kamu miliki?" timpal kuda kedua.
 
"Bersyukur?" sang kuda terperanjat. "Bagaimana caramu bersyukur?" tanyanya.
"Aku memilih untuk menikmati setiap langkahku ketika bertugas menarik pedati." jawabnya. Dan benar, setiap kali petani itu menggunakannya untuk menarik pedati; sang kuda selalu menikmatinya. Sehingga dia dengan sukarela memberikan yang terbaik kepada majikannya. Oleh karenanya, dia bisa memberikan pelayanan yang terbaik, sehingga majikannya merasa puas atas pekerjaannya. Sebagai tanda terimakasih, sang petani memperlakukan kuda itu dengan istimewa, sehingga bertambah senang jugalah dia. Kuda itu senang bekerja, dan sang majikan senang dengan kinerjanya. Sekarang, kedua-duanya jadi merasa senang. Dan keduanya, saling menghargai. Dan saling menyayangi.
 
Mari Berbagi Semangat!
Dadang Kadarusman
Natural Intelligence & Mental Fitness Learning Facilitator  
http://www.dadangkadarusman.com/  
Talk Show setiap Jumat jam 06.30-07.30 di 103.4 DFM Radio Jakarta
 
Catatan Kaki:
Kepuasan hidup tidak mungkin ditemukan ditempat manapun, kecuali kita mencarinya dengan hati yang dipenuhi oleh rasa syukur.
 
Melalui project Mari Berbagi Semangat! (MBS!) sekarang buku saya yang berjudul "Belajar Sukses Kepada Alam" versi Bahasa Indonesia dapat diperoleh secara GRATIS. Jika Anda ingin mendapatkan ebook tersebut secara gratis silakan perkenalkan diri disertai dengan alamat email kantor dan email pribadi (yahoo atau gmail) lalu kirim ke bukudadang@yahoo.com

7a.

Re: [Catcil] Out of the Box

Posted by: "punya_retno" punya_retno@yahoo.com   punya_retno

Sun Oct 25, 2009 5:11 pm (PDT)



hmmm, dimengerti sekali :)
buatku--utk bidang jurnalistik--memang bisa bikin stuck. awalnya menyenangkan, latihan nulis feature dgn beragam topik. latihan nyari judul yg oke, lead yg menawan, tulisan yg ngalir, ending yg ok. namun, digabungkan dgn deadline mingguan, juga tumpukan feature yg harus dibuat, bikin aku sedikit2 kehilangan "rasa".

memang, lama2, tulisan kita akan terpola dgn sendirinya. kalo dulu pas awal nulis feature masih lamaaa bgt bikin kerangka tulisan, setelah latihan, otak mulai terlatih utk bkin kerangka tulisan dgn lebih cepat, efektif, dan efisien.

namun ya itu, buatku "rasa"nya berkurang.
makanya dipahami bgt, kalo april memutuskan keluar :).

btw, salut lho utk dirimu yg membiayai semuamuanya sendiri. dulu aku juga nyoba2 cari biaya kuliah dgn beragam cara: nulis2, magang2, jualan baju vintage, hehehe.

semoga semuanya dimudahkan Allah ya. amin.

-retno-
ibu muda yg pernah ingin punya toko buku sendiri, butik baju vintage, dan sesekali menulis (hehehe)

--- In sekolah-kehidupan@yahoogroups.com, Aprillia EkaSari <april_reto@...> wrote:
>
> 2009, tahun yang sungguh luar biasa. Setidaknya yang saya perhatikan dari
> Januari hingga Oktober sekarang ini.
>
>

8a.

Bls: [sekolah-kehidupan] Re: (catcil) the dreamcatcher

Posted by: "punya_retno" punya_retno@yahoo.com   punya_retno

Sun Oct 25, 2009 5:13 pm (PDT)



@ mbak indar: alhamdulillah, makasih mbak indar. labirin atau TTS? (yg disambung dgn pertanyaan: mendatar menurun? hayah). mbak indar juga slh satu penulis favoritku :)

@ pak teha: alhamdulillah, makasih pak teha. sukses selalu ya :)

tks for reading

salam,

-retno-

--- In sekolah-kehidupan@yahoogroups.com, teha sugiyo <sinarning_rat@...> wrote:
>
> hehehe.... aku ada di sini... sedang nyumput menikmati keindahan demi keindahan ujian atas mimpi-mimpi itu... minggu kemarin didaulat untuk jadi mc bedah buku puisi BENTERANG karya matdon, atasi amien dan anton de sumartana. hari ini, minggu siang ini dengan neng gya akan menghadiri bedah buku jeihan: bukuku kubuku: puisi yang dibahas dari sisi filsafat. pembahasnya prof dr. bambang sugiharto dan satu lagi dari unpad. tadi saya telpon mas jakob sumardjo, katanya beliau mo berangkat bareng jeihan. sebelum ke sana bareng gya, saya mampir di warnet njemput gya yang sudah dari tadi nongkrong... iya... saya sendiri juga sudah kangen sama tulisan-tulisan febty, mbak indar, mbak siwi, retno yang tulisan-tulisannya "brilliant", bikin "gregetan" sambil manggut-manggut terkaget-kaget... dan teman-teman sk lainnya. semoga tak lama lagi bakal nongol tulisan-tulisan inspirasional atau yang lainnya. salam buat semua penghuni sk. saya masih terus memantau kiprah
> teman-teman: retno dan mas catur yang bikin halaman moeka publsh, dani dan endah yang juga bikin woro-woro untuk bantu penerbitan indie.. dan bunda icha yang saudaranya jadi mentri... tabik bunda... apa kabar?
>
>
>
>
> ________________________________
> Dari: INDARWATI <patisayang@...>
> Kepada: sekolah-kehidupan@yahoogroups.com
> Terkirim: Ming, 25 Oktober, 2009 02:59:56
> Judul: [sekolah-kehidupan] Re: (catcil) the dreamcatcher
>
>
> Iya, kemana nih Suhu Teha? kangen tulisan-tulisannya.
> Kalau aku baca tulisan Retno (salah satu penulis Eska favoritku) aku selalu merasa diajak jalan-jalan kemana-mana di negeri dongeng. Padahal 'hanya' menelusuri labirin di kepala dan dadanya. Tsaahhh!
>
> salam,
> Indar
> penulis novel Warepacker
>

9a.

Re: [Ruang Baca] Ketika Daun Bercerita

Posted by: "siril_wafa" siril_wafa@yahoo.co.id   siril_wafa

Sun Oct 25, 2009 6:11 pm (PDT)



Akhirnya saya bisa membaca resensi mbak lagi, setelah jeda beberapa waktu. kayaknya asyik novel ini mbak,jarang novel yang mengupas isu-isu lingkungan.


Sis

--- In sekolah-kehidupan@yahoogroups.com, "Rini" <rinurbad@...> wrote:
>
> Penulis: Maradilla Syachridar
> Penerbit: Bukune
> Tebal: xvi + 184 halaman
> Cetakan: I, Juli 2008
> Beli di: BBC, Palasari
> Harga: sekitar 28 ribu (sebelum diskon 25%)
>
>

9b.

Re: [Ruang Baca] Ketika Daun Bercerita--to Mas Sis

Posted by: "Rini" rinurbad@yahoo.com   rinurbad

Sun Oct 25, 2009 7:54 pm (PDT)



Terima kasih sudah membaca, Mas Sis.
Tapi tema pokoknya bukan masalah lingkungan, kok. Itu hanya salah satu sub plot. Ceritanya keseharian, keluarga dan macam-macam lagi.

Peace,
Rinurbad

10.

(inspirasi) becoming a writer, by junot diaz

Posted by: "punya_retno" punya_retno@yahoo.com   punya_retno

Sun Oct 25, 2009 9:12 pm (PDT)



Source: http://www.oprah.com/article/spirit/knowyourself/200911-omag-junot-diaz-writing/2

Becoming a Writer
By Junot Diaz

It wasn't that I couldn't write. I wrote every day. I actually worked really hard at writing. At my desk by 7 A.M., would work a full eight and more. Scribbled at the dinner table, in bed, on the toilet, on the No. 6 train, at Shea Stadium. I did everything I could. But none of it worked. My novel, which I had started with such hope shortly after publishing my first book of stories, wouldn't budge past the 75-page mark. Nothing I wrote past page 75 made any kind of sense. Nothing. Which would have been fine if the first 75 pages hadn't been pretty damn cool. But they were cool, showed a lot of promise. Would also have been fine if I could have just jumped to something else. But I couldn't. All the other novels I tried sucked worse than the stalled one, and even more disturbing, I seemed to have lost the ability to write short stories. It was like I had somehow slipped into a No-Writing Twilight Zone and I couldn't find an exit. Like I'd been chained to the sinking ship of those 75 pages and there was no key and no patching the hole in the hull. I wrote and I wrote and I wrote, but nothing I produced was worth a damn.

Want to talk about stubborn? I kept at it for five straight years. Five damn years. Every day failing for five years? I'm a pretty stubborn, pretty hard-hearted character, but those five years of fail did a number on my psyche. On me. Five years, 60 months? It just about wiped me out. By the end of that fifth year, perhaps in an attempt to save myself, to escape my despair, I started becoming convinced that I had written all I had to write, that I was a minor league Ralph Ellison, a Pop Warner Edward Rivera, that maybe it was time, for the sake of my mental health, for me to move on to another profession, and if the inspiration struck again some time in the future…well, great. But I knew I couldn't go on much more the way I was going. I just couldn't. I was living with my fiancée at the time (over now, another terrible story) and was so depressed and self-loathing I could barely function. I finally broached the topic with her of, maybe, you know, doing something else. My fiancée was so desperate to see me happy (and perhaps more than a little convinced by my fear that maybe the thread had run out on my talent) that she told me to make a list of what else I could do besides writing. I'm not a list person like she was, but I wrote one. It took a month to pencil down three things. (I really don't have many other skills.) I stared at that list for about another month. Waiting, hoping, praying for the book, for my writing, for my talent to catch fire. A last-second reprieve. But nada. So I put the manuscript away. All the hundreds of failed pages, boxed and hidden in a closet. I think I cried as I did it. Five years of my life and the dream that I had of myself, all down the tubes because I couldn't pull off something other people seemed to pull off with relative ease: a novel. By then I wasn't even interested in a Great American Novel. I would have been elated with the eminently forgettable NJ novel.

So I became a normal. A square. I didn't go to bookstores or read the Sunday book section of the Times. I stopped hanging out with my writer friends. The bouts of rage and despair, the fights with my fiancée ended. I slipped into my new morose half-life. Started preparing for my next stage, back to school in September. (I won't even tell you what I was thinking of doing, too embarrassing.) While I waited for September to come around, I spent long hours in my writing room, sprawled on the floor, with the list on my chest, waiting for the promise of those words to leak through the paper into me.

Maybe I would have gone through with it. Hard to know. But if the world is what it is so are our hearts. One night in August, unable to sleep, sickened that I was giving up, but even more frightened by the thought of having to return to the writing, I dug out the manuscript. I figured if I could find one good thing in the pages I would go back to it. Just one good thing. Like flipping a coin, I'd let the pages decide. Spent the whole night reading everything I had written, and guess what? It was still terrible. In fact with the new distance the lameness was even worse than I'd thought. That's when I should have put everything in the box. When I should have turned my back and trudged into my new life. I didn't have the heart to go on. But I guess I did. While my fiancée slept, I separated the 75 pages that were worthy from the mountain of loss, sat at my desk, and despite every part of me shrieking no no no no, I jumped back down the rabbit hole again. There were no sudden miracles. It took two more years of heartbreak, of being utterly, dismayingly lost before the novel I had dreamed about for all those years finally started revealing itself. And another three years after that before I could look up from my desk and say the word I'd wanted to say for more than a decade: done.

That's my tale in a nutshell. Not the tale of how I came to write my novel but rather of how I became a writer. Because, in truth, I didn't become a writer the first time I put pen to paper or when I finished my first book (easy) or my second one (hard). You see, in my view a writer is a writer not because she writes well and easily, because she has amazing talent, because everything she does is golden. In my view a writer is a writer because even when there is no hope, even when nothing you do shows any sign of promise, you keep writing anyway. Wasn't until that night when I was faced with all those lousy pages that I realized, really realized, what it was exactly that I am.

Junot Díaz's novel The Brief Wondrous Life of Oscar Wao (Riverhead) won the Pulitzer Prize in 2008.

11.

(Catcil)Apakah Anda Pemberani?

Posted by: "rahmad nurdin" rahmad.aceh@gmail.com   rahmadsyah_tcc

Mon Oct 26, 2009 1:29 am (PDT)



Seorang yang berani, bersedia melakukan sesuatu yang penting bagi

kecemerlangan hidupnya, ...

meskipun dia belum berpengalaman

meskipun dia tidak memiliki uang untuk itu

meskipun banyak orang meragukan kesempatan keberhasilannya

meskipun telah banyak orang gagal dalam upaya yang sama

meskipun sama sekali tidak ada jaminan

meskipun sebetulnya dia sangat ketakutan

dan meskipun lebih mungkin baginya untuk gagal.

Anda tidak bisa membangun kehidupan yang luar biasa dengan keberanian yang
biasa.

Keberanian adalah sebuah kualitas yang memaksimalkan.

Jika Anda berani, Anda akan memaksimalkan kebesaran dan ketinggian dari yang
ingin

Anda capai. Yang selain itu, adalah pembatasan kebebasan hati.

Jika Anda berani, Anda akan memaksimalkan upaya Anda untuk mencapai yang
Anda

inginkan. Yang selain itu, adalah pembatasan kesediaan bekerja.

Jika Anda berani, Anda akan memaksimalkan tanggung-jawab yang Anda pikul.
Yang

selain itu, adalah pembatasan potensi.

Jika Anda berani, Anda akan memaksimalkan ukuran dan nilai dari kontribusi
Anda.

Yang selain itu, adalah pengkerdilan hak untuk menerima.

Jika Anda berani, Anda akan memaksimalkan peran yang Anda minta dari Tuhan.
Yang selain itu, adalah pengecewaan tujuan hidup Anda.

Mario teguh
--
RAHMADSYAH
Practitioner NLP I 081511448147 I Motivator & Trauma Therapist
www.rahmadsyah.co.cc I YM ; rahmad_aceh
Recent Activity
Visit Your Group
Biz Resources

Y! Small Business

Articles, tools,

forms, and more.

Yahoo! Groups

Auto Enthusiast Zone

Love cars? Check out the

Auto Enthusiast Zone

Support Group

Lose lbs together

Share your weight-

loss successes.

Need to Reply?

Click one of the "Reply" links to respond to a specific message in the Daily Digest.

Create New Topic | Visit Your Group on the Web

Tidak ada komentar: