Jumat, 01 Februari 2013

[daarut-tauhiid] Redenominasi Hanya Akal-akalan Bankir Mengelabui Masyarakat

Redenominasi Hanya Akal-akalan Bankir Mengelabui Masyarakat

Diposting Kamis, 31-01-2013 | 22:08:57 WIB

*MuslimDaily.net -* Pelaksanaan redenominasi Rupiah sudah semakin dekat.
Meski belum ada dasar hukumnya, BI sudah mensosialisasikan rancangan Rupiah
baru. BI, sebagai entitas di luar Pemerintahan RI, memang memiliki
kebebasan penuh mengambil keputusan kebijakan moneter, yang tidak dapat
dihalangi oleh pemerintah dan DPR. Para pejabat BI sedang meyakinkan
masyarakat bahwa redenominasi berbeda dengan sanering. Bahwa penghilangan
tiga angka 0 pada Rupiah tidak mengubah nilai tukarnya.

*Benarkah klaim BI tersebut? *

Redenominasi adalah teknik baru para bankir dalam merekalibrasi mata uang.
Langkah ini dilakukan karena dua alasan (1) inflasi atau (2) devaluasi.
Atau, kalau bukan karena keduanya, karena alasan geopolitik tertentu. Ini
terjadi, misalnya, ketika berbagai bankir di Eropa bersepakat untuk
memiliki mata uang regional Euro, yang mengharuskan tiap negara Uni Eropa
merekalibrasi mata uang nasional masing-masing.

Bila redenominasi itu dilakukan karena inflasi, maka ada dua variasi,
yaitu hiperinflasi atau inflasi sangat tinggi dalam tempo singkat, atau
inflasi kronis, yaitu inflasi yang terus-menerus terjadi dalam waktu
panjang.

Secara teknis redenominasi mata uang nasional adalah rekalibrasi mata uang
suatu negara dengan cara mengganti *currency unit* mata uang lama (yang
berlaku) dengan mata uang yang baru, yang dipakai sebagai 1 unit mata
uang. Bedanya dengan devaluasi adalah pada yang terakhir ini unit
rekalibrasinya adalah mata uang asing, umumnya dolar AS. Kalau inflasinya
sangat besar, maka rasioanya juga akan besar, bisa kelipatan 10, 100, 1000,
atau lebih besar lagi. Dalam hal ini, proses itu lalu disederhanakan, dan
disebut sebagai "penghilangan angka nol". Dalam hal Euro rekalibrasi
dilakukan atas berbagai mata uang nasional terhadap satu mata uang tunggal
baru, yaitu Euro.

*Nasib Rupiah*

Sepanjang umurnya yang 68 tahunan Rupiah sudah mengalami berkali-kali
rekalibrasi. Yang dicatat dalam buku sejarah di sekolah adalah saat rezim
Orde Lama pada 31 Desember 1965, memangkas nilai Rp 1000 menjadi Rp 1.
Istilah yang populer untuk peristiwa ini adalah sanering. Penyebabnya
adalah hiperinflasi. Sesudah Orde Lama jatuh, selama kurun pemerintah Orde
Baru, Rupiah juga mengalami berkali-kali rekalibrasi, dengan istilah
berbeda, yakni devaluasi. Dalam beberapa tahun awal keberadaan Republik
Indonesia Rupiah juga sudah mengalami beberapa kali rekalibrasi.

*Begitu Indonesia diakui kemerdekaannya, 1949, Rupiah dipatok sebesar 3.8
per dolar AS. Sesudah melorot sampai Rp 11.4 per dolar pada 1952 (saat ORI
diganti menjadi Uang Bank Indonesia), dan terus melorot sampai Rp 45,
melesat menjadi Rp 0,25 pada 1965, berkat sanering Soekarno. Selama Orde
baru, atas desakan IMF dan Bank Dunia **Rupiah** didevaluasi pada Maret
1983, sebesar 55%, dari Rp 415 per dolar AS menjadi lebih dari Rp 600 per
dolar AS. Rupiah, kembali atas tekanan IMF dan Bank Dunia, didevaluasi
lagi pada September 1986, sebesar 45%, menjadi sekitar Rp 900 per dolar
AS. *

*Dari waktu ke waktu nilai tukar Rupiah terus mengalami depresiasi sampai
mencapai angka sekitar Rp 2.200 per dolar AS sebelum 'Krismon' 1997.
Nilai Rupiah kemudian 'terjun bebas' pertengahan 1997, dan sejak itu
terus terombang-ambing – lagi-lagi atas kemauan IMF dan Bank Dunia - dalam
sistem kurs mengambang (floating rate), dengan titik terendah yang pernah
dicapai sebesar Rp 16.000 per dolar AS, di awal 1998, dan saat ini
fluktuatif di sekitar Rp 9.500-Rp 10.000 per dolar AS.*

*Jadi, munculnya gagasan untuk rekalibrasi **Rupiah** kali ini, dengan
cara redenominasi melalui penghilangan tiga angka nol-nya, yakni mata uang
Rp 1.000 menjadi Rp 1, penyebabnya tiada lain adalah inflasi kronis. *

* *

*Secara substansial, tentu saja, tidak ada bedanya antara redenominasi dan
devaluasi. K**e**duanya hanya bermakna bahwa mata uang **Rupiah** kita
semakin kehilangan daya belinya. Kongkritnya masyarakat Indonesia semakin
hari semakin miskin. Dalam dua tahun terakhir saja, sejak isu redenominasi
dilontarkan 2010 lalu, dibandingkan saat ini (2013), kalau diukur dengan
nilai telor ayam saja, Rupiah telah kehilangan lebih dari 25% daya belinya.
Dua tahun lalu Rp 100.000 mendapatkan 7 kg telor ayam, hari ini cuma 5 kg.
Tidak ada bedanya apakah Rupiah itu diberi lima angka 0 (Rp 100.000)
ataukah digunduli hanya dengan dua angka 0 (Rp 100 hasil redenominasi).
Daya belinya sudah tergerus 25% dalam dua tahun.*

* *

*Penghilangan angka nol itu sejatinya dilakukan karena dua alasan. Pertama,
alasan teknis, kerepotan dalam berbagai aspek pengelolaan mata uang
dengan angka nominal besar. Kedua, alasan psikologis atau tepatnya psikis,
karena pada titik tertentu masyarakat tidak akan bisa manerima harga
dengan nominal yang sangat besar. Tetapi, tujuan mendasarnya, adalah
menutupi kegagalan mata uang kertas untuk mempertahankan daya belinya.
Redenominasi hanya menyembunyikan penyakit sejatinya, yaitu depresiasi.*

*Penyakit inflasi (akut atau kronis) atau tepatnya penurunan daya beli
mata uang kertas (depresiasi) bukan cuma diderita oleh Rupiah. Semua mata
uang kertas mengalaminya. *Dolar AS telah kehilangan daya belinya lebih
dari 95% dalam kurun 40 tahun. Euro, hasil rekalibrasi geopolitis, yang
konon merupakan mata uang terkuat saat ini, dalam sepuluh tahun terakhir,
kehilangan sekitar 70% daya belinya. Rupiah? Lebih dari 99,9% daya
belinya telah lenyap dalam 65 tahun ini. Maka, fungsi rekalibrasi
sebenarnya hanyalah untuk menutupi cacat bawaan uang kertas ini. Hingga
publik tidak merasakan bahwa dalam kurun 68 tahun Indonesia merdeka, kita
telah dipermiskin sebanyak 275 ribu kali!

Rekalibrasi mata uang kertas adalah senjata utama para bankir untuk
mengelabui masyarakat atas kenyataan ini. Dalam kurun sepuluh tahun
terakhir ini saja belasan mata uang berbagai negara direkalibrasi: Turki,
Siprus, Slovakia, Romania, Ghana, Azerbeijan, Slovenia, Turkmenistan,
Mozambique, Venezuela, dll. Yang paling spektakuler, tentu saja, adalah
dolar Zimbabwe, yang dalam kurun lima tahun terakhir mengalami tiga kali
(2006, 2008, dan 2009) redenominasi, dengan menghapus total 25 angka nol
pada unit mata uangnya! Toh gagal juga, yang berakhir dengan tidak
dimilikinya mata uang nasional Zimbabwe, dan kini menerima dolar AS sebagai
mata uang mereka!

*Seharusnya BI, dan juga pemeerintah, tidak melakukan redenominasi, tapi
mencegah inflasi. Redenominasi justru hanya mengelabui masyarakat dan
menyembunyikan inflasi ini.*

Salah satu caranya adalah masyarakat diberi pilihan atas alat tukar yang
tidak bisa disanering, didevaluasi atau diredenominasi, artinya tidak dapat
dimanipulasi oleh siapa pun, bukan cuma oleh bank sentral atau IMF, yakni
alat tukar yang memiliki nilai intrinsik. Pilihan terbaik untuk itu adalah
dinar emas atau dirham perak, yang kini mulai beredar luas di berbagai
negara, termasuk Indonesia.

Pada Januari 2013 dinar emas dan dirham perak, termasuk yang beredar di
Indonesia telah mulai berlaku sebagai alat tukar internasional, dengan
kurs tunggal. Mata uang tunggal Islam ini berada di bawah regulasi World
Islamic Mint. Setidaknya saat ini ada lima seri Dirham dan Dinar, yaitu
Pemerintah Kelantan, Kesultanan Sulu, Kesultanan Kasepuhan, Kesultanan
Ternate, dan Amirat Indonesia.

*Oleh: Zaim Saidi (aktivis LSM dan pengamat kebijakan publik)*

*
http://muslimdaily.net/opini/opini-17/redenominasi-hanya-akal-akalan-bankir-mengelabui-masyarakat.html
*


[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------------------

====================================================
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
website: http://dtjakarta.or.id/
====================================================Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/

<*> Your email settings:
Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/join
(Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
daarut-tauhiid-digest@yahoogroups.com
daarut-tauhiid-fullfeatured@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
daarut-tauhiid-unsubscribe@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/

Tidak ada komentar: