Selasa, 28 Oktober 2008

[daarut-tauhiid] Sadar dengan Sebuah Kehilangan (Oleh: Muhammad Nuh)

http://www.dakwatuna.com/2008/sadar-dengan-sebuah-kehilangan/

Tazkiyatun Nafs
19/10/2008 | 18 Syawal 1429 H | Hits: 1.031

Sadar dengan Sebuah Kehilangan

Oleh: Muhammad Nuh

dakwatuna.com - "Orang yang pandai adalah yang senantiasa mengoreksi
diri dan menyiapkan bekal kematian. Dan orang yang rendah adalah yang
selalu menurutkan hawa nafsu dan berangan-angan kepada Allah."
(At-Tirmidzi)

Maha Besar Allah Yang menghidupkan bumi setelah matinya. Air tercurah
dari langit membasahi tanah-tanah yang sebelumnya gersang. Aneka benih
kehidupan pun tumbuh dan berkembang. Sayangnya, justru manusia
mematikan sesuatu yang sebelumnya hidup.

Tanpa terasa, kita sudah begitu boros terhadap waktu

Trend hidup saat ini memaksa siapapun untuk menatap dunia menjadi
begitu mengasyikkan. Serba mudah dan mewah. Sebuah keadaan dimana
nilai kucuran keringat tergusur dengan kelincahan jari memencet
tombol. Dengan bahasa lain, dunia menjadi begitu menerlenakan.

Tidak heran jika gaya hidup perkotaan menggiring orang menjadi manja.
Senang bersantai dan malas kerja keras. Di suasana serba mudah itulah,
waktu menjadi begitu murah. Detik, menit, jam, hingga hari, bisa
berlalu begitu saja dalam gumulan gaya hidup santai.

Sebagai perumpamaan, jika seseorang menyediakan kita uang sebesar
86.400 rupiah setiap hari. Dan jika tidak habis, uang itu mesti
dikembalikan; pasti kita akan memanfaatkan uang itu buat sesuatu yang
bernilai investasi. Karena boleh jadi, kita tak punya apa-apa ketika
aliran jatah itu berhenti. Dan sangat bodoh jika dihambur-hamburkan
tanpa memenuhi kebutuhan yang bermanfaat.

Begitulah waktu. Tiap hari Allah menyediakan kita tidak kurang dari
86.400 detik. Jika hari berganti, berlalu pula waktu kemarin tanpa
bisa mengambil waktu yang tersisa. Dan di hari yang baru, kembali
Allah sediakan jumlah waktu yang sama. Begitu seterusnya. Hingga, tak
ada lagi jatah waktu yang diberikan.

Sayangnya, tidak sedikit yang gemar membelanjakan waktu cuma buat yang
remeh-temeh. Dan penyesalan pun muncul ketika jatah waktu dicabut.
Tanpa pemberitahuan, tanpa teguran.

Allah swt. berfirman, "Telah dekat kepada manusia hari menghisab
segala amalan mereka, sedang mereka berada dalam kelalaian lagi
berpaling (dari Allah swt.)." (Al-Anbiya': 1)

Tanpa terasa, kita kian jauh dari keteladanan Rasul dan para sahabat

Pergaulan hidup antar manusia memunculkan tarik-menarik pengaruh. Saat
itulah, tanpa terasa, terjadi pertukaran selera, gaya, kebiasaan, dan
perilaku. Semakin luas cakupan pergaulan, kian besar gaya tarik
menarik yang terjadi.

Masalahnya, tidak selamanya stamina seseorang berada pada posisi
prima. Kadang bisa surut. Ketika itu, ia lebih berpeluang ditarik
daripada menarik. Tanpa sadar, terjadi perembesan pengaruh luar pada
diri seseorang. Pelan tapi pasti.

Suatu saat, orang tidak merasa berat hati melakukan perbuatan yang
dulunya pernah dibenci. Dan itu bukan lantaran keterpaksaan. Tapi,
karena adanya pelarutan dalam diri terhadap nilai-nilai yang bukan
sekadar tidak pernah dicontohkan Rasul, bahkan dilarang. Sekali lagi,
pelan tapi pasti.

Anas bin Malik pernah menyampaikan sebuah ungkapan yang begitu dahsyat
di hadapan generasi setelah para sahabat Rasul. Anas mengatakan,
"Sesungguhnya kamu kini telah melakukan beberapa amal perbuatan yang
dalam pandanganmu remeh, sekecil rambut; padahal perbuatan itu dahulu
di masa Nabi saw. kami anggap termasuk perbuatan yang merusak agama."
(Bukhari)

Tanpa terasa, kita jadi begitu asing dengan Islam

Pelunturan terhadap nilai yang dipegang seorang hamba Allah terjadi
tidak serentak. Tapi, begitu halus: sedikit demi sedikit. Pada
saatnya, hamba Allah ini merasa asing dengan nilai Islam itu sendiri.

Ajaran Islam tentang ukhuwah misalnya. Kebanyakan muslim paham betul
kalau orang yang beriman itu bersaudara. Saling tolong. Saling
mencintai. Dan, saling memberikan pembelaan. Tapi anehnya, justru
nilai-nilai itu menjadi tidak lumrah.

Semua pertolongan, perlindungan, pengorbanan kerap dinilai dengan
kompensasi. Ada hak, ada kewajiban. Ada uang, ada pelayanan. Tiba-tiba
seorang muslim jadi merasa wajar hidup dalam karakter individualistik.
Bahkan, tidak tertutup kemungkinan, seorang dai merasa enggan
berceramah di suatu tempat karena nilai bayarannya kecil. Sekali lagi,
tak ada uang, tak ada pelayanan.

Firman Allah swt. "Dan sesungguhnya jika Kami menghendaki, niscaya
Kami lenyapkan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu, dan dengan
pelenyapan itu, kamu tidak akan mendapatkan seorang pembela pun
terhadap Kami, kecuali karena rahmat dari Tuhanmu…." (Al-Isra': 86-87)

Tanpa terasa, kita tak lagi dekat dengan Allah swt.

Inilah sumber dari pelunturan nilai keimanan seorang hamba. Kalau
orang tak lagi dekat dengan majikannya, sulit bisa diharapkan bagus
dalam kerjanya. Kesungguhan kerjanya begitu melemah. Bahkan tak lagi
punya nilai. Asal-asalan.

Jika ini yang terus terjadi, tidak tertutup kemungkinan, ia lupa
dengan sang majikan. Ketika seorang hamba melupakan Tuhannya, Allah
akan membuat orang itu lupa terhadap diri orangnya sendiri. Ada krisis
identitas. Orang tak lagi paham, kenapa ia hidup, dan ke arah mana
langkahnya berakhir.

Maha Benar Allah dalam firman-Nya, "Dan janganlah kamu seperti
orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa
kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik."
(Al-Hasyr: 19)

http://www.dakwatuna.com/2008/sadar-dengan-sebuah-kehilangan/

__._,_.___
===================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
===================================================
       website:  http://dtjakarta.or.id/
===================================================
Recent Activity
Visit Your Group
Need traffic?

Drive customers

With search ads

on Yahoo!

Real Food Group

Share recipes

and favorite meals

w/ Real Food lovers.

Y! Messenger

Send pics quick

Share photos while

you IM friends.

.

__,_._,___

Tidak ada komentar: