Kamis, 01 Oktober 2009

[daarut-tauhiid] Fwd: Wajah Lain Pondok Pesantren -- tanggapan umum soal sarang teroris

---------- Forwarded message ----------
From: Koran Digital <korandigital@gmail.com>


Wajah Lain Pondok Pesantren
Pondok pesantren tak hanya mengajarkan agama, tapi juga bisnis. Sebagian
lagi menjadi pelopor pemberdayaan masyarakat sekitarnya. Inilah fikih sosial
mereka.

PESANTREN dan terorisme. Dua kata ini kerap dikait-kaitkan saat aksi
terorisme mewabah di Indonesia belakangan ini. Harap maklum, sebagian besar
pelaku dan tersangka tindak kejahatan itu memang alumni pondok pesantren.

"Stigmatisasi terhadap pesantren saat ini luar biasa dan telah menjadi
sebentuk kebencian terhadap Islam," kata Choirul Fuad Yusuf, Direktur
Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Departemen Agama, dalam diskusi di
kantor majalah Tempo pada 3 September lalu.

Diskusi itu juga dihadiri Masdar Farid Mas'udi, Direktur Perhimpunan
Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M); Khaeroni, Kepala Subdirektorat
Pemberdayaan Santri dan Layanan pada Masyarakat; dan Undang Sumantri, Kepala
Subbagian Tata Usaha Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren
Departemen Agama.

Fuad menyatakan stigmatisasi itu muncul, misalnya, ketika dia menyampaikan
makalah berjudul "Pertumbuhan Luar Biasa Pesantren di Indonesia" dalam
konferensi tahunan National Association of Foreign Student Advisers di Los
Angeles, Amerika Serikat, akhir Mei lalu.

"Pertanyaan yang muncul dalam konferensi itu kebanyakan soal radikalisme,
madrasah sebagai tempat pengkaderan teroris, apalagi pesantren. Jadi,
madrasah disamakan dengan madrasah di Afganistan," kata Fuad. Madrasah di
Afganistan mendapat cap miring karena banyak militan Taliban direkrut dari
madrasah tersebut.

Madrasah di Indonesia, kata Fuad, sama dengan sekolah umum, dengan muatan
khusus pendidikan Islam. "Dari 21 ribu lebih pesantren saat ini, tidak ada
yang mengajarkan kekerasan, apalagi yang mengarah pada terorisme," katanya.

Departemen Agama mencatat saat ini ada 21.521 pesantren dengan 3.818.469
santri. Jumlah pesantren itu naik hampir empat kali lipat dalam 20 tahun
terakhir dan dua kali lipat dalam 6 tahun terakhir. Pada 1985 tercatat ada
6.239 pesantren dengan 1 juta lebih santri dan pada 2001 ada 11.312
pesantren dengan 2.737.805 santri. Ini tidak termasuk pesantren yang belum
terdaftar di departemen tersebut.

Pondok-pondok pesantren itu tak berwajah tunggal. Ada yang mengajarkan
pentingnya merawat harmoni sosial dan toleransi antar-umat beragama. Ada
pula yang menggendong ideologi politik Timur Tengah, seperti Wahabisme,
Ikhwanul Muslimin, dan Talibanisme. Tak sedikit dari pesantren ini yang
mengintroduksi jalan-jalan kekerasan dalam menjalankan ajaran Islam.

Menurut Fuad, pemerintah berupaya mendorong pondok-pondok pesantren agar tak
hanya menjadi tempat belajar agama Islam, tapi juga menjadi agen perubahan
sosial, motivator, dan aktor bagi masyarakat sekitarnya. Peran itu sudah
dilakukan oleh beberapa pesantren, seperti Pondok Pesantren Al-Ittifaq di
Babakan Jampang, Ciwidey, Bandung, yang mengajak masyarakat sekitar
mengelola sayur-mayur, dari budi daya hingga pemasarannya.

"Pesantren itulah yang menyalurkan produk pertanian masyarakat ke
supermarket-supermarket. Para santrinya juga diajari pemasaran dengan
berdasi. Jadi, jangan dikira bahwa para santri kini cuma bersarung dan
berkerudung," kata Choirul.

Masdar Farid Mas'udi, yang juga Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama,
menuturkan bahwa peran pesantren dalam memberdayakan masyarakat sudah
berlangsung lama. "Bahkan sebenarnya pesantren umumnya didirikan dengan
tujuan memberdayakan masyarakat sekitarnya," kata pengasuh Pesantren Unggul
Al-Bayan di Sukabumi, Jawa Barat, itu.

Gerakan pemberdayaan itu menguat pada 1970-an dan 1980-an, bersamaan dengan
dijalankannya banyak program kemasyarakatan oleh pemerintah dan lembaga
swadaya masyarakat melalui pesantren, seperti yang dilakukan Lembaga
Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Bina Desa,
Bina Swadaya, dan P3M yang dipimpin Masdar. "Namun program pemberdayaan
masyarakat ini hanya meletakkan pesantren sebagai pintu masuk atau batu
loncatan," kata Masdar.

Masdar mencontohkan program Keluarga Berencana yang diperkenalkan ke
masyarakat melalui pintu pesantren, sehingga masyarakat tak lagi
mempermasalahkannya. "Legitimasinya sudah tidak dipertanyakan lagi karena
sudah didukung kiai," katanya.

Nah, beberapa kiai kemudian berembuk untuk membentuk P3M dengan tujuan
memberdayakan masyarakat melalui, oleh, dan bersama pesantren.Dasarnya
adalah fikih sosial, yakni pengembangan dan kepedulian kepada masyarakat itu
sebenarnya dilakukan bukan karena ada pesanan atau program atau dana dari
luar, melainkan sebagai tanggung jawab pesantren itu sendiri sebagai pusat
keagamaan. "Kami berharap pengembangan masyarakat oleh pesantren itu menjadi
agenda pesantren itu sendiri, bukan sekadar pintu masuk atau lampiran dari
pesantren," katanya.

Secara historis pun pesantren muncul karena ingin mengasuh masyarakat.
Masdar mencontohkan peran Pesantren Tebuireng yang berdiri di tengah Kota
Jombang ketika ada masalah antara petani tebu dan pabrik gula karena pabrik
menetapkan harga yang rendah. Pemimpin pesantren itu menyokong pembentukan
paguyuban petani, yang kemudian mendatangi pihak pabrik untuk memperbaiki
harga dan budi daya tebu.

Pesantren masa kini, kata Masdar, juga merupakan perkembangan dari
intervensi pemerintah melalui kurikulum dan standardisasi pendidikan, yang
mulai terlihat pada 1980-an. Hal ini menyebabkan ongkos sekolah di pesantren
jadi mahal dan membuat mereka berpaling ke sumber dana yang ada, yakni
pemerintah.

"Inilah mulai hilangnya independensi pesantren terhadap kekuasaan. Padahal
independensi menjadi ciri pesantren dan keulamaan, yaitu duduk setara dengan
umara (pemimpin), jadi bisa mengatakan tidak dalam hal harus mengatakan
tidak, dan mengatakan ya bila harus ya," ujarnya.

Dampak dari formalisasi pendidikan pesantren ini juga berpengaruh pada
hubungan santri-kiai. Dulu, kalau santri datang ke pesantren, pasti ia
diserahkan sepenuhnya oleh orang tuanya kepada sang kiai. "Sekarang santri
datang ke pesantren itu bukan ke kiai lagi, tapi ke bagian tata usaha. Jadi,
kalau urusan bagian tata usaha sudah selesai, bisa datang sowan ke kiai bisa
tidak. Kiai sudah tidak pegang otoritas apa-apa di situ," kata Masdar.

Meski demikian, masih banyak pesantren yang mencoba mandiri dengan cara
masing-masing, bahkan mampu memberdayakan masyarakat sekitarnya. Untuk
memotret kepeloporan pesantren itulah Tempo menurunkan laporan sejumlah
pesantren di Tanah Air. Sebagian besar merupakan masukan dari Departemen
Agama dan sebagian lagi muncul dalam diskusi redaksi.

Ada delapan pesantren yang diangkat kali ini, yakni Pesantren Sidogiri di
Pasuruan, Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman di Parung, Pesantren Al- Amin di
Tasikmalaya, Pesantren As-Salafiyyah di Mlangi, Yogyakarta, Pesantren
Qamarul Huda di Lombok, Pesantren Darul Arafah dan Pesantren Ar-Raudhatul
Hasanah di Sumatera Utara, serta Pesantren Salafiyah Safi'iyah di Gorontalo.

Lembaga-lembaga itu mencerminkan wajah lain pondok pesantren. Pesantren
Sidogiri, misalnya, memelopori wirausaha melalui koperasi di pesantren, yang
ternyata juga mendorong perekonomian masyarakat setempat. Kini mereka telah
memiliki sedikitnya sepuluh unit usaha, dari toko buku hingga studio foto.
Sayap usaha lain adalah produksi air minum kemasan bermerek Santri,
penerbitan kitab, dan busana muslim.

Adapun Pondok Pesantren Qamarul Huda di Lombok mengkampanyekan lingkungan
hijau dengan mengajak warga menanam pohon di halaman rumah masing-masing.
Mereka juga menjadi mitra pemerintah dalam menangani kerusakan hutan dengan
menanami lahan seluas 200 hektare.

Lain lagi dengan Pondok Pesantren Salafiyah Safi'iyah di Desa Banuroja,
Kecamatan Randangan, Provinsi Gorontalo. Pesantren ini aktif membina
kerukunan dengan warga Hindu, yang dianut hampir separuh warga desa, dan
warga Kristen. Pondok itu juga memelopori pembangunan desa dengan mendorong
berbagai usaha, termasuk agrobisnis dan peternakan sapi. Warga juga
dilibatkan dalam pemeliharaan sapi dengan metode bagi hasil.

Pesantren-pesantren ini hanya potret kecil dari begitu beragam dan banyaknya
pesantren di Indonesia. Namun kepeloporan mereka setidaknya dapat menjadi
inspirasi bagi pesantren dan lembaga pendidikan keagamaan lain di Nusantara.

Kurniawan
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/09/21/LU/mbm.20090921.LU131455.id.html


------------------------------------

====================================================
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
website: http://dtjakarta.or.id/
====================================================Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/

<*> Your email settings:
Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/join
(Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
mailto:daarut-tauhiid-digest@yahoogroups.com
mailto:daarut-tauhiid-fullfeatured@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
daarut-tauhiid-unsubscribe@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/

Tidak ada komentar: