Rabu, 14 Oktober 2009

[sekolah-kehidupan] Digest Number 2845

Messages In This Digest (12 Messages)

Messages

1.

[Puisi] Siapakah?

Posted by: "deesiey" deesiey@gmail.com   deesiey

Tue Oct 13, 2009 6:42 am (PDT)



uang membutakannya
rupa menyilaukannya
hormat menyandungnya

yang murni
pun ternoda
yang tulus
pun penuh intrik

siapakah aku?
siapakah kamu?
siapakah dia?

direkturkah?
tidak jika kehilangan jabatan.
artiskah?
bukan jika penonton membenci.

yang semula bukan apa-apa
melambung tinggi saat sorak sorai berkoar
dan kala semua kembali sunyi
diripun menghilang

siapakah aku?
siapakah kamu?
siapakah dia?

tak tahu...
kami tak tahu...

hidup
bernafas
tapi siapakah?

begitu percaya diri
saat berlian di genggaman
tapi menjadi gila
saat tetes hujan memenuhi gerobak tuanya

siapakah aku?
siapakah kamu?
siapakah dia?

tanyalah...
tanyalah diri...
siapakah aku?
benarkah itu aku?

saat semua yang di dunia begitu rapuh
dan saat hidup begitu cepat terputus

siapakah aku?
siapakah kamu?
siapakah dia?

tanyakanlah...
saat semuanya belum terlambat...

@daesy
13 Oktober 2009
saat mimpi telah pergi (terinspirasi dari sebuah artikel tentang kesejatian
Mbah Surip)

--
http://gropesh.multiply.com/
2.

[Puisi] Menjadi Manusia

Posted by: "deesiey" deesiey@gmail.com   deesiey

Tue Oct 13, 2009 6:43 am (PDT)



kata siapa ia mengerti
kata siapa ia paham
jika hanya benci yang ia tahu

kata siapa itu wajar
kata siapa seharusnya seperti itu
jika hanya hitam yang dilihatnya

jika kau hanya mencintai warna
bagaimana gelap bisa membuatmu tersenyum
jika kau hanya menyukai kupu kupu
bagaimana kedelai bisa membuatmu bahagia

buka matamu!
buka telingamu!
buka hatimu!
buka jiwamu!

karna hidup tlah menyediakan banyak sisi
karna hati diciptakan tuk rasakan semua

karna dengan begitulah
kau bisa menjadi manusia...seutuhnya

@daesy
13 Oktober 2009
saat dalam kegelapan siang

--
http://gropesh.multiply.com/
3.

(Catcil) Memahami Pola Pikir Atasan

Posted by: "rahmad nurdin" rahmad.aceh@gmail.com   rahmadsyah_tcc

Tue Oct 13, 2009 7:02 am (PDT)



Assalamu'alaikum

Keputusan memilih Karir sebagai TRAINER pengembangan diri, Menghadirkan
sejuta pengalaman hidup yang tak tersentuh dan didapatkan di bangku
perkuliahan. Hobi memotivasi dan therapy, baik dikelas-kelas training atau
personal, banyak menambah khazanah kehidupan. Tentunya juga networking yang
terjalin. Dalam persaudaraan inipun semakin meningkatkan knowledge.

Sementara itu, sebelum melakukan training. Sudah menjadi lumrah, mesti
dilakukan proses identifikasi berupa TNA (Training Need Analisis). Kemarin
sore saya duduk dengan seorang Kepala Cabang Lembaga Pendidikan terbesar di
Indonesia, guna membahas cara peningkatan skill SDM (Team) ditempat beliau.
Tentunya menggunakan pendekatan NLP dan Hypnosis.

Hal menarik disini adalah saya mendapatkan pemahaman baru, tentang pola
pikir Atasan. Bahasa lainnya, Apa yang diinginkan oleh atasan dari team
kerja/Karyawannya. Tentunya, pandangan beliau tidak bisa saya generalisir
sama semua dengan atasan lain. Namun, dari beberapa pimpinan dan manager
yang pernah temui. Mereka memiliki Case yang sama, diorganisasinya.

Kembali kecara pandang / pola pikir atasan. Ternyata secara garis besar,
Para atasan menginginkan Team Kerja yang ;

Berani mengungkapkan pendapat saat Meeting
Mengajukan program-program untuk kemajuan perusahaan
Suka memunculkan ide-ide nakal (Kreativitas)
Suka tantangan, terutama dalam hal Target
Memiliki peta kehidupan yang jelas
Tentunya juga, Keberanian mengambil keputusan dan kreativitasnya dibingkai
dengan kebijaksanaan dan kewajaran.
JCO Botani Square, Bogor 8 Oktober 2009
Wallahu'alam

--
RAHMADSYAH
Practitioner NLP I 081511448147 I Motivator & Trauma Therapist
www.rahmadsyah.co.cc I YM ; rahmad_aceh
4.

[Ruang Film] 1408

Posted by: "Rini" rinurbad@yahoo.com   rinurbad

Tue Oct 13, 2009 3:58 pm (PDT)



Meskipun sukses membuat pembaca buku-bukunya merinding, penulis spesialis horor Mike Enslin (John Cusack) selalu sinis terhadap keyakinan orang lain akan adanya hantu dan roh halus. Dorongan untuk menaklukkan tempat-tempat yang 'ditunggui' membawanya ke Dolphin Hotel di New York. Mike tidak menghubungi istrinya, Lily, dikarenakan kepentingan pekerjaan semata walau wanita itu tinggal di kota yang sama.

Mike berhadapan dengan Olin (Samuel L. Jackson), manajer hotel yang tidak menyerah begitu saja kala sang penulis hendak check-in di kamar 1408. Kamar yang menelan banyak korban secara sadis maupun wajar tersebut mengundang rasa penasaran Mike setelah menerima sehelai kartu pos di kotak suratnya. Olin mencoba bernegosiasi dengan champagne, akses bebas ke kantornya untuk memperoleh data-data yang dibutuhkan Mike untuk menulis, tetapi lelaki itu bersikukuh melewatkan satu malam di sana. Ia mengabaikan peringatan Olin bahwa semua staf hotel enggan berlama-lama di sana, bahkan hanya berdiri di ambang pintu bila perlu.

Film horor ala Stephen King senantiasa istimewa. Ketegangannya beraneka ragam. Bukan hantu-hantu biasa yang banjir darah yang dikerahkannya untuk mempercepat detak jantung penonton, tetapi hal-hal yang relatif berkaitan dengan sang karakter sentral dan dipelintir sedemikian rupa sehingga mendirikan bulu roma. Kendati menonton siang hari, saya terkejut beberapa kali, antara lain saat Mike mencoba mengakali ruangan misterius itu dengan memanjat tembok ke kamar sebelah. Tapi setelah beberapa langkah yang diperhitungkannya dengan cermat, ternyata tidak ada tempat lain yang dapat dijangkau.

Kelihaian Stephen King meracik fantasi seram pun terlihat ketika Mike hendak meminta tolong kepada lelaki di gedung seberang. Posisi mereka sama-sama di depan jendela, tetapi entah mengapa gerakan tubuh lelaki itu selalu sama persis seolah Mike tengah berdiri di depan cermin. Hingga kemudian ia meraih lampu meja dan menyorotkannya ke muka.

Akting John Cusack, salah satu pemikat film ini yang mengingatkan saya pada penampilan primanya di film thriller Identity, masih menawan. Ia frustrasi, tidak mau mengaku ketakutan, sekaligus keras kepala dan mencari-cari segi masuk akal dari kamar hotel yang dianggapnya semacam permainan. Kemudian tatkala ia berada di rumah sakit setelah berjibaku dengan sejumlah keanehan, mengontak manajer penerbitan dan menulis buku baru yang sama sekali berbeda, kita belum diizinkan untuk bernapas lega.

Karakter eksentrik Mike dalam film yang diangkat dari cerita pendek ini menyuguhkan sejumlah pesan. Ia lari dari kenyataan bahwa putri tunggalnya tiada, dan menolak menjejalkan cerita-cerita indah mengenai surga kepada si kecil kendati Katie telah berkata, "Daddy, everyone dies." Pada kesempatan berbeda, Olin yang dilihat Mike melalui pintu kulkas mini di kamar berteriak, "Pikirmu mengapa orang percaya pada hantu dan roh? Karena mengingatkan kita akan sesuatu setelah mati nanti."

Kepenulisan Mike tidak kalah mempesona. Sewaktu ia menghadiri jumpa pembaca di sebuah toko yang hanya didatangi beberapa orang, misalnya. Seorang gadis mengulurkan buku karya Mike, edisi perdana yang sudah kucel, tapi sang penulis tetap bersikap ramah dan menandatanganinya. Juga saat ia berbincang mengenai karya barunya dengan sang agen. "Less talk, more writing," kata lelaki itu.

Penggemar Stephen King sepatutnya menyaksikan film spesial ini.

Peace,
Rinurbad

5.

[Puisi] Surga Kata Kata

Posted by: "deesiey" deesiey@gmail.com   deesiey

Tue Oct 13, 2009 5:15 pm (PDT)



bagai cakrawala membuka matanya
huruf huruf itu mengalir
sederas air terjun di pinggiran tebing

bagai menemukan harta karun
bersorak dan berteriak
berlompatan dan berdansa

surga baru itu
kataku
tapi bukan lembaran baru
hanya sebuah mata baru

menderingkan bunyi yang akrab di hatiku
panggilan kembali
menuju dunia yang selalu kucintai
mengingatkanku kembali
pada hamparan sore yang selalu kurindukan

tagore menyanyi
gibran menari
shakespeare meloncat

saat pintu itu terbuka
memanggilku
menarikku
pada tempat yang dulu menjadi persinggahanku
pada dunia yang mengalirkan adrenalinku

sebuah dunia akan surga kata kata

@daesy
13 Oktober 2009
poem-rush

--
http://gropesh.multiply.com/
6a.

Re: (lonceng) selamat atas lahirnya putri pertama taufik&diyah

Posted by: "Nursalam AR" pensilmania@gmail.com

Tue Oct 13, 2009 7:56 pm (PDT)



Tahniah teriring untuk kelahiran puteri pertama Kang Taufik & Mbak Diyah.
Semoga puterinya menjadi anak sholihah dan pemberat timbangan pahala di hari
akhir nanti. Amin!

salam dari kami sekeluarga,
Nursalam AR, Yuni Meganingrum & Muhammad Alham Navid

2009/10/13 punya_retno <punya_retno@yahoo.com>

>
>
> ass wr wb,
>
> sekedar meneruskan sms dari kang taufik pagi ini pukul 09.55 WIB:
> "alhamdulillah, telah lahir dgn selamat putri kami di RS Salak Bogor. Kami
> yg berbahagia-Taufik&Diyah"
>
> no hp kang taufik: 0856 92627065.
>
> selamat ya, kang taufik dan mbak diyah.
> semoga menjadi anak yg salehah, cerdas hati dan pikir, serta menjadi
> penyejuk mata dan hati kedua orangtuanya. amin.
>
> -retno&catur-
>
>
>

--
"Open up your mind and fly!"
-Nursalam AR
Translator & Writer
0813-10040723
021-92727391
www.nursalam.multiply.com
www.facebook.com/nursalam.ar
7a.

(ruang keluarga) mencintai raihana

Posted by: "punya_retno" punya_retno@yahoo.com   punya_retno

Tue Oct 13, 2009 10:47 pm (PDT)



Mencintai Raihana
Oleh Retnadi Nur'aini

Percayakah Anda pada cinta pada pandangan pertama?
Saya percaya. Saya percaya `love at first sight' itu ada.
Tapi, saya tidak percaya itu bisa terjadi pada saya. Karena bagi saya, cinta bukan kata benda. Ia adalah kata kerja. Ia butuh proses. Ia butuh waktu. Proses itu sendiri meliputi pengenalan, adaptasi, komunikasi, trial and error yang ada kalanya tak terhingga, yang menguji tingkat kesabaran, yang menguji sampai sejauh mana kita bisa bertoleransi, bertenggang rasa akan perbedaan.
Saya juga percaya, bahwa ada kalanya pertanda jatuh cinta bisa berupa hal-hal spektakuler. Bisa meledak seperti gempa bumi, bintang-bintang berbaris sejajar pada garis yang sama, para penari India keluar—entah dari mana—dan mulai menari dengan latar aneka musim di seluruh dunia.
Hanya saja, saya percaya, bahwa itu tidak berlangsung selamanya. Ada kalanya langit cinta mendung keabuan, tanpa hiasan pelangi warna-warni. Ada waktunya gempa bumi mereda. Ada kalanya, api jatuh cinta padam.
Dan karena bagi saya, cinta adalah kata kerja, maka saat ia tak lagi meledak seperti gempa bumi, saat itulah ia harus diperjuangkan. Di setiap harinya.
Seperti itulah cara saya mencintai Raihana.

***
Pertemuan mata pertama saya dengan Raihana terjadi pada hari Senin, 14 September 2009, pukul 04.15 WIB. Kala itu, Bu bidan yang membantu proses kelahirannya meletakkan Raihana di atas dada saya, sementara Bu bidan mulai mengeluarkan plasenta dari perut saya.
Saat itu, dengan berat 3,2 kg dan panjang 49cm, Raihana tampak begitu rapuh. Kulitnya masih berwarna merah keabuan, dengan rambut lebat yang diselipi selaput. Ia punya dua mata, dua telinga, sepuluh jari kaki, sepuluh jari tangan, satu hidung, dan satu bibir berwarna merah yang megap-megap. Sementara matanya yang masih buram, seolah-olah menatap mata saya.
Untuk pertama kalinya, saya menyapanya "Assalamualaikum, halo Nak, kamu lho, yang kemarin sering nendang-nendang perut Mama. Ini Mama Retno, Nak.."
Dan Raihana menjerit kencang sekali.
***
Jujur, tatap mata pertama itu tak lantas membuat saya seketika jatuh cinta pada Raihana. Saat para tamu, kawan, dan saudara memuji betapa cantiknya dia, betapa putih kulitnya, betapa gembil pipinya, betapa menggemaskanya ia, saya cuma berucap syukur "Alhamdulillah" singkat, dan tersenyum simpul. Pikir saya dengan polosnya, semua bayi berwajah sama.
Demikian juga saat saya pulang ke rumah. Ledakan kembang api jatuh cinta pada Raihana riuh mewarnai pelosok rumah kami. Mulai dari suami, ibu, bapak, ibu mertua, kakak, kakak ipar, keponakan, para murid les ibu saya, para tamu yang datang bagai tanpa henti, sampai pembantu kami. Semuanya menguarkan ekspresi cinta yang justru melahirkan tekanan tersendiri bagi saya.
Karena jujur, saya belum mencintai Raihana sespektakuler itu. Dan pernyataan cinta orang-orang di sekitar saya yang demikian besarnya pada Raihana, seolah-olah menuntut saya untuk mencintai Raihana sespektakuler itu.
Tuntutan ini makin menekan saya, saat banyak orang bertanya pada saya segala detil tentang Raihana. "Kenapa matanya belekan?", "Kenapa dia lebih suka miring ke kiri?", "Kenapa kukunya panjang sekali?", "Kenapa ada bercak-bercak kemerahan di kaki dan tangannya?"—seolah-olah, hanya karena saya melahirkannya, maka saya mendadak juga sekaligus menjadi ensiklopedi berjalan tentangnya.
Belum lagi, para tamu yang hobi berkompetisi urusan anak. Well, saya selalu senang mendengarkan pengalaman orang yang memang ingin berbagi manfaat dan kebaikan. Hanya saja, ada sebagian orang yang bercerita dengan "Kalo saya tuh dulu.." dengan niatan murni untuk berkompetisi. Ada kompetisi siapa yang jahitannya paling sedikit. Ada kompetisi tentang siapa yang paling sakit merasa melahirkan. Ada kompetisi tentang siapa yang anaknya paling berat, paling panjang, paling anteng, paling putih, paling sehat—singkatnya, kompetisi aneh-aneh yang kini mulai masuk ke dalam ruang tamu saya, tanpa sempat saya pagari lebih dulu.
Puncaknya adalah saat hari raya Idul Fitri, hari pertama. Saat itu, seorang tamu datang berkunjung. Karena saya sedang demam ASI, ia pun masuk ke kamar saya. Di sana, ia berkomentar macam-macam. Tentang saya yang saat itu kebetulan tidak menggunakan stagen. Tentang pentingnya minum jamu bersalin. Tentang ubun-ubun bayi yang kebetulan tidak saya tutupi kain. Tentang macam-macam hal.
Sementara saya yang tengah terbaring lemas dengan tubuh demam tinggi dan dada bengkak, hanya mampu diam mendengarkan, sambil berdoa agar si tamu lekas pulang. Untuk membuat si tamu lekas pamit, saya bahkan sampai berpura-pura tidur. Namun si tamu tetap saja ajeg. Ia tetap duduk manis di kamar saya, berkomentar macam-macam, tentang berbagai hal.
Fuh.
Well, saya percaya bahwa kritik—apapun dan dari siapapun—akan selalu berguna. Tapi saya juga percaya, ada banyak cara yang empatik—diantaranya, memilih waktu dan tempat yang tepat—untuk menyampaikannya. Dan saya kira—tanpa bermaksud defensive—mengkritik seseorang saat dia tengah demam tinggi bukanlah pilihan bijaksana. Namun dari sana, saya berdoa dalam hati "Semoga, saya nggak akan seperti tamu tadi, saat nanti saya harus mengkritik orang. Amin."
***
Seorang bayi terlahir tanpa petunjuk manual.
Tidak ada kertas petunjuk atau instruksi seperti kala kita membeli peralatan elektronik rumit di toko alat elektronik. Dengan ketiadaan manual inilah, setiap orangtua harus belajar dari nol tentang bayi mereka—demikian juga saya.
Beberapa bulan sebelum kedatangan Raihana, saya melakukan hal yang saya lakukan saat saya menjadi wartawan. Riset. Membaca buku. Browsing artikel di Google. Berbincang dan wawancara dengan para ibu muda. Semuanya demi menggali informasi sebanyak dan sedalam mungkin. Untuk kemudian, memilah-milah informasi tersebut, dan mencoba menerapkannya.
Masalahnya satu. Dengan banjir informasi yang saya punya, darimana saya tahu mana yang tepat buat saya dan Raihana? Padahal setiap pengalaman melahirkan, menyusui, membesarkan anak, adalah pengalaman personal. Dan—mengutip seorang kawan—karena setiap persona adalah unik, darimana saya bisa memutuskan mana yang terbaik untuk Raihana?
Misalnya saja, masalah menyusui. Dari buku parenting Inggris yang saya baca (berjudul The Secret of Baby Whisperer by Tracy Hogg), disarankan agar bayi dikenalkan pada rutinitas terstruktur—termasuk dalam hal menyusui. Disebutkan bahwa hendaknya bayi disusui tiap 2-3 jam sekali selama 45 menit, dan bukannya disusui kapanpun ia ingin—pendapat yang justru dianjurkan oleh bidan, para kawan, ibu, dan ibu mertua. Alasan Tracy, menyusui kapanpun si bayi ingin akan mendidiknya menjadi penuntut (argument ini bagi saya masih bisa diperdebatkan, karena saya kira, ada banyak hal lain yang mendukung seorang anak tumbuh menjadi penuntut. Selain itu, ada bayi yang suka makan, dan tidak). Jika orang-orang di sekitar saya menyarankan untuk menyusui secara bergantian antara dada kanan dan kiri, Tracy menulis bahwa hendaknya menyusui hanya di satu dada, untuk satu kali acara makan. Ini karena, ASI terdiri atas 3 bagian. Bagian pertama mayoritas terdiri atas air, bagian dua terdri atas karbohidrat, bagian tiga terdiri atas lemak. Dan—menurut Tracy—menyusui dengan berganti-ganti dada dalam satu kali acara makan, akan membuat si bayi tidak mendapat kandungan ASI secara utuh.
Itu baru masalah menyusui. Masih ada banyak informasi lain yang harus saya cari kebenarannya, referensinya—dan bukan hanya sekedar referensi berdasarkan mitos, tradisi, atau ucapan "Kata orang tua". Misalnya saja: tentang kebiasaan menimang-nimang bayi, sunat, tindik, penggunaan kipas angina, cukur rambut, dan masih banyak lagi. Saking banjirnya informasi yang saya punya—dan seringnya justru membuat saya panikan—suami bahkan sampai meminta saya untuk browsing apapun selain tentang bayi. "Baca-baca artikel di MP kek, chatting kek, nulis-nulis kek, tapi jangan banyak googling tentang bayi," ujarnya.
Saran yang coba saya tepati, setiap kali saya online.
***

Dalam salah satu sesi chatting saya bersama kawan saya, CP, saya sempat berseloroh bahwa punya bayi membuat kita belajar untuk multitasking—ini karena, saat chatting, saya melakukannya sambil melipati jemuran, sambil makan siang, sambil menulis, sambil mengawasi Raihana yang akan gumoh.
Dan kalau multitasking dulu saya lakukan di kantor untuk efisiensi waktu, yang mana akan saya gunakan sendiri, sekarang kondisinya berbeda. Di minggu-minggu pertama Raihana, semua waktu saya seolah terkuras untuk Raihana. Sungguh sulit rasanya buat saya untuk memiliki "me time" atau waktu pribadi—sampai-sampai saya sempat merasa, waktu pribadi saya hanyalah saat mandi. Sendirian di kamar mandi.
Ini tentu melahirkan tekanan tersendiri buat saya, yang terbiasa bebas punya waktu luang untuk membaca buku, menulis, berjalan-jalan, menonton televisi, atau melakukan aktivitas apapun yang saya sukai selama berjam-jam tanpa harus dihantui kekhawatiran apapun. Hilangnya "me time" secara drastic ini seolah membuat saya hilang identitas. Saya lupa siapa diri saya, apa yang saya suka lakukan sebelumnya, apa yang masih ingin saya capai, apa yang saya inginkan.
Tekanan itu makin parah, karena saya masih saja belum bisa membedakan jenis tangisan Raihana. Saya masih sulit membedakan tangisan saat ia lapar, lelah, bosan, atau ada gas di perutnya. Dan betapa factor kebutaan ini, ditambah lagi suara tangisan bayi yang melengking menjerit-jerit, sungguh sangat menguji kesabaran. Yang mana, seringnya saya gagal—sehingga ibu mertua, ibu, dan suami saya lah yang harus turun tangan.
Tekanan-tekanan inilah yang seringnya membuat langit saya mendung abu-abu tanpa cuaca. Seringkali saya merasa menjadi ibu terburuk di dunia. Dan dengan krisis identitas yang saya rasakan, saya merasa seolah saya bahkan gagal menjadi apapun.hal-hal inilah yang seringnya membuat saya hanya sanggup menatap langit-langit dengan kosong, atau menangis sampai mata sembab. Hanya satu kata untuk menggambarkannya: pathetic.
Disini, lagi dan lagi, saya sangat bersyukur akan kehadiran suami, sahabat, dan keluarga yang sangat mendukung kepulihan saya—baik secara fisik maupun mental. Sejak kepulangan ibu mertua, suami sayalah yang ambil alih memandikan Raihana (karena bekas jahitan saya masih nyeri, saya belum bisa memandikan Raihana dengan bak), dan membedongnya. Suami saya juga yang mencuci baju (saat si mbak cuti lebaran), mengganti popok Raihana saat ngompol malam-malam dan saya kelewat letih untuk menggantinya, sampai melakukan hal-hal kecil yang terlalu letih untuk saya kerjakan sendiri saat bekas jahitan terasa perih atau saat demam ASI—hal-hal kecil seperti meminumkan air putih atau susu dari sedotan, membantu bangun dari tempat tidur, mengambilkan barang remeh temeh, dll).
Setiap kali langit saya mulai mendung, merekalah yang menguatkan saya. Bang Ade misalnya, berujar "Yang aku kuatirkan justru karena kamu terobsesi menjadi ibu baik jadinya malah membebani kamu. You are going to be a good mother. Percaya deh. Ada trial dan errornya, pasti, tapi kamu akan jadi ibu yang baik. Tapi ingat, don't push youself too hard!".
Kali pertama mendengar pendapat Bang Ade ini, saya sontak bersikap defensive. "Ah, kata siapa, aku terobsesi?". Yang kemudian dijawab Bang Ade dengan "Ingat nggak, kamu menulis di buku tentang bagaimana kamu nanti akan membesarkan anak kamu. menurutku, itu indah betul, tapi jangan sedih ya kalau nanti di jalan ada banyak cobaannya. Percaya deh, you are going to be able to raise a very wonderful family ... Amin". Hal sama yang juga dikatakan Ain bahwa "Butuh waktu untuk menjadi ibu. Just want you to know, we love you".
***
Depresi bukan barang baru bagi saya.
Perubahan hormonal pasca melahirkan dan tekanan-tekanan tertentu membuat lalu lintas ramai di kepala saya kehilangan lampu lalu lintas pengaturnya. Semrawut. Apakah ini baby blues? Mungkin. Apakah ini hanya karena lagi-lagi kepala saya terlalu banyak berpikir? Mungkin juga.
Apapun itu, di tengah kesemrawutan ini, saya nyaris lupa kapan tepatnya mulai jatuh cinta pada Raihana. Mungkin saat dia tengah menyusu saya dengan lahapnya, dan mengeluarkan suara "Elek, elek, elek" (bukan "Glek, glek, glek"). Mungkin karena aroma tubuhnya yang demikian wanginya. Mungkin saat dia tengah tertidur dengan lelapnya, dengan bibir merahnya separo terbuka. Mungkin saat dia mulai menatap mata saya. Mungkin, saat dia tersenyum tiba-tiba, atau tertawa terkekeh-kekeh—entah dengan siapa.
Kapanpun itu, dan bagaimanapun cara Raihana membuat saya jatuh cinta, untuk pertama kalinya, saya merasa bertanggung jawab atas kestabilan emosi saya. Setiap kali merasa kepala saya mulai terlalu penuh dan lalu lintas di dalamnya mulai saling berebut klakson dengan ributnya, saya mulai mencari-cari kegiatan ringan untuk dikerjakan. Entah mencuci piring, entah berjalan-jalan di komplek, entah nonton dorama Korea, entah mendengarkan radio, entah chatting—apapun. Karena bekerja, melakukan sesuatu, membuat kepala saya lebih fokus pada pekerjaan yang saya lakukan, ketimbang negativitas yang menjurus pada baby blues syndrome. Setidaknya, kepala saya punya sesuatu untuk dipikirkan.
Saya mulai berusaha menghalau rasa berdosa meninggalkan Raihana, meski untuk pergi sebentar-sebentar. "Jangan ngerasa malu atau sungkan untuk minta orang lain gentian momong atau jagain. You come back healthier and happier mom. Dan itu yang penting," ujar kawan saya, CP, ibunda dari Satura Dasha Putra.
Saya masih saja sering pergi tidur dengan pikiran bahwa saya adalah ibu terburuk sedunia. Namun setidaknya, sekarang saya bisa bangun pagi dengan pikiran, bahwa hari ini, saya ingin belajar menjadi ibu yang baik untuk Raihana. Dan bertambahlah satu janji saya pada Raihana "Mungkin hari-hari kita nggak selalu berhiaskan pelangi warna-warni ya, Nak. Tapi Mama janji, Mama akan belajar jadi ibu yang baik. Dan Mama sayang kamu.."
I love Raihana Zahra Ramadhani.
***

7b.

Re: (ruang keluarga) mencintai raihana

Posted by: "Nursalam AR" nursalam.ar@gmail.com

Tue Oct 13, 2009 11:45 pm (PDT)



Saya selalu suka tulisan Retno, karena kerap bertutur dengan gaya mirip
Jhumpa Lahiri tentang kompleksitas psikologi manusia dan keribetan soal
peran hidup diri. Keren! Sampai-sampai saya dan istri, Yuni, bikin
tebak-tebakan: kira-kira apa ya yang bakal ditulis Retno pasca-kelahiran
anaknya?hehe...

Ya, menjadi orang tua sama seperti menjadi dewasa: tidak ada kamus atau buku
panduannya. Kadang kita jadi gamang, bukan karena kekurangan informasi tapi
saking banyaknya informasi yang didapat. Tapi, Retno betul, kita sendiri
yang harus pandai menyaring informasi.

Satu kesalahan fatal, yang kami lakukan, akibat tak cross-check informasi
dalam masa kehamilan adalah saat menuruti nasihat salah seorang tetangga
untuk pergi ke tukang urut agar kandungan Yuni yang kala itu berusia 5 bulan
diperbaiki posisinya. Saat itu posisi bayi agak menjorok ke bawah, nyaris di
bawah pusar -- yang kami takutkan ia meluncur keluar sebelum waktunya.
Ternyata justru,menurut dokter, itulah fase alamiah pergerakan bayi dalam
kandungan dan Yuni hanya perlu banyak rehat. Dan untunglah-- kendati sudah
dua kali ditangani tukang urut -- bayi kami tidak mengalami cacat apa-apa.
Karena, lagi-lagi kata bu dokter, banyak bayi mati dalam kandungan atau
cacat karena kandungan ibunya diurut demi "memperbaiki posisi bayi".
Alhamdulillah, Allah masih melindungi.

Btw, salut untuk Mas Catur yang berani pegang bayinya bahkan memandikan.
Saya sendiri baru pas Alham usia 2 bulan baru berani gendong. Selebihnya,
ibu mertua dan Yuni yang pegang peranan. Kebetulan, nyeri Yuni akibat luka
jahit hanya seminggu saja. Dengan mengonsumsi pil Binahong -- yang banyak
dijual shinse di Glodok dan terima kasih untuk Mbak Lia yang bersedia
dititipi:)) -- seharga Rp. 300 ribu untuk 1 paket (isi 3 pil), luka luar
karena jahitan operasi caesar yang biasanya bisa sampai berbulan-bulan baru
kering bisa sembuh dalam tempo 3 hari. Moga informasi ini bermanfaat untuk
para ibu dan calon ibu jika kelak harus menjalani operasi caesar.

Ok, Retno, kamu pasti akan jadi ibu terbaik kok bagi Raihana:). Insya
Allah. Ini bukan soal hasil namun soal ikhtiar. Tetap semangat ya,Bu!

Tabik,

Nursalam AR
- yang belum sempat jenguk Raihana Zahra Ramadhani yg "Humaira" -- berpipi
kemerah-merahan -

2009/10/14 punya_retno <punya_retno@yahoo.com>

>
>
> Mencintai Raihana
> Oleh Retnadi Nur'aini
>
> Percayakah Anda pada cinta pada pandangan pertama?
> Saya percaya. Saya percaya `love at first sight' itu ada.
> Tapi, saya tidak percaya itu bisa terjadi pada saya. Karena bagi saya,
> cinta bukan kata benda. Ia adalah kata kerja. Ia butuh proses. Ia butuh
> waktu. Proses itu sendiri meliputi pengenalan, adaptasi, komunikasi, trial
> and error yang ada kalanya tak terhingga, yang menguji tingkat kesabaran,
> yang menguji sampai sejauh mana kita bisa bertoleransi, bertenggang rasa
> akan perbedaan.
> Saya juga percaya, bahwa ada kalanya pertanda jatuh cinta bisa berupa
> hal-hal spektakuler. Bisa meledak seperti gempa bumi, bintang-bintang
> berbaris sejajar pada garis yang sama, para penari India keluar—entah dari
> mana—dan mulai menari dengan latar aneka musim di seluruh dunia.
> Hanya saja, saya percaya, bahwa itu tidak berlangsung selamanya. Ada
> kalanya langit cinta mendung keabuan, tanpa hiasan pelangi warna-warni. Ada
> waktunya gempa bumi mereda. Ada kalanya, api jatuh cinta padam.
> Dan karena bagi saya, cinta adalah kata kerja, maka saat ia tak lagi
> meledak seperti gempa bumi, saat itulah ia harus diperjuangkan. Di setiap
> harinya.
> Seperti itulah cara saya mencintai Raihana.
>
> ***
> Pertemuan mata pertama saya dengan Raihana terjadi pada hari Senin, 14
> September 2009, pukul 04.15 WIB. Kala itu, Bu bidan yang membantu proses
> kelahirannya meletakkan Raihana di atas dada saya, sementara Bu bidan mulai
> mengeluarkan plasenta dari perut saya.
> Saat itu, dengan berat 3,2 kg dan panjang 49cm, Raihana tampak begitu
> rapuh. Kulitnya masih berwarna merah keabuan, dengan rambut lebat yang
> diselipi selaput. Ia punya dua mata, dua telinga, sepuluh jari kaki, sepuluh
> jari tangan, satu hidung, dan satu bibir berwarna merah yang megap-megap.
> Sementara matanya yang masih buram, seolah-olah menatap mata saya.
> Untuk pertama kalinya, saya menyapanya "Assalamualaikum, halo Nak, kamu
> lho, yang kemarin sering nendang-nendang perut Mama. Ini Mama Retno, Nak.."
> Dan Raihana menjerit kencang sekali.
> ***
> Jujur, tatap mata pertama itu tak lantas membuat saya seketika jatuh cinta
> pada Raihana. Saat para tamu, kawan, dan saudara memuji betapa cantiknya
> dia, betapa putih kulitnya, betapa gembil pipinya, betapa menggemaskanya ia,
> saya cuma berucap syukur "Alhamdulillah" singkat, dan tersenyum simpul.
> Pikir saya dengan polosnya, semua bayi berwajah sama.
> Demikian juga saat saya pulang ke rumah. Ledakan kembang api jatuh cinta
> pada Raihana riuh mewarnai pelosok rumah kami. Mulai dari suami, ibu, bapak,
> ibu mertua, kakak, kakak ipar, keponakan, para murid les ibu saya, para tamu
> yang datang bagai tanpa henti, sampai pembantu kami. Semuanya menguarkan
> ekspresi cinta yang justru melahirkan tekanan tersendiri bagi saya.
> Karena jujur, saya belum mencintai Raihana sespektakuler itu. Dan
> pernyataan cinta orang-orang di sekitar saya yang demikian besarnya pada
> Raihana, seolah-olah menuntut saya untuk mencintai Raihana sespektakuler
> itu.
> Tuntutan ini makin menekan saya, saat banyak orang bertanya pada saya
> segala detil tentang Raihana. "Kenapa matanya belekan?", "Kenapa dia lebih
> suka miring ke kiri?", "Kenapa kukunya panjang sekali?", "Kenapa ada
> bercak-bercak kemerahan di kaki dan tangannya?"—seolah-olah, hanya karena
> saya melahirkannya, maka saya mendadak juga sekaligus menjadi ensiklopedi
> berjalan tentangnya.
> Belum lagi, para tamu yang hobi berkompetisi urusan anak. Well, saya selalu
> senang mendengarkan pengalaman orang yang memang ingin berbagi manfaat dan
> kebaikan. Hanya saja, ada sebagian orang yang bercerita dengan "Kalo saya
> tuh dulu.." dengan niatan murni untuk berkompetisi. Ada kompetisi siapa yang
> jahitannya paling sedikit. Ada kompetisi tentang siapa yang paling sakit
> merasa melahirkan. Ada kompetisi tentang siapa yang anaknya paling berat,
> paling panjang, paling anteng, paling putih, paling sehat—singkatnya,
> kompetisi aneh-aneh yang kini mulai masuk ke dalam ruang tamu saya, tanpa
> sempat saya pagari lebih dulu.
> Puncaknya adalah saat hari raya Idul Fitri, hari pertama. Saat itu, seorang
> tamu datang berkunjung. Karena saya sedang demam ASI, ia pun masuk ke kamar
> saya. Di sana, ia berkomentar macam-macam. Tentang saya yang saat itu
> kebetulan tidak menggunakan stagen. Tentang pentingnya minum jamu bersalin.
> Tentang ubun-ubun bayi yang kebetulan tidak saya tutupi kain. Tentang
> macam-macam hal.
> Sementara saya yang tengah terbaring lemas dengan tubuh demam tinggi dan
> dada bengkak, hanya mampu diam mendengarkan, sambil berdoa agar si tamu
> lekas pulang. Untuk membuat si tamu lekas pamit, saya bahkan sampai
> berpura-pura tidur. Namun si tamu tetap saja ajeg. Ia tetap duduk manis di
> kamar saya, berkomentar macam-macam, tentang berbagai hal.
> Fuh.
> Well, saya percaya bahwa kritik—apapun dan dari siapapun—akan selalu
> berguna. Tapi saya juga percaya, ada banyak cara yang empatik—diantaranya,
> memilih waktu dan tempat yang tepat—untuk menyampaikannya. Dan saya
> kira—tanpa bermaksud defensive—mengkritik seseorang saat dia tengah demam
> tinggi bukanlah pilihan bijaksana. Namun dari sana, saya berdoa dalam hati
> "Semoga, saya nggak akan seperti tamu tadi, saat nanti saya harus mengkritik
> orang. Amin."
> ***
> Seorang bayi terlahir tanpa petunjuk manual.
> Tidak ada kertas petunjuk atau instruksi seperti kala kita membeli
> peralatan elektronik rumit di toko alat elektronik. Dengan ketiadaan manual
> inilah, setiap orangtua harus belajar dari nol tentang bayi mereka—demikian
> juga saya.
> Beberapa bulan sebelum kedatangan Raihana, saya melakukan hal yang saya
> lakukan saat saya menjadi wartawan. Riset. Membaca buku. Browsing artikel di
> Google. Berbincang dan wawancara dengan para ibu muda. Semuanya demi
> menggali informasi sebanyak dan sedalam mungkin. Untuk kemudian,
> memilah-milah informasi tersebut, dan mencoba menerapkannya.
> Masalahnya satu. Dengan banjir informasi yang saya punya, darimana saya
> tahu mana yang tepat buat saya dan Raihana? Padahal setiap pengalaman
> melahirkan, menyusui, membesarkan anak, adalah pengalaman personal.
> Dan—mengutip seorang kawan—karena setiap persona adalah unik, darimana saya
> bisa memutuskan mana yang terbaik untuk Raihana?
> Misalnya saja, masalah menyusui. Dari buku parenting Inggris yang saya baca
> (berjudul The Secret of Baby Whisperer by Tracy Hogg), disarankan agar bayi
> dikenalkan pada rutinitas terstruktur—termasuk dalam hal menyusui.
> Disebutkan bahwa hendaknya bayi disusui tiap 2-3 jam sekali selama 45 menit,
> dan bukannya disusui kapanpun ia ingin—pendapat yang justru dianjurkan oleh
> bidan, para kawan, ibu, dan ibu mertua. Alasan Tracy, menyusui kapanpun si
> bayi ingin akan mendidiknya menjadi penuntut (argument ini bagi saya masih
> bisa diperdebatkan, karena saya kira, ada banyak hal lain yang mendukung
> seorang anak tumbuh menjadi penuntut. Selain itu, ada bayi yang suka makan,
> dan tidak). Jika orang-orang di sekitar saya menyarankan untuk menyusui
> secara bergantian antara dada kanan dan kiri, Tracy menulis bahwa hendaknya
> menyusui hanya di satu dada, untuk satu kali acara makan. Ini karena, ASI
> terdiri atas 3 bagian. Bagian pertama mayoritas terdiri atas air, bagian dua
> terdri atas karbohidrat, bagian tiga terdiri atas lemak. Dan—menurut
> Tracy—menyusui dengan berganti-ganti dada dalam satu kali acara makan, akan
> membuat si bayi tidak mendapat kandungan ASI secara utuh.
> Itu baru masalah menyusui. Masih ada banyak informasi lain yang harus saya
> cari kebenarannya, referensinya—dan bukan hanya sekedar referensi
> berdasarkan mitos, tradisi, atau ucapan "Kata orang tua". Misalnya saja:
> tentang kebiasaan menimang-nimang bayi, sunat, tindik, penggunaan kipas
> angina, cukur rambut, dan masih banyak lagi. Saking banjirnya informasi yang
> saya punya—dan seringnya justru membuat saya panikan—suami bahkan sampai
> meminta saya untuk browsing apapun selain tentang bayi. "Baca-baca artikel
> di MP kek, chatting kek, nulis-nulis kek, tapi jangan banyak googling
> tentang bayi," ujarnya.
> Saran yang coba saya tepati, setiap kali saya online.
> ***
>
> Dalam salah satu sesi chatting saya bersama kawan saya, CP, saya sempat
> berseloroh bahwa punya bayi membuat kita belajar untuk multitasking—ini
> karena, saat chatting, saya melakukannya sambil melipati jemuran, sambil
> makan siang, sambil menulis, sambil mengawasi Raihana yang akan gumoh.
> Dan kalau multitasking dulu saya lakukan di kantor untuk efisiensi waktu,
> yang mana akan saya gunakan sendiri, sekarang kondisinya berbeda. Di
> minggu-minggu pertama Raihana, semua waktu saya seolah terkuras untuk
> Raihana. Sungguh sulit rasanya buat saya untuk memiliki "me time" atau waktu
> pribadi—sampai-sampai saya sempat merasa, waktu pribadi saya hanyalah saat
> mandi. Sendirian di kamar mandi.
> Ini tentu melahirkan tekanan tersendiri buat saya, yang terbiasa bebas
> punya waktu luang untuk membaca buku, menulis, berjalan-jalan, menonton
> televisi, atau melakukan aktivitas apapun yang saya sukai selama berjam-jam
> tanpa harus dihantui kekhawatiran apapun. Hilangnya "me time" secara drastic
> ini seolah membuat saya hilang identitas. Saya lupa siapa diri saya, apa
> yang saya suka lakukan sebelumnya, apa yang masih ingin saya capai, apa yang
> saya inginkan.
> Tekanan itu makin parah, karena saya masih saja belum bisa membedakan jenis
> tangisan Raihana. Saya masih sulit membedakan tangisan saat ia lapar, lelah,
> bosan, atau ada gas di perutnya. Dan betapa factor kebutaan ini, ditambah
> lagi suara tangisan bayi yang melengking menjerit-jerit, sungguh sangat
> menguji kesabaran. Yang mana, seringnya saya gagal—sehingga ibu mertua, ibu,
> dan suami saya lah yang harus turun tangan.
> Tekanan-tekanan inilah yang seringnya membuat langit saya mendung abu-abu
> tanpa cuaca. Seringkali saya merasa menjadi ibu terburuk di dunia. Dan
> dengan krisis identitas yang saya rasakan, saya merasa seolah saya bahkan
> gagal menjadi apapun.hal-hal inilah yang seringnya membuat saya hanya
> sanggup menatap langit-langit dengan kosong, atau menangis sampai mata
> sembab. Hanya satu kata untuk menggambarkannya: pathetic.
> Disini, lagi dan lagi, saya sangat bersyukur akan kehadiran suami, sahabat,
> dan keluarga yang sangat mendukung kepulihan saya—baik secara fisik maupun
> mental. Sejak kepulangan ibu mertua, suami sayalah yang ambil alih
> memandikan Raihana (karena bekas jahitan saya masih nyeri, saya belum bisa
> memandikan Raihana dengan bak), dan membedongnya. Suami saya juga yang
> mencuci baju (saat si mbak cuti lebaran), mengganti popok Raihana saat
> ngompol malam-malam dan saya kelewat letih untuk menggantinya, sampai
> melakukan hal-hal kecil yang terlalu letih untuk saya kerjakan sendiri saat
> bekas jahitan terasa perih atau saat demam ASI—hal-hal kecil seperti
> meminumkan air putih atau susu dari sedotan, membantu bangun dari tempat
> tidur, mengambilkan barang remeh temeh, dll).
> Setiap kali langit saya mulai mendung, merekalah yang menguatkan saya. Bang
> Ade misalnya, berujar "Yang aku kuatirkan justru karena kamu terobsesi
> menjadi ibu baik jadinya malah membebani kamu. You are going to be a good
> mother. Percaya deh. Ada trial dan errornya, pasti, tapi kamu akan jadi ibu
> yang baik. Tapi ingat, don't push youself too hard!".
> Kali pertama mendengar pendapat Bang Ade ini, saya sontak bersikap
> defensive. "Ah, kata siapa, aku terobsesi?". Yang kemudian dijawab Bang Ade
> dengan "Ingat nggak, kamu menulis di buku tentang bagaimana kamu nanti akan
> membesarkan anak kamu. menurutku, itu indah betul, tapi jangan sedih ya
> kalau nanti di jalan ada banyak cobaannya. Percaya deh, you are going to be
> able to raise a very wonderful family ... Amin". Hal sama yang juga
> dikatakan Ain bahwa "Butuh waktu untuk menjadi ibu. Just want you to know,
> we love you".
> ***
> Depresi bukan barang baru bagi saya.
> Perubahan hormonal pasca melahirkan dan tekanan-tekanan tertentu membuat
> lalu lintas ramai di kepala saya kehilangan lampu lalu lintas pengaturnya.
> Semrawut. Apakah ini baby blues? Mungkin. Apakah ini hanya karena lagi-lagi
> kepala saya terlalu banyak berpikir? Mungkin juga.
> Apapun itu, di tengah kesemrawutan ini, saya nyaris lupa kapan tepatnya
> mulai jatuh cinta pada Raihana. Mungkin saat dia tengah menyusu saya dengan
> lahapnya, dan mengeluarkan suara "Elek, elek, elek" (bukan "Glek, glek,
> glek"). Mungkin karena aroma tubuhnya yang demikian wanginya. Mungkin saat
> dia tengah tertidur dengan lelapnya, dengan bibir merahnya separo terbuka.
> Mungkin saat dia mulai menatap mata saya. Mungkin, saat dia tersenyum
> tiba-tiba, atau tertawa terkekeh-kekeh—entah dengan siapa.
> Kapanpun itu, dan bagaimanapun cara Raihana membuat saya jatuh cinta, untuk
> pertama kalinya, saya merasa bertanggung jawab atas kestabilan emosi saya.
> Setiap kali merasa kepala saya mulai terlalu penuh dan lalu lintas di
> dalamnya mulai saling berebut klakson dengan ributnya, saya mulai
> mencari-cari kegiatan ringan untuk dikerjakan. Entah mencuci piring, entah
> berjalan-jalan di komplek, entah nonton dorama Korea, entah mendengarkan
> radio, entah chatting—apapun. Karena bekerja, melakukan sesuatu, membuat
> kepala saya lebih fokus pada pekerjaan yang saya lakukan, ketimbang
> negativitas yang menjurus pada baby blues syndrome. Setidaknya, kepala saya
> punya sesuatu untuk dipikirkan.
> Saya mulai berusaha menghalau rasa berdosa meninggalkan Raihana, meski
> untuk pergi sebentar-sebentar. "Jangan ngerasa malu atau sungkan untuk minta
> orang lain gentian momong atau jagain. You come back healthier and happier
> mom. Dan itu yang penting," ujar kawan saya, CP, ibunda dari Satura Dasha
> Putra.
> Saya masih saja sering pergi tidur dengan pikiran bahwa saya adalah ibu
> terburuk sedunia. Namun setidaknya, sekarang saya bisa bangun pagi dengan
> pikiran, bahwa hari ini, saya ingin belajar menjadi ibu yang baik untuk
> Raihana. Dan bertambahlah satu janji saya pada Raihana "Mungkin hari-hari
> kita nggak selalu berhiaskan pelangi warna-warni ya, Nak. Tapi Mama janji,
> Mama akan belajar jadi ibu yang baik. Dan Mama sayang kamu.."
> I love Raihana Zahra Ramadhani.
> ***
>
>
>

--
KENNIS IS MACHT, KARAKTER IS MORE
Knowledge is power (but) character is more
(kutipan buku "Dan Toch Mar" )

Nursalam AR
Translator & Writer
0813-10040723
021-92727391
www.nursalam.multiply.com
www.facebook.com/nursalam.ar
7c.

Re: (ruang keluarga) mencintai raihana

Posted by: "punya_retno" punya_retno@yahoo.com   punya_retno

Wed Oct 14, 2009 12:13 am (PDT)



alhamdulillah mas nur, thanks for reading ya :).
saya memang penggemar jhumpa lahiri, dan bermimpi bisa menulis seapik beliau yg meraih pulitzer utk buku interpreter of maladiesnya (yg mana, juga salah satu buku favorit saya sepanjang masa :) ).

butuh waktu utk menuliskan esai ini. krn butuh perenungan dan kesunyian, dr lalu lintas semrawut di kepala ini. dan, saya tidak ingin menuliskan bhw sy jatuh cinta pd anak sy, saat sy belum merasakan ikatan kuat terhadapnya :)

alhamdulillah, luka jahitan sy juga dah sembuh.dan sekarang dah bisa mandiin raihana lhooo, pake bak (yay!).

sekali lagi, thanks for reading ya. dan makasih utk doanya :)
pelukcium buat alham.

salam,

-retno-
ps; pipi raihana emang merah, apalagi kalo nangis, seluruh tubuhnya nerah. semerah tomat! hehehe

--- In sekolah-kehidupan@yahoogroups.com, Nursalam AR <nursalam.ar@...> wrote:
>
> Saya selalu suka tulisan Retno, karena kerap bertutur dengan gaya mirip
> Jhumpa Lahiri tentang kompleksitas psikologi manusia dan keribetan soal
> peran hidup diri. Keren! Sampai-sampai saya dan istri, Yuni, bikin
> tebak-tebakan: kira-kira apa ya yang bakal ditulis Retno pasca-kelahiran
> anaknya?hehe...
>
> Ya, menjadi orang tua sama seperti menjadi dewasa: tidak ada kamus atau buku
> panduannya. Kadang kita jadi gamang, bukan karena kekurangan informasi tapi
> saking banyaknya informasi yang didapat. Tapi, Retno betul, kita sendiri
> yang harus pandai menyaring informasi.
>
> Satu kesalahan fatal, yang kami lakukan, akibat tak cross-check informasi
> dalam masa kehamilan adalah saat menuruti nasihat salah seorang tetangga
> untuk pergi ke tukang urut agar kandungan Yuni yang kala itu berusia 5 bulan
> diperbaiki posisinya. Saat itu posisi bayi agak menjorok ke bawah, nyaris di
> bawah pusar -- yang kami takutkan ia meluncur keluar sebelum waktunya.
> Ternyata justru,menurut dokter, itulah fase alamiah pergerakan bayi dalam
> kandungan dan Yuni hanya perlu banyak rehat. Dan untunglah-- kendati sudah
> dua kali ditangani tukang urut -- bayi kami tidak mengalami cacat apa-apa.
> Karena, lagi-lagi kata bu dokter, banyak bayi mati dalam kandungan atau
> cacat karena kandungan ibunya diurut demi "memperbaiki posisi bayi".
> Alhamdulillah, Allah masih melindungi.
>
> Btw, salut untuk Mas Catur yang berani pegang bayinya bahkan memandikan.
> Saya sendiri baru pas Alham usia 2 bulan baru berani gendong. Selebihnya,
> ibu mertua dan Yuni yang pegang peranan. Kebetulan, nyeri Yuni akibat luka
> jahit hanya seminggu saja. Dengan mengonsumsi pil Binahong -- yang banyak
> dijual shinse di Glodok dan terima kasih untuk Mbak Lia yang bersedia
> dititipi:)) -- seharga Rp. 300 ribu untuk 1 paket (isi 3 pil), luka luar
> karena jahitan operasi caesar yang biasanya bisa sampai berbulan-bulan baru
> kering bisa sembuh dalam tempo 3 hari. Moga informasi ini bermanfaat untuk
> para ibu dan calon ibu jika kelak harus menjalani operasi caesar.
>
> Ok, Retno, kamu pasti akan jadi ibu terbaik kok bagi Raihana:). Insya
> Allah. Ini bukan soal hasil namun soal ikhtiar. Tetap semangat ya,Bu!
>
> Tabik,
>
> Nursalam AR
> - yang belum sempat jenguk Raihana Zahra Ramadhani yg "Humaira" -- berpipi
> kemerah-merahan -
>

7d.

Re: (ruang keluarga) mencintai raihana

Posted by: "asma_h_1999" asma_h_1999@yahoo.com   asma_h_1999

Wed Oct 14, 2009 12:18 am (PDT)



Dear Mama Retno

Don't burden your self to much Mama, enjoy it and the happy life will come to you.

Salam buat your beloved daughter yaa

As

--- In sekolah-kehidupan@yahoogroups.com, "punya_retno" <punya_retno@...> wrote:
>
> Mencintai Raihana
> Oleh Retnadi Nur'aini
>
> Percayakah Anda pada cinta pada pandangan pertama?
> Saya percaya. Saya percaya `love at first sight' itu ada.
> Tapi, saya tidak percaya itu bisa terjadi pada saya. Karena bagi saya, cinta bukan kata benda. Ia adalah kata kerja. Ia butuh proses. Ia butuh waktu. Proses itu sendiri meliputi pengenalan, adaptasi, komunikasi, trial and error yang ada kalanya tak terhingga, yang menguji tingkat kesabaran, yang menguji sampai sejauh mana kita bisa bertoleransi, bertenggang rasa akan perbedaan.
> Saya juga percaya, bahwa ada kalanya pertanda jatuh cinta bisa berupa hal-hal spektakuler. Bisa meledak seperti gempa bumi, bintang-bintang berbaris sejajar pada garis yang sama, para penari India keluar—entah dari mana—dan mulai menari dengan latar aneka musim di seluruh dunia.
> Hanya saja, saya percaya, bahwa itu tidak berlangsung selamanya. Ada kalanya langit cinta mendung keabuan, tanpa hiasan pelangi warna-warni. Ada waktunya gempa bumi mereda. Ada kalanya, api jatuh cinta padam.
> Dan karena bagi saya, cinta adalah kata kerja, maka saat ia tak lagi meledak seperti gempa bumi, saat itulah ia harus diperjuangkan. Di setiap harinya.
> Seperti itulah cara saya mencintai Raihana.
>
> ***
> Pertemuan mata pertama saya dengan Raihana terjadi pada hari Senin, 14 September 2009, pukul 04.15 WIB. Kala itu, Bu bidan yang membantu proses kelahirannya meletakkan Raihana di atas dada saya, sementara Bu bidan mulai mengeluarkan plasenta dari perut saya.
> Saat itu, dengan berat 3,2 kg dan panjang 49cm, Raihana tampak begitu rapuh. Kulitnya masih berwarna merah keabuan, dengan rambut lebat yang diselipi selaput. Ia punya dua mata, dua telinga, sepuluh jari kaki, sepuluh jari tangan, satu hidung, dan satu bibir berwarna merah yang megap-megap. Sementara matanya yang masih buram, seolah-olah menatap mata saya.
> Untuk pertama kalinya, saya menyapanya "Assalamualaikum, halo Nak, kamu lho, yang kemarin sering nendang-nendang perut Mama. Ini Mama Retno, Nak.."
> Dan Raihana menjerit kencang sekali.
> ***
> Jujur, tatap mata pertama itu tak lantas membuat saya seketika jatuh cinta pada Raihana. Saat para tamu, kawan, dan saudara memuji betapa cantiknya dia, betapa putih kulitnya, betapa gembil pipinya, betapa menggemaskanya ia, saya cuma berucap syukur "Alhamdulillah" singkat, dan tersenyum simpul. Pikir saya dengan polosnya, semua bayi berwajah sama.
> Demikian juga saat saya pulang ke rumah. Ledakan kembang api jatuh cinta pada Raihana riuh mewarnai pelosok rumah kami. Mulai dari suami, ibu, bapak, ibu mertua, kakak, kakak ipar, keponakan, para murid les ibu saya, para tamu yang datang bagai tanpa henti, sampai pembantu kami. Semuanya menguarkan ekspresi cinta yang justru melahirkan tekanan tersendiri bagi saya.
> Karena jujur, saya belum mencintai Raihana sespektakuler itu. Dan pernyataan cinta orang-orang di sekitar saya yang demikian besarnya pada Raihana, seolah-olah menuntut saya untuk mencintai Raihana sespektakuler itu.
> Tuntutan ini makin menekan saya, saat banyak orang bertanya pada saya segala detil tentang Raihana. "Kenapa matanya belekan?", "Kenapa dia lebih suka miring ke kiri?", "Kenapa kukunya panjang sekali?", "Kenapa ada bercak-bercak kemerahan di kaki dan tangannya?"—seolah-olah, hanya karena saya melahirkannya, maka saya mendadak juga sekaligus menjadi ensiklopedi berjalan tentangnya.
> Belum lagi, para tamu yang hobi berkompetisi urusan anak. Well, saya selalu senang mendengarkan pengalaman orang yang memang ingin berbagi manfaat dan kebaikan. Hanya saja, ada sebagian orang yang bercerita dengan "Kalo saya tuh dulu.." dengan niatan murni untuk berkompetisi. Ada kompetisi siapa yang jahitannya paling sedikit. Ada kompetisi tentang siapa yang paling sakit merasa melahirkan. Ada kompetisi tentang siapa yang anaknya paling berat, paling panjang, paling anteng, paling putih, paling sehat—singkatnya, kompetisi aneh-aneh yang kini mulai masuk ke dalam ruang tamu saya, tanpa sempat saya pagari lebih dulu.
> Puncaknya adalah saat hari raya Idul Fitri, hari pertama. Saat itu, seorang tamu datang berkunjung. Karena saya sedang demam ASI, ia pun masuk ke kamar saya. Di sana, ia berkomentar macam-macam. Tentang saya yang saat itu kebetulan tidak menggunakan stagen. Tentang pentingnya minum jamu bersalin. Tentang ubun-ubun bayi yang kebetulan tidak saya tutupi kain. Tentang macam-macam hal.
> Sementara saya yang tengah terbaring lemas dengan tubuh demam tinggi dan dada bengkak, hanya mampu diam mendengarkan, sambil berdoa agar si tamu lekas pulang. Untuk membuat si tamu lekas pamit, saya bahkan sampai berpura-pura tidur. Namun si tamu tetap saja ajeg. Ia tetap duduk manis di kamar saya, berkomentar macam-macam, tentang berbagai hal.
> Fuh.
> Well, saya percaya bahwa kritik—apapun dan dari siapapun—akan selalu berguna. Tapi saya juga percaya, ada banyak cara yang empatik—diantaranya, memilih waktu dan tempat yang tepat—untuk menyampaikannya. Dan saya kira—tanpa bermaksud defensive—mengkritik seseorang saat dia tengah demam tinggi bukanlah pilihan bijaksana. Namun dari sana, saya berdoa dalam hati "Semoga, saya nggak akan seperti tamu tadi, saat nanti saya harus mengkritik orang. Amin."
> ***
> Seorang bayi terlahir tanpa petunjuk manual.
> Tidak ada kertas petunjuk atau instruksi seperti kala kita membeli peralatan elektronik rumit di toko alat elektronik. Dengan ketiadaan manual inilah, setiap orangtua harus belajar dari nol tentang bayi mereka—demikian juga saya.
> Beberapa bulan sebelum kedatangan Raihana, saya melakukan hal yang saya lakukan saat saya menjadi wartawan. Riset. Membaca buku. Browsing artikel di Google. Berbincang dan wawancara dengan para ibu muda. Semuanya demi menggali informasi sebanyak dan sedalam mungkin. Untuk kemudian, memilah-milah informasi tersebut, dan mencoba menerapkannya.
> Masalahnya satu. Dengan banjir informasi yang saya punya, darimana saya tahu mana yang tepat buat saya dan Raihana? Padahal setiap pengalaman melahirkan, menyusui, membesarkan anak, adalah pengalaman personal. Dan—mengutip seorang kawan—karena setiap persona adalah unik, darimana saya bisa memutuskan mana yang terbaik untuk Raihana?
> Misalnya saja, masalah menyusui. Dari buku parenting Inggris yang saya baca (berjudul The Secret of Baby Whisperer by Tracy Hogg), disarankan agar bayi dikenalkan pada rutinitas terstruktur—termasuk dalam hal menyusui. Disebutkan bahwa hendaknya bayi disusui tiap 2-3 jam sekali selama 45 menit, dan bukannya disusui kapanpun ia ingin—pendapat yang justru dianjurkan oleh bidan, para kawan, ibu, dan ibu mertua. Alasan Tracy, menyusui kapanpun si bayi ingin akan mendidiknya menjadi penuntut (argument ini bagi saya masih bisa diperdebatkan, karena saya kira, ada banyak hal lain yang mendukung seorang anak tumbuh menjadi penuntut. Selain itu, ada bayi yang suka makan, dan tidak). Jika orang-orang di sekitar saya menyarankan untuk menyusui secara bergantian antara dada kanan dan kiri, Tracy menulis bahwa hendaknya menyusui hanya di satu dada, untuk satu kali acara makan. Ini karena, ASI terdiri atas 3 bagian. Bagian pertama mayoritas terdiri atas air, bagian dua terdri atas karbohidrat, bagian tiga terdiri atas lemak. Dan—menurut Tracy—menyusui dengan berganti-ganti dada dalam satu kali acara makan, akan membuat si bayi tidak mendapat kandungan ASI secara utuh.
> Itu baru masalah menyusui. Masih ada banyak informasi lain yang harus saya cari kebenarannya, referensinya—dan bukan hanya sekedar referensi berdasarkan mitos, tradisi, atau ucapan "Kata orang tua". Misalnya saja: tentang kebiasaan menimang-nimang bayi, sunat, tindik, penggunaan kipas angina, cukur rambut, dan masih banyak lagi. Saking banjirnya informasi yang saya punya—dan seringnya justru membuat saya panikan—suami bahkan sampai meminta saya untuk browsing apapun selain tentang bayi. "Baca-baca artikel di MP kek, chatting kek, nulis-nulis kek, tapi jangan banyak googling tentang bayi," ujarnya.
> Saran yang coba saya tepati, setiap kali saya online.
> ***
>
> Dalam salah satu sesi chatting saya bersama kawan saya, CP, saya sempat berseloroh bahwa punya bayi membuat kita belajar untuk multitasking—ini karena, saat chatting, saya melakukannya sambil melipati jemuran, sambil makan siang, sambil menulis, sambil mengawasi Raihana yang akan gumoh.
> Dan kalau multitasking dulu saya lakukan di kantor untuk efisiensi waktu, yang mana akan saya gunakan sendiri, sekarang kondisinya berbeda. Di minggu-minggu pertama Raihana, semua waktu saya seolah terkuras untuk Raihana. Sungguh sulit rasanya buat saya untuk memiliki "me time" atau waktu pribadi—sampai-sampai saya sempat merasa, waktu pribadi saya hanyalah saat mandi. Sendirian di kamar mandi.
> Ini tentu melahirkan tekanan tersendiri buat saya, yang terbiasa bebas punya waktu luang untuk membaca buku, menulis, berjalan-jalan, menonton televisi, atau melakukan aktivitas apapun yang saya sukai selama berjam-jam tanpa harus dihantui kekhawatiran apapun. Hilangnya "me time" secara drastic ini seolah membuat saya hilang identitas. Saya lupa siapa diri saya, apa yang saya suka lakukan sebelumnya, apa yang masih ingin saya capai, apa yang saya inginkan.
> Tekanan itu makin parah, karena saya masih saja belum bisa membedakan jenis tangisan Raihana. Saya masih sulit membedakan tangisan saat ia lapar, lelah, bosan, atau ada gas di perutnya. Dan betapa factor kebutaan ini, ditambah lagi suara tangisan bayi yang melengking menjerit-jerit, sungguh sangat menguji kesabaran. Yang mana, seringnya saya gagal—sehingga ibu mertua, ibu, dan suami saya lah yang harus turun tangan.
> Tekanan-tekanan inilah yang seringnya membuat langit saya mendung abu-abu tanpa cuaca. Seringkali saya merasa menjadi ibu terburuk di dunia. Dan dengan krisis identitas yang saya rasakan, saya merasa seolah saya bahkan gagal menjadi apapun.hal-hal inilah yang seringnya membuat saya hanya sanggup menatap langit-langit dengan kosong, atau menangis sampai mata sembab. Hanya satu kata untuk menggambarkannya: pathetic.
> Disini, lagi dan lagi, saya sangat bersyukur akan kehadiran suami, sahabat, dan keluarga yang sangat mendukung kepulihan saya—baik secara fisik maupun mental. Sejak kepulangan ibu mertua, suami sayalah yang ambil alih memandikan Raihana (karena bekas jahitan saya masih nyeri, saya belum bisa memandikan Raihana dengan bak), dan membedongnya. Suami saya juga yang mencuci baju (saat si mbak cuti lebaran), mengganti popok Raihana saat ngompol malam-malam dan saya kelewat letih untuk menggantinya, sampai melakukan hal-hal kecil yang terlalu letih untuk saya kerjakan sendiri saat bekas jahitan terasa perih atau saat demam ASI—hal-hal kecil seperti meminumkan air putih atau susu dari sedotan, membantu bangun dari tempat tidur, mengambilkan barang remeh temeh, dll).
> Setiap kali langit saya mulai mendung, merekalah yang menguatkan saya. Bang Ade misalnya, berujar "Yang aku kuatirkan justru karena kamu terobsesi menjadi ibu baik jadinya malah membebani kamu. You are going to be a good mother. Percaya deh. Ada trial dan errornya, pasti, tapi kamu akan jadi ibu yang baik. Tapi ingat, don't push youself too hard!".
> Kali pertama mendengar pendapat Bang Ade ini, saya sontak bersikap defensive. "Ah, kata siapa, aku terobsesi?". Yang kemudian dijawab Bang Ade dengan "Ingat nggak, kamu menulis di buku tentang bagaimana kamu nanti akan membesarkan anak kamu. menurutku, itu indah betul, tapi jangan sedih ya kalau nanti di jalan ada banyak cobaannya. Percaya deh, you are going to be able to raise a very wonderful family ... Amin". Hal sama yang juga dikatakan Ain bahwa "Butuh waktu untuk menjadi ibu. Just want you to know, we love you".
> ***
> Depresi bukan barang baru bagi saya.
> Perubahan hormonal pasca melahirkan dan tekanan-tekanan tertentu membuat lalu lintas ramai di kepala saya kehilangan lampu lalu lintas pengaturnya. Semrawut. Apakah ini baby blues? Mungkin. Apakah ini hanya karena lagi-lagi kepala saya terlalu banyak berpikir? Mungkin juga.
> Apapun itu, di tengah kesemrawutan ini, saya nyaris lupa kapan tepatnya mulai jatuh cinta pada Raihana. Mungkin saat dia tengah menyusu saya dengan lahapnya, dan mengeluarkan suara "Elek, elek, elek" (bukan "Glek, glek, glek"). Mungkin karena aroma tubuhnya yang demikian wanginya. Mungkin saat dia tengah tertidur dengan lelapnya, dengan bibir merahnya separo terbuka. Mungkin saat dia mulai menatap mata saya. Mungkin, saat dia tersenyum tiba-tiba, atau tertawa terkekeh-kekeh—entah dengan siapa.
> Kapanpun itu, dan bagaimanapun cara Raihana membuat saya jatuh cinta, untuk pertama kalinya, saya merasa bertanggung jawab atas kestabilan emosi saya. Setiap kali merasa kepala saya mulai terlalu penuh dan lalu lintas di dalamnya mulai saling berebut klakson dengan ributnya, saya mulai mencari-cari kegiatan ringan untuk dikerjakan. Entah mencuci piring, entah berjalan-jalan di komplek, entah nonton dorama Korea, entah mendengarkan radio, entah chatting—apapun. Karena bekerja, melakukan sesuatu, membuat kepala saya lebih fokus pada pekerjaan yang saya lakukan, ketimbang negativitas yang menjurus pada baby blues syndrome. Setidaknya, kepala saya punya sesuatu untuk dipikirkan.
> Saya mulai berusaha menghalau rasa berdosa meninggalkan Raihana, meski untuk pergi sebentar-sebentar. "Jangan ngerasa malu atau sungkan untuk minta orang lain gentian momong atau jagain. You come back healthier and happier mom. Dan itu yang penting," ujar kawan saya, CP, ibunda dari Satura Dasha Putra.
> Saya masih saja sering pergi tidur dengan pikiran bahwa saya adalah ibu terburuk sedunia. Namun setidaknya, sekarang saya bisa bangun pagi dengan pikiran, bahwa hari ini, saya ingin belajar menjadi ibu yang baik untuk Raihana. Dan bertambahlah satu janji saya pada Raihana "Mungkin hari-hari kita nggak selalu berhiaskan pelangi warna-warni ya, Nak. Tapi Mama janji, Mama akan belajar jadi ibu yang baik. Dan Mama sayang kamu.."
> I love Raihana Zahra Ramadhani.
> ***
>

7e.

Re: (ruang keluarga) mencintai raihana

Posted by: "bujang kumbang" bujangkumbang@yahoo.co.id   bujangkumbang

Wed Oct 14, 2009 1:40 am (PDT)



mengharu sekali...
benar2 keluar dari inner seorang ibu....
ibu banget!!
selamet ya Ibu muda yg sdh melahirkan buah cinta kalian berdua
afwan, yan Om Iyan lum bisa nengok adik Raihana yg cantik...
moga sehat selalu
amin!
yang ikut berbahagia.

--- Pada Rab, 14/10/09, Nursalam AR <nursalam.ar@gmail.com> menulis:

Dari: Nursalam AR <nursalam.ar@gmail.com>
Judul: Re: [sekolah-kehidupan] (ruang keluarga) mencintai raihana
Kepada: sekolah-kehidupan@yahoogroups.com
Cc: "Bu CaturCatriks" <punya_retno@yahoo.com>
Tanggal: Rabu, 14 Oktober, 2009, 1:45 PM

 

Saya selalu suka tulisan Retno, karena kerap bertutur dengan gaya mirip Jhumpa Lahiri tentang kompleksitas psikologi manusia dan keribetan soal peran hidup diri. Keren! Sampai-sampai saya dan istri, Yuni, bikin tebak-tebakan: kira-kira apa ya yang bakal ditulis Retno pasca-kelahiran anaknya?hehe. ..

Ya, menjadi orang tua sama seperti menjadi dewasa: tidak ada kamus atau buku panduannya. Kadang kita jadi gamang, bukan karena kekurangan informasi tapi saking banyaknya informasi yang didapat. Tapi, Retno betul, kita sendiri yang harus pandai menyaring informasi.

Satu kesalahan fatal, yang kami lakukan, akibat tak cross-check informasi dalam masa kehamilan adalah saat menuruti nasihat salah seorang tetangga untuk pergi ke tukang urut agar kandungan Yuni yang kala itu berusia 5 bulan diperbaiki posisinya. Saat itu posisi bayi agak menjorok ke bawah, nyaris di bawah pusar -- yang kami takutkan ia meluncur keluar sebelum waktunya. Ternyata justru,menurut dokter, itulah fase alamiah pergerakan bayi dalam kandungan dan Yuni hanya perlu banyak rehat. Dan untunglah-- kendati sudah dua kali ditangani tukang urut -- bayi kami tidak mengalami cacat apa-apa. Karena, lagi-lagi kata bu dokter, banyak bayi mati dalam kandungan atau cacat karena kandungan ibunya diurut demi "memperbaiki posisi bayi". Alhamdulillah, Allah masih melindungi.

Btw, salut untuk Mas Catur yang berani pegang bayinya bahkan memandikan. Saya sendiri baru pas Alham usia 2 bulan baru berani gendong. Selebihnya, ibu mertua dan Yuni yang pegang peranan. Kebetulan, nyeri Yuni akibat luka jahit hanya seminggu saja. Dengan mengonsumsi pil Binahong -- yang banyak dijual shinse di Glodok dan terima kasih untuk Mbak Lia yang bersedia dititipi:)) -- seharga Rp. 300 ribu untuk 1 paket (isi 3 pil), luka luar karena jahitan operasi caesar yang biasanya bisa sampai berbulan-bulan baru kering bisa sembuh dalam tempo 3 hari. Moga informasi ini bermanfaat untuk para ibu dan calon ibu jika kelak harus menjalani operasi caesar.

Ok, Retno, kamu pasti akan jadi ibu terbaik kok bagi Raihana:).  Insya Allah. Ini bukan soal hasil namun soal ikhtiar. Tetap semangat ya,Bu!

Tabik,

Nursalam AR

- yang belum sempat jenguk Raihana Zahra Ramadhani yg "Humaira" -- berpipi kemerah-merahan -

2009/10/14 punya_retno <punya_retno@ yahoo.com>

 

Mencintai Raihana

Oleh Retnadi Nur'aini

Percayakah Anda pada cinta pada pandangan pertama?

Saya percaya. Saya percaya `love at first sight' itu ada.

Tapi, saya tidak percaya itu bisa terjadi pada saya. Karena bagi saya, cinta bukan kata benda. Ia adalah kata kerja. Ia butuh proses. Ia butuh waktu. Proses itu sendiri meliputi pengenalan, adaptasi, komunikasi, trial and error yang ada kalanya tak terhingga, yang menguji tingkat kesabaran, yang menguji sampai sejauh mana kita bisa bertoleransi, bertenggang rasa akan perbedaan.

Saya juga percaya, bahwa ada kalanya pertanda jatuh cinta bisa berupa hal-hal spektakuler. Bisa meledak seperti gempa bumi, bintang-bintang berbaris sejajar pada garis yang sama, para penari India keluar-entah dari mana-dan mulai menari dengan latar aneka musim di seluruh dunia.

Hanya saja, saya percaya, bahwa itu tidak berlangsung selamanya. Ada kalanya langit cinta mendung keabuan, tanpa hiasan pelangi warna-warni. Ada waktunya gempa bumi mereda. Ada kalanya, api jatuh cinta padam.

Dan karena bagi saya, cinta adalah kata kerja, maka saat ia tak lagi meledak seperti gempa bumi, saat itulah ia harus diperjuangkan. Di setiap harinya.

Seperti itulah cara saya mencintai Raihana.

***

Pertemuan mata pertama saya dengan Raihana terjadi pada hari Senin, 14 September 2009, pukul 04.15 WIB. Kala itu, Bu bidan yang membantu proses kelahirannya meletakkan Raihana di atas dada saya, sementara Bu bidan mulai mengeluarkan plasenta dari perut saya.

Saat itu, dengan berat 3,2 kg dan panjang 49cm, Raihana tampak begitu rapuh. Kulitnya masih berwarna merah keabuan, dengan rambut lebat yang diselipi selaput. Ia punya dua mata, dua telinga, sepuluh jari kaki, sepuluh jari tangan, satu hidung, dan satu bibir berwarna merah yang megap-megap. Sementara matanya yang masih buram, seolah-olah menatap mata saya.

Untuk pertama kalinya, saya menyapanya "Assalamualaikum, halo Nak, kamu lho, yang kemarin sering nendang-nendang perut Mama. Ini Mama Retno, Nak.."

Dan Raihana menjerit kencang sekali.

***

Jujur, tatap mata pertama itu tak lantas membuat saya seketika jatuh cinta pada Raihana. Saat para tamu, kawan, dan saudara memuji betapa cantiknya dia, betapa putih kulitnya, betapa gembil pipinya, betapa menggemaskanya ia, saya cuma berucap syukur "Alhamdulillah" singkat, dan tersenyum simpul. Pikir saya dengan polosnya, semua bayi berwajah sama.

Demikian juga saat saya pulang ke rumah. Ledakan kembang api jatuh cinta pada Raihana riuh mewarnai pelosok rumah kami. Mulai dari suami, ibu, bapak, ibu mertua, kakak, kakak ipar, keponakan, para murid les ibu saya, para tamu yang datang bagai tanpa henti, sampai pembantu kami. Semuanya menguarkan ekspresi cinta yang justru melahirkan tekanan tersendiri bagi saya.

Karena jujur, saya belum mencintai Raihana sespektakuler itu. Dan pernyataan cinta orang-orang di sekitar saya yang demikian besarnya pada Raihana, seolah-olah menuntut saya untuk mencintai Raihana sespektakuler itu.

Tuntutan ini makin menekan saya, saat banyak orang bertanya pada saya segala detil tentang Raihana. "Kenapa matanya belekan?", "Kenapa dia lebih suka miring ke kiri?", "Kenapa kukunya panjang sekali?", "Kenapa ada bercak-bercak kemerahan di kaki dan tangannya?"-seolah-olah, hanya karena saya melahirkannya, maka saya mendadak juga sekaligus menjadi ensiklopedi berjalan tentangnya.

Belum lagi, para tamu yang hobi berkompetisi urusan anak. Well, saya selalu senang mendengarkan pengalaman orang yang memang ingin berbagi manfaat dan kebaikan. Hanya saja, ada sebagian orang yang bercerita dengan "Kalo saya tuh dulu.." dengan niatan murni untuk berkompetisi. Ada kompetisi siapa yang jahitannya paling sedikit. Ada kompetisi tentang siapa yang paling sakit merasa melahirkan. Ada kompetisi tentang siapa yang anaknya paling berat, paling panjang, paling anteng, paling putih, paling sehat-singkatnya, kompetisi aneh-aneh yang kini mulai masuk ke dalam ruang tamu saya, tanpa sempat saya pagari lebih dulu.

Puncaknya adalah saat hari raya Idul Fitri, hari pertama. Saat itu, seorang tamu datang berkunjung. Karena saya sedang demam ASI, ia pun masuk ke kamar saya. Di sana, ia berkomentar macam-macam. Tentang saya yang saat itu kebetulan tidak menggunakan stagen. Tentang pentingnya minum jamu bersalin. Tentang ubun-ubun bayi yang kebetulan tidak saya tutupi kain. Tentang macam-macam hal.

Sementara saya yang tengah terbaring lemas dengan tubuh demam tinggi dan dada bengkak, hanya mampu diam mendengarkan, sambil berdoa agar si tamu lekas pulang. Untuk membuat si tamu lekas pamit, saya bahkan sampai berpura-pura tidur. Namun si tamu tetap saja ajeg. Ia tetap duduk manis di kamar saya, berkomentar macam-macam, tentang berbagai hal.

Fuh.

Well, saya percaya bahwa kritik-apapun dan dari siapapun-akan selalu berguna. Tapi saya juga percaya, ada banyak cara yang empatik-diantaranya, memilih waktu dan tempat yang tepat-untuk menyampaikannya. Dan saya kira-tanpa bermaksud defensive-mengkritik seseorang saat dia tengah demam tinggi bukanlah pilihan bijaksana. Namun dari sana, saya berdoa dalam hati "Semoga, saya nggak akan seperti tamu tadi, saat nanti saya harus mengkritik orang. Amin."

***

Seorang bayi terlahir tanpa petunjuk manual.

Tidak ada kertas petunjuk atau instruksi seperti kala kita membeli peralatan elektronik rumit di toko alat elektronik. Dengan ketiadaan manual inilah, setiap orangtua harus belajar dari nol tentang bayi mereka-demikian juga saya.

Beberapa bulan sebelum kedatangan Raihana, saya melakukan hal yang saya lakukan saat saya menjadi wartawan. Riset. Membaca buku. Browsing artikel di Google. Berbincang dan wawancara dengan para ibu muda. Semuanya demi menggali informasi sebanyak dan sedalam mungkin. Untuk kemudian, memilah-milah informasi tersebut, dan mencoba menerapkannya.

Masalahnya satu. Dengan banjir informasi yang saya punya, darimana saya tahu mana yang tepat buat saya dan Raihana? Padahal setiap pengalaman melahirkan, menyusui, membesarkan anak, adalah pengalaman personal. Dan-mengutip seorang kawan-karena setiap persona adalah unik, darimana saya bisa memutuskan mana yang terbaik untuk Raihana?

Misalnya saja, masalah menyusui. Dari buku parenting Inggris yang saya baca (berjudul The Secret of Baby Whisperer by Tracy Hogg), disarankan agar bayi dikenalkan pada rutinitas terstruktur-termasuk dalam hal menyusui. Disebutkan bahwa hendaknya bayi disusui tiap 2-3 jam sekali selama 45 menit, dan bukannya disusui kapanpun ia ingin-pendapat yang justru dianjurkan oleh bidan, para kawan, ibu, dan ibu mertua. Alasan Tracy, menyusui kapanpun si bayi ingin akan mendidiknya menjadi penuntut (argument ini bagi saya masih bisa diperdebatkan, karena saya kira, ada banyak hal lain yang mendukung seorang anak tumbuh menjadi penuntut. Selain itu, ada bayi yang suka makan, dan tidak). Jika orang-orang di sekitar saya menyarankan untuk menyusui secara bergantian antara dada kanan dan kiri, Tracy menulis bahwa hendaknya menyusui hanya di satu dada, untuk satu kali acara makan. Ini karena, ASI terdiri atas 3 bagian. Bagian pertama mayoritas terdiri atas air,
bagian dua terdri atas karbohidrat, bagian tiga terdiri atas lemak. Dan-menurut Tracy-menyusui dengan berganti-ganti dada dalam satu kali acara makan, akan membuat si bayi tidak mendapat kandungan ASI secara utuh.

Itu baru masalah menyusui. Masih ada banyak informasi lain yang harus saya cari kebenarannya, referensinya- dan bukan hanya sekedar referensi berdasarkan mitos, tradisi, atau ucapan "Kata orang tua". Misalnya saja: tentang kebiasaan menimang-nimang bayi, sunat, tindik, penggunaan kipas angina, cukur rambut, dan masih banyak lagi. Saking banjirnya informasi yang saya punya-dan seringnya justru membuat saya panikan-suami bahkan sampai meminta saya untuk browsing apapun selain tentang bayi. "Baca-baca artikel di MP kek, chatting kek, nulis-nulis kek, tapi jangan banyak googling tentang bayi," ujarnya.

Saran yang coba saya tepati, setiap kali saya online.

***

Dalam salah satu sesi chatting saya bersama kawan saya, CP, saya sempat berseloroh bahwa punya bayi membuat kita belajar untuk multitasking- ini karena, saat chatting, saya melakukannya sambil melipati jemuran, sambil makan siang, sambil menulis, sambil mengawasi Raihana yang akan gumoh.

Dan kalau multitasking dulu saya lakukan di kantor untuk efisiensi waktu, yang mana akan saya gunakan sendiri, sekarang kondisinya berbeda. Di minggu-minggu pertama Raihana, semua waktu saya seolah terkuras untuk Raihana. Sungguh sulit rasanya buat saya untuk memiliki "me time" atau waktu pribadi-sampai- sampai saya sempat merasa, waktu pribadi saya hanyalah saat mandi. Sendirian di kamar mandi.

Ini tentu melahirkan tekanan tersendiri buat saya, yang terbiasa bebas punya waktu luang untuk membaca buku, menulis, berjalan-jalan, menonton televisi, atau melakukan aktivitas apapun yang saya sukai selama berjam-jam tanpa harus dihantui kekhawatiran apapun. Hilangnya "me time" secara drastic ini seolah membuat saya hilang identitas. Saya lupa siapa diri saya, apa yang saya suka lakukan sebelumnya, apa yang masih ingin saya capai, apa yang saya inginkan.

Tekanan itu makin parah, karena saya masih saja belum bisa membedakan jenis tangisan Raihana. Saya masih sulit membedakan tangisan saat ia lapar, lelah, bosan, atau ada gas di perutnya. Dan betapa factor kebutaan ini, ditambah lagi suara tangisan bayi yang melengking menjerit-jerit, sungguh sangat menguji kesabaran. Yang mana, seringnya saya gagal-sehingga ibu mertua, ibu, dan suami saya lah yang harus turun tangan.

Tekanan-tekanan inilah yang seringnya membuat langit saya mendung abu-abu tanpa cuaca. Seringkali saya merasa menjadi ibu terburuk di dunia. Dan dengan krisis identitas yang saya rasakan, saya merasa seolah saya bahkan gagal menjadi apapun.hal-hal inilah yang seringnya membuat saya hanya sanggup menatap langit-langit dengan kosong, atau menangis sampai mata sembab. Hanya satu kata untuk menggambarkannya: pathetic.

Disini, lagi dan lagi, saya sangat bersyukur akan kehadiran suami, sahabat, dan keluarga yang sangat mendukung kepulihan saya-baik secara fisik maupun mental. Sejak kepulangan ibu mertua, suami sayalah yang ambil alih memandikan Raihana (karena bekas jahitan saya masih nyeri, saya belum bisa memandikan Raihana dengan bak), dan membedongnya. Suami saya juga yang mencuci baju (saat si mbak cuti lebaran), mengganti popok Raihana saat ngompol malam-malam dan saya kelewat letih untuk menggantinya, sampai melakukan hal-hal kecil yang terlalu letih untuk saya kerjakan sendiri saat bekas jahitan terasa perih atau saat demam ASI-hal-hal kecil seperti meminumkan air putih atau susu dari sedotan, membantu bangun dari tempat tidur, mengambilkan barang remeh temeh, dll).

Setiap kali langit saya mulai mendung, merekalah yang menguatkan saya. Bang Ade misalnya, berujar "Yang aku kuatirkan justru karena kamu terobsesi menjadi ibu baik jadinya malah membebani kamu. You are going to be a good mother. Percaya deh. Ada trial dan errornya, pasti, tapi kamu akan jadi ibu yang baik. Tapi ingat, don't push youself too hard!".

Kali pertama mendengar pendapat Bang Ade ini, saya sontak bersikap defensive. "Ah, kata siapa, aku terobsesi?". Yang kemudian dijawab Bang Ade dengan "Ingat nggak, kamu menulis di buku tentang bagaimana kamu nanti akan membesarkan anak kamu. menurutku, itu indah betul, tapi jangan sedih ya kalau nanti di jalan ada banyak cobaannya. Percaya deh, you are going to be able to raise a very wonderful family ... Amin". Hal sama yang juga dikatakan Ain bahwa "Butuh waktu untuk menjadi ibu. Just want you to know, we love you".

***

Depresi bukan barang baru bagi saya.

Perubahan hormonal pasca melahirkan dan tekanan-tekanan tertentu membuat lalu lintas ramai di kepala saya kehilangan lampu lalu lintas pengaturnya. Semrawut. Apakah ini baby blues? Mungkin. Apakah ini hanya karena lagi-lagi kepala saya terlalu banyak berpikir? Mungkin juga.

Apapun itu, di tengah kesemrawutan ini, saya nyaris lupa kapan tepatnya mulai jatuh cinta pada Raihana. Mungkin saat dia tengah menyusu saya dengan lahapnya, dan mengeluarkan suara "Elek, elek, elek" (bukan "Glek, glek, glek"). Mungkin karena aroma tubuhnya yang demikian wanginya. Mungkin saat dia tengah tertidur dengan lelapnya, dengan bibir merahnya separo terbuka. Mungkin saat dia mulai menatap mata saya. Mungkin, saat dia tersenyum tiba-tiba, atau tertawa terkekeh-kekeh- entah dengan siapa.

Kapanpun itu, dan bagaimanapun cara Raihana membuat saya jatuh cinta, untuk pertama kalinya, saya merasa bertanggung jawab atas kestabilan emosi saya. Setiap kali merasa kepala saya mulai terlalu penuh dan lalu lintas di dalamnya mulai saling berebut klakson dengan ributnya, saya mulai mencari-cari kegiatan ringan untuk dikerjakan. Entah mencuci piring, entah berjalan-jalan di komplek, entah nonton dorama Korea, entah mendengarkan radio, entah chatting-apapun. Karena bekerja, melakukan sesuatu, membuat kepala saya lebih fokus pada pekerjaan yang saya lakukan, ketimbang negativitas yang menjurus pada baby blues syndrome. Setidaknya, kepala saya punya sesuatu untuk dipikirkan.

Saya mulai berusaha menghalau rasa berdosa meninggalkan Raihana, meski untuk pergi sebentar-sebentar. "Jangan ngerasa malu atau sungkan untuk minta orang lain gentian momong atau jagain. You come back healthier and happier mom. Dan itu yang penting," ujar kawan saya, CP, ibunda dari Satura Dasha Putra.

Saya masih saja sering pergi tidur dengan pikiran bahwa saya adalah ibu terburuk sedunia. Namun setidaknya, sekarang saya bisa bangun pagi dengan pikiran, bahwa hari ini, saya ingin belajar menjadi ibu yang baik untuk Raihana. Dan bertambahlah satu janji saya pada Raihana "Mungkin hari-hari kita nggak selalu berhiaskan pelangi warna-warni ya, Nak. Tapi Mama janji, Mama akan belajar jadi ibu yang baik. Dan Mama sayang kamu.."

I love Raihana Zahra Ramadhani.

***














--
KENNIS IS MACHT, KARAKTER IS MORE
Knowledge is power (but) character is more
(kutipan buku "Dan Toch Mar" )

Nursalam AR
Translator & Writer

0813-10040723
021-92727391
www.nursalam. multiply. com
www.facebook. com/nursalam. ar











__________________________________________________________
Dapatkan alamat Email baru Anda!
Dapatkan nama yang selalu Anda inginkan sebelum diambil orang lain!
http://mail.promotions.yahoo.com/newdomains/id/
8.

DICARI!! relawan SUMBAR

Posted by: "azti arlina" its_azti@yahoo.com   its_azti

Tue Oct 13, 2009 11:45 pm (PDT)




bismillah..

insya allah saya dan rekan2 akan berangkat ke Padang, untuk membantu korban gempa khususnya anak-anak yang terlantar disana..

barangkali ada beberapa rekan dan sahabat yang ingin ikut berkontribusi juga :) yang ingin ikut berangkat bisa ikut daftar disini

bagi yang tidak bisa.. barang kali ingin ikut berkontribusi dengan harta..
bisa sisihkan sedikit tabungan untuk anak-anak korban gempa..
kebetulan kami membuat paket PINTAR CERIA,

dengan menyumbang RP.20.000,- maka berarti Anda akan turut membantu mereka bisa kembali belajar dan bersekolah seperti kita disini. (lebih dari rp.20.000 alhamdulillah..
:)

sumbangan bisa ditransfer di rekening berikut :

Bank Muamalat nomer rekening 902 5965 399 a.n. Silvia NoviyantiBNI Cab. Plumpang nomer rekening 01 44 67 2220 a.n Azti ArlinaBank Mandiri nomer rekening 120 00 0641710 4 a.n. Azti ArlinaBCA nomer rekening 095 256 7240 a.n. M. Fahmi FauziBSM nomer rekening 212 700 7141 a.n. M. Fahmi Fauzii
(setelah transfer ke rekening di atas, silakan konfirm ke
0852 1383 1636)sebelumnya saya sampaikan banyak terima kasih. semoga bisa meenjadi amal kita di akhirta kelak.

info lengkap bisa lihat disini FORUM INDONESIA MUDA

TERIMA KASIH (mohon bantu sebarkan)

Salam,
aZti aRlina
0857-15666976
0813-81850500

http://noerbutikmuslim.com/
http://astynich.multiply.com/

Recent Activity
Visit Your Group
Share Photos

Put your favorite

photos and

more online.

Yahoo! Groups

Mom Power

Find wholesome recipes

and more. Go Moms Go!

Yahoo! Groups

Small Business Group

A community for

small business owners

Need to Reply?

Click one of the "Reply" links to respond to a specific message in the Daily Digest.

Create New Topic | Visit Your Group on the Web

Tidak ada komentar: