Kamis, 15 Oktober 2009

[sekolah-kehidupan] Digest Number 2846

sekolah-kehidupan

Messages In This Digest (23 Messages)

1a.
(Catcil) Kesempatan Itu Tak Datang Kedua Kali, Masa Seh? From: fiyan arjun
1b.
(Catcil) Kesempatan Itu Tak Datang Kedua Kali, Masa Seh? From: bujang kumbang
2a.
[Catcil] I Feel Lucky Being A Mother From: Yunia Ningrum
2b.
Re: [Catcil] I Feel Lucky Being A Mother From: punya_retno
3a.
[Catcil] Percakapanku Dengan Seekor Kucing From: Yunia Ningrum
3b.
Re: [Catcil] Percakapanku Dengan Seekor Kucing From: Hadian Febrianto
3c.
Re: [Catcil] Percakapanku Dengan Seekor Kucing From: Nia Robie'
3d.
Re: [Catcil] Percakapanku Dengan Seekor Kucing From: Siwi LH
4.
[Puisi] Kamu Memang Aneh! From: deesiey
5a.
Re: (ruang keluarga) mencintai raihana From: punya_retno
5b.
Re: (ruang keluarga) mencintai raihana From: siril_wafa
5c.
Re: (ruang keluarga) mencintai raihana From: Maryulisman Chaniago
5d.
Re: (ruang keluarga) mencintai raihana From: Ain Nisa Oktarinda
5e.
Re: (ruang keluarga) mencintai raihana From: punya_retno
5f.
Re: (ruang keluarga) mencintai raihana From: Novi Khansa
5g.
Re: (ruang keluarga) mencintai raihana From: punya_retno
6.
(intermezzo) APA YANG KAMU KATAKAN BILA NANTI BERTEMU MIYABI? From: bujang kumbang
7.
(ruang keluarga) Gagal Sebagai Ibu dan Dicurangi Pembantu From: Indarwati Indarpati
8a.
(Resensi) Perahu Kertas Karya "Dee" From: Yons Achmad
8b.
Re: (Resensi) Perahu Kertas Karya "Dee" From: asma_h_1999
9.
[Ruang Baca] Mengenang Ketulusan Seekor Kucing From: kidishom
10a.
Re: (lonceng) selamat atas lahirnya putri pertama taufik&diyah From: INDARWATI
11.
[etalase] Sebuah Persembahan Dari Hati, Untuk Cinta dan Kemanusiaan From: novi khansa'

Messages

1a.

(Catcil) Kesempatan Itu Tak Datang Kedua Kali, Masa Seh?

Posted by: "fiyan arjun" fiyanarjun@gmail.com

Wed Oct 14, 2009 7:31 am (PDT)



*Kesempatan Itu Tak Datang Kedua Kali, Masa Seh?*

* *

*Sebagian orang mengatakan kesempatan hanya datang satu kali. Itu tidak
benar.Kesempatan selalu datang, tetapi Anda harus siap menanggapinya. (Louis
L'amour)***

Seminggu lalu gue kedatangan tamu. Tak lain tamu yang datang ke rumah gue
itu adalah kawan karib gue serta kawan seperjuangan gue dalam sebuah
halaqah.

Dengan menggunakan mio kawan gue pun akhirnya datang ke rumah untuk
memberitahukan bahwa dia menerima dan mendapatkan (*voucher*) beasiswa dari
tempat dia mengajar di Perguruan Tinggi Swasta. Memang kawan gue itu
profesinya saat ini menjadi dosen *honerer* di tempat dia mengajar, mata
kuliah Bahasa Inggris I dan II.

Dan ternyata beasiswa itu di tawari ke diri gue. Beasiswa untuk bagi
mahasiswa (kaum dhuafa—anggap saja begitu. Karena gue lebih senang disebut
kaum dhuafa daripada kaum sok gaya) yang mau melanjutkan kuliah (lagi). Dan
beasiswa itu memberikan fasilitas beberapa potongan—yang menurut gue lumayan
menggiurkan. Tidak seperti biasanya. Biaya regular, biaya semestinya!

"Kapan lagi Yan ini kesempatan lu untuk kuliah lagi," ujar kawan gue ketika
bertandang ke rumah gue sambil lebih lanjut menerangi gue panjang lebar
tentang beasiswa. Beasiswa bagi mahasiswa yang mau kuliah lagi—yang
sebelumnya kawan gue telepon lebih dahulu.

Gue yang mendengar kabar berita seperti itu antara senang dan pasrah. Senang
karena dapat beasiswa yang lumayan menggiurkan dan juga memang cita-cita gue
sejak dulu. Ingin kuliah lagi—dan sebelumnya gue pernah mengenyam kuliah.
Hanya menyelesaikan Pendidikan Diploma Satu saja. Itu pun gue dapat karena
beasiswa juga.

Pasrah? Karena melihat kondisi gue—dan pada saat itu memang *timing*-nya
tidak tepat. Lagi tidak ada uang untuk mencukupinya. Begitu pun orang rumah.
Kakak-kakak dan adik gue yang bekerja pun belum pada gajian. Dan gue hanya
berpikir panjang…dan pasrah bila nanti ada sesuatu yang terjadi.

"Gue sih mau aja kuliah. Apalagi soal otak, gue masih kuat. Dan emang itu
niat gue sejak dulu, sih," jawab gue seadanya.

Kawan gue hanya diam.

Berpikir panjang pula. Atau, juga mencari jalan keluarnya.

"Ya, namanya juga niat baik pasti Allah juga tahu kok. Apalagi ini
kesempatan lu untuk kuliah lagi. Ingat Yan kesempatan nggak bakal datang
kedua kali. Gue doai deh ada jalan keluarnya ya, Yan."

"Ya, doain gue aja, ya!"jawab gue lirih.

"Sama-sama, Yan! Lagi pula masih ada waktu tiga hari, kok. Gue doain pasti
lu bisa! Oke, deh sampai besok, ya."

Akhirnya kawan gue pamit *ngacir* meninggalkan rumah setelah panjang lebar
memberitahukan tentang beasiswa. Sebelumnya meminta maaf dan mendoakan gue
lebih dahulu.

***

Keesokannya kawan gue balik lagi ke rumah menanyakan tentang beasiswa itu
lagi. Tapi alhamdulillah saat dia datang kedua kalinya keadaan gue sedang
membaik. Alias, dana untuk biaya DP (*Down Payment*) untuk masuk kuliah lagi
sudah terkumpul. Dan itu juga hasil ikhtiar gue mencari tambahan.

"Alhamdulillah, bro, gue udah usahai buat biaya DP masuk kuliah," ucap gue
sebelum kawan gue itu *bekoar* lebih lanjut.

"Syukur deh, Yan. Namanya juga niat baik Allah pasti tahu kok. Apalagi
kesempatan tidak bakal datang dua kali. Iya, kan…."

"Iya, kesempatan buat lu naik jabatan. Dan kesempitan banget bagi
gue…hahaha."

Saat itu juga kawan gue tersenyum. Begitu juga gue bisa bernafas lega karena
gue bisa kuliah lagi walau hasil ikhtiar gue. Dan kini gue bisa menerusakan
cita-cita mulia gue. Gue bisa kuliah lagi untuk sekian kali gue idam-idami
untuk mengenyam bangku kuliah. Dan Diploma Tiga insyaAllah pendidikan formal
yang nanti gue lanjuti.

Ya, walau hanya Diploma Tiga bagi gue juga sudah cukup bersyukur. Terlebih
sudah mendapatkan beasiswa dari kawan gue. Mungkin bagi orang yang mampu
atau kaum borjuis tentang uang tak masalah tapi bagi gue sangat berarti
beasiswa semacam seperti itu. Memang sih yang gue ketahui kebanyakan orang
yang memiliki otak encer—semacam gue maupun yang lainnya terkadang
kendalanya hanya materi (uang). Beda dengan kaum borjuis yang punya materi
terkadang malas menuntut ilmu (kuliah) lagi. Mereka lebih enjoy menikmati
apa yang mereka miliki. Karena mumpung masih ada buat apa disia-siakan,
Mungkin begitu itu doktrin yang mereka anut. Muda foya-foya. Tua makin gaya.
Mati…ya, masuk kuburanlah. Entahlah!

Satu hal mengenai hal ini gue tidak bermaksud meminta keadilan sama Tuhan.
Kenapa orang yang memiliki otak encer terkadang sulit untuk meneruskan
keinginan (kuliah) lagi dibanding bagi mereka yang punya materi berlimpah.
Tapi gue yakin namanya rezeki tidak bakal kemana. Tidak bakal ketukar…Asal
yakin dan *azzam* sudah kuat pasti ada jalan…Toh, lagi pula kota Roma
dibangun juga bukan dalam waktu sehari. Iyakan?

Bukan itu saja soal cita-cita pun gue tidak muluk-muluk. Hanya satu; siapa
tahu gue bisa kuliah lagi bisa dapat pekerjaan yang lebih baik serta bisa
membahagiakan *nyokap *gue yang sudah tua. Itu saja kok. Tidak lebih dan
tidak kurang! Dan soal nanti kelanjutannya gue hanya bisa pasrah dan
berikthiar lagi. Karena gue yakin Tuhan masih ada dan mau mendengar doa gue
sebagai umatNya. Gue yakin itu! Selagi masih menjadi umatNya yang beragama
dan memiliki Tuhan untukNya gue yakin Tuhan pasti mendengar doa gue! *Ud'uni
istajib lakum**…* *I'm believe!!***

Tapi ada satu hal lagi yang membuat gue menjadi pertanyaan sampai saat ini.
Kenapa ya setiap orang bicara selalu saja mengatakan bahwa kesempatan itu
tidak akan datang kedua kali. Tetapi hanya sesekali. Walah!

* *

*Nah*, kalau sudah begitu yang menjadi pertanyaan gue sebenarnya siapa sih
yang lebih tahu dan yang mengatur? Bukankah rezeki, jodoh dan maut bukannya
Tuhan yang mengatur? Tuhan Yang Maha Kuasa dan Maha Mendengar. Lalu kalau
sudah begitu apa kita harus yakin bahwa kesempatan itu hanya datang sekali?
Masa sih! Bagaimana dengan Anda? *Do you believe*?(fy)

* *

*Ulujami-Pesanggrahan, 11 Oktober 2009*

--
"Books inside you"
Fiyan 'Anju' Arjun
Anju Online Bookshop
Jl.Ulujami Rt.012/04 No.14 Jak- Sel
www.bukumurahku.multiply.com
fb:bujangkumbanf@yahoo.co.id <fb%3Abujangkumbanf@yahoo.co.id>
Tlp:(021) 7379858
Hp:0852-8758-0079
1b.

(Catcil) Kesempatan Itu Tak Datang Kedua Kali, Masa Seh?

Posted by: "bujang kumbang" bujangkumbang@yahoo.co.id   bujangkumbang

Wed Oct 14, 2009 7:42 pm (PDT)





Kesempatan Itu Tak Datang Kedua Kali, Masa Seh?

 

Sebagian orang mengatakan kesempatan
hanya datang satu kali. Itu tidak benar.Kesempatan selalu datang, tetapi Anda
harus siap menanggapinya. (Louis L’amour)

 

Seminggu lalu gue kedatangan tamu. Tak lain tamu
yang datang ke rumah gue itu adalah kawan karib gue serta kawan seperjuangan
gue dalam sebuah halaqah.

 

Dengan menggunakan mio kawan gue pun akhirnya datang
ke rumah untuk memberitahukan bahwa dia menerima dan mendapatkan (voucher)
beasiswa dari tempat dia mengajar di Perguruan Tinggi Swasta. Memang kawan gue
itu profesinya saat ini menjadi dosen honerer di tempat dia mengajar,
mata kuliah Bahasa Inggris I dan II.

 

Dan ternyata beasiswa itu di tawari ke diri gue. Beasiswa untuk bagi
mahasiswa (kaum dhuafaâ€"anggap saja begitu.
Karena gue lebih senang disebut kaum dhuafa daripada kaum sok gaya) yang mau
melanjutkan kuliah (lagi). Dan beasiswa itu memberikan fasilitas beberapa potonganâ€"yang menurut gue
lumayan menggiurkan. Tidak seperti biasanya. Biaya regular, biaya semestinya!

 

“Kapan lagi Yan ini kesempatan lu untuk kuliah
lagi,” ujar kawan gue
ketika bertandang ke rumah gue sambil lebih lanjut menerangi gue panjang lebar
tentang beasiswa. Beasiswa bagi mahasiswa yang mau kuliah lagiâ€"yang sebelumnya
kawan gue telepon lebih dahulu.

 

Gue yang mendengar kabar berita
seperti itu antara senang dan pasrah. Senang karena dapat beasiswa yang lumayan
menggiurkan dan juga memang cita-cita gue sejak dulu. Ingin kuliah lagiâ€"dan
sebelumnya gue pernah mengenyam kuliah. Hanya menyelesaikan Pendidikan Diploma Satu saja. Itu pun gue dapat karena beasiswa juga.

 

Pasrah? Karena
melihat kondisi gueâ€"dan pada saat itu memang timing-nya tidak tepat. Lagi tidak ada uang untuk mencukupinya. Begitu pun
orang rumah. Kakak-kakak dan adik gue yang bekerja pun belum pada gajian. Dan
gue hanya berpikir panjang…dan pasrah bila nanti ada sesuatu yang terjadi.

 

“Gue sih mau aja kuliah. Apalagi soal otak, gue
masih kuat. Dan emang itu niat gue sejak dulu, sih,” jawab gue seadanya.

 

Kawan gue hanya diam.

 

Berpikir panjang pula. Atau, juga mencari jalan
keluarnya.

 

“Ya, namanya juga niat baik pasti Allah juga
tahu kok. Apalagi ini kesempatan lu untuk kuliah lagi. Ingat Yan kesempatan
nggak bakal datang kedua kali. Gue doai deh ada jalan keluarnya ya, Yan.”

 

“Ya, doain gue aja, ya!”jawab gue lirih.

 

“Sama-sama, Yan! Lagi pula masih ada waktu tiga
hari, kok. Gue doain pasti lu bisa! Oke, deh sampai besok, ya.”

 

Akhirnya kawan gue pamit ngacir
meninggalkan rumah setelah panjang lebar memberitahukan tentang beasiswa.
Sebelumnya meminta maaf dan mendoakan gue lebih dahulu.

***

Keesokannya kawan gue balik lagi ke rumah
menanyakan tentang beasiswa itu lagi. Tapi alhamdulillah saat dia datang kedua
kalinya keadaan gue sedang membaik. Alias, dana untuk biaya DP (Down Payment)
untuk masuk kuliah lagi sudah terkumpul. Dan itu juga hasil ikhtiar gue mencari
tambahan.

 

“Alhamdulillah, bro, gue udah usahai buat biaya
DP masuk kuliah,” ucap gue sebelum kawan gue itu bekoar lebih lanjut.

 

“Syukur deh, Yan. Namanya juga niat baik Allah
pasti tahu kok. Apalagi kesempatan tidak bakal datang dua kali. Iya, kan….”

 

“Iya, kesempatan buat lu naik jabatan. Dan
kesempitan banget bagi gue…hahaha.”

 

Saat itu juga kawan gue tersenyum. Begitu juga
gue bisa bernafas lega karena gue bisa kuliah lagi walau hasil ikhtiar gue. Dan
kini gue bisa menerusakan cita-cita mulia gue. Gue bisa kuliah lagi untuk
sekian kali gue idam-idami untuk mengenyam bangku kuliah. Dan Diploma Tiga insyaAllah
pendidikan formal yang nanti gue lanjuti.

 

Ya, walau hanya Diploma Tiga bagi gue juga sudah
cukup bersyukur. Terlebih sudah mendapatkan beasiswa dari kawan gue. Mungkin
bagi orang yang mampu atau kaum borjuis tentang uang tak masalah tapi bagi gue sangat
berarti beasiswa semacam seperti itu. Memang sih yang
gue ketahui kebanyakan orang yang memiliki otak encerâ€"semacam gue maupun yang lainnya terkadang kendalanya hanya materi (uang). Beda
dengan kaum borjuis yang punya materi terkadang malas menuntut ilmu (kuliah)
lagi. Mereka lebih enjoy menikmati apa yang mereka miliki. Karena mumpung masih
ada buat apa disia-siakan, Mungkin begitu itu doktrin yang mereka anut. Muda
foya-foya. Tua makin gaya. Mati…ya, masuk kuburanlah. Entahlah!

 

Satu hal mengenai hal ini gue tidak bermaksud
meminta keadilan sama Tuhan. Kenapa orang yang memiliki otak encer terkadang
sulit untuk meneruskan keinginan (kuliah) lagi dibanding bagi mereka yang punya
materi berlimpah. Tapi gue yakin namanya rezeki tidak bakal kemana. Tidak bakal
ketukar…Asal yakin dan azzam sudah kuat pasti ada jalan…Toh, lagi pula kota
Roma dibangun juga bukan dalam waktu sehari. Iyakan?    

 

Bukan itu saja soal cita-cita pun gue tidak muluk-muluk.
Hanya satu; siapa tahu gue bisa kuliah lagi bisa dapat pekerjaan yang lebih
baik serta bisa membahagiakan nyokap gue yang sudah tua. Itu saja kok. Tidak
lebih dan tidak kurang! Dan soal nanti kelanjutannya gue hanya bisa pasrah dan
berikthiar lagi. Karena gue yakin Tuhan masih ada dan mau mendengar doa gue
sebagai umatNya. Gue yakin itu! Selagi masih menjadi umatNya yang beragama dan
memiliki Tuhan untukNya gue yakin Tuhan pasti mendengar doa gue! Ud’uni istajib lakum… I’m believe!!

 

Tapi ada satu hal lagi yang membuat gue menjadi
pertanyaan sampai saat ini. Kenapa ya setiap orang bicara selalu saja mengatakan
bahwa kesempatan itu tidak akan datang kedua kali. Tetapi hanya sesekali. Walah!

 

Nah, kalau sudah
begitu yang menjadi pertanyaan gue sebenarnya siapa sih yang lebih tahu dan
yang mengatur? Bukankah rezeki, jodoh dan maut bukannya Tuhan yang mengatur? Tuhan
Yang Maha Kuasa dan Maha Mendengar. Lalu kalau sudah begitu apa kita harus yakin
bahwa kesempatan itu hanya datang sekali? Masa sih! Bagaimana dengan Anda? Do
you believe?(fy)

 

Ulujami-Pesanggrahan, 11 Oktober 2009

--
"Books inside you"
Fiyan 'Anju' Arjun
Anju Online Bookshop
Jl.Ulujami Rt.012/04 No.14 Jak- Sel
www.bukumurahku.multiply.com
fb:bujangkumbanf@yahoo.co.id
Tlp:(021) 7379858
Hp:0852-8758-0079

--
"Books inside you"
Fiyan 'Anju' Arjun
Anju Online Bookshop
Jl.Ulujami Rt.012/04 No.14 Jak- Sel
www.bukumurahku.multiply.com
fb:bujangkumbanf@yahoo.co.id
Tlp:(021) 7379858
Hp:0852-8758-0079

Lebih aman saat online. Upgrade ke Internet Explorer 8 baru dan lebih cepat yang dioptimalkan untuk Yahoo! agar Anda merasa lebih aman. Gratis. Dapatkan IE8 di sini!
http://downloads.yahoo.com/id/internetexplorer/
2a.

[Catcil] I Feel Lucky Being A Mother

Posted by: "Yunia Ningrum" yuny_june@yahoo.com

Wed Oct 14, 2009 8:52 am (PDT)



I Feel Lucky Being A Mother
By Yuni Meganingrum

Tadi siang, saya
dan Alham, anak saya yang baru berusia 10 bulan, berbelanja ke Carrefour yang
tak jauh dari rumah saya. Ketika saya sedang membetulkan letak topi Alham yang
duduk di kereta dorong, ada seorang lelaki ganteng berdiri di belakang saya seraya
menatap Alham lama.

Mungkin saya
menghalangi jalannya, pikir saya. Tapi rasanya saya sudah cukup menepi ke pinggir.

“Mau lewat, Mas?” tanya saya.

“Ah, enggak…,”
jawabnya. “Enak ya, Mbak, punya anak.“

Kening saya
berkerut. “Lucu sekali dia.” Tapi otak saya langsung berpikir, “O…mungkin dia
belum punya anak.”,

“Emang belum
punya anak, Mas?” ucap saya hati-hati.

“Belum. Sudah lama,” dia menjawab dengan kelu dan mimik muka sedih.

Hati saya tersentuh. Baru kali ini saya bertemu
orang yang sepertinya merasa paling malang di dunia. Entah apa yang terjadi
dengannya hingga mimik mukanya terlihat seperti sangat sedih. Barangkali ia sering
ditanya mertuanya atau mungkin juga karena keinginannya yang sangat besar untuk
memiliki anak. Entahlah.

“Tenang aja, Mas. Nanti juga dapat,” ujar saya
membesarkan hatinya. Dia hanya tersenyum tapi tetap kelu seperti tadi. Di dalam
hati saya hanya bisa mendoakan semoga si Mas segera mendapatkan momongan.

Ia masih saja berdiri mematung menatap Alham hingga
saya merasa saya harus berlalu karena masih harus mencari beberapa barang
kebutuhan saya.

“Mari, Mas!”

“Ya, Mbak, silahkan,” jawabnya masih dengan mimik
sendu melirik ke Alham.

Tatapannya itu membuat saya merasa beruntung
memiliki Alham, anak saya. Terutama saya merasa merasa beruntung menjadi ibu. I feel lucky being a mother. Dan saya
rasa semua ibu pasti merasa begitu.

Pengadegan, 14 Oktober 2009.

2b.

Re: [Catcil] I Feel Lucky Being A Mother

Posted by: "punya_retno" punya_retno@yahoo.com   punya_retno

Thu Oct 15, 2009 1:47 am (PDT)



mengutip tulisan temenku yg bercerita ttg putra pertamanya "Dia membuat setiap gejolak emosi, seabrek kelelahan, dan setumpuk pertengkaran (batin maupun dengan orang lain) saya layak untuk dilalui".

indeed :).

makasih udah berbagi, mbak yuni :)

-retno-

--- In sekolah-kehidupan@yahoogroups.com, Yunia Ningrum <yuny_june@...> wrote:
>
> I Feel Lucky Being A Mother
> By Yuni Meganingrum
>
> Tadi siang, saya
> dan Alham, anak saya yang baru berusia 10 bulan, berbelanja ke Carrefour yang
> tak jauh dari rumah saya. Ketika saya sedang membetulkan letak topi Alham yang
> duduk di kereta dorong, ada seorang lelaki ganteng berdiri di belakang saya seraya
> menatap Alham lama.
>
> Mungkin saya
> menghalangi jalannya, pikir saya. Tapi rasanya saya sudah cukup menepi ke pinggir.
>
> “Mau lewat, Mas?” tanya saya.
>
> “Ah, enggak…,”
> jawabnya. “Enak ya, Mbak, punya anak.“
>
> Kening saya
> berkerut. “Lucu sekali dia.” Tapi otak saya langsung berpikir, “O…mungkin dia
> belum punya anak.”,
>
> “Emang belum
> punya anak, Mas?” ucap saya hati-hati.
>
> “Belum. Sudah lama,” dia menjawab dengan kelu dan mimik muka sedih.
>
> Hati saya tersentuh. Baru kali ini saya bertemu
> orang yang sepertinya merasa paling malang di dunia. Entah apa yang terjadi
> dengannya hingga mimik mukanya terlihat seperti sangat sedih. Barangkali ia sering
> ditanya mertuanya atau mungkin juga karena keinginannya yang sangat besar untuk
> memiliki anak. Entahlah.
>
> “Tenang aja, Mas. Nanti juga dapat,” ujar saya
> membesarkan hatinya. Dia hanya tersenyum tapi tetap kelu seperti tadi. Di dalam
> hati saya hanya bisa mendoakan semoga si Mas segera mendapatkan momongan.
>
> Ia masih saja berdiri mematung menatap Alham hingga
> saya merasa saya harus berlalu karena masih harus mencari beberapa barang
> kebutuhan saya.
>
> “Mari, Mas!”
>
> “Ya, Mbak, silahkan,” jawabnya masih dengan mimik
> sendu melirik ke Alham.
>
> Tatapannya itu membuat saya merasa beruntung
> memiliki Alham, anak saya. Terutama saya merasa merasa beruntung menjadi ibu. I feel lucky being a mother. Dan saya
> rasa semua ibu pasti merasa begitu.
>
> Pengadegan, 14 Oktober 2009.
>

3a.

[Catcil] Percakapanku Dengan Seekor Kucing

Posted by: "Yunia Ningrum" yuny_june@yahoo.com

Wed Oct 14, 2009 8:53 am (PDT)



Percakapanku Dengan Seekor Kucing
By Yuni Meganingrum

Ini adalah kisah nyataku di suatu sore. Saat itu hujan turun cukup deras.
Aku mencoba memeriksa halaman depan untuk memastikan tidak ada sandal atau
jemuran yang berada di luar agar tidak terkena hujan. Ketika membuka pintu
depan, aku terperanjat melihat kucing gemuk yang kotor. Spontan aku
mengusirnya agar jangan berada di seputar teras depan rumah agar tidak
mengotori lantai.


“Huss!!Huss!”ujarku. Tetapi si kucing menjawab, “Miaaww..”. Tatapan matanya tertuju ke arah mataku. Barangkali kira-kira ia
menjawab,”Tolong jangan usir aku. Hujannya deras.”

Namun aku tetap cemberut dan berkata,”Pergi! Jangan
kotori lantaiku!”

Ia menjawab kembali,”Miaaww…”Nadanya lebih panjang dengan tatapan mata yang
memelas. Kira-kira kalau diterjemahkan barangkali ia berkata, “Tolonglah, aku cuma numpang berteduh sebentar. Setelah
itu aku berjanji akan pergi.”

Akhirnya hatiku luluh juga dengan tatapan
mata memelasnya. “Baiklah, kamu boleh berada di
situ. Tapi janji ya kalau hujan reda kamu harus pergi,” ujarku
menatapnya. Sambil duduk di teras lantai, ia menjawab kembali dengan pelan, “Miaaww...”

Satu jam kemudian hujan pun reda. Aku segera mengecek teras depan, dan terkejut ternyata kucing itu telah
pergi. Ia benar-benar menepati janjinya. Ah, kucing yang pintar.
Percaya atau tidak, walaupun ia binatang dan terlihat kumal dan kotor, ternyata
kucing juga dapat diajak berdialog dari hati ke hati. Setidaknya aku pernah mengalaminya:).
*Ps: special thanks to bang Nursalam AR yang
udah ngeditin tulisan ini, makasih yaw, Honey..:-)

Lenteng Agung, 2007

3b.

Re: [Catcil] Percakapanku Dengan Seekor Kucing

Posted by: "Hadian Febrianto" hadianf@gmail.com   hadian.kasep

Wed Oct 14, 2009 9:37 pm (PDT)



Ada lanjutan percakapannya tuh...

Sepertinya si kucing menulis surat di teras (coba dicek oleh mba Yuni)...
Isinya kira-kira seperti ini:
*
Miaaaaw, Miaaaaw Miaaw

Miaaaw oh Miaaaaw Miaaaaw Miaaaw Miaaaw dan Miaaaw...
Miaaaaaw miaaaw miaaaw miaayam (ups)

miaw,
Miaaaw

*Yang lebih kurang artinya seperti ini

Untuk, Mbaaaak Yuni
Terima kasih oh Mba sudah mengizinkan aku berteduh dan sekarang izinkan aku
pergi
Mohon maaf telah mengotori lantai mba...

Tertanda,
Kucing...

--
Regards,
Hadian Febrianto, S.Si
PT SAGA VISI PARIPURNA
Jl. PHH Musthofa no.39
Surapati Core Blok K-7 Bandung
Ph: (+6222) 8724 1434
Fax: (+6222) 8724 1435
3c.

Re: [Catcil] Percakapanku Dengan Seekor Kucing

Posted by: "Nia Robie'" musimbunga@gmail.com

Wed Oct 14, 2009 9:42 pm (PDT)



ahahaa... komentnya aja bikin ngakak
pantes kalo ketemu langsung bikin aku susah berenti ketawa,,, babeh babeh :D

beh nihaw rindu 3C :D

Pada 15 Oktober 2009 11:37, Hadian Febrianto <hadianf@gmail.com> menulis:

>
>
> Ada lanjutan percakapannya tuh...
>
> Sepertinya si kucing menulis surat di teras (coba dicek oleh mba Yuni)...
> Isinya kira-kira seperti ini:
> *
> Miaaaaw, Miaaaaw Miaaw
>
> Miaaaw oh Miaaaaw Miaaaaw Miaaaw Miaaaw dan Miaaaw...
> Miaaaaaw miaaaw miaaaw miaayam (ups)
>
> miaw,
> Miaaaw
>
> *Yang lebih kurang artinya seperti ini
>
> Untuk, Mbaaaak Yuni
> Terima kasih oh Mba sudah mengizinkan aku berteduh dan sekarang izinkan aku
> pergi
> Mohon maaf telah mengotori lantai mba...
>
> Tertanda,
> Kucing...
>
> --
> Regards,
> Hadian Febrianto, S.Si
> PT SAGA VISI PARIPURNA
> Jl. PHH Musthofa no.39
> Surapati Core Blok K-7 Bandung
> Ph: (+6222) 8724 1434
> Fax: (+6222) 8724 1435
>
>
3d.

Re: [Catcil] Percakapanku Dengan Seekor Kucing

Posted by: "Siwi LH" siuhik@yahoo.com   siuhik

Wed Oct 14, 2009 11:02 pm (PDT)



aku suka kalimat penutupnya, *Ps: special thanks to bang Nursalam AR yang udah ngeditin tulisan ini, makasih yaw, Honey..:-)
-mentang suaminya editor...hahahaha...
thx Mbak Yuni salam kenal ya..? salam buat Alham ya?
Salam Hebat Penuh Berkah
Siwi LH
cahayabintang. wordpress.com
siu-elha. blogspot.com
YM : siuhik

________________________________
From: Yunia Ningrum <yuny_june@yahoo.com>
To: sekolah-kehidupan@yahoogroups.com
Sent: Wed, October 14, 2009 10:02:14 PM
Subject: [sekolah-kehidupan] [Catcil] Percakapanku Dengan Seekor Kucing

Percakapanku Dengan Seekor Kucing
By Yuni Meganingrum

4.

[Puisi] Kamu Memang Aneh!

Posted by: "deesiey" deesiey@gmail.com   deesiey

Wed Oct 14, 2009 8:58 am (PDT)



sombong
kamu sombong!
mengkotakkan dirimu
pada wilayahmu sendiri
layaknya katak dalam tempurung

gila
kamu gila!
mencaci caci
seakan putih lebih baik dari hitam
layaknya orang gila yang buta

ah
aku tak menilai
aku hanya berteriak sendiri
dalam sunyiku
meratapi pedihku
dalam kegilaanku

aneh
kamu aneh!
sama seperti aneh itu
kamu memang aneh

sorakku pada sosok di cermin itu

@daesy
*terlempar dalam kegilaan*
15 Oktober 2009
5a.

Re: (ruang keluarga) mencintai raihana

Posted by: "punya_retno" punya_retno@yahoo.com   punya_retno

Wed Oct 14, 2009 7:20 pm (PDT)



@ uni asma: i'll try, insya Allah. thank you :)

@ bang fiyan: kukira, ini malah ditulis bukan dgn "feel" sbg ibu, tapi sbg "ibu muda yg ingin belajar :). makasih bang fy. gpp kok, belum jenguk raihana, kapan2 aja kalo ada waktu ya.

thanks for reading, guys.

-retno-

--- In sekolah-kehidupan@yahoogroups.com, "punya_retno" <punya_retno@...> wrote:
>
> alhamdulillah mas nur, thanks for reading ya :).
> saya memang penggemar jhumpa lahiri, dan bermimpi bisa menulis seapik beliau yg meraih pulitzer utk buku interpreter of maladiesnya (yg mana, juga salah satu buku favorit saya sepanjang masa :) ).
>
> butuh waktu utk menuliskan esai ini. krn butuh perenungan dan kesunyian, dr lalu lintas semrawut di kepala ini. dan, saya tidak ingin menuliskan bhw sy jatuh cinta pd anak sy, saat sy belum merasakan ikatan kuat terhadapnya :)
>
> alhamdulillah, luka jahitan sy juga dah sembuh.dan sekarang dah bisa mandiin raihana lhooo, pake bak (yay!).
>
> sekali lagi, thanks for reading ya. dan makasih utk doanya :)
> pelukcium buat alham.
>
> salam,
>
> -retno-
> ps; pipi raihana emang merah, apalagi kalo nangis, seluruh tubuhnya nerah. semerah tomat! hehehe
>
>
>
>
> --- In sekolah-kehidupan@yahoogroups.com, Nursalam AR <nursalam.ar@> wrote:
> >
> > Saya selalu suka tulisan Retno, karena kerap bertutur dengan gaya mirip
> > Jhumpa Lahiri tentang kompleksitas psikologi manusia dan keribetan soal
> > peran hidup diri. Keren! Sampai-sampai saya dan istri, Yuni, bikin
> > tebak-tebakan: kira-kira apa ya yang bakal ditulis Retno pasca-kelahiran
> > anaknya?hehe...
> >
> > Ya, menjadi orang tua sama seperti menjadi dewasa: tidak ada kamus atau buku
> > panduannya. Kadang kita jadi gamang, bukan karena kekurangan informasi tapi
> > saking banyaknya informasi yang didapat. Tapi, Retno betul, kita sendiri
> > yang harus pandai menyaring informasi.
> >
> > Satu kesalahan fatal, yang kami lakukan, akibat tak cross-check informasi
> > dalam masa kehamilan adalah saat menuruti nasihat salah seorang tetangga
> > untuk pergi ke tukang urut agar kandungan Yuni yang kala itu berusia 5 bulan
> > diperbaiki posisinya. Saat itu posisi bayi agak menjorok ke bawah, nyaris di
> > bawah pusar -- yang kami takutkan ia meluncur keluar sebelum waktunya.
> > Ternyata justru,menurut dokter, itulah fase alamiah pergerakan bayi dalam
> > kandungan dan Yuni hanya perlu banyak rehat. Dan untunglah-- kendati sudah
> > dua kali ditangani tukang urut -- bayi kami tidak mengalami cacat apa-apa.
> > Karena, lagi-lagi kata bu dokter, banyak bayi mati dalam kandungan atau
> > cacat karena kandungan ibunya diurut demi "memperbaiki posisi bayi".
> > Alhamdulillah, Allah masih melindungi.
> >
> > Btw, salut untuk Mas Catur yang berani pegang bayinya bahkan memandikan.
> > Saya sendiri baru pas Alham usia 2 bulan baru berani gendong. Selebihnya,
> > ibu mertua dan Yuni yang pegang peranan. Kebetulan, nyeri Yuni akibat luka
> > jahit hanya seminggu saja. Dengan mengonsumsi pil Binahong -- yang banyak
> > dijual shinse di Glodok dan terima kasih untuk Mbak Lia yang bersedia
> > dititipi:)) -- seharga Rp. 300 ribu untuk 1 paket (isi 3 pil), luka luar
> > karena jahitan operasi caesar yang biasanya bisa sampai berbulan-bulan baru
> > kering bisa sembuh dalam tempo 3 hari. Moga informasi ini bermanfaat untuk
> > para ibu dan calon ibu jika kelak harus menjalani operasi caesar.
> >
> > Ok, Retno, kamu pasti akan jadi ibu terbaik kok bagi Raihana:). Insya
> > Allah. Ini bukan soal hasil namun soal ikhtiar. Tetap semangat ya,Bu!
> >
> > Tabik,
> >
> > Nursalam AR
> > - yang belum sempat jenguk Raihana Zahra Ramadhani yg "Humaira" -- berpipi
> > kemerah-merahan -
> >
>

5b.

Re: (ruang keluarga) mencintai raihana

Posted by: "siril_wafa" siril_wafa@yahoo.co.id   siril_wafa

Wed Oct 14, 2009 7:40 pm (PDT)



Dari dulu saya suka gaya tulisannya,
idem saya para sahabat dan guru-guru yang lain,

Dan buat Raihana selamat menatap masa depan ya ..:)

Sis

--- In sekolah-kehidupan@yahoogroups.com, "punya_retno" <punya_retno@...> wrote:
>
> Mencintai Raihana
> Oleh Retnadi Nur'aini
>

5c.

Re: (ruang keluarga) mencintai raihana

Posted by: "Maryulisman Chaniago" shieddieq84@yahoo.com

Wed Oct 14, 2009 7:42 pm (PDT)



subhanallah...jadi teringat dgn perjuangan orang tua untuk membesarkan diriku...
Dan jg tentunya informasi ini perlu bgt untuk perjuangan istriku kelak, kpn ya...? coz belum nyampe seminggu istriku telat...mudah-mudahan usahaku berhasil...mohon do'anya...

Maryulisman

________________________________
From: punya_retno <punya_retno@yahoo.com>
To: sekolah-kehidupan@yahoogroups.com
Sent: Tue, October 13, 2009 10:47:34 PM
Subject: [sekolah-kehidupan] (ruang keluarga) mencintai raihana

Mencintai Raihana
Oleh Retnadi Nur'aini

Percayakah Anda pada cinta pada pandangan pertama?
Saya percaya. Saya percaya `love at first sight' itu ada.
Tapi, saya tidak percaya itu bisa terjadi pada saya. Karena bagi saya, cinta bukan kata benda. Ia adalah kata kerja. Ia butuh proses. Ia butuh waktu. Proses itu sendiri meliputi pengenalan, adaptasi, komunikasi, trial and error yang ada kalanya tak terhingga, yang menguji tingkat kesabaran, yang menguji sampai sejauh mana kita bisa bertoleransi, bertenggang rasa akan perbedaan.
Saya juga percaya, bahwa ada kalanya pertanda jatuh cinta bisa berupa hal-hal spektakuler. Bisa meledak seperti gempa bumi, bintang-bintang berbaris sejajar pada garis yang sama, para penari India keluarâ€"entah dari manaâ€"dan mulai menari dengan latar aneka musim di seluruh dunia.
Hanya saja, saya percaya, bahwa itu tidak berlangsung selamanya. Ada kalanya langit cinta mendung keabuan, tanpa hiasan pelangi warna-warni. Ada waktunya gempa bumi mereda. Ada kalanya, api jatuh cinta padam.
Dan karena bagi saya, cinta adalah kata kerja, maka saat ia tak lagi meledak seperti gempa bumi, saat itulah ia harus diperjuangkan. Di setiap harinya.
Seperti itulah cara saya mencintai Raihana.

***
Pertemuan mata pertama saya dengan Raihana terjadi pada hari Senin, 14 September 2009, pukul 04.15 WIB. Kala itu, Bu bidan yang membantu proses kelahirannya meletakkan Raihana di atas dada saya, sementara Bu bidan mulai mengeluarkan plasenta dari perut saya.
Saat itu, dengan berat 3,2 kg dan panjang 49cm, Raihana tampak begitu rapuh. Kulitnya masih berwarna merah keabuan, dengan rambut lebat yang diselipi selaput. Ia punya dua mata, dua telinga, sepuluh jari kaki, sepuluh jari tangan, satu hidung, dan satu bibir berwarna merah yang megap-megap. Sementara matanya yang masih buram, seolah-olah menatap mata saya.
Untuk pertama kalinya, saya menyapanya "Assalamualaikum, halo Nak, kamu lho, yang kemarin sering nendang-nendang perut Mama. Ini Mama Retno, Nak.."
Dan Raihana menjerit kencang sekali.
***
Jujur, tatap mata pertama itu tak lantas membuat saya seketika jatuh cinta pada Raihana.. Saat para tamu, kawan, dan saudara memuji betapa cantiknya dia, betapa putih kulitnya, betapa gembil pipinya, betapa menggemaskanya ia, saya cuma berucap syukur "Alhamdulillah" singkat, dan tersenyum simpul. Pikir saya dengan polosnya, semua bayi berwajah sama.
Demikian juga saat saya pulang ke rumah. Ledakan kembang api jatuh cinta pada Raihana riuh mewarnai pelosok rumah kami. Mulai dari suami, ibu, bapak, ibu mertua, kakak, kakak ipar, keponakan, para murid les ibu saya, para tamu yang datang bagai tanpa henti, sampai pembantu kami. Semuanya menguarkan ekspresi cinta yang justru melahirkan tekanan tersendiri bagi saya.
Karena jujur, saya belum mencintai Raihana sespektakuler itu. Dan pernyataan cinta orang-orang di sekitar saya yang demikian besarnya pada Raihana, seolah-olah menuntut saya untuk mencintai Raihana sespektakuler itu.
Tuntutan ini makin menekan saya, saat banyak orang bertanya pada saya segala detil tentang Raihana. "Kenapa matanya belekan?", "Kenapa dia lebih suka miring ke kiri?", "Kenapa kukunya panjang sekali?", "Kenapa ada bercak-bercak kemerahan di kaki dan tangannya?"â€"seolah- olah, hanya karena saya melahirkannya, maka saya mendadak juga sekaligus menjadi ensiklopedi berjalan tentangnya.
Belum lagi, para tamu yang hobi berkompetisi urusan anak. Well, saya selalu senang mendengarkan pengalaman orang yang memang ingin berbagi manfaat dan kebaikan. Hanya saja, ada sebagian orang yang bercerita dengan "Kalo saya tuh dulu.." dengan niatan murni untuk berkompetisi. Ada kompetisi siapa yang jahitannya paling sedikit. Ada kompetisi tentang siapa yang paling sakit merasa melahirkan. Ada kompetisi tentang siapa yang anaknya paling berat, paling panjang, paling anteng, paling putih, paling sehatâ€"singkatnya, kompetisi aneh-aneh yang kini mulai masuk ke dalam ruang tamu saya, tanpa sempat saya pagari lebih dulu.
Puncaknya adalah saat hari raya Idul Fitri, hari pertama. Saat itu, seorang tamu datang berkunjung. Karena saya sedang demam ASI, ia pun masuk ke kamar saya. Di sana, ia berkomentar macam-macam. Tentang saya yang saat itu kebetulan tidak menggunakan stagen. Tentang pentingnya minum jamu bersalin. Tentang ubun-ubun bayi yang kebetulan tidak saya tutupi kain. Tentang macam-macam hal.
Sementara saya yang tengah terbaring lemas dengan tubuh demam tinggi dan dada bengkak, hanya mampu diam mendengarkan, sambil berdoa agar si tamu lekas pulang. Untuk membuat si tamu lekas pamit, saya bahkan sampai berpura-pura tidur. Namun si tamu tetap saja ajeg. Ia tetap duduk manis di kamar saya, berkomentar macam-macam, tentang berbagai hal.
Fuh.
Well, saya percaya bahwa kritikâ€"apapun dan dari siapapunâ€"akan selalu berguna. Tapi saya juga percaya, ada banyak cara yang empatikâ€"diantaranya, memilih waktu dan tempat yang tepatâ€"untuk menyampaikannya. Dan saya kiraâ€"tanpa bermaksud defensiveâ€"mengkritik seseorang saat dia tengah demam tinggi bukanlah pilihan bijaksana.. Namun dari sana, saya berdoa dalam hati "Semoga, saya nggak akan seperti tamu tadi, saat nanti saya harus mengkritik orang. Amin."
***
Seorang bayi terlahir tanpa petunjuk manual.
Tidak ada kertas petunjuk atau instruksi seperti kala kita membeli peralatan elektronik rumit di toko alat elektronik. Dengan ketiadaan manual inilah, setiap orangtua harus belajar dari nol tentang bayi merekaâ€"demikian juga saya.
Beberapa bulan sebelum kedatangan Raihana, saya melakukan hal yang saya lakukan saat saya menjadi wartawan. Riset. Membaca buku. Browsing artikel di Google. Berbincang dan wawancara dengan para ibu muda. Semuanya demi menggali informasi sebanyak dan sedalam mungkin. Untuk kemudian, memilah-milah informasi tersebut, dan mencoba menerapkannya.
Masalahnya satu. Dengan banjir informasi yang saya punya, darimana saya tahu mana yang tepat buat saya dan Raihana? Padahal setiap pengalaman melahirkan, menyusui, membesarkan anak, adalah pengalaman personal. Danâ€"mengutip seorang kawanâ€"karena setiap persona adalah unik, darimana saya bisa memutuskan mana yang terbaik untuk Raihana?
Misalnya saja, masalah menyusui. Dari buku parenting Inggris yang saya baca (berjudul The Secret of Baby Whisperer by Tracy Hogg), disarankan agar bayi dikenalkan pada rutinitas terstrukturâ€"termasuk dalam hal menyusui. Disebutkan bahwa hendaknya bayi disusui tiap 2-3 jam sekali selama 45 menit, dan bukannya disusui kapanpun ia inginâ€"pendapat yang justru dianjurkan oleh bidan, para kawan, ibu, dan ibu mertua. Alasan Tracy, menyusui kapanpun si bayi ingin akan mendidiknya menjadi penuntut (argument ini bagi saya masih bisa diperdebatkan, karena saya kira, ada banyak hal lain yang mendukung seorang anak tumbuh menjadi penuntut. Selain itu, ada bayi yang suka makan, dan tidak). Jika orang-orang di sekitar saya menyarankan untuk menyusui secara bergantian antara dada kanan dan kiri, Tracy menulis bahwa hendaknya menyusui hanya di satu dada, untuk satu kali acara makan. Ini karena, ASI terdiri atas 3 bagian. Bagian pertama mayoritas terdiri atas air,
bagian dua terdri atas karbohidrat, bagian tiga terdiri atas lemak. Danâ€"menurut Tracyâ€"menyusui dengan berganti-ganti dada dalam satu kali acara makan, akan membuat si bayi tidak mendapat kandungan ASI secara utuh.
Itu baru masalah menyusui. Masih ada banyak informasi lain yang harus saya cari kebenarannya, referensinyaâ€" dan bukan hanya sekedar referensi berdasarkan mitos, tradisi, atau ucapan "Kata orang tua". Misalnya saja: tentang kebiasaan menimang-nimang bayi, sunat, tindik, penggunaan kipas angina, cukur rambut, dan masih banyak lagi. Saking banjirnya informasi yang saya punyaâ€"dan seringnya justru membuat saya panikanâ€"suami bahkan sampai meminta saya untuk browsing apapun selain tentang bayi. "Baca-baca artikel di MP kek, chatting kek, nulis-nulis kek, tapi jangan banyak googling tentang bayi," ujarnya.
Saran yang coba saya tepati, setiap kali saya online.
***

Dalam salah satu sesi chatting saya bersama kawan saya, CP, saya sempat berseloroh bahwa punya bayi membuat kita belajar untuk multitaskingâ€" ini karena, saat chatting, saya melakukannya sambil melipati jemuran, sambil makan siang, sambil menulis, sambil mengawasi Raihana yang akan gumoh.
Dan kalau multitasking dulu saya lakukan di kantor untuk efisiensi waktu, yang mana akan saya gunakan sendiri, sekarang kondisinya berbeda. Di minggu-minggu pertama Raihana, semua waktu saya seolah terkuras untuk Raihana. Sungguh sulit rasanya buat saya untuk memiliki "me time" atau waktu pribadiâ€"sampai- sampai saya sempat merasa, waktu pribadi saya hanyalah saat mandi. Sendirian di kamar mandi.
Ini tentu melahirkan tekanan tersendiri buat saya, yang terbiasa bebas punya waktu luang untuk membaca buku, menulis, berjalan-jalan, menonton televisi, atau melakukan aktivitas apapun yang saya sukai selama berjam-jam tanpa harus dihantui kekhawatiran apapun. Hilangnya "me time" secara drastic ini seolah membuat saya hilang identitas. Saya lupa siapa diri saya, apa yang saya suka lakukan sebelumnya, apa yang masih ingin saya capai, apa yang saya inginkan.
Tekanan itu makin parah, karena saya masih saja belum bisa membedakan jenis tangisan Raihana. Saya masih sulit membedakan tangisan saat ia lapar, lelah, bosan, atau ada gas di perutnya. Dan betapa factor kebutaan ini, ditambah lagi suara tangisan bayi yang melengking menjerit-jerit, sungguh sangat menguji kesabaran. Yang mana, seringnya saya gagalâ€"sehingga ibu mertua, ibu, dan suami saya lah yang harus turun tangan.
Tekanan-tekanan inilah yang seringnya membuat langit saya mendung abu-abu tanpa cuaca. Seringkali saya merasa menjadi ibu terburuk di dunia. Dan dengan krisis identitas yang saya rasakan, saya merasa seolah saya bahkan gagal menjadi apapun.hal-hal inilah yang seringnya membuat saya hanya sanggup menatap langit-langit dengan kosong, atau menangis sampai mata sembab. Hanya satu kata untuk menggambarkannya: pathetic.
Disini, lagi dan lagi, saya sangat bersyukur akan kehadiran suami, sahabat, dan keluarga yang sangat mendukung kepulihan sayaâ€"baik secara fisik maupun mental. Sejak kepulangan ibu mertua, suami sayalah yang ambil alih memandikan Raihana (karena bekas jahitan saya masih nyeri, saya belum bisa memandikan Raihana dengan bak), dan membedongnya. Suami saya juga yang mencuci baju (saat si mbak cuti lebaran), mengganti popok Raihana saat ngompol malam-malam dan saya kelewat letih untuk menggantinya, sampai melakukan hal-hal kecil yang terlalu letih untuk saya kerjakan sendiri saat bekas jahitan terasa perih atau saat demam ASIâ€"hal-hal kecil seperti meminumkan air putih atau susu dari sedotan, membantu bangun dari tempat tidur, mengambilkan barang remeh temeh, dll).
Setiap kali langit saya mulai mendung, merekalah yang menguatkan saya. Bang Ade misalnya, berujar "Yang aku kuatirkan justru karena kamu terobsesi menjadi ibu baik jadinya malah membebani kamu. You are going to be a good mother. Percaya deh. Ada trial dan errornya, pasti, tapi kamu akan jadi ibu yang baik. Tapi ingat, don't push youself too hard!".
Kali pertama mendengar pendapat Bang Ade ini, saya sontak bersikap defensive. "Ah, kata siapa, aku terobsesi?". Yang kemudian dijawab Bang Ade dengan "Ingat nggak, kamu menulis di buku tentang bagaimana kamu nanti akan membesarkan anak kamu. menurutku, itu indah betul, tapi jangan sedih ya kalau nanti di jalan ada banyak cobaannya. Percaya deh, you are going to be able to raise a very wonderful family ... Amin". Hal sama yang juga dikatakan Ain bahwa "Butuh waktu untuk menjadi ibu. Just want you to know, we love you".
***
Depresi bukan barang baru bagi saya.
Perubahan hormonal pasca melahirkan dan tekanan-tekanan tertentu membuat lalu lintas ramai di kepala saya kehilangan lampu lalu lintas pengaturnya. Semrawut. Apakah ini baby blues? Mungkin. Apakah ini hanya karena lagi-lagi kepala saya terlalu banyak berpikir? Mungkin juga.
Apapun itu, di tengah kesemrawutan ini, saya nyaris lupa kapan tepatnya mulai jatuh cinta pada Raihana. Mungkin saat dia tengah menyusu saya dengan lahapnya, dan mengeluarkan suara "Elek, elek, elek" (bukan "Glek, glek, glek"). Mungkin karena aroma tubuhnya yang demikian wanginya. Mungkin saat dia tengah tertidur dengan lelapnya, dengan bibir merahnya separo terbuka. Mungkin saat dia mulai menatap mata saya. Mungkin, saat dia tersenyum tiba-tiba, atau tertawa terkekeh-kekehâ€" entah dengan siapa.
Kapanpun itu, dan bagaimanapun cara Raihana membuat saya jatuh cinta, untuk pertama kalinya, saya merasa bertanggung jawab atas kestabilan emosi saya. Setiap kali merasa kepala saya mulai terlalu penuh dan lalu lintas di dalamnya mulai saling berebut klakson dengan ributnya, saya mulai mencari-cari kegiatan ringan untuk dikerjakan. Entah mencuci piring, entah berjalan-jalan di komplek, entah nonton dorama Korea, entah mendengarkan radio, entah chattingâ€"apapun. Karena bekerja, melakukan sesuatu, membuat kepala saya lebih fokus pada pekerjaan yang saya lakukan, ketimbang negativitas yang menjurus pada baby blues syndrome. Setidaknya, kepala saya punya sesuatu untuk dipikirkan.
Saya mulai berusaha menghalau rasa berdosa meninggalkan Raihana, meski untuk pergi sebentar-sebentar. "Jangan ngerasa malu atau sungkan untuk minta orang lain gentian momong atau jagain. You come back healthier and happier mom. Dan itu yang penting," ujar kawan saya, CP, ibunda dari Satura Dasha Putra.
Saya masih saja sering pergi tidur dengan pikiran bahwa saya adalah ibu terburuk sedunia. Namun setidaknya, sekarang saya bisa bangun pagi dengan pikiran, bahwa hari ini, saya ingin belajar menjadi ibu yang baik untuk Raihana. Dan bertambahlah satu janji saya pada Raihana "Mungkin hari-hari kita nggak selalu berhiaskan pelangi warna-warni ya, Nak. Tapi Mama janji, Mama akan belajar jadi ibu yang baik. Dan Mama sayang kamu.."
I love Raihana Zahra Ramadhani.
***

5d.

Re: (ruang keluarga) mencintai raihana

Posted by: "Ain Nisa Oktarinda" jurnalcahaya@yahoo.com   jurnalcahaya

Wed Oct 14, 2009 9:50 pm (PDT)



tulisan yang menyenangkan, menghangatkan,
juga menyemangati
cium kangen dari tante ain dan om andi untuk hana, titip pesen: sering2 ketawa ya, ayo buat seneng ayah bundanya...

Airin Nisa
jurnalcahaya@yahoo.com
www.jurnalcahaya.multiply.com

--- On Wed, 10/14/09, asma_h_1999 <asma_h_1999@yahoo.com> wrote:

From: asma_h_1999 <asma_h_1999@yahoo.com>
Subject: [sekolah-kehidupan] Re: (ruang keluarga) mencintai raihana
To: sekolah-kehidupan@yahoogroups.com
Date: Wednesday, October 14, 2009, 12:18 AM

 

Dear Mama Retno

Don't burden your self to much Mama, enjoy it and the happy life will come to you.

Salam buat your beloved daughter yaa

As

--- In sekolah-kehidupan@ yahoogroups. com, "punya_retno" <punya_retno@ ...> wrote:
>
> Mencintai Raihana
> Oleh Retnadi Nur'aini
>
> Percayakah Anda pada cinta pada pandangan pertama?
> Saya percaya. Saya percaya `love at first sight' itu ada.
> Tapi, saya tidak percaya itu bisa terjadi pada saya. Karena bagi saya, cinta bukan kata benda. Ia adalah kata kerja. Ia butuh proses. Ia butuh waktu. Proses itu sendiri meliputi pengenalan, adaptasi, komunikasi, trial and error yang ada kalanya tak terhingga, yang menguji tingkat kesabaran, yang menguji sampai sejauh mana kita bisa bertoleransi, bertenggang rasa akan perbedaan.
> Saya juga percaya, bahwa ada kalanya pertanda jatuh cinta bisa berupa hal-hal spektakuler. Bisa meledak seperti gempa bumi, bintang-bintang berbaris sejajar pada garis yang sama, para penari India keluarâ€"entah dari manaâ€"dan mulai menari dengan latar aneka musim di seluruh dunia.
> Hanya saja, saya percaya, bahwa itu tidak berlangsung selamanya. Ada kalanya langit cinta mendung keabuan, tanpa hiasan pelangi warna-warni. Ada waktunya gempa bumi mereda. Ada kalanya, api jatuh cinta padam.
> Dan karena bagi saya, cinta adalah kata kerja, maka saat ia tak lagi meledak seperti gempa bumi, saat itulah ia harus diperjuangkan. Di setiap harinya.
> Seperti itulah cara saya mencintai Raihana.
>
> ***
> Pertemuan mata pertama saya dengan Raihana terjadi pada hari Senin, 14 September 2009, pukul 04.15 WIB. Kala itu, Bu bidan yang membantu proses kelahirannya meletakkan Raihana di atas dada saya, sementara Bu bidan mulai mengeluarkan plasenta dari perut saya.
> Saat itu, dengan berat 3,2 kg dan panjang 49cm, Raihana tampak begitu rapuh. Kulitnya masih berwarna merah keabuan, dengan rambut lebat yang diselipi selaput. Ia punya dua mata, dua telinga, sepuluh jari kaki, sepuluh jari tangan, satu hidung, dan satu bibir berwarna merah yang megap-megap. Sementara matanya yang masih buram, seolah-olah menatap mata saya.
> Untuk pertama kalinya, saya menyapanya "Assalamualaikum, halo Nak, kamu lho, yang kemarin sering nendang-nendang perut Mama. Ini Mama Retno, Nak.."
> Dan Raihana menjerit kencang sekali.
> ***
> Jujur, tatap mata pertama itu tak lantas membuat saya seketika jatuh cinta pada Raihana. Saat para tamu, kawan, dan saudara memuji betapa cantiknya dia, betapa putih kulitnya, betapa gembil pipinya, betapa menggemaskanya ia, saya cuma berucap syukur "Alhamdulillah" singkat, dan tersenyum simpul. Pikir saya dengan polosnya, semua bayi berwajah sama.
> Demikian juga saat saya pulang ke rumah. Ledakan kembang api jatuh cinta pada Raihana riuh mewarnai pelosok rumah kami. Mulai dari suami, ibu, bapak, ibu mertua, kakak, kakak ipar, keponakan, para murid les ibu saya, para tamu yang datang bagai tanpa henti, sampai pembantu kami. Semuanya menguarkan ekspresi cinta yang justru melahirkan tekanan tersendiri bagi saya.
> Karena jujur, saya belum mencintai Raihana sespektakuler itu. Dan pernyataan cinta orang-orang di sekitar saya yang demikian besarnya pada Raihana, seolah-olah menuntut saya untuk mencintai Raihana sespektakuler itu.
> Tuntutan ini makin menekan saya, saat banyak orang bertanya pada saya segala detil tentang Raihana. "Kenapa matanya belekan?", "Kenapa dia lebih suka miring ke kiri?", "Kenapa kukunya panjang sekali?", "Kenapa ada bercak-bercak kemerahan di kaki dan tangannya?"â€"seolah- olah, hanya karena saya melahirkannya, maka saya mendadak juga sekaligus menjadi ensiklopedi berjalan tentangnya.
> Belum lagi, para tamu yang hobi berkompetisi urusan anak. Well, saya selalu senang mendengarkan pengalaman orang yang memang ingin berbagi manfaat dan kebaikan. Hanya saja, ada sebagian orang yang bercerita dengan "Kalo saya tuh dulu.." dengan niatan murni untuk berkompetisi. Ada kompetisi siapa yang jahitannya paling sedikit. Ada kompetisi tentang siapa yang paling sakit merasa melahirkan. Ada kompetisi tentang siapa yang anaknya paling berat, paling panjang, paling anteng, paling putih, paling sehatâ€"singkatnya, kompetisi aneh-aneh yang kini mulai masuk ke dalam ruang tamu saya, tanpa sempat saya pagari lebih dulu.
> Puncaknya adalah saat hari raya Idul Fitri, hari pertama. Saat itu, seorang tamu datang berkunjung. Karena saya sedang demam ASI, ia pun masuk ke kamar saya. Di sana, ia berkomentar macam-macam. Tentang saya yang saat itu kebetulan tidak menggunakan stagen. Tentang pentingnya minum jamu bersalin. Tentang ubun-ubun bayi yang kebetulan tidak saya tutupi kain. Tentang macam-macam hal.
> Sementara saya yang tengah terbaring lemas dengan tubuh demam tinggi dan dada bengkak, hanya mampu diam mendengarkan, sambil berdoa agar si tamu lekas pulang. Untuk membuat si tamu lekas pamit, saya bahkan sampai berpura-pura tidur. Namun si tamu tetap saja ajeg. Ia tetap duduk manis di kamar saya, berkomentar macam-macam, tentang berbagai hal.
> Fuh.
> Well, saya percaya bahwa kritikâ€"apapun dan dari siapapunâ€"akan selalu berguna. Tapi saya juga percaya, ada banyak cara yang empatikâ€"diantaranya, memilih waktu dan tempat yang tepatâ€"untuk menyampaikannya. Dan saya kiraâ€"tanpa bermaksud defensiveâ€"mengkritik seseorang saat dia tengah demam tinggi bukanlah pilihan bijaksana. Namun dari sana, saya berdoa dalam hati "Semoga, saya nggak akan seperti tamu tadi, saat nanti saya harus mengkritik orang. Amin."
> ***
> Seorang bayi terlahir tanpa petunjuk manual.
> Tidak ada kertas petunjuk atau instruksi seperti kala kita membeli peralatan elektronik rumit di toko alat elektronik. Dengan ketiadaan manual inilah, setiap orangtua harus belajar dari nol tentang bayi merekaâ€"demikian juga saya.
> Beberapa bulan sebelum kedatangan Raihana, saya melakukan hal yang saya lakukan saat saya menjadi wartawan. Riset. Membaca buku. Browsing artikel di Google. Berbincang dan wawancara dengan para ibu muda. Semuanya demi menggali informasi sebanyak dan sedalam mungkin. Untuk kemudian, memilah-milah informasi tersebut, dan mencoba menerapkannya.
> Masalahnya satu. Dengan banjir informasi yang saya punya, darimana saya tahu mana yang tepat buat saya dan Raihana? Padahal setiap pengalaman melahirkan, menyusui, membesarkan anak, adalah pengalaman personal. Danâ€"mengutip seorang kawanâ€"karena setiap persona adalah unik, darimana saya bisa memutuskan mana yang terbaik untuk Raihana?
> Misalnya saja, masalah menyusui. Dari buku parenting Inggris yang saya baca (berjudul The Secret of Baby Whisperer by Tracy Hogg), disarankan agar bayi dikenalkan pada rutinitas terstrukturâ€"termasuk dalam hal menyusui. Disebutkan bahwa hendaknya bayi disusui tiap 2-3 jam sekali selama 45 menit, dan bukannya disusui kapanpun ia inginâ€"pendapat yang justru dianjurkan oleh bidan, para kawan, ibu, dan ibu mertua. Alasan Tracy, menyusui kapanpun si bayi ingin akan mendidiknya menjadi penuntut (argument ini bagi saya masih bisa diperdebatkan, karena saya kira, ada banyak hal lain yang mendukung seorang anak tumbuh menjadi penuntut. Selain itu, ada bayi yang suka makan, dan tidak). Jika orang-orang di sekitar saya menyarankan untuk menyusui secara bergantian antara dada kanan dan kiri, Tracy menulis bahwa hendaknya menyusui hanya di satu dada, untuk satu kali acara makan. Ini karena, ASI terdiri atas 3 bagian. Bagian pertama mayoritas terdiri atas air,
bagian dua terdri atas karbohidrat, bagian tiga terdiri atas lemak. Danâ€"menurut Tracyâ€"menyusui dengan berganti-ganti dada dalam satu kali acara makan, akan membuat si bayi tidak mendapat kandungan ASI secara utuh.
> Itu baru masalah menyusui. Masih ada banyak informasi lain yang harus saya cari kebenarannya, referensinyaâ€" dan bukan hanya sekedar referensi berdasarkan mitos, tradisi, atau ucapan "Kata orang tua". Misalnya saja: tentang kebiasaan menimang-nimang bayi, sunat, tindik, penggunaan kipas angina, cukur rambut, dan masih banyak lagi. Saking banjirnya informasi yang saya punyaâ€"dan seringnya justru membuat saya panikanâ€"suami bahkan sampai meminta saya untuk browsing apapun selain tentang bayi. "Baca-baca artikel di MP kek, chatting kek, nulis-nulis kek, tapi jangan banyak googling tentang bayi," ujarnya.
> Saran yang coba saya tepati, setiap kali saya online.
> ***
>
> Dalam salah satu sesi chatting saya bersama kawan saya, CP, saya sempat berseloroh bahwa punya bayi membuat kita belajar untuk multitaskingâ€" ini karena, saat chatting, saya melakukannya sambil melipati jemuran, sambil makan siang, sambil menulis, sambil mengawasi Raihana yang akan gumoh.
> Dan kalau multitasking dulu saya lakukan di kantor untuk efisiensi waktu, yang mana akan saya gunakan sendiri, sekarang kondisinya berbeda. Di minggu-minggu pertama Raihana, semua waktu saya seolah terkuras untuk Raihana. Sungguh sulit rasanya buat saya untuk memiliki "me time" atau waktu pribadiâ€"sampai- sampai saya sempat merasa, waktu pribadi saya hanyalah saat mandi. Sendirian di kamar mandi.
> Ini tentu melahirkan tekanan tersendiri buat saya, yang terbiasa bebas punya waktu luang untuk membaca buku, menulis, berjalan-jalan, menonton televisi, atau melakukan aktivitas apapun yang saya sukai selama berjam-jam tanpa harus dihantui kekhawatiran apapun. Hilangnya "me time" secara drastic ini seolah membuat saya hilang identitas. Saya lupa siapa diri saya, apa yang saya suka lakukan sebelumnya, apa yang masih ingin saya capai, apa yang saya inginkan.
> Tekanan itu makin parah, karena saya masih saja belum bisa membedakan jenis tangisan Raihana. Saya masih sulit membedakan tangisan saat ia lapar, lelah, bosan, atau ada gas di perutnya. Dan betapa factor kebutaan ini, ditambah lagi suara tangisan bayi yang melengking menjerit-jerit, sungguh sangat menguji kesabaran. Yang mana, seringnya saya gagalâ€"sehingga ibu mertua, ibu, dan suami saya lah yang harus turun tangan.
> Tekanan-tekanan inilah yang seringnya membuat langit saya mendung abu-abu tanpa cuaca. Seringkali saya merasa menjadi ibu terburuk di dunia. Dan dengan krisis identitas yang saya rasakan, saya merasa seolah saya bahkan gagal menjadi apapun.hal-hal inilah yang seringnya membuat saya hanya sanggup menatap langit-langit dengan kosong, atau menangis sampai mata sembab. Hanya satu kata untuk menggambarkannya: pathetic.
> Disini, lagi dan lagi, saya sangat bersyukur akan kehadiran suami, sahabat, dan keluarga yang sangat mendukung kepulihan sayaâ€"baik secara fisik maupun mental. Sejak kepulangan ibu mertua, suami sayalah yang ambil alih memandikan Raihana (karena bekas jahitan saya masih nyeri, saya belum bisa memandikan Raihana dengan bak), dan membedongnya. Suami saya juga yang mencuci baju (saat si mbak cuti lebaran), mengganti popok Raihana saat ngompol malam-malam dan saya kelewat letih untuk menggantinya, sampai melakukan hal-hal kecil yang terlalu letih untuk saya kerjakan sendiri saat bekas jahitan terasa perih atau saat demam ASIâ€"hal-hal kecil seperti meminumkan air putih atau susu dari sedotan, membantu bangun dari tempat tidur, mengambilkan barang remeh temeh, dll).
> Setiap kali langit saya mulai mendung, merekalah yang menguatkan saya. Bang Ade misalnya, berujar "Yang aku kuatirkan justru karena kamu terobsesi menjadi ibu baik jadinya malah membebani kamu. You are going to be a good mother. Percaya deh. Ada trial dan errornya, pasti, tapi kamu akan jadi ibu yang baik. Tapi ingat, don't push youself too hard!".
> Kali pertama mendengar pendapat Bang Ade ini, saya sontak bersikap defensive. "Ah, kata siapa, aku terobsesi?". Yang kemudian dijawab Bang Ade dengan "Ingat nggak, kamu menulis di buku tentang bagaimana kamu nanti akan membesarkan anak kamu. menurutku, itu indah betul, tapi jangan sedih ya kalau nanti di jalan ada banyak cobaannya. Percaya deh, you are going to be able to raise a very wonderful family ... Amin". Hal sama yang juga dikatakan Ain bahwa "Butuh waktu untuk menjadi ibu. Just want you to know, we love you".
> ***
> Depresi bukan barang baru bagi saya.
> Perubahan hormonal pasca melahirkan dan tekanan-tekanan tertentu membuat lalu lintas ramai di kepala saya kehilangan lampu lalu lintas pengaturnya. Semrawut. Apakah ini baby blues? Mungkin. Apakah ini hanya karena lagi-lagi kepala saya terlalu banyak berpikir? Mungkin juga.
> Apapun itu, di tengah kesemrawutan ini, saya nyaris lupa kapan tepatnya mulai jatuh cinta pada Raihana. Mungkin saat dia tengah menyusu saya dengan lahapnya, dan mengeluarkan suara "Elek, elek, elek" (bukan "Glek, glek, glek"). Mungkin karena aroma tubuhnya yang demikian wanginya. Mungkin saat dia tengah tertidur dengan lelapnya, dengan bibir merahnya separo terbuka. Mungkin saat dia mulai menatap mata saya. Mungkin, saat dia tersenyum tiba-tiba, atau tertawa terkekeh-kekehâ€" entah dengan siapa.
> Kapanpun itu, dan bagaimanapun cara Raihana membuat saya jatuh cinta, untuk pertama kalinya, saya merasa bertanggung jawab atas kestabilan emosi saya. Setiap kali merasa kepala saya mulai terlalu penuh dan lalu lintas di dalamnya mulai saling berebut klakson dengan ributnya, saya mulai mencari-cari kegiatan ringan untuk dikerjakan. Entah mencuci piring, entah berjalan-jalan di komplek, entah nonton dorama Korea, entah mendengarkan radio, entah chattingâ€"apapun. Karena bekerja, melakukan sesuatu, membuat kepala saya lebih fokus pada pekerjaan yang saya lakukan, ketimbang negativitas yang menjurus pada baby blues syndrome. Setidaknya, kepala saya punya sesuatu untuk dipikirkan.
> Saya mulai berusaha menghalau rasa berdosa meninggalkan Raihana, meski untuk pergi sebentar-sebentar. "Jangan ngerasa malu atau sungkan untuk minta orang lain gentian momong atau jagain. You come back healthier and happier mom. Dan itu yang penting," ujar kawan saya, CP, ibunda dari Satura Dasha Putra.
> Saya masih saja sering pergi tidur dengan pikiran bahwa saya adalah ibu terburuk sedunia. Namun setidaknya, sekarang saya bisa bangun pagi dengan pikiran, bahwa hari ini, saya ingin belajar menjadi ibu yang baik untuk Raihana. Dan bertambahlah satu janji saya pada Raihana "Mungkin hari-hari kita nggak selalu berhiaskan pelangi warna-warni ya, Nak. Tapi Mama janji, Mama akan belajar jadi ibu yang baik. Dan Mama sayang kamu.."
> I love Raihana Zahra Ramadhani.
> ***
>

5e.

Re: (ruang keluarga) mencintai raihana

Posted by: "punya_retno" punya_retno@yahoo.com   punya_retno

Thu Oct 15, 2009 1:31 am (PDT)



@ pak maryulisman: selamat ya pak, semoga istri dan bapak segera dikaruniai momongan. amin. tks for reading :)

@ mas sismanto: alhamdulillah, makasih mas. tks for reading, dan makasih utk doanya.

@ ain: ah, thank you sweetie. hana udah makin sering ketawa, terutama setelah ia lega karena udah buang air besar, hehehe :). semoga tante ain juga nanti lahirnya dimudahkan Allah ya :)

-retno-

--- In sekolah-kehidupan@yahoogroups.com, Ain Nisa Oktarinda <jurnalcahaya@...> wrote:
>
> tulisan yang menyenangkan, menghangatkan,
> juga menyemangati
> cium kangen dari tante ain dan om andi untuk hana, titip pesen: sering2 ketawa ya, ayo buat seneng ayah bundanya...
>
> Airin Nisa
> jurnalcahaya@...
> www.jurnalcahaya.multiply.com
>
> --- On Wed, 10/14/09, asma_h_1999 <asma_h_1999@...> wrote:
>
>
> From: asma_h_1999 <asma_h_1999@...>
> Subject: [sekolah-kehidupan] Re: (ruang keluarga) mencintai raihana
> To: sekolah-kehidupan@yahoogroups.com
> Date: Wednesday, October 14, 2009, 12:18 AM
>
>
>  
>
>
>
> Dear Mama Retno
>
> Don't burden your self to much Mama, enjoy it and the happy life will come to you.
>
> Salam buat your beloved daughter yaa
>
> As
>
> --- In sekolah-kehidupan@ yahoogroups. com, "punya_retno" <punya_retno@ ...> wrote:
> >
> > Mencintai Raihana
> > Oleh Retnadi Nur'aini
> >
> > Percayakah Anda pada cinta pada pandangan pertama?
> > Saya percaya. Saya percaya `love at first sight' itu ada.
> > Tapi, saya tidak percaya itu bisa terjadi pada saya. Karena bagi saya, cinta bukan kata benda. Ia adalah kata kerja. Ia butuh proses. Ia butuh waktu. Proses itu sendiri meliputi pengenalan, adaptasi, komunikasi, trial and error yang ada kalanya tak terhingga, yang menguji tingkat kesabaran, yang menguji sampai sejauh mana kita bisa bertoleransi, bertenggang rasa akan perbedaan.
> > Saya juga percaya, bahwa ada kalanya pertanda jatuh cinta bisa berupa hal-hal spektakuler. Bisa meledak seperti gempa bumi, bintang-bintang berbaris sejajar pada garis yang sama, para penari India keluarâ€"entah dari manaâ€"dan mulai menari dengan latar aneka musim di seluruh dunia.
> > Hanya saja, saya percaya, bahwa itu tidak berlangsung selamanya. Ada kalanya langit cinta mendung keabuan, tanpa hiasan pelangi warna-warni. Ada waktunya gempa bumi mereda. Ada kalanya, api jatuh cinta padam.
> > Dan karena bagi saya, cinta adalah kata kerja, maka saat ia tak lagi meledak seperti gempa bumi, saat itulah ia harus diperjuangkan. Di setiap harinya.
> > Seperti itulah cara saya mencintai Raihana.
> >
> > ***
> > Pertemuan mata pertama saya dengan Raihana terjadi pada hari Senin, 14 September 2009, pukul 04.15 WIB. Kala itu, Bu bidan yang membantu proses kelahirannya meletakkan Raihana di atas dada saya, sementara Bu bidan mulai mengeluarkan plasenta dari perut saya.
> > Saat itu, dengan berat 3,2 kg dan panjang 49cm, Raihana tampak begitu rapuh. Kulitnya masih berwarna merah keabuan, dengan rambut lebat yang diselipi selaput. Ia punya dua mata, dua telinga, sepuluh jari kaki, sepuluh jari tangan, satu hidung, dan satu bibir berwarna merah yang megap-megap. Sementara matanya yang masih buram, seolah-olah menatap mata saya.
> > Untuk pertama kalinya, saya menyapanya "Assalamualaikum, halo Nak, kamu lho, yang kemarin sering nendang-nendang perut Mama. Ini Mama Retno, Nak.."
> > Dan Raihana menjerit kencang sekali.
> > ***
> > Jujur, tatap mata pertama itu tak lantas membuat saya seketika jatuh cinta pada Raihana. Saat para tamu, kawan, dan saudara memuji betapa cantiknya dia, betapa putih kulitnya, betapa gembil pipinya, betapa menggemaskanya ia, saya cuma berucap syukur "Alhamdulillah" singkat, dan tersenyum simpul. Pikir saya dengan polosnya, semua bayi berwajah sama.
> > Demikian juga saat saya pulang ke rumah. Ledakan kembang api jatuh cinta pada Raihana riuh mewarnai pelosok rumah kami. Mulai dari suami, ibu, bapak, ibu mertua, kakak, kakak ipar, keponakan, para murid les ibu saya, para tamu yang datang bagai tanpa henti, sampai pembantu kami. Semuanya menguarkan ekspresi cinta yang justru melahirkan tekanan tersendiri bagi saya.
> > Karena jujur, saya belum mencintai Raihana sespektakuler itu. Dan pernyataan cinta orang-orang di sekitar saya yang demikian besarnya pada Raihana, seolah-olah menuntut saya untuk mencintai Raihana sespektakuler itu.
> > Tuntutan ini makin menekan saya, saat banyak orang bertanya pada saya segala detil tentang Raihana. "Kenapa matanya belekan?", "Kenapa dia lebih suka miring ke kiri?", "Kenapa kukunya panjang sekali?", "Kenapa ada bercak-bercak kemerahan di kaki dan tangannya?"â€"seolah- olah, hanya karena saya melahirkannya, maka saya mendadak juga sekaligus menjadi ensiklopedi berjalan tentangnya.
> > Belum lagi, para tamu yang hobi berkompetisi urusan anak. Well, saya selalu senang mendengarkan pengalaman orang yang memang ingin berbagi manfaat dan kebaikan. Hanya saja, ada sebagian orang yang bercerita dengan "Kalo saya tuh dulu.." dengan niatan murni untuk berkompetisi. Ada kompetisi siapa yang jahitannya paling sedikit. Ada kompetisi tentang siapa yang paling sakit merasa melahirkan. Ada kompetisi tentang siapa yang anaknya paling berat, paling panjang, paling anteng, paling putih, paling sehatâ€"singkatnya, kompetisi aneh-aneh yang kini mulai masuk ke dalam ruang tamu saya, tanpa sempat saya pagari lebih dulu.
> > Puncaknya adalah saat hari raya Idul Fitri, hari pertama. Saat itu, seorang tamu datang berkunjung. Karena saya sedang demam ASI, ia pun masuk ke kamar saya. Di sana, ia berkomentar macam-macam. Tentang saya yang saat itu kebetulan tidak menggunakan stagen. Tentang pentingnya minum jamu bersalin. Tentang ubun-ubun bayi yang kebetulan tidak saya tutupi kain. Tentang macam-macam hal.
> > Sementara saya yang tengah terbaring lemas dengan tubuh demam tinggi dan dada bengkak, hanya mampu diam mendengarkan, sambil berdoa agar si tamu lekas pulang. Untuk membuat si tamu lekas pamit, saya bahkan sampai berpura-pura tidur. Namun si tamu tetap saja ajeg. Ia tetap duduk manis di kamar saya, berkomentar macam-macam, tentang berbagai hal.
> > Fuh.
> > Well, saya percaya bahwa kritikâ€"apapun dan dari siapapunâ€"akan selalu berguna. Tapi saya juga percaya, ada banyak cara yang empatikâ€"diantaranya, memilih waktu dan tempat yang tepatâ€"untuk menyampaikannya. Dan saya kiraâ€"tanpa bermaksud defensiveâ€"mengkritik seseorang saat dia tengah demam tinggi bukanlah pilihan bijaksana. Namun dari sana, saya berdoa dalam hati "Semoga, saya nggak akan seperti tamu tadi, saat nanti saya harus mengkritik orang. Amin."
> > ***
> > Seorang bayi terlahir tanpa petunjuk manual.
> > Tidak ada kertas petunjuk atau instruksi seperti kala kita membeli peralatan elektronik rumit di toko alat elektronik. Dengan ketiadaan manual inilah, setiap orangtua harus belajar dari nol tentang bayi merekaâ€"demikian juga saya.
> > Beberapa bulan sebelum kedatangan Raihana, saya melakukan hal yang saya lakukan saat saya menjadi wartawan. Riset. Membaca buku. Browsing artikel di Google. Berbincang dan wawancara dengan para ibu muda. Semuanya demi menggali informasi sebanyak dan sedalam mungkin. Untuk kemudian, memilah-milah informasi tersebut, dan mencoba menerapkannya.
> > Masalahnya satu. Dengan banjir informasi yang saya punya, darimana saya tahu mana yang tepat buat saya dan Raihana? Padahal setiap pengalaman melahirkan, menyusui, membesarkan anak, adalah pengalaman personal. Danâ€"mengutip seorang kawanâ€"karena setiap persona adalah unik, darimana saya bisa memutuskan mana yang terbaik untuk Raihana?
> > Misalnya saja, masalah menyusui. Dari buku parenting Inggris yang saya baca (berjudul The Secret of Baby Whisperer by Tracy Hogg), disarankan agar bayi dikenalkan pada rutinitas terstrukturâ€"termasuk dalam hal menyusui. Disebutkan bahwa hendaknya bayi disusui tiap 2-3 jam sekali selama 45 menit, dan bukannya disusui kapanpun ia inginâ€"pendapat yang justru dianjurkan oleh bidan, para kawan, ibu, dan ibu mertua. Alasan Tracy, menyusui kapanpun si bayi ingin akan mendidiknya menjadi penuntut (argument ini bagi saya masih bisa diperdebatkan, karena saya kira, ada banyak hal lain yang mendukung seorang anak tumbuh menjadi penuntut. Selain itu, ada bayi yang suka makan, dan tidak). Jika orang-orang di sekitar saya menyarankan untuk menyusui secara bergantian antara dada kanan dan kiri, Tracy menulis bahwa hendaknya menyusui hanya di satu dada, untuk satu kali acara makan. Ini karena, ASI terdiri atas 3 bagian. Bagian pertama mayoritas terdiri atas air,
> bagian dua terdri atas karbohidrat, bagian tiga terdiri atas lemak. Danâ€"menurut Tracyâ€"menyusui dengan berganti-ganti dada dalam satu kali acara makan, akan membuat si bayi tidak mendapat kandungan ASI secara utuh.
> > Itu baru masalah menyusui. Masih ada banyak informasi lain yang harus saya cari kebenarannya, referensinyaâ€" dan bukan hanya sekedar referensi berdasarkan mitos, tradisi, atau ucapan "Kata orang tua". Misalnya saja: tentang kebiasaan menimang-nimang bayi, sunat, tindik, penggunaan kipas angina, cukur rambut, dan masih banyak lagi. Saking banjirnya informasi yang saya punyaâ€"dan seringnya justru membuat saya panikanâ€"suami bahkan sampai meminta saya untuk browsing apapun selain tentang bayi. "Baca-baca artikel di MP kek, chatting kek, nulis-nulis kek, tapi jangan banyak googling tentang bayi," ujarnya.
> > Saran yang coba saya tepati, setiap kali saya online.
> > ***
> >
> > Dalam salah satu sesi chatting saya bersama kawan saya, CP, saya sempat berseloroh bahwa punya bayi membuat kita belajar untuk multitaskingâ€" ini karena, saat chatting, saya melakukannya sambil melipati jemuran, sambil makan siang, sambil menulis, sambil mengawasi Raihana yang akan gumoh.
> > Dan kalau multitasking dulu saya lakukan di kantor untuk efisiensi waktu, yang mana akan saya gunakan sendiri, sekarang kondisinya berbeda. Di minggu-minggu pertama Raihana, semua waktu saya seolah terkuras untuk Raihana. Sungguh sulit rasanya buat saya untuk memiliki "me time" atau waktu pribadiâ€"sampai- sampai saya sempat merasa, waktu pribadi saya hanyalah saat mandi. Sendirian di kamar mandi.
> > Ini tentu melahirkan tekanan tersendiri buat saya, yang terbiasa bebas punya waktu luang untuk membaca buku, menulis, berjalan-jalan, menonton televisi, atau melakukan aktivitas apapun yang saya sukai selama berjam-jam tanpa harus dihantui kekhawatiran apapun. Hilangnya "me time" secara drastic ini seolah membuat saya hilang identitas. Saya lupa siapa diri saya, apa yang saya suka lakukan sebelumnya, apa yang masih ingin saya capai, apa yang saya inginkan.
> > Tekanan itu makin parah, karena saya masih saja belum bisa membedakan jenis tangisan Raihana. Saya masih sulit membedakan tangisan saat ia lapar, lelah, bosan, atau ada gas di perutnya. Dan betapa factor kebutaan ini, ditambah lagi suara tangisan bayi yang melengking menjerit-jerit, sungguh sangat menguji kesabaran. Yang mana, seringnya saya gagalâ€"sehingga ibu mertua, ibu, dan suami saya lah yang harus turun tangan.
> > Tekanan-tekanan inilah yang seringnya membuat langit saya mendung abu-abu tanpa cuaca. Seringkali saya merasa menjadi ibu terburuk di dunia. Dan dengan krisis identitas yang saya rasakan, saya merasa seolah saya bahkan gagal menjadi apapun.hal-hal inilah yang seringnya membuat saya hanya sanggup menatap langit-langit dengan kosong, atau menangis sampai mata sembab. Hanya satu kata untuk menggambarkannya: pathetic.
> > Disini, lagi dan lagi, saya sangat bersyukur akan kehadiran suami, sahabat, dan keluarga yang sangat mendukung kepulihan sayaâ€"baik secara fisik maupun mental. Sejak kepulangan ibu mertua, suami sayalah yang ambil alih memandikan Raihana (karena bekas jahitan saya masih nyeri, saya belum bisa memandikan Raihana dengan bak), dan membedongnya. Suami saya juga yang mencuci baju (saat si mbak cuti lebaran), mengganti popok Raihana saat ngompol malam-malam dan saya kelewat letih untuk menggantinya, sampai melakukan hal-hal kecil yang terlalu letih untuk saya kerjakan sendiri saat bekas jahitan terasa perih atau saat demam ASIâ€"hal-hal kecil seperti meminumkan air putih atau susu dari sedotan, membantu bangun dari tempat tidur, mengambilkan barang remeh temeh, dll).
> > Setiap kali langit saya mulai mendung, merekalah yang menguatkan saya. Bang Ade misalnya, berujar "Yang aku kuatirkan justru karena kamu terobsesi menjadi ibu baik jadinya malah membebani kamu. You are going to be a good mother. Percaya deh. Ada trial dan errornya, pasti, tapi kamu akan jadi ibu yang baik. Tapi ingat, don't push youself too hard!".
> > Kali pertama mendengar pendapat Bang Ade ini, saya sontak bersikap defensive. "Ah, kata siapa, aku terobsesi?". Yang kemudian dijawab Bang Ade dengan "Ingat nggak, kamu menulis di buku tentang bagaimana kamu nanti akan membesarkan anak kamu. menurutku, itu indah betul, tapi jangan sedih ya kalau nanti di jalan ada banyak cobaannya. Percaya deh, you are going to be able to raise a very wonderful family ... Amin". Hal sama yang juga dikatakan Ain bahwa "Butuh waktu untuk menjadi ibu. Just want you to know, we love you".
> > ***
> > Depresi bukan barang baru bagi saya.
> > Perubahan hormonal pasca melahirkan dan tekanan-tekanan tertentu membuat lalu lintas ramai di kepala saya kehilangan lampu lalu lintas pengaturnya. Semrawut. Apakah ini baby blues? Mungkin. Apakah ini hanya karena lagi-lagi kepala saya terlalu banyak berpikir? Mungkin juga.
> > Apapun itu, di tengah kesemrawutan ini, saya nyaris lupa kapan tepatnya mulai jatuh cinta pada Raihana. Mungkin saat dia tengah menyusu saya dengan lahapnya, dan mengeluarkan suara "Elek, elek, elek" (bukan "Glek, glek, glek"). Mungkin karena aroma tubuhnya yang demikian wanginya. Mungkin saat dia tengah tertidur dengan lelapnya, dengan bibir merahnya separo terbuka. Mungkin saat dia mulai menatap mata saya. Mungkin, saat dia tersenyum tiba-tiba, atau tertawa terkekeh-kekehâ€" entah dengan siapa.
> > Kapanpun itu, dan bagaimanapun cara Raihana membuat saya jatuh cinta, untuk pertama kalinya, saya merasa bertanggung jawab atas kestabilan emosi saya. Setiap kali merasa kepala saya mulai terlalu penuh dan lalu lintas di dalamnya mulai saling berebut klakson dengan ributnya, saya mulai mencari-cari kegiatan ringan untuk dikerjakan. Entah mencuci piring, entah berjalan-jalan di komplek, entah nonton dorama Korea, entah mendengarkan radio, entah chattingâ€"apapun. Karena bekerja, melakukan sesuatu, membuat kepala saya lebih fokus pada pekerjaan yang saya lakukan, ketimbang negativitas yang menjurus pada baby blues syndrome. Setidaknya, kepala saya punya sesuatu untuk dipikirkan.
> > Saya mulai berusaha menghalau rasa berdosa meninggalkan Raihana, meski untuk pergi sebentar-sebentar. "Jangan ngerasa malu atau sungkan untuk minta orang lain gentian momong atau jagain. You come back healthier and happier mom. Dan itu yang penting," ujar kawan saya, CP, ibunda dari Satura Dasha Putra.
> > Saya masih saja sering pergi tidur dengan pikiran bahwa saya adalah ibu terburuk sedunia. Namun setidaknya, sekarang saya bisa bangun pagi dengan pikiran, bahwa hari ini, saya ingin belajar menjadi ibu yang baik untuk Raihana. Dan bertambahlah satu janji saya pada Raihana "Mungkin hari-hari kita nggak selalu berhiaskan pelangi warna-warni ya, Nak. Tapi Mama janji, Mama akan belajar jadi ibu yang baik. Dan Mama sayang kamu.."
> > I love Raihana Zahra Ramadhani.
> > ***
> >
>

5f.

Re: (ruang keluarga) mencintai raihana

Posted by: "Novi Khansa" novi_ningsih@yahoo.com   novi_ningsih

Thu Oct 15, 2009 1:41 am (PDT)



No, seru banget bacanya....
aaah, Retno, dikau itu ibu yang baik lagi, ibu terbaik buat Raihana...
Cukup sebentar aku bisa lihat kebersamaan kalian... Dirimu, raihana dan mas Catur... plus ibumu yang baik hati ketika itu...

Manis aja liatnya...
indah...
Lihat Raihana yang apa, ya... seneng aja
lihat Retno dan Mas Catur yang kompakan.. dan ibumu...
penuh cinta...

So sweet...

salam

Novi

--- In sekolah-kehidupan@yahoogroups.com, "punya_retno" <punya_retno@...> wrote:
>
> Mencintai Raihana
> Oleh Retnadi Nur'aini
>
> Percayakah Anda pada cinta pada pandangan pertama?
> Saya percaya. Saya percaya `love at first sight' itu ada.
> Tapi, saya tidak percaya itu bisa terjadi pada saya. Karena bagi saya, cinta bukan kata benda. Ia adalah kata kerja. Ia butuh proses. Ia butuh waktu. Proses itu sendiri meliputi pengenalan, adaptasi, komunikasi, trial and error yang ada kalanya tak terhingga, yang menguji tingkat kesabaran, yang menguji sampai sejauh mana kita bisa bertoleransi, bertenggang rasa akan perbedaan.
> Saya juga percaya, bahwa ada kalanya pertanda jatuh cinta bisa berupa hal-hal spektakuler. Bisa meledak seperti gempa bumi, bintang-bintang berbaris sejajar pada garis yang sama, para penari India keluar—entah dari mana—dan mulai menari dengan latar aneka musim di seluruh dunia.
> Hanya saja, saya percaya, bahwa itu tidak berlangsung selamanya. Ada kalanya langit cinta mendung keabuan, tanpa hiasan pelangi warna-warni. Ada waktunya gempa bumi mereda. Ada kalanya, api jatuh cinta padam.
> Dan karena bagi saya, cinta adalah kata kerja, maka saat ia tak lagi meledak seperti gempa bumi, saat itulah ia harus diperjuangkan. Di setiap harinya.
> Seperti itulah cara saya mencintai Raihana.
>
> ***
> Pertemuan mata pertama saya dengan Raihana terjadi pada hari Senin, 14 September 2009, pukul 04.15 WIB. Kala itu, Bu bidan yang membantu proses kelahirannya meletakkan Raihana di atas dada saya, sementara Bu bidan mulai mengeluarkan plasenta dari perut saya.
> Saat itu, dengan berat 3,2 kg dan panjang 49cm, Raihana tampak begitu rapuh. Kulitnya masih berwarna merah keabuan, dengan rambut lebat yang diselipi selaput. Ia punya dua mata, dua telinga, sepuluh jari kaki, sepuluh jari tangan, satu hidung, dan satu bibir berwarna merah yang megap-megap. Sementara matanya yang masih buram, seolah-olah menatap mata saya.
> Untuk pertama kalinya, saya menyapanya "Assalamualaikum, halo Nak, kamu lho, yang kemarin sering nendang-nendang perut Mama. Ini Mama Retno, Nak.."
> Dan Raihana menjerit kencang sekali.
> ***
> Jujur, tatap mata pertama itu tak lantas membuat saya seketika jatuh cinta pada Raihana. Saat para tamu, kawan, dan saudara memuji betapa cantiknya dia, betapa putih kulitnya, betapa gembil pipinya, betapa menggemaskanya ia, saya cuma berucap syukur "Alhamdulillah" singkat, dan tersenyum simpul. Pikir saya dengan polosnya, semua bayi berwajah sama.
> Demikian juga saat saya pulang ke rumah. Ledakan kembang api jatuh cinta pada Raihana riuh mewarnai pelosok rumah kami. Mulai dari suami, ibu, bapak, ibu mertua, kakak, kakak ipar, keponakan, para murid les ibu saya, para tamu yang datang bagai tanpa henti, sampai pembantu kami. Semuanya menguarkan ekspresi cinta yang justru melahirkan tekanan tersendiri bagi saya.
> Karena jujur, saya belum mencintai Raihana sespektakuler itu. Dan pernyataan cinta orang-orang di sekitar saya yang demikian besarnya pada Raihana, seolah-olah menuntut saya untuk mencintai Raihana sespektakuler itu.
> Tuntutan ini makin menekan saya, saat banyak orang bertanya pada saya segala detil tentang Raihana. "Kenapa matanya belekan?", "Kenapa dia lebih suka miring ke kiri?", "Kenapa kukunya panjang sekali?", "Kenapa ada bercak-bercak kemerahan di kaki dan tangannya?"—seolah-olah, hanya karena saya melahirkannya, maka saya mendadak juga sekaligus menjadi ensiklopedi berjalan tentangnya.
> Belum lagi, para tamu yang hobi berkompetisi urusan anak. Well, saya selalu senang mendengarkan pengalaman orang yang memang ingin berbagi manfaat dan kebaikan. Hanya saja, ada sebagian orang yang bercerita dengan "Kalo saya tuh dulu.." dengan niatan murni untuk berkompetisi. Ada kompetisi siapa yang jahitannya paling sedikit. Ada kompetisi tentang siapa yang paling sakit merasa melahirkan. Ada kompetisi tentang siapa yang anaknya paling berat, paling panjang, paling anteng, paling putih, paling sehat—singkatnya, kompetisi aneh-aneh yang kini mulai masuk ke dalam ruang tamu saya, tanpa sempat saya pagari lebih dulu.
> Puncaknya adalah saat hari raya Idul Fitri, hari pertama. Saat itu, seorang tamu datang berkunjung. Karena saya sedang demam ASI, ia pun masuk ke kamar saya. Di sana, ia berkomentar macam-macam. Tentang saya yang saat itu kebetulan tidak menggunakan stagen. Tentang pentingnya minum jamu bersalin. Tentang ubun-ubun bayi yang kebetulan tidak saya tutupi kain. Tentang macam-macam hal.
> Sementara saya yang tengah terbaring lemas dengan tubuh demam tinggi dan dada bengkak, hanya mampu diam mendengarkan, sambil berdoa agar si tamu lekas pulang. Untuk membuat si tamu lekas pamit, saya bahkan sampai berpura-pura tidur. Namun si tamu tetap saja ajeg. Ia tetap duduk manis di kamar saya, berkomentar macam-macam, tentang berbagai hal.
> Fuh.
> Well, saya percaya bahwa kritik—apapun dan dari siapapun—akan selalu berguna. Tapi saya juga percaya, ada banyak cara yang empatik—diantaranya, memilih waktu dan tempat yang tepat—untuk menyampaikannya. Dan saya kira—tanpa bermaksud defensive—mengkritik seseorang saat dia tengah demam tinggi bukanlah pilihan bijaksana. Namun dari sana, saya berdoa dalam hati "Semoga, saya nggak akan seperti tamu tadi, saat nanti saya harus mengkritik orang. Amin."
> ***
> Seorang bayi terlahir tanpa petunjuk manual.
> Tidak ada kertas petunjuk atau instruksi seperti kala kita membeli peralatan elektronik rumit di toko alat elektronik. Dengan ketiadaan manual inilah, setiap orangtua harus belajar dari nol tentang bayi mereka—demikian juga saya.
> Beberapa bulan sebelum kedatangan Raihana, saya melakukan hal yang saya lakukan saat saya menjadi wartawan. Riset. Membaca buku. Browsing artikel di Google. Berbincang dan wawancara dengan para ibu muda. Semuanya demi menggali informasi sebanyak dan sedalam mungkin. Untuk kemudian, memilah-milah informasi tersebut, dan mencoba menerapkannya.
> Masalahnya satu. Dengan banjir informasi yang saya punya, darimana saya tahu mana yang tepat buat saya dan Raihana? Padahal setiap pengalaman melahirkan, menyusui, membesarkan anak, adalah pengalaman personal. Dan—mengutip seorang kawan—karena setiap persona adalah unik, darimana saya bisa memutuskan mana yang terbaik untuk Raihana?
> Misalnya saja, masalah menyusui. Dari buku parenting Inggris yang saya baca (berjudul The Secret of Baby Whisperer by Tracy Hogg), disarankan agar bayi dikenalkan pada rutinitas terstruktur—termasuk dalam hal menyusui. Disebutkan bahwa hendaknya bayi disusui tiap 2-3 jam sekali selama 45 menit, dan bukannya disusui kapanpun ia ingin—pendapat yang justru dianjurkan oleh bidan, para kawan, ibu, dan ibu mertua. Alasan Tracy, menyusui kapanpun si bayi ingin akan mendidiknya menjadi penuntut (argument ini bagi saya masih bisa diperdebatkan, karena saya kira, ada banyak hal lain yang mendukung seorang anak tumbuh menjadi penuntut. Selain itu, ada bayi yang suka makan, dan tidak). Jika orang-orang di sekitar saya menyarankan untuk menyusui secara bergantian antara dada kanan dan kiri, Tracy menulis bahwa hendaknya menyusui hanya di satu dada, untuk satu kali acara makan. Ini karena, ASI terdiri atas 3 bagian. Bagian pertama mayoritas terdiri atas air, bagian dua terdri atas karbohidrat, bagian tiga terdiri atas lemak. Dan—menurut Tracy—menyusui dengan berganti-ganti dada dalam satu kali acara makan, akan membuat si bayi tidak mendapat kandungan ASI secara utuh.
> Itu baru masalah menyusui. Masih ada banyak informasi lain yang harus saya cari kebenarannya, referensinya—dan bukan hanya sekedar referensi berdasarkan mitos, tradisi, atau ucapan "Kata orang tua". Misalnya saja: tentang kebiasaan menimang-nimang bayi, sunat, tindik, penggunaan kipas angina, cukur rambut, dan masih banyak lagi. Saking banjirnya informasi yang saya punya—dan seringnya justru membuat saya panikan—suami bahkan sampai meminta saya untuk browsing apapun selain tentang bayi. "Baca-baca artikel di MP kek, chatting kek, nulis-nulis kek, tapi jangan banyak googling tentang bayi," ujarnya.
> Saran yang coba saya tepati, setiap kali saya online.
> ***
>
> Dalam salah satu sesi chatting saya bersama kawan saya, CP, saya sempat berseloroh bahwa punya bayi membuat kita belajar untuk multitasking—ini karena, saat chatting, saya melakukannya sambil melipati jemuran, sambil makan siang, sambil menulis, sambil mengawasi Raihana yang akan gumoh.
> Dan kalau multitasking dulu saya lakukan di kantor untuk efisiensi waktu, yang mana akan saya gunakan sendiri, sekarang kondisinya berbeda. Di minggu-minggu pertama Raihana, semua waktu saya seolah terkuras untuk Raihana. Sungguh sulit rasanya buat saya untuk memiliki "me time" atau waktu pribadi—sampai-sampai saya sempat merasa, waktu pribadi saya hanyalah saat mandi. Sendirian di kamar mandi.
> Ini tentu melahirkan tekanan tersendiri buat saya, yang terbiasa bebas punya waktu luang untuk membaca buku, menulis, berjalan-jalan, menonton televisi, atau melakukan aktivitas apapun yang saya sukai selama berjam-jam tanpa harus dihantui kekhawatiran apapun. Hilangnya "me time" secara drastic ini seolah membuat saya hilang identitas. Saya lupa siapa diri saya, apa yang saya suka lakukan sebelumnya, apa yang masih ingin saya capai, apa yang saya inginkan.
> Tekanan itu makin parah, karena saya masih saja belum bisa membedakan jenis tangisan Raihana. Saya masih sulit membedakan tangisan saat ia lapar, lelah, bosan, atau ada gas di perutnya. Dan betapa factor kebutaan ini, ditambah lagi suara tangisan bayi yang melengking menjerit-jerit, sungguh sangat menguji kesabaran. Yang mana, seringnya saya gagal—sehingga ibu mertua, ibu, dan suami saya lah yang harus turun tangan.
> Tekanan-tekanan inilah yang seringnya membuat langit saya mendung abu-abu tanpa cuaca. Seringkali saya merasa menjadi ibu terburuk di dunia. Dan dengan krisis identitas yang saya rasakan, saya merasa seolah saya bahkan gagal menjadi apapun.hal-hal inilah yang seringnya membuat saya hanya sanggup menatap langit-langit dengan kosong, atau menangis sampai mata sembab. Hanya satu kata untuk menggambarkannya: pathetic.
> Disini, lagi dan lagi, saya sangat bersyukur akan kehadiran suami, sahabat, dan keluarga yang sangat mendukung kepulihan saya—baik secara fisik maupun mental. Sejak kepulangan ibu mertua, suami sayalah yang ambil alih memandikan Raihana (karena bekas jahitan saya masih nyeri, saya belum bisa memandikan Raihana dengan bak), dan membedongnya. Suami saya juga yang mencuci baju (saat si mbak cuti lebaran), mengganti popok Raihana saat ngompol malam-malam dan saya kelewat letih untuk menggantinya, sampai melakukan hal-hal kecil yang terlalu letih untuk saya kerjakan sendiri saat bekas jahitan terasa perih atau saat demam ASI—hal-hal kecil seperti meminumkan air putih atau susu dari sedotan, membantu bangun dari tempat tidur, mengambilkan barang remeh temeh, dll).
> Setiap kali langit saya mulai mendung, merekalah yang menguatkan saya. Bang Ade misalnya, berujar "Yang aku kuatirkan justru karena kamu terobsesi menjadi ibu baik jadinya malah membebani kamu. You are going to be a good mother. Percaya deh. Ada trial dan errornya, pasti, tapi kamu akan jadi ibu yang baik. Tapi ingat, don't push youself too hard!".
> Kali pertama mendengar pendapat Bang Ade ini, saya sontak bersikap defensive. "Ah, kata siapa, aku terobsesi?". Yang kemudian dijawab Bang Ade dengan "Ingat nggak, kamu menulis di buku tentang bagaimana kamu nanti akan membesarkan anak kamu. menurutku, itu indah betul, tapi jangan sedih ya kalau nanti di jalan ada banyak cobaannya. Percaya deh, you are going to be able to raise a very wonderful family ... Amin". Hal sama yang juga dikatakan Ain bahwa "Butuh waktu untuk menjadi ibu. Just want you to know, we love you".
> ***
> Depresi bukan barang baru bagi saya.
> Perubahan hormonal pasca melahirkan dan tekanan-tekanan tertentu membuat lalu lintas ramai di kepala saya kehilangan lampu lalu lintas pengaturnya. Semrawut. Apakah ini baby blues? Mungkin. Apakah ini hanya karena lagi-lagi kepala saya terlalu banyak berpikir? Mungkin juga.
> Apapun itu, di tengah kesemrawutan ini, saya nyaris lupa kapan tepatnya mulai jatuh cinta pada Raihana. Mungkin saat dia tengah menyusu saya dengan lahapnya, dan mengeluarkan suara "Elek, elek, elek" (bukan "Glek, glek, glek"). Mungkin karena aroma tubuhnya yang demikian wanginya. Mungkin saat dia tengah tertidur dengan lelapnya, dengan bibir merahnya separo terbuka. Mungkin saat dia mulai menatap mata saya. Mungkin, saat dia tersenyum tiba-tiba, atau tertawa terkekeh-kekeh—entah dengan siapa.
> Kapanpun itu, dan bagaimanapun cara Raihana membuat saya jatuh cinta, untuk pertama kalinya, saya merasa bertanggung jawab atas kestabilan emosi saya. Setiap kali merasa kepala saya mulai terlalu penuh dan lalu lintas di dalamnya mulai saling berebut klakson dengan ributnya, saya mulai mencari-cari kegiatan ringan untuk dikerjakan. Entah mencuci piring, entah berjalan-jalan di komplek, entah nonton dorama Korea, entah mendengarkan radio, entah chatting—apapun. Karena bekerja, melakukan sesuatu, membuat kepala saya lebih fokus pada pekerjaan yang saya lakukan, ketimbang negativitas yang menjurus pada baby blues syndrome. Setidaknya, kepala saya punya sesuatu untuk dipikirkan.
> Saya mulai berusaha menghalau rasa berdosa meninggalkan Raihana, meski untuk pergi sebentar-sebentar. "Jangan ngerasa malu atau sungkan untuk minta orang lain gentian momong atau jagain. You come back healthier and happier mom. Dan itu yang penting," ujar kawan saya, CP, ibunda dari Satura Dasha Putra.
> Saya masih saja sering pergi tidur dengan pikiran bahwa saya adalah ibu terburuk sedunia. Namun setidaknya, sekarang saya bisa bangun pagi dengan pikiran, bahwa hari ini, saya ingin belajar menjadi ibu yang baik untuk Raihana. Dan bertambahlah satu janji saya pada Raihana "Mungkin hari-hari kita nggak selalu berhiaskan pelangi warna-warni ya, Nak. Tapi Mama janji, Mama akan belajar jadi ibu yang baik. Dan Mama sayang kamu.."
> I love Raihana Zahra Ramadhani.
> ***
>

5g.

Re: (ruang keluarga) mencintai raihana

Posted by: "punya_retno" punya_retno@yahoo.com   punya_retno

Thu Oct 15, 2009 1:53 am (PDT)



@ novi: hehehe, apalagi proses nulisnya nov, lebih seru lagi. sambi2 ngawasin raihana, sambi2 makan, sambi2 nulis yg lain, dll. sungguh, aku gak pernah semultitasking ini :)

makasih ya nov :)

-retno-

--- In sekolah-kehidupan@yahoogroups.com, "Novi Khansa" <novi_ningsih@...> wrote:
>
> No, seru banget bacanya....
> aaah, Retno, dikau itu ibu yang baik lagi, ibu terbaik buat Raihana...
> Cukup sebentar aku bisa lihat kebersamaan kalian... Dirimu, raihana dan mas Catur... plus ibumu yang baik hati ketika itu...
>
> Manis aja liatnya...
> indah...
> Lihat Raihana yang apa, ya... seneng aja
> lihat Retno dan Mas Catur yang kompakan.. dan ibumu...
> penuh cinta...
>
> So sweet...
>
>
> salam
>
> Novi
>
>
>
>
> --- In sekolah-kehidupan@yahoogroups.com, "punya_retno" <punya_retno@> wrote:
> >
> > Mencintai Raihana
> > Oleh Retnadi Nur'aini
> >
> > Percayakah Anda pada cinta pada pandangan pertama?
> > Saya percaya. Saya percaya `love at first sight' itu ada.
> > Tapi, saya tidak percaya itu bisa terjadi pada saya. Karena bagi saya, cinta bukan kata benda. Ia adalah kata kerja. Ia butuh proses. Ia butuh waktu. Proses itu sendiri meliputi pengenalan, adaptasi, komunikasi, trial and error yang ada kalanya tak terhingga, yang menguji tingkat kesabaran, yang menguji sampai sejauh mana kita bisa bertoleransi, bertenggang rasa akan perbedaan.
> > Saya juga percaya, bahwa ada kalanya pertanda jatuh cinta bisa berupa hal-hal spektakuler. Bisa meledak seperti gempa bumi, bintang-bintang berbaris sejajar pada garis yang sama, para penari India keluar—entah dari mana—dan mulai menari dengan latar aneka musim di seluruh dunia.
> > Hanya saja, saya percaya, bahwa itu tidak berlangsung selamanya. Ada kalanya langit cinta mendung keabuan, tanpa hiasan pelangi warna-warni. Ada waktunya gempa bumi mereda. Ada kalanya, api jatuh cinta padam.
> > Dan karena bagi saya, cinta adalah kata kerja, maka saat ia tak lagi meledak seperti gempa bumi, saat itulah ia harus diperjuangkan. Di setiap harinya.
> > Seperti itulah cara saya mencintai Raihana.
> >
> > ***
> > Pertemuan mata pertama saya dengan Raihana terjadi pada hari Senin, 14 September 2009, pukul 04.15 WIB. Kala itu, Bu bidan yang membantu proses kelahirannya meletakkan Raihana di atas dada saya, sementara Bu bidan mulai mengeluarkan plasenta dari perut saya.
> > Saat itu, dengan berat 3,2 kg dan panjang 49cm, Raihana tampak begitu rapuh. Kulitnya masih berwarna merah keabuan, dengan rambut lebat yang diselipi selaput. Ia punya dua mata, dua telinga, sepuluh jari kaki, sepuluh jari tangan, satu hidung, dan satu bibir berwarna merah yang megap-megap. Sementara matanya yang masih buram, seolah-olah menatap mata saya.
> > Untuk pertama kalinya, saya menyapanya "Assalamualaikum, halo Nak, kamu lho, yang kemarin sering nendang-nendang perut Mama. Ini Mama Retno, Nak.."
> > Dan Raihana menjerit kencang sekali.
> > ***
> > Jujur, tatap mata pertama itu tak lantas membuat saya seketika jatuh cinta pada Raihana. Saat para tamu, kawan, dan saudara memuji betapa cantiknya dia, betapa putih kulitnya, betapa gembil pipinya, betapa menggemaskanya ia, saya cuma berucap syukur "Alhamdulillah" singkat, dan tersenyum simpul. Pikir saya dengan polosnya, semua bayi berwajah sama.
> > Demikian juga saat saya pulang ke rumah. Ledakan kembang api jatuh cinta pada Raihana riuh mewarnai pelosok rumah kami. Mulai dari suami, ibu, bapak, ibu mertua, kakak, kakak ipar, keponakan, para murid les ibu saya, para tamu yang datang bagai tanpa henti, sampai pembantu kami. Semuanya menguarkan ekspresi cinta yang justru melahirkan tekanan tersendiri bagi saya.
> > Karena jujur, saya belum mencintai Raihana sespektakuler itu. Dan pernyataan cinta orang-orang di sekitar saya yang demikian besarnya pada Raihana, seolah-olah menuntut saya untuk mencintai Raihana sespektakuler itu.
> > Tuntutan ini makin menekan saya, saat banyak orang bertanya pada saya segala detil tentang Raihana. "Kenapa matanya belekan?", "Kenapa dia lebih suka miring ke kiri?", "Kenapa kukunya panjang sekali?", "Kenapa ada bercak-bercak kemerahan di kaki dan tangannya?"—seolah-olah, hanya karena saya melahirkannya, maka saya mendadak juga sekaligus menjadi ensiklopedi berjalan tentangnya.
> > Belum lagi, para tamu yang hobi berkompetisi urusan anak. Well, saya selalu senang mendengarkan pengalaman orang yang memang ingin berbagi manfaat dan kebaikan. Hanya saja, ada sebagian orang yang bercerita dengan "Kalo saya tuh dulu.." dengan niatan murni untuk berkompetisi. Ada kompetisi siapa yang jahitannya paling sedikit. Ada kompetisi tentang siapa yang paling sakit merasa melahirkan. Ada kompetisi tentang siapa yang anaknya paling berat, paling panjang, paling anteng, paling putih, paling sehat—singkatnya, kompetisi aneh-aneh yang kini mulai masuk ke dalam ruang tamu saya, tanpa sempat saya pagari lebih dulu.
> > Puncaknya adalah saat hari raya Idul Fitri, hari pertama. Saat itu, seorang tamu datang berkunjung. Karena saya sedang demam ASI, ia pun masuk ke kamar saya. Di sana, ia berkomentar macam-macam. Tentang saya yang saat itu kebetulan tidak menggunakan stagen. Tentang pentingnya minum jamu bersalin. Tentang ubun-ubun bayi yang kebetulan tidak saya tutupi kain. Tentang macam-macam hal.
> > Sementara saya yang tengah terbaring lemas dengan tubuh demam tinggi dan dada bengkak, hanya mampu diam mendengarkan, sambil berdoa agar si tamu lekas pulang. Untuk membuat si tamu lekas pamit, saya bahkan sampai berpura-pura tidur. Namun si tamu tetap saja ajeg. Ia tetap duduk manis di kamar saya, berkomentar macam-macam, tentang berbagai hal.
> > Fuh.
> > Well, saya percaya bahwa kritik—apapun dan dari siapapun—akan selalu berguna. Tapi saya juga percaya, ada banyak cara yang empatik—diantaranya, memilih waktu dan tempat yang tepat—untuk menyampaikannya. Dan saya kira—tanpa bermaksud defensive—mengkritik seseorang saat dia tengah demam tinggi bukanlah pilihan bijaksana. Namun dari sana, saya berdoa dalam hati "Semoga, saya nggak akan seperti tamu tadi, saat nanti saya harus mengkritik orang. Amin."
> > ***
> > Seorang bayi terlahir tanpa petunjuk manual.
> > Tidak ada kertas petunjuk atau instruksi seperti kala kita membeli peralatan elektronik rumit di toko alat elektronik. Dengan ketiadaan manual inilah, setiap orangtua harus belajar dari nol tentang bayi mereka—demikian juga saya.
> > Beberapa bulan sebelum kedatangan Raihana, saya melakukan hal yang saya lakukan saat saya menjadi wartawan. Riset. Membaca buku. Browsing artikel di Google. Berbincang dan wawancara dengan para ibu muda. Semuanya demi menggali informasi sebanyak dan sedalam mungkin. Untuk kemudian, memilah-milah informasi tersebut, dan mencoba menerapkannya.
> > Masalahnya satu. Dengan banjir informasi yang saya punya, darimana saya tahu mana yang tepat buat saya dan Raihana? Padahal setiap pengalaman melahirkan, menyusui, membesarkan anak, adalah pengalaman personal. Dan—mengutip seorang kawan—karena setiap persona adalah unik, darimana saya bisa memutuskan mana yang terbaik untuk Raihana?
> > Misalnya saja, masalah menyusui. Dari buku parenting Inggris yang saya baca (berjudul The Secret of Baby Whisperer by Tracy Hogg), disarankan agar bayi dikenalkan pada rutinitas terstruktur—termasuk dalam hal menyusui. Disebutkan bahwa hendaknya bayi disusui tiap 2-3 jam sekali selama 45 menit, dan bukannya disusui kapanpun ia ingin—pendapat yang justru dianjurkan oleh bidan, para kawan, ibu, dan ibu mertua. Alasan Tracy, menyusui kapanpun si bayi ingin akan mendidiknya menjadi penuntut (argument ini bagi saya masih bisa diperdebatkan, karena saya kira, ada banyak hal lain yang mendukung seorang anak tumbuh menjadi penuntut. Selain itu, ada bayi yang suka makan, dan tidak). Jika orang-orang di sekitar saya menyarankan untuk menyusui secara bergantian antara dada kanan dan kiri, Tracy menulis bahwa hendaknya menyusui hanya di satu dada, untuk satu kali acara makan. Ini karena, ASI terdiri atas 3 bagian. Bagian pertama mayoritas terdiri atas air, bagian dua terdri atas karbohidrat, bagian tiga terdiri atas lemak. Dan—menurut Tracy—menyusui dengan berganti-ganti dada dalam satu kali acara makan, akan membuat si bayi tidak mendapat kandungan ASI secara utuh.
> > Itu baru masalah menyusui. Masih ada banyak informasi lain yang harus saya cari kebenarannya, referensinya—dan bukan hanya sekedar referensi berdasarkan mitos, tradisi, atau ucapan "Kata orang tua". Misalnya saja: tentang kebiasaan menimang-nimang bayi, sunat, tindik, penggunaan kipas angina, cukur rambut, dan masih banyak lagi. Saking banjirnya informasi yang saya punya—dan seringnya justru membuat saya panikan—suami bahkan sampai meminta saya untuk browsing apapun selain tentang bayi. "Baca-baca artikel di MP kek, chatting kek, nulis-nulis kek, tapi jangan banyak googling tentang bayi," ujarnya.
> > Saran yang coba saya tepati, setiap kali saya online.
> > ***
> >
> > Dalam salah satu sesi chatting saya bersama kawan saya, CP, saya sempat berseloroh bahwa punya bayi membuat kita belajar untuk multitasking—ini karena, saat chatting, saya melakukannya sambil melipati jemuran, sambil makan siang, sambil menulis, sambil mengawasi Raihana yang akan gumoh.
> > Dan kalau multitasking dulu saya lakukan di kantor untuk efisiensi waktu, yang mana akan saya gunakan sendiri, sekarang kondisinya berbeda. Di minggu-minggu pertama Raihana, semua waktu saya seolah terkuras untuk Raihana. Sungguh sulit rasanya buat saya untuk memiliki "me time" atau waktu pribadi—sampai-sampai saya sempat merasa, waktu pribadi saya hanyalah saat mandi. Sendirian di kamar mandi.
> > Ini tentu melahirkan tekanan tersendiri buat saya, yang terbiasa bebas punya waktu luang untuk membaca buku, menulis, berjalan-jalan, menonton televisi, atau melakukan aktivitas apapun yang saya sukai selama berjam-jam tanpa harus dihantui kekhawatiran apapun. Hilangnya "me time" secara drastic ini seolah membuat saya hilang identitas. Saya lupa siapa diri saya, apa yang saya suka lakukan sebelumnya, apa yang masih ingin saya capai, apa yang saya inginkan.
> > Tekanan itu makin parah, karena saya masih saja belum bisa membedakan jenis tangisan Raihana. Saya masih sulit membedakan tangisan saat ia lapar, lelah, bosan, atau ada gas di perutnya. Dan betapa factor kebutaan ini, ditambah lagi suara tangisan bayi yang melengking menjerit-jerit, sungguh sangat menguji kesabaran. Yang mana, seringnya saya gagal—sehingga ibu mertua, ibu, dan suami saya lah yang harus turun tangan.
> > Tekanan-tekanan inilah yang seringnya membuat langit saya mendung abu-abu tanpa cuaca. Seringkali saya merasa menjadi ibu terburuk di dunia. Dan dengan krisis identitas yang saya rasakan, saya merasa seolah saya bahkan gagal menjadi apapun.hal-hal inilah yang seringnya membuat saya hanya sanggup menatap langit-langit dengan kosong, atau menangis sampai mata sembab. Hanya satu kata untuk menggambarkannya: pathetic.
> > Disini, lagi dan lagi, saya sangat bersyukur akan kehadiran suami, sahabat, dan keluarga yang sangat mendukung kepulihan saya—baik secara fisik maupun mental. Sejak kepulangan ibu mertua, suami sayalah yang ambil alih memandikan Raihana (karena bekas jahitan saya masih nyeri, saya belum bisa memandikan Raihana dengan bak), dan membedongnya. Suami saya juga yang mencuci baju (saat si mbak cuti lebaran), mengganti popok Raihana saat ngompol malam-malam dan saya kelewat letih untuk menggantinya, sampai melakukan hal-hal kecil yang terlalu letih untuk saya kerjakan sendiri saat bekas jahitan terasa perih atau saat demam ASI—hal-hal kecil seperti meminumkan air putih atau susu dari sedotan, membantu bangun dari tempat tidur, mengambilkan barang remeh temeh, dll).
> > Setiap kali langit saya mulai mendung, merekalah yang menguatkan saya. Bang Ade misalnya, berujar "Yang aku kuatirkan justru karena kamu terobsesi menjadi ibu baik jadinya malah membebani kamu. You are going to be a good mother. Percaya deh. Ada trial dan errornya, pasti, tapi kamu akan jadi ibu yang baik. Tapi ingat, don't push youself too hard!".
> > Kali pertama mendengar pendapat Bang Ade ini, saya sontak bersikap defensive. "Ah, kata siapa, aku terobsesi?". Yang kemudian dijawab Bang Ade dengan "Ingat nggak, kamu menulis di buku tentang bagaimana kamu nanti akan membesarkan anak kamu. menurutku, itu indah betul, tapi jangan sedih ya kalau nanti di jalan ada banyak cobaannya. Percaya deh, you are going to be able to raise a very wonderful family ... Amin". Hal sama yang juga dikatakan Ain bahwa "Butuh waktu untuk menjadi ibu. Just want you to know, we love you".
> > ***
> > Depresi bukan barang baru bagi saya.
> > Perubahan hormonal pasca melahirkan dan tekanan-tekanan tertentu membuat lalu lintas ramai di kepala saya kehilangan lampu lalu lintas pengaturnya. Semrawut. Apakah ini baby blues? Mungkin. Apakah ini hanya karena lagi-lagi kepala saya terlalu banyak berpikir? Mungkin juga.
> > Apapun itu, di tengah kesemrawutan ini, saya nyaris lupa kapan tepatnya mulai jatuh cinta pada Raihana. Mungkin saat dia tengah menyusu saya dengan lahapnya, dan mengeluarkan suara "Elek, elek, elek" (bukan "Glek, glek, glek"). Mungkin karena aroma tubuhnya yang demikian wanginya. Mungkin saat dia tengah tertidur dengan lelapnya, dengan bibir merahnya separo terbuka. Mungkin saat dia mulai menatap mata saya. Mungkin, saat dia tersenyum tiba-tiba, atau tertawa terkekeh-kekeh—entah dengan siapa.
> > Kapanpun itu, dan bagaimanapun cara Raihana membuat saya jatuh cinta, untuk pertama kalinya, saya merasa bertanggung jawab atas kestabilan emosi saya. Setiap kali merasa kepala saya mulai terlalu penuh dan lalu lintas di dalamnya mulai saling berebut klakson dengan ributnya, saya mulai mencari-cari kegiatan ringan untuk dikerjakan. Entah mencuci piring, entah berjalan-jalan di komplek, entah nonton dorama Korea, entah mendengarkan radio, entah chatting—apapun. Karena bekerja, melakukan sesuatu, membuat kepala saya lebih fokus pada pekerjaan yang saya lakukan, ketimbang negativitas yang menjurus pada baby blues syndrome. Setidaknya, kepala saya punya sesuatu untuk dipikirkan.
> > Saya mulai berusaha menghalau rasa berdosa meninggalkan Raihana, meski untuk pergi sebentar-sebentar. "Jangan ngerasa malu atau sungkan untuk minta orang lain gentian momong atau jagain. You come back healthier and happier mom. Dan itu yang penting," ujar kawan saya, CP, ibunda dari Satura Dasha Putra.
> > Saya masih saja sering pergi tidur dengan pikiran bahwa saya adalah ibu terburuk sedunia. Namun setidaknya, sekarang saya bisa bangun pagi dengan pikiran, bahwa hari ini, saya ingin belajar menjadi ibu yang baik untuk Raihana. Dan bertambahlah satu janji saya pada Raihana "Mungkin hari-hari kita nggak selalu berhiaskan pelangi warna-warni ya, Nak. Tapi Mama janji, Mama akan belajar jadi ibu yang baik. Dan Mama sayang kamu.."
> > I love Raihana Zahra Ramadhani.
> > ***
> >
>

6.

(intermezzo) APA YANG KAMU KATAKAN BILA NANTI BERTEMU MIYABI?

Posted by: "bujang kumbang" bujangkumbang@yahoo.co.id   bujangkumbang

Wed Oct 14, 2009 7:42 pm (PDT)





 

Apa yang KAMU katakan bila nanti bertemu dan berjumpa dengan Miyabi?

(http://www.eramusli m.com/oase- iman/miyabi- dan-otak- nakal-lelaki. htm)



A. Apa lu kata deh (bagi yang benar penjantan tangguh)!

1. Tipe Lelaki Hidung Belang

”Boleh nggak Mbak kalo saya ikut bermain film sama Mbak Miyabi satu scene aja”

2. Tipe Lelaki Playboy

”Boleh nggak Mbak Miyabi kalo saya jadi bodyguard Mbak? Gini-gini juga Mbak saya jago ngelaba lho.”

3. Tipe Lelaki Alim (Kayak Gue Banget!)

“Mbak Miyabi gimana kalo pake jilbab aja. Biar tambak cantik dan ayu.
Siapa tahu mantan saya Luna Maya dan Asmirandah cembukur. Maukan ya
Mbak?!”

4. Tipe Lelaki Ngebet Kawin

”Mbak Miyabi mau nggak jadi istri saya? Jujur lho saya ini bukan penganut poligami.”

5. Tipe Lelaki Patriotisme (Cinta Tanah Air)

”Mbak Miyabi gimana kalo nanti jadi main film di Indonesia Mbak pakai
gaun yang serba batik aja ya. Siapa tau jadi trendsetter di sini, Mbak.”

6. Tipe Lelaki Cinta Kebersihan,

“Mbak kemarinya sudah bersihkan? Sudah disuntik antibiotik bakteri virus belum?”

B. Apa kata-kata lo deh (yang ngaku perempuan banget)

1. Tipe Perempuan Cemburuan

“Tolong ya Mbak Miyabi kalo datang ke Indonesia pake pakaiannya yang
sopan. Kalo bisa pake cadar ato menutupi semua lekuk tubuh, Mbak. Biar
pacar/suami saya nggak kelayaban.”

2. Tipe Perempuan Cinta Kemanusiaan

“Jangan lupa ya Mbak nanti nyumbang atau berkunjung ke Ranah Minang.Siapa tau dengan adanya Mbak bisa terhibur.”

3. Tipe Perempuan Sayang Anak

“Mbak kalo Mbak jadi main film di Indonesia. Mbak main filmnya jenis
petulangan anak-anak ya, Mbak? Kayak film Petulangan Sherina. Mbak
mainnya sama Baim aja. Itu tuh yang main Tarzan Cilik. Mbak udah nonton
belum sinetronnya?”

4. Tipe Perempuan Shaleha

“Mbak Miyabi pake jilbab sama baju tertutup Mbak nggak kalah cantik lho sama Inneke Koesherawaty dan Cheche Kirani.”

5. Tipe Perempuan Fashioncholic

“Jangan lupa ya Mbak Miyabi nanti kalo datang ke Indonesia pake gaunnya
yang ngtrend dan yang bermerk ya. Jangan yang norak, ya!”

6. Tipe Perempuan Entertainment

“Jangan lupa Mbak ajak saya ikut main film sama Mbak, ya. Apalagi kalo
Mbak balik ke tanah air Mbak, Jepang. Saya mau kok Mbak seperti Mbak.”

7. Tipe Perempuan Cinta Tanah Air

“Mbak bukannya anak buah Noerdin M. Top kan?”

Coba Yahoo! Messenger 10 Beta yang baru
Kini dengan update real-time, panggilan video, dan banyak lagi!












Selalu bisa chat di profil jaringan, blog, atau situs web pribadi! Yahoo! memungkinkan Anda selalu bisa chat melalui Pingbox. Coba! http://id.messenger.yahoo.com/pingbox/
7.

(ruang keluarga) Gagal Sebagai Ibu dan Dicurangi Pembantu

Posted by: "Indarwati Indarpati" patisayang@yahoo.com   patisayang

Wed Oct 14, 2009 10:04 pm (PDT)





Gagal
Sebagai Ibu dan Dicurangi Pembantu

 

Air
mata itu tak terbendung lagi. Sengaja kubiarkan dia mengalir membasahi pipi.
Tak peduli meski Yasmin memandang tak mengerti dan memangil namaku
berkali-kali. Aku sungguh merasa gagal, pada saat yang sama aku merasa
dicurangi.

 

Sebagai
ibu, aku merasa gagal karena hampir selalu tak berhasil dengan sukses menyuapi
anakku. Selama ini, pembantuku lah yang banyak berperan soal menyuapinya.
Mengikuti caranya, sambil kegendong, jalan-jalan ke taman, mengajak bicara tentang
burung, kucing, pesawat terbang, dan sebagainya Yasmin bergeming. Hanya
beberapa sendok yang masuk mulutnya. Jarang sekali porsi yang kuambilkan bisa
habis dimakan. Ini berbeda saat dia disuapi Mbaknya. Atau, setidaknya begitulah
mengakuannya karna saat kutanya sepulangnya acara jalan-jalan dan makan si Mbak
selalu bilang mau dan habis. Aku berduka untuk kegagalanku sebagai ibu dalam
hal ini.

 

Pada
saat yang sama aku juga merasa dicurangi. Kado ulang tahun buatku justru
pengunduran dirinya tanpa kata. Setelah ijin dua hari sebelumnya, dia sempat
masuk sehari. Besoknya nggak masuk lagi, tanpa ada pesan apa-apa. Tak sms,
telpon, apalagi mengirim keluarganya untuk mengabarkan ketidakhadirannya.
Padahal jarak antara rumahnya di kampung sebelah dan rumah kami di kompleks
hanya beberapa ratus meter saja.

 

Seperti
seorang remaja menunggu kekasihnya, detik demi detik kuharap-harap cemas
melihat keluar, menajamkan pendengaran, jika sewaktu-waktu dia datang. Banyak
pekerjaan rumah termasuk salah satunya menyuapi Yasmin yang harus diselesaikan.
Sampai siang, bahkan sore tak ada kabar. Sore kutelpon suaminya, katanya tak
enak badan. Kutanya apakah besok masuk atau tidak jawabnya nggak tahu.

 

Pulang
dari menjemput Ais hari Selasa aku sengaja mampir ke rumah kontrakannya.
Ternyata dia sedang keluar, periksa ke klinik. Mampir ke rumah orang tuanya,
jawabannya sama. Paginya, suami kuminta sms suaminya lagi minta dia datang.
Sengaja kusuruh suami agar suami pembantuku itu sungkan. Sekitar jam delapan
dia muncul. Lalu dengan enteng dia berkata kalau mau berhenti saja. Alasannya
nggak diperbolehkan kerja sama suaminya.

Aku
marah. Aku merasa dicurangi. Aku merasa tak dianggap. Tanpa kutelpon, dan sms,
aku yakin dia akan tetap tanpa kabar. Sementara aku menunggu tanpa
kejelasan. Yang bikin aku marah, kenapa suaminya tak dengan jantan berkata saat
kutelpon sore itu bahwa sebaiknya istrinya berhenti kerja saja demi
kesehatannya dan anaknya jika memang itu alasannya? Siapa memanfaatkan siapa sebenarnya?

 

Dan
kalau memang berniat berhenti, kenapa mendadak sekali. Bahkan saat kuminta dia
hanya menjaga Yasmin sajaâ€"semua pekerjaan rumah sudah kubereskanâ€"dia tetap
bersikukuh tak mau. Aku marah. Aku terluka. Aku merasa dicurangi. Setelah
kuterima dia meski konduitnya jelek di mata tetanggaku lainnya, setelah kubantu
dia dengan materi yang kupunya, setelah ‘kumanusiakan’ dia dengan tak pernah
melempar keset basah ke mukanya atau menyuruhya mengepel lantai dengan air panas,
bahkan membentak sekalipun seperti yang dilakukan orang lain pada pembantunya…
setelah kuanggap dia saudara…

 

Parahnya,
dia juga masih memiliki hutang uang yang lumayan besar.

Dadaku
sesak. Bukan hanya karena tak siap kehilangan pembantu secara mendadak yang
berarti semua tetek bengek rumah tangga harus kukerjakan sendiri, tapi juga
tertundanya target-targetku yang lain terutama 2 buku akhir tahun ini.

 

Tak
memiliki pembantu mungkin hal biasa bagi beberapa orang. Tapi, dalam kondisiku
rasanya itu adalah sebuah kerugian besar. Waktu yang mestinya bisa kumanfaatkan
untuk menggali potensi diri, memperdalam wawasan tentang pengasuhan anak,
mendampingi si penjelajah kecil dan si besar menjadi berkurang hanya karena
mengurusi tetek bengek seperti cucian dan beres-beres rumah yang mestinya bisa
kudelegasikan dengan imbalan beberapa ratus ribu kepada orang.

 

Ada suatu masa dimana aku mengerjakan hampir semuanya.
Saat masih di Surabaya, pernah aku hanya tinggal berdua dengan Ais yang
berusia sekitar 1 tahun beberapa bulan waktu itu. Tanpa pembantu, dia
kutitipkan di tetangga siangnya. Sepulang bekerja kujemput dia. Setelah Ais
tidur, baru kukerjakan tetek bengek rumah tangga. Menjemur cucian jam 11 malamâ€"apalagi
waktu itu belum punya mesin cuciâ€"adalah biasa. Mengepel lantai pas jarum jam
menunjuk pukul 12 juga biasa saja. Tapi, siangnya aku masih bisa bertemu
teman-teman di kantor. Sedangkan kondisi sekarang? Pagi hingga pagi lagi aku
bakal disibukkan dengan kondisi dan kurewetan semacam itu saja yang sebenarnya
kurang ‘sehat’ bagi ibu rumah tangga manapun.

 

Seorang
ibu rumah tangga, bagaimanapun adalah sebuah pribadi yang harus memiliki waktu
untuk dirinya sendiri. Ke salon, jalan-jalan ke toko buku, atau apapun tanpa
harus ‘dikuntit’ oleh anak-anaknya apalagi yang masih batita.

 

Seikhlas
apapun seorang ibu mengasuh anak-anak dan mengatur rumah tangganya, dia tetap
seorang pribadi yang harus upgrade diri. Dan itu, niscaya terlaksana jika
waktunya habis untuk hal-hal yang sebenarnya bisa didelegasikan atau diwakilkan
untuk sementara ke orang lain atau keluarganya.

 

Seorang
suami mengaku, ketika istrinya tengah down
dengan bayinya yang rewel, sang istri curhat, sms bahwa dia mengerti mengapa
ada ibu yang tega membekap mulut dan hidung anaknya sehingga akhirnya
meninggal. Sang istri tak menjelaskan alasannya. Tapi, kuterka, dia mengatakan
itu sebagai wujud sampainya dia di titik jenuh memegang (baca: bertanggung
jawab atas) bayinya sendiri, atau ketiadaan orang lain yang mengulurkan tangan
agar dia memiliki waktu pribadi sementara, mengambil jarak agar kembali segar,
atau sekedar telinga untuk medengar.

 

Seorang
istri, ibu rumah tangga jamak dituntut harus menyediakan waktunya 24 jam 7 hari
seminggu untuk keluarganya, tanpa syarat. Beberapa perempuan meyakini dan
mencoba ‘fit’ dengan tuntutan seperti itu padahal alam bawah sadarnya muncul
sebuah pemberontakan besar. Pemberontakan yang terus menerus ditahan ini pada
satu titik bisa meledak dan justru sangat berbahaya. Mungkin seperti ibu yang
membunuh dan bunuh diri bersama anaknya itu.

 

Aku
jadi ingat tayangan di Nanny 911, dimana si ibu biasanya sengaja disuruh oleh
Nanny meninggalkan rumah, ‘sekedar’ memanjakan diri ke salon atau apa. Si ibu
tentu merasa bersalah. Tapi, dia juga berhak memanjakan diriâ€"bisa juga dengan
cara lain seperti jalan-jalan ke pameran bukuâ€"dengan waktunya pribadi.

 

Seorang
sahabat lain lagi curhatnya. Karena sibuk dengan urusan anak dan rumah tangga,
dia merasa ‘berjarak’ dengan suaminya. Tak nyambung kalau diajak ngomong soal
teknologi computer terbaru atau apa. Masalahnyaâ€"untungnya si sahabat
sadarâ€"bahwa dia tak meng-up grade dirinya.

 

“Jangankan
baca koran yang tiap hari atau kuliah lagi, Mbak. Baca tabloid yang seminggu
sekali aja nggak sempat. Kadang nggak kerasa, edisi minggu ini belum dibaca kok
sudah datang edisi berikutnya. Ya sudah, saya sudahi saja langganannya,”
akunya.

 

Menilik
secuil kasus teman saya itu, rasanya tak berlebihan dan bukan berarti manja
jika kami harus memiliki pembantu lagi dalam waktu dekat ini. Aku merasa masih
wajib menjemput Ais yang masih kelas dua. Sekedar mengingatkan bukunya jangan ditinggal
di locker karena masih perlu untuk belajar mid semester seperti kejadian
kemarin, atau apa. Aku juga tak tega jika harus membawa-bawa Yasmin menjemput
kakaknya dengan motor membelah perbatasan Depok-Jakarta Selatan--yang sore pun
macet-- hanya gara-gara terlalu pengecut untuk bawa mobil lagi.

 

Banyak
ketidaksiapanku yang dipatahkan begitu saja oleh bekas pembantuku yang telah
kuanggap saudara, yang ternyata bertindak sedemikian rupa tak sportifnya. But the show must go on. Jalani saja,
sebaik-baiknya. Selalu ada hikmah di setiap kejadian. Semoga apa yang
dikuranginya akan dilebihnya dengan yang lebih barokah. Amin…

 

Tanah baru, 14/10/09 23.37

Indarwati
penulis novel Lintang Gumebyar dan editor lepas plus irt
curhatan http://lembarkertas.multiply.com
kreasi tangan http://www.kedaicraft.com
FB: indar7510@yahoo.com

8a.

(Resensi) Perahu Kertas Karya "Dee"

Posted by: "Yons Achmad" kolumnis@gmail.com   freelance_corp

Wed Oct 14, 2009 10:53 pm (PDT)



*Dee : Cinta, Impian dan Kejujuran*

* *

* *

*Judul Buku : Perahu Kertas*
Penulis : Dewi "Dee" Lestari
Penerbit : Bentang Pustaka, 2009
Tebal : 444 hal.
Harga : Rp.69,000,-

Di musim paceklik yang terus mengendus, puji Tuhan, bersyukur masih bisa
membeli sebuah novel. Kali ini karya Dewi "Dee" Lestari yang berjudul Perahu
Kertas. Tak rugi saya mengeluarkan sekian rupiah untuk bisa membaca buku
ini. Bagi saya, novel itu semacam pelipur kepenatan dan kebosanan. Dan,
novel Dee ini, setelah saya membaca tuntas, bisa membuat saya tersenyum,
merenung dan tentu saja memaksa diri belajar kembali tentang rasa kehidupan
yang sekian lama terjalani. Saya suka novel ini.

Novel ini, bergenre populer, khas gaya tutur anak muda perkotaan, terutama
nampak dalam dialog-dialog di dalamnya. Begitu juga kisah seputar kuliah,
buku dan pesta ada dalam cerita. Agak berbeda misalnya dengan "Filosofi
Kopi" yang cenderung serius, naratif dan jarang melibatkan kelucuan serta
kekoyolan. Entahlah, mungkin ini semacam terobosan untuk lebih dekat dengan
pembaca. Orang Indonesia, khususnya anak-anak muda itu sudah bersyukur mau
membaca, tak bijak membebani pembaca dengan hal-hal yang berat. Mungkin, itu
alasannya. Mungkin.

Jujur, diawal cerita saya agak kebingungan dengan nama-nama khususnya nama
Kugy dan Keenan. Nama yang asing bagi saya bahkan sempat bingung membedakan
perempuan atau lelakikah, entahlah mungkin saya yang diawal kurang teliti
membacanya. Selanjutnya, banyak tokoh di dalamnya seperti Eko, Noni, Wanda,
Ojos, Pak Wayan, Adri, Lena, Remi, Luhde, Bimo dll. Sulit, untuk
menceritakan kembali kisah mereka. Setelah saya timbang dan pikir, rasanya
kok fokusnya Dee ingin menonjolkan kisah Kugy dan Keenan. Begitu yang saya
tangkap. Dari kisah keduanya, saya membaui ada sekira tiga hal yang ingin
disampaikan Dee, tentang Cinta, Impian dan Kejujuran. Ini menurut bacaan
saya. Maaf kalau salah.

*Cinta *: Ya. Novel ini berkisah tentang cinta yang dipendam oleh Kugy dan
Keenan. Keduanya teman satu kampus di Bandung. Bagai langit dan sumur.
Begitu kata Dee untuk menggambarkan keduanya. Mereka saling mengangumi satu
sama lain. Namun, keduanya sama-sama tak mampu untuk mengungkapkannya. Dan,
keadaanpun rupanya tak memungkinkan.**

*Impian : *Kugy, adalah cewek berantakan yang ngebet pingin jadi juru
dongeng. Sementara Keenan sangait bercita-cita menjadi seorang seniman,
seorang pelukis. Impian tak mulus. Kugy harus melewati hidup dengan
realistis menjadi seorang copy writer, sementara Keenan malah harus berbalik
arah cukup dratis, bekerja mengurusi perusahaan *trading *milik ayahnya.
Namun, mereka selalu yakin dengan mimpinya. Tak ada yang lebih indah selain
keduanya saling mendukung. Dan, begitulah Dee meramu ceritanya dengan apik
di dalamnya. Seolah berkata "Jangan Takut Bermimpi"**

*Kejujuran : *Inilah akhir cerita yang mengharu biru. Keduanya (Kugy dan
Keenan) sempat berpisah sekian lama. Kugy, sudah punya kekasih bernama Remi,
bos di kantornya. Sementara, Keenan juga sudah punya kekasih gadis Bali,
Luhde namanya. Cerita begitu rumit. Namun, akhirnya Remi sadar bahwa hati
Kugy hanya untuk Keenan, sementara Luhde juga sama, walau rasa cinta itu
ada, hati Keenan hanya untuk Kugy. Ini kejujuran pertama. Kejujuran kedua,
ketika Kugy dan Keenan jujur membuka hati, melepas ego masing-masing, jujur
keduanya saling mencintai.

Kisah yang dipenuhi gelak tawa, kekonyolan, ke-egoan, persahabatan dan
tangis ini sungguh begitu manusiawi. Dan, siapapun pasti tersentuh ketika
membacanya. Wajar, Dee memang tak main-main menggarap novel ini, butuh
sekira 11 tahun mewujudkannya, dan yang pasti ia menulis dengan hati. Hasilnya
tentu akan sampai ke hati pula. Jika ditanya apa komentar saya selanjutnya,
dengan singkat mungkin saya akan berkata "Novel ini perlu diangkat ke layar
lebar, itu saja". (yons achmad)**

--
==========
yons achmad
columnist & online publisist
blog:http://penakayu.blogspot.com
8b.

Re: (Resensi) Perahu Kertas Karya "Dee"

Posted by: "asma_h_1999" asma_h_1999@yahoo.com   asma_h_1999

Thu Oct 15, 2009 12:17 am (PDT)



Saya juga udah baca buku ini (minjem di taman bacaan di Bandung). Menurut saya ceritanya seru, inspiratif dan unik banget.

Salam
asma

--- In sekolah-kehidupan@yahoogroups.com, Yons Achmad <kolumnis@...> wrote:
>
> *Dee : Cinta, Impian dan Kejujuran*
>
> * *
>
> * *
>
> *Judul Buku : Perahu Kertas*
> Penulis : Dewi "Dee" Lestari
> Penerbit : Bentang Pustaka, 2009
> Tebal : 444 hal.
> Harga : Rp.69,000,-
>
>
>
> Di musim paceklik yang terus mengendus, puji Tuhan, bersyukur masih bisa
> membeli sebuah novel. Kali ini karya Dewi "Dee" Lestari yang berjudul Perahu
> Kertas. Tak rugi saya mengeluarkan sekian rupiah untuk bisa membaca buku
> ini. Bagi saya, novel itu semacam pelipur kepenatan dan kebosanan. Dan,
> novel Dee ini, setelah saya membaca tuntas, bisa membuat saya tersenyum,
> merenung dan tentu saja memaksa diri belajar kembali tentang rasa kehidupan
> yang sekian lama terjalani. Saya suka novel ini.
>
>
>
> Novel ini, bergenre populer, khas gaya tutur anak muda perkotaan, terutama
> nampak dalam dialog-dialog di dalamnya. Begitu juga kisah seputar kuliah,
> buku dan pesta ada dalam cerita. Agak berbeda misalnya dengan "Filosofi
> Kopi" yang cenderung serius, naratif dan jarang melibatkan kelucuan serta
> kekoyolan. Entahlah, mungkin ini semacam terobosan untuk lebih dekat dengan
> pembaca. Orang Indonesia, khususnya anak-anak muda itu sudah bersyukur mau
> membaca, tak bijak membebani pembaca dengan hal-hal yang berat. Mungkin, itu
> alasannya. Mungkin.
>
>
>
> Jujur, diawal cerita saya agak kebingungan dengan nama-nama khususnya nama
> Kugy dan Keenan. Nama yang asing bagi saya bahkan sempat bingung membedakan
> perempuan atau lelakikah, entahlah mungkin saya yang diawal kurang teliti
> membacanya. Selanjutnya, banyak tokoh di dalamnya seperti Eko, Noni, Wanda,
> Ojos, Pak Wayan, Adri, Lena, Remi, Luhde, Bimo dll. Sulit, untuk
> menceritakan kembali kisah mereka. Setelah saya timbang dan pikir, rasanya
> kok fokusnya Dee ingin menonjolkan kisah Kugy dan Keenan. Begitu yang saya
> tangkap. Dari kisah keduanya, saya membaui ada sekira tiga hal yang ingin
> disampaikan Dee, tentang Cinta, Impian dan Kejujuran. Ini menurut bacaan
> saya. Maaf kalau salah.
>
>
>
> *Cinta *: Ya. Novel ini berkisah tentang cinta yang dipendam oleh Kugy dan
> Keenan. Keduanya teman satu kampus di Bandung. Bagai langit dan sumur.
> Begitu kata Dee untuk menggambarkan keduanya. Mereka saling mengangumi satu
> sama lain. Namun, keduanya sama-sama tak mampu untuk mengungkapkannya. Dan,
> keadaanpun rupanya tak memungkinkan.**
>
>
>
> *Impian : *Kugy, adalah cewek berantakan yang ngebet pingin jadi juru
> dongeng. Sementara Keenan sangait bercita-cita menjadi seorang seniman,
> seorang pelukis. Impian tak mulus. Kugy harus melewati hidup dengan
> realistis menjadi seorang copy writer, sementara Keenan malah harus berbalik
> arah cukup dratis, bekerja mengurusi perusahaan *trading *milik ayahnya.
> Namun, mereka selalu yakin dengan mimpinya. Tak ada yang lebih indah selain
> keduanya saling mendukung. Dan, begitulah Dee meramu ceritanya dengan apik
> di dalamnya. Seolah berkata "Jangan Takut Bermimpi"**
>
>
>
> *Kejujuran : *Inilah akhir cerita yang mengharu biru. Keduanya (Kugy dan
> Keenan) sempat berpisah sekian lama. Kugy, sudah punya kekasih bernama Remi,
> bos di kantornya. Sementara, Keenan juga sudah punya kekasih gadis Bali,
> Luhde namanya. Cerita begitu rumit. Namun, akhirnya Remi sadar bahwa hati
> Kugy hanya untuk Keenan, sementara Luhde juga sama, walau rasa cinta itu
> ada, hati Keenan hanya untuk Kugy. Ini kejujuran pertama. Kejujuran kedua,
> ketika Kugy dan Keenan jujur membuka hati, melepas ego masing-masing, jujur
> keduanya saling mencintai.
>
>
>
> Kisah yang dipenuhi gelak tawa, kekonyolan, ke-egoan, persahabatan dan
> tangis ini sungguh begitu manusiawi. Dan, siapapun pasti tersentuh ketika
> membacanya. Wajar, Dee memang tak main-main menggarap novel ini, butuh
> sekira 11 tahun mewujudkannya, dan yang pasti ia menulis dengan hati. Hasilnya
> tentu akan sampai ke hati pula. Jika ditanya apa komentar saya selanjutnya,
> dengan singkat mungkin saya akan berkata "Novel ini perlu diangkat ke layar
> lebar, itu saja". (yons achmad)**
>
>
> --
> ==========
> yons achmad
> columnist & online publisist
> blog:http://penakayu.blogspot.com
>

9.

[Ruang Baca] Mengenang Ketulusan Seekor Kucing

Posted by: "kidishom" kidishom@yahoo.com   kidishom

Wed Oct 14, 2009 10:56 pm (PDT)



Mengenang Ketulusan Seekor Kucing

Tentu saja ada sesuatu yang sangat istimewa pada dirinya sehingga kucing ini dibuatkan memoar. Dia Dewey. Lengkapnya, Dewey Readmore Books. Dia tinggal di Perpustakaan Umum Spencer, Iowa, Amerika Serikat. Selama sembilan belas tahun kehidupannya, dia telah menginspirasi seorang perempuan yang hidupnya penuh cobaan dan penduduk sebuah kota kecil yang terpuruk. Semua itu bisa terjadi karena ketulusan sang kucing.

Kira-kira delapan minggu setelah kelahirannya, Dewey ditemukan dalam keadaan nyaris beku oleh Vicki Myronâ€"manusia yang kemudian menjadi ibu angkat bagi si kucingâ€"di antara buku-buku dalam kotak pengembalian di Perpustakaan Umum Spencer. Dewey pun tidak ketakutan apalagi berusaha melawan seperti biasa dilakukan kucing buangan pada umumnya. Dia percaya manusia yang ada di hadapannya akan menolongnya. Tanpa pikir panjang, Vicky yang ketika itu menjabat sebagai direktur perpustakaan tersebut langsung menggendong dan menyelimuti kucing itu.

Dalam waktu singkat, Dewey berhasil membeli hati seluruh staf perpustakaan. Dengan dukungan rekan-rekan sesama pustakawan, Vicki memelihara Dewey di perpustakaan itu. Dari hari ke hari, kucing itu menjelma menjadi “duta perpustakaan” meskipun tidak ada seorang pun yang menunjuknya. Hewan kecil itu sepertinya telah memutuskan untuk mengabdikan diri pada perpustakaan yang kini menjadi rumahnya.

Secara fisik, Dewey digambarkan sebagai kucing jantan yang tampan dengan bulu jingga, mata lebar, dan telinga tegak. Namun lebih dari itu, dia bersifat terpuji. Kita bisa membacanya di halaman 112: “Dewey tidak memilih-milih orang yang disayanginya. Dia mencintai semua orang tanpa pilih kasih.” Setiap hari dia menemani semua pustakawan dan pengunjung sehingga mereka merasa merekalah satu-satunya orang yang diperhatikan oleh kucing itu. Setiap hari dia akan menyambut orang pertama yang datang ke perpustakaan, duduk di pangkuan pengunjung yang membutuhkannya, menemani anak-anak selama Jam Mendongeng, dan menjadi “wakil resmi” perpustakaan jika ada pengunjung yang mengadakan rapat di sana.

Bacalah bagian yang menceritakan hubungannya dengan anak cacat bernama Crystal di halaman 114-116.

Crystal adalah anak yang cacat fisiknya paling parah …. Dewey langsung memperhatikan Crystal, tetapi mereka tidak segera menjalin hubungan. Gadis itu sepertinya tidak terlalu tertarik pada Dewey …. Sampai pada suatu minggu, Dewey melompat ke nampan kursi roda anak itu. Crystal memekik kegirangan. Dan itulah suara pertama yang keluar dari mulut gadis remaja itu setelah bertahun-tahun mengunjungi perpustakaan. Satu keajaiban Dewey.

Crystal bukanlah satu-satunya sahabat Dewey. Selain dia, ada juga seorang gelandangan yang rutin datang ke perpustakaan dan seorang anak yang setiap hari ditinggal ibunya bekerja. Setiap kali menjemput anaknya di perpustakaan, si ibu selalu bertanya, “Apa yang Dewey lakukan padamu?” Pertanyaan itu membuka obrolan di antara ibu dan anak yang tidak memiliki banyak waktu untuk bersama itu.

Kehadiran Dewey berhasil meningkatkan jumlah kunjungan ke Perpustakaan Umum Spencer yang awalnya 63.000 menjadi lebih dari 100.000 per tahun. Dari pengunjung sebanyak itu, 19,4 persen datang dari county di sekitar Clay County, wilayah tempat Spencer berada. Dewey mungkin tidak menyadari bahwa dirinya sekarang adalah staf publisitas yang secara tidak langsung telah menyebarkan keberadaan Perpustakaan Umum Spencer ke seluruh dunia. Dewey telah menjadi sahabat para pengunjung perpustakaan itu sehingga ketika dia kabur karena tergoda ingin mencicipi kehidupan di luar, banyak orang menanyakan, “Ke mana Dewey?”

Bagi orang yang tidak memelihara kucing, buku ini memberi pengetahuan bahwa kucing adalah binatang yang tertib. Dewey, misalnya, dia memiliki jadwal harian yang tetap. Mulai dari menyambut pengunjung setiap pagi sampai bermain petak umpet saat malam sebelum pustakawan terakhir pulang.

Memoar Vicki dan Spencer

Buku ini bisa juga dibaca sebagai memoar seorang perempuan yang tegar menjalani segala ombang-ambing kehidupan. Vicki Myron, penulis buku ini, dilahirkan dan dibesarkan dalam keluarga besar petani. Kemudian dia menikah dengan seorang lelaki baik yang lantas menjadi pemabuk kelas berat. Setelah dikaruniai anak perempuan, mereka bercerai dan Vicky menjadi orangtua tunggal. Namun, pada umur 28 tahun itu dia justru baru kuliah sarjana dan kemudian lulus dengan nilai terbaik. Di sela-sela kesibukannya sebagai Direktur Perpustakaan Umum Spencer, dia meraih gelar master di sebuah universitas yang berjarak empat jam perjalanan dari tempat tinggalnya. (Perlu diingat, waktu itu tahun 1988 dan belum ada kuliah jarak jauh.) Ketika perempuan yang mengagumkan ini merasa tertekan akibat pekerjaan penyakitnya, Dewey selalu ada di sisinya.

“Jika pikiranku mandek, lelah, atau tertekan, dia melompat ke pangkuanku atau ke keyboard komputer …. Dewey memang punya indra menakjubkan untuk mencari waktu yang tepat,” kenang Vicki. Lalu mereka berdua bermain petak umpet di perpustakaan yang telah sepi itu.

Spencer adalah kota yang belum banyak berubah sejak 1931 (hal 12). Dalam buku ini, kita dapat membaca perjalanan kota pertanian kecil yang mulai berubah sejak revolusi industri. Kemudian, kota ini terpuruk ketika Depresi Besar melanda Amerika Serikat pada dekade 1930-an. Keadaan ini diperparah dengan ludesnya pusat denyut ekonomi kota itu, Grand Avenue, akibat kebakaran besar yang diawali oleh seorang anak bermain api. Jika kota-kota lain segera pulih dari kebangkrutan ekonomi, tidak demikian dengan Spencer.

Pada akhirnya, kita akan menarik benang merah dalam memoar ini: Dewey, Vicki, dan Spencer berhasil bertahan dari keterpurukan dan menjadi inspirasi bagi banyak orang.

Selamat membaca,
Moh. Sidik Nugraha
Identitas Buku

Judul: Dewey, Kucing Perpustakaan Kota Kecil yang Bikin Dunia Jatuh Hati
Penulis: Vicki Myron dan Brett Witter
Penerjemah: Istiani Prayuni
Penyunting: Mita Yuniarti dan Anton Kurnia
Penerbit: Serambi Ilmu Semesta
Terbit: I, Oktober 2009
Tebal: 400 halaman
Harga: Rp49.000

10a.

Re: (lonceng) selamat atas lahirnya putri pertama taufik&diyah

Posted by: "INDARWATI" patisayang@yahoo.com   patisayang

Wed Oct 14, 2009 11:16 pm (PDT)




selamat ya. Smg jd anak sholehah. Ajak main ke Dpok mulya dunk.
Salam,
Indar, Slamet, Ais, n Yasmin

--- In sekolah-kehidupan@yahoogroups.com, Nursalam AR <pensilmania@...> wrote:
>
> Tahniah teriring untuk kelahiran puteri pertama Kang Taufik & Mbak Diyah.
> Semoga puterinya menjadi anak sholihah dan pemberat timbangan pahala di hari
> akhir nanti. Amin!
>
> salam dari kami sekeluarga,
> Nursalam AR, Yuni Meganingrum & Muhammad Alham Navid
>
> 2009/10/13 punya_retno <punya_retno@...>
>
> >
> >
> > ass wr wb,
> >
> > sekedar meneruskan sms dari kang taufik pagi ini pukul 09.55 WIB:
> > "alhamdulillah, telah lahir dgn selamat putri kami di RS Salak Bogor. Kami
> > yg berbahagia-Taufik&Diyah"
> >
> > no hp kang taufik: 0856 92627065.
> >
> > selamat ya, kang taufik dan mbak diyah.
> > semoga menjadi anak yg salehah, cerdas hati dan pikir, serta menjadi
> > penyejuk mata dan hati kedua orangtuanya. amin.
> >
> > -retno&catur-
> >
> >
> >
>
>
>
> --
> "Open up your mind and fly!"
> -Nursalam AR
> Translator & Writer
> 0813-10040723
> 021-92727391
> www.nursalam.multiply.com
> www.facebook.com/nursalam.ar
>

11.

[etalase] Sebuah Persembahan Dari Hati, Untuk Cinta dan Kemanusiaan

Posted by: "novi khansa'" novi_ningsih@yahoo.com   novi_ningsih

Thu Oct 15, 2009 1:22 am (PDT)





Assalamu'alaykum

hanya meneruskan....

Link: http://www.hermesforcharity.blogspot.com/

=========================

Now Release : HERMES FOR CHARITY by The Hermes
Sebuah Persembahan Dari Hati, Untuk Cinta dan Kemanusiaan

Judul : HERMES FOR CHARITY *
Penulis : The Hermes
Bentuk : File digital (.pdf)
Harga : Rp. 15.000,-**

DAFTAR ISI:
Earth Is A Lonely Planet (Emmy Emanyza)
Dia… Tuhan! (Fajar Nugros)
Memotret Sejarah (Luckty Giyan Sukarno)
Tuhan Dan HambaNya (Dedo Dpassdpe)
Pulang (Melody Muchransyah)
Di Balik Sebuah Foto (Menur Widilaksmi)
Menunggu Bak (Luckty Giyan Sukarno)
Catatan Dari Padang (Rizki Januarsaputra)
Malaikat Bertongkat (Eni Setyaningsih)
Aku Mau Jadi Pahlawan (Galuh Parantri)
Untuk Wanita (Asyharul Fityan)
Surga Untuk Hati (Artasya Sudirman)
Wanita (Sitty Asiah)
Laila : Meja Nomor Tiga Puluh (Asyharul Fityan)
Hanabi (Chicko Handoyo Soe)
Aku, Lagu Cinta, dan Music Player (Faizal Reza)
Pangeran Impian Didi (Zadika Alexander)
Kura-Kura Terlambat (Faizal Reza)
Melepas Gia (Alvin Agastia Zirtaf)
Leaving Leon (Sitty Asiah)
Di Balik Pintu (Jia Effendie)
Liang (Dan Sapar)
Selamat Datang!! (Artasya Sudirman)
Hati Yang Tak Bisa Mati (Nina Josephina)
Berkawan Dengan Hujan (Pia Zakiyah)

Bonus: Original Soundtrack
Blue Summer - Hermes For Charity
Blue Summer - Someday Baby
Blue Summer - San Fransisco Bay

100%
hasil penjualan kompilasi cerpen digital HERMES FOR CHARITY akan
disumbangkan untuk korban gempa di Padang, Sumatera Barat dan
sekitarnya.

Cara pembelian :
1. Transfer Rp. 15.000,-** ke :

BCA KCP Proklamasi Depok
Nomor rekening. 661 040 947 2
a.n Alvin Agastia Zirtaf

2. Konfirmasikan pembayaran anda via email ke : hermesforcharity@gmail.com dengan format sebagai berikut :

Subject : Konfirmasi H4C
Isi:
Nama (spasi) Tanggal & Bulan Transfer (Spasi) Jumlah Transfer
(Spasi) Nama Bank (Spasi) No. Rekening (Spasi) Nama Pemilik Rekening

Contoh : Abdul Malik 0910 15000 BCA 123456789 Abdul Malik

Pembelian
anda segera diproses dalam waktu selambat-lambatnya 1x24 jam, setelah
itu link untuk mendownload produk akan dikirimkan via email.

Hormat kami dengan cinta,

The Hermes
Alvin Agastia Zirtaf - Artasya Sudirman - Asyharul Fityan
Chicko Handoyo Soe - Dan Sapar - Dedo Dpassdpe
Dwi Fitriyani - Eliana Candra - Emmy Emanyza - Eni Setyaningsih
Faizal Reza - Fajar Nugros - Galuh Parantri - Jia Effendie
Luckty Giyan Sukarno - Melody Muchransyah - Menur Widilaksmi
Nina Josephina - Pia Zakiyah - Rizki Januarsaputra
Sitty Asiah - Tiara Hermes - Zadika Alexander

***

*
Produk yang dijual adalah file digital (.pdf) dan file musik (.mp3).
Gambar yang ditampilkan hanya sebagai ilustrasi. Pembeli akan
mendapatkan link untuk mendownload produk yang akan dikirimkan via
email.

** Harga yang tercantum adalah harga minimum. Kompilasi
ini dirilis untuk penggalangan dana. Harga maksimum bisa ditetapkan
sendiri oleh pembeli.

***

"Anda adalah cermin dari pikiran-pikiran Anda Sendiri"
(Syekh Muhammad Al Ghazali)

***

novi_khansa'kreatif
~Graphic Design 4 Publishing~
YM : novi_ningsih
http://akunovi.multiply.com
http://novikhansa.wordpress.com/

Recent Activity
Visit Your Group
Biz Resources

Y! Small Business

Articles, tools,

forms, and more.

Yahoo! Groups

Auto Enthusiast Zone

Passionate about cars?

Check out the Auto Enthusiast Zone.

Celebrity kids

and families

Surviving in

the spotlight

Need to Reply?

Click one of the "Reply" links to respond to a specific message in the Daily Digest.

Create New Topic | Visit Your Group on the Web

Tidak ada komentar: