Messages In This Digest (5 Messages)
- 1.
- [Teka] Konflik Anak From: Siwi LH
- 2.
- [Teka] Konflik Anak -Revisi- From: Siwi LH
- 3a.
- Re: [Catcil] Karakter yang Tak Terlupakan From: Siwi LH
- 4a.
- Re: (Lonceng) Selamat buat mas Nursalam From: Siwi LH
- 5a.
- Re: [Kelana Lebaran] PENGUMUMAM PEMENANG From: Siwi LH
Messages
- 1.
-
[Teka] Konflik Anak
Posted by: "Siwi LH" siuhik@yahoo.com siuhik
Thu Jan 14, 2010 12:57 am (PST)
Konflik Anak
Dunia anak-anak adalah sebuah dunia dengan dinamika ajaib.
Perselisihan mereka adalah sebuah perselisihan dengan udara cinta. Bila tak
percaya cobalah perhatikan, setiap kali mereka berkonflik sedetik kemudian
mereka menjelma menjadi sahabat sejati. Setiap kali mereka berselisih paham tak
sampai semenit mereka akan berpelukan seolah tak pernah ada dosa diantara
mereka. Dan sejujurnya orang dewasa tak mampu melampaui maqam mereka dalam
penyelesaian konflik. Jiwa mereka masih sangat fitri, dan hanya cinta yang
bersemayam dihati mereka. Maka peringatan bagi orangtua untuk jangan ikut
cawe-cawe dalam konflik mereka, karena cinta itu akan terkotori, kefitrian itu
akan ternoda.
Adalah sebuah pelajaran yang sangat berharga ketika saya melewati
sebuah momen anak kedua saya (Gautama) berkonflik dengan temannya. Kronologis
bermula dari keresahan saya tentang Gautama. Betapa saya merasa belum mampu
menggapai dunia Gautama (baca
disini). Dan ternyata disekolahpun itu berdampak. Dia yang oversensitive bila melakukan
kesalahan, dia yang sangat overresponsive dengan teman-temannya,
bahkan saya menyimpulkan dari uraian ustadzah saat itu bahwa Gautama
dalam tanda petik 'ditakuti' teman-teman dikelasnya. Karena sikap overreactive-nya
tadi menyebabkan teman-teman enggan berdekatan dengannya. Akhirnya saya sepakat
dengan Ustadzah untuk meminta bantuan konselor sekolah mengobservasi Gautama.
Singkat cerita seusai konseling itu mulai ditemukan titik permasalahannya, dan
kami sepakat untuk melakukan perbaikan terutama memberikan 'ruang nyaman' bagi
Gautama.
Seminggu kemudian perbaikan ke arah positif itu nyata terlihat,
saya merasa menemukan dunia dengan Gautama, saya serasa bisa 'menyentuhnya'.
Nah pada saat hangat-hangatnya keluhan tentang dirinya, ia pernah bercerita
bahwa ada seorang Ayah teman sekelasnya bilang akan memarahinya kalau dia masih
berlaku tidak baik pada anaknya. Saat itu saya sangat memaklumi bila banyak
orangtua yang mengeluhkan tentang sikap Gautama. Jadi sikap saya saat itu
adalah mengingatkannya untuk lebih menjaga tangannya, mulutnya, dan sikapnya
yang membuat temannya tidak nyaman. Saya mencoba memasukkan tentang konsep
menyayangi sesama. Dan sesungguhnya saya sudah melupakan keluhannya, bahkan
sedikit tak menghiraukannya.
Dan ketika minggu pertama selesai konseling dan saya mulai
merasakan dampak perbaikan dalam sikapnya, juga laporan Ustadzah di Buku
Penghubung bahwa 'Alhamdulillah perkembangan Gautama sangat bagus'. Bahkan
setiap pulang sekolah dia biasa cerita, "Bunda hari ini aku sayang sama mas
Alif, tidak bertengkar dengan Mas Zidan, sayang sama semuanya!" Dan
sayapun memeluknya dan mengucapkan "Terima kasih Sayang, Bunda percaya sama
adik, kalau kamu menyayangi semuanya, adikpun akan disayangi semuanya"
Hingga suatu malam ia mengulang lagi keluhannya (baca : ketakutannya) tentang ayah
seorang teman yang akan memarahinya bila ia masih bersikap tak baik pada
anaknya. Saya mulai terusik dan mencermati ceritanya, mencoba menggali
kronologi yang terjadi. Karena masih belum puas akhirnya malam itu juga saya
menelpon Ustadzah. Sejujurnya telepon itu berangkat dari kekecewaan saya kepada
Gautama, 'barangkali dia 'berulah' lagi?' setelah grafik itu mulai naik. Pada
Ustadzah saya sampaikan semuanya, dan memastikan betul apakah Gautama bersikap
tak baik (lagi)?. Ternyata jawaban Ustadzah sedikit melegakan bahwa grafik itu
tidak sedang turun, bahkan cenderung naik. Dan
sepertinya memang benar ada ayah seorang temannya yang mengatakan kalimat yang
kurang lebihnya seperti itu. Karena anaknya pernah dipukul Gautama sampai mengeluh dadanya
sakit.
Mendengar uraian Ustadzah, tiba-tiba ada sebentuk kekecewaan lain
hadir? Ada perasaan tidak terima mendapati Gautama –anak saya- diperlakukan
seperti itu. Orangtua mana yang bisa menerima sikap orangtua temannya seperti
itu? Walaupun Gautama ikut memberi andil dengan
'kenakalannya' namun bukankah tidak seperti itu penyelesaian yang baik? Dengan mengintimidasi anak? Hmhh… Untunglahketika hati saya mulai jernih, mulai bisa berpikir rasional, akhirnya saya
sampai pada kesimpulan, 'bila emosi harus ditanggapi dengan emosi, seperti apa
jadinya? hanya akan menguras energi kita'. Dan barangkali sikap yang harus saya
ambil adalah semakin menguatkan konsep Gautama untuk lebih menyayangi temannya.
Rasanya itu lebih rasional.
Namun ternyata kesimpulan saya, pagi harinya harus mendapat ujian
ketika saya mengantarkannya sekolah. Dijalan Gautama dengan kepolosan khas
anak-anak bilang pada saya, "Bunda hari ini aku tidak dimarahi Ayah temanku
kan?" Memelas sekali nadanya,dan membuat
saya tercekat denganmata
berkaca-kaca. Dari nadanya saya menangkap ketakutan, dan sepertinya ia membutuhkan sebuah pengayoman.Ah, Nak kenapa harus ada yang
melukai cinta di dunia kalian?, sungguh
Bunda yakin sedetik dari perselisihanmu, kalian sudah tertawa bersama lagi,
sudah berbagi kue lagi, bahkan mungkin sudah berantem lagi dengan konflik yang
beda sama sekali. Namun disini kamu masih 'terperangkap' dalam
sebuah ketakutan.
Saya menggigit bibir
kuat-kuat mencoba menenangkan rasa, dan berusaha berucap dengan tenang,
"Insyaallah tidak Nak, karena selama ini Gautama sudah menyayangi temannya.
Memang kalau kita menyakiti teman, orangtua teman kita bisa marah, dan
Bunda yakin adik sudah menyayangi temannya semua, jadi sudah tidak akan
ada yang marah lagi, ya? Adik tak perlu takut, karena adik sudah benar untuk
menyayangi temannya ya?" Ingin
rasanya saya menjawab" Oh tentu tidak nak, kalau masih ada yang masih berani
memarahi adik, bilang aja sama Bunda, Bunda akan buat perhitungan!" Tapi apalah dampak dari kalimat itu
selain menanamkan keburukan, dan menyebarkan energi tak pantas pada anak-anak.
Sekali lagi dunia mereka adalah sebuah dunia yang tak boleh kita kotori dengan
emosi kita. Karena hanya akan menimbulkan luka, dan noda bagi mereka.
Alhamdulillah pihak sekolah mengambil tindakan simpatik, menyampaikan
hal tersebut kepada yang bersangkutan, dan mendudukkan masalah pada
porsi sebenarnya, bahwa selama ini perselisihan anak-anak selalu diselesaikan
sebelum mereka pulang dengan saling memaafkan, dan bila ada hal yang masih
kurang berkenan terhadap sikap anak-anak, sebaiknya diselesaikan dengan pihak
sekolah, jangan langsung kepada si anak.
Dari peristiwa itu betapa saya sangat belajar banyak. Saya setuju
dengan pendapat suami saya, bahwa konflik anak-anak harusnya diselesaikan dalam
wilayah mereka, tak perlu ada campur tangan kita untuk merasa menjadi wasit
dalam menyelesaikannya. Karena penyelesaian mereka jauh lebih indah dari
pemahaman kita, dan tentunya jauh dari sikap rasional dari pemahaman kita
-orang dewasa-. Bahwa setiap anak yang memukul harus ganti dipukul, tidak!,
bukan seperti itu cara penyelesaian mereka. Karena selesai memukul ajaibnya
mereka akan tertawa bersama seolah konflik hanyalah banyolan belaka bagi
mereka, bumbu pemanis dunia mereka.
Nah, baru bila konflik mereka sudah menjurus ke hal yang
berbahaya, semisal menimbulkan luka, menimbulkan lebam yang diakibatkan
tindakan salah seorang dari mereka, bolehlah para orangtua ikut menyelesaikan
namun tidak dengan mengintimidasi si anak, tapi selesaikan dengan sesama
orangtua. Bicarakan dengan musyawarah mufakat dengan penyelesaian win-win solution.
Biarkan orangtua si anak yang menyelesaikan persoalannya dengan anaknya
sendiri. Dan ada baiknya para orangtua tidak saling menyalahkan karena
seringnya yang terjadi adalah pembicaraan sesama orangtua ini justru merembet
ke hal-hal yang lebih besar yang sebenarnya tak ada substansinya dengan konflik
anaknya. Jangan sampai terjadi anak yang berkonflik sudah makan sepiring berdua
sementara para orangtua masih menegangkan urat sarafnya, naudzubillah.
Pelajaran lain buat saya adalah untuk lebih intensif membangun
silaturahmi, baik kepada Ustadzah di sekolah maupun kepada para wali murid.
Karena dengan membangun silaturahmi tak perlu muncul hal-hal remeh temeh yang
menimbulkan energi tak penting seperti ini. Semoga ke depan tak perlu lagi ada
hal-hal seperti ini.
Terakhir,saya ingin menutup
tulisan ini dengan kalimat "Pernahkah kita berpikir bahwa konflik bagi
anak-anak sejatinya adalah ungkapan
cinta walaupun dengan bentuk yang lain?". Maqam
itulah yang rasanya belum bisa kita lampaui. Wallahu'alam.
Pacar Kembang 10 Januari 2010 Salam Hebat Penuh Berkah
Siwi LH
cahayabintang. wordpress.com
siu-elha. blogspot.com
YM : siuhik
- 2.
-
[Teka] Konflik Anak -Revisi-
Posted by: "Siwi LH" siuhik@yahoo.com siuhik
Thu Jan 14, 2010 1:11 am (PST)
Maaf yang tadi tulisannya terlalu kecil...
Konflik Anak
Dunia
anak-anak adalah sebuah dunia dengan dinamika ajaib. Perselisihan mereka adalah
sebuah perselisihan dengan udara cinta. Bila tak percaya cobalah perhatikan,
setiap kali mereka berkonflik sedetik kemudian mereka menjelma menjadi sahabat
sejati. Setiap kali mereka berselisih paham tak sampai semenit mereka akan
berpelukan seolah tak pernah ada dosa diantara mereka. Dan sejujurnya orang
dewasa tak mampu melampaui maqam mereka dalam penyelesaian konflik. Jiwa mereka
masih sangat fitri, dan hanya cinta yang bersemayam dihati mereka. Maka
peringatan bagi orangtua untuk jangan ikut cawe-cawe dalam konflik mereka,
karena cinta itu akan terkotori, kefitrian itu akan ternoda.
Adalah
sebuah pelajaran yang sangat berharga ketika saya melewati sebuah momen anak
kedua saya (Gautama) berkonflik dengan temannya. Kronologis bermula dari
keresahan saya tentang Gautama. Betapa saya merasa belum mampu menggapai dunia
Gautama (baca
disini). Dan ternyata disekolahpun itu berdampak. Diayang oversensitive bila melakukan kesalahan, dia
yang sangat overresponsive dengan teman-temannya,
bahkan saya menyimpulkan dari uraian ustadzah saat itu bahwa Gautama
dalam tanda petik 'ditakuti' teman-teman dikelasnya. Karena sikap overreactive-nya
tadi menyebabkan teman-teman enggan berdekatan dengannya. Akhirnya saya sepakat
dengan Ustadzah untuk meminta bantuan konselor sekolah mengobservasi Gautama.
Singkat cerita seusai konseling itu mulai ditemukan titik permasalahannya, dan
kami sepakat untuk melakukan perbaikan terutama memberikan 'ruang nyaman' bagi
Gautama.
Seminggu
kemudian perbaikan ke arah positif itu nyata terlihat, saya merasa menemukan
dunia dengan Gautama, saya serasa bisa 'menyentuhnya'. Nah pada saat
hangat-hangatnya keluhan tentang dirinya, ia pernah bercerita bahwa ada seorang
Ayah teman sekelasnya bilang akan memarahinya kalau dia masih berlaku tidak
baik pada anaknya. Saat itu saya sangat memaklumi bila banyak orangtua yang
mengeluhkan tentang sikap Gautama. Jadi sikap saya saat itu adalah
mengingatkannya untuk lebih menjaga tangannya, mulutnya, dan sikapnya yang
membuat temannya tidak nyaman. Saya mencoba memasukkan tentang konsep
menyayangi sesama. Dan sesungguhnya saya sudah melupakan keluhannya, bahkan
sedikit tak menghiraukannya.
Dan
ketika minggu pertama selesai konseling dan saya mulai merasakan dampak
perbaikan dalam sikapnya, juga laporan Ustadzah di Buku Penghubung bahwa
'Alhamdulillah perkembangan Gautama sangat bagus'. Bahkan setiap pulang sekolah
dia biasa cerita, "Bunda hari ini aku sayang sama mas Alif, tidak bertengkar
dengan Mas Zidan, sayang sama semuanya!" Dan sayapun memeluknya dan
mengucapkan "Terima kasih Sayang, Bunda percaya sama adik, kalau kamu
menyayangi semuanya, adikpun akan disayangi semuanya"
Hingga
suatu malam ia mengulang lagi kalimatnya tentang ayah seorang teman yang akan
memarahinya bila ia masih bersikap tak baik pada anaknya. Saya mulai terusik
dan mencermati ceritanya, mencoba menggali kronologi yang terjadi. Karena masih
belum puas akhirnya malam itu juga saya menelpon Ustadzah. Sejujurnya telepon
itu berangkat dari kekecewaan saya kepada Gautama, 'barangkali dia 'berulah'
lagi?' setelah grafik itu mulai naik. Pada Ustadzah saya sampaikan semuanya,
dan memastikan betul apakah Gautama bersikap tak baik lagi?. Ternyata jawaban
Ustadzah sedikit melegakan bahwa grafik itu tidak sedang turun, bahkan
cenderung naik. Dan sepertinya memang benar ada ayah
seorang temannya yang mengatakan kalimat yang kurang lebihnya seperti itu.
Karena anaknya pernah dipukul Gautama sampai dadanya sakit.
Mendengar
uraian Ustadzah, tiba-tiba ada sebentuk kekecewaan lain hadir? Ada perasaan
tidak terima mendapati Gautama –anak saya- diperlakukan seperti itu. Orangtua
mana yang bisa menerima sikap orangtua temannya seperti itu? Walaupun Gautama ikut memberi andil dengan
'kenakalannya' namun bukankah bukan
seperti itu penyelesaian yang baik? Dengan mengintimidasi anak? Hmhh… Untunglahketika hati saya mulai jernih, mulai bisa berpikir rasional, akhirnya saya
sampai pada kesimpulan, 'bila emosi harus ditanggapi dengan emosi, seperti apa
jadinya? hanya akan menguras energi kita'. Dan barangkali sikap yang harus saya
ambil adalah semakin menguatkan konsep Gautama untuk lebih menyayangi temannya.
Rasanya itu lebih rasional.
Namun
ternyata kesimpulan saya, pagi harinya harus mendapat ujian ketika saya
mengantarkannya sekolah. Dijalan Gautama dengan kepolosan khas anak-anak bilang
pada saya, "Bunda hari ini aku tidak dimarahi Ayah temanku kan?" Memelas sekali
nadanya,dan membuat saya tercekat denganmata
berkaca-kaca. Dari nadanya saya menangkap ketakutan, dan sepertinya ia membutuhkan sebuah pengayoman.Ah, Nak kenapa harus ada yang
melukai cinta di dunia kalian?,
sungguh Bunda yakin sedetik dari perselisihanmu, kalian sudah tertawa bersama
lagi, sudah berbagi kue lagi, bahkan mungkin sudah berantem lagi dengan konflik
yang beda sama sekali. Namun disini kamu masih 'terperangkap' dalam
sebuah ketakutan.
Saya menggigit bibir kuat-kuat mencoba
menenangkan rasa, dan berusaha berucap dengan tenang, "Insyaallah tidak
Nak, karena selama ini Gautama sudah menyayangi temannya. Memang kalau kita
menyakiti teman, orangtua teman kita bisa marah, dan Bunda yakin adik
sudah menyayangi temannya semua, jadi sudah tidak akan ada yang marah lagi, ya?
Adik tak perlu takut, karena adik sudah benar untuk menyayangi temannya ya?" Ingin rasanya saya menjawab" Oh
tentu tidak nak, kalau masih ada yang masih berani memarahi adik, bilang aja
sama Bunda, Bunda akan buat perhitungan!" Tapi
apalah dampak dari kalimat itu selain menanamkan keburukan, dan menyebarkan
energi tak pantas pada anak-anak. Sekali lagi dunia mereka adalah sebuah dunia
yang tak boleh kita kotori dengan emosi kita. Karena hanya akan menimbulkan
luka, dan noda bagi mereka.
Alhamdulillah
pihak sekolah mengambil tindakan simpatik, menyampaikan hal tersebut kepada
yang bersangkutan, dan mendudukkan masalah pada porsi sebenarnya,
bahwa selama ini perselisihan anak-anak selalu diselesaikan sebelum mereka
pulang dengan saling memaafkan, dan bila ada hal yang masih kurang berkenan
terhadap sikap anak-anak, sebaiknya diselesaikan dengan pihak sekolah, jangan
langsung kepada si anak.
Dari
peristiwa itu betapa saya sangat belajar banyak. Saya setuju dengan pendapat
suami saya, bahwa konflik anak-anak harusnya diselesaikan dalam wilayah mereka,
tak perlu ada campur tangan kita untuk merasa menjadi wasit untuk
menyelesaikannya. Karena penyelesaian mereka jauh lebih indah dari pemahaman
kita, dan tentunya jauh dari sikap rasional dari pemahaman kita -orang dewasa-.
Bahwa setiap anak yang memukul harus ganti dipukul, tidak!, bukan seperti itu
cara penyelesaian mereka. Karena selesai memukul ajaibnya mereka akan tertawa
bersama seolah konflik hanyalah banyolan belaka bagi mereka, bumbu pemanis
dunia mereka.
Nah, baru
bila konflik mereka sudah menjurus ke hal yang berbahaya, semisal menimbulkan
luka, menimbulkan lebam yang diakibatkan tindakan salah seorang dari mereka,
bolehlah para orangtua ikut menyelesaikan namun tidak dengan mengintimidasi si
anak, tapi selesaikan dengan sesama orangtua. Bicarakan dengan musyawarah
mufakat dengan penyelesaian win-win solution. Biarkan orangtua si anak
yang menyelesaikan persoalannya dengan anaknya sendiri. Dan ada baiknya para
orangtua tidak saling menyalahkan karena seringnya yang terjadi adalah
pembicaraan sesama orangtua ini justru merembet ke hal-hal yang lebih besar
yang sebenarnya tak ada substansinya dengan konflik anaknya. Jangan sampai
terjadi anak yang berkonflik sudah makan sepiring berdua sementara para
orangtua masih menegangkan urat sarafnya, naudzubillah.
Pelajaran
lain buat saya adalah untuk lebih intensif membangun silaturahmi, baik kepada
Ustadzah di sekolah maupun kepada para wali murid. Karena dengan membangun
silaturahmi tak perlu muncul hal-hal remeh temeh yang menimbulkan energi tak
penting seperti ini. Semoga ke depan tak perlu lagi ada hal-hal seperti ini.
Terakhir,saya ingin menutup tulisan ini dengan kalimat "Pernahkah kita berpikir bahwa konflik bagi
anak-anak sejatinya adalah ungkapan
cinta walaupun dengan bentuk yang lain?". Maqam
itulah yang belum bisa kita lampaui. Wallahu'alam.
Pacar
Kembang 10 Januari 2010
Salam Hebat Penuh Berkah
Siwi LH
cahayabintang. wordpress.com
siu-elha. blogspot.com
YM : siuhik
- 3a.
-
Re: [Catcil] Karakter yang Tak Terlupakan
Posted by: "Siwi LH" siuhik@yahoo.com siuhik
Thu Jan 14, 2010 1:25 am (PST)
makasih ya mbak sudah membaginya?, sangat bermanfaat!
Salam Hebat Penuh Berkah
Siwi LH
cahayabintang. wordpress.com
siu-elha. blogspot.com
YM : siuhik
_____________________ _________ __
From: Rini <rinurbad@yahoo.com >
To: sekolah-kehidupan@yahoogroups. com
Sent: Thu, January 14, 2010 6:05:43 AM
Subject: [sekolah-kehidupan] [Catcil] Karakter yang Tak Terlupakan
Mudah-mudahan posting ini tidak dikategorikan Di Luar Topik. Saya menemukan tulisan bagus mengenai karakter dalam fiksi, yang saya salin atas izin pemiliknya, penulis dan penerjemah senior Mbak Ary Nilandari. Berikut opini beliau, dari blognya http://arynsis. multiply. com/journal/ item/114/ Writing_Karakter _yang_Tak_ Te
rlupakan
Pernah tidak Anda menemukan atau mengenal seseorang dalam kehidupan nyata yang sulit dilupakan karena keunikan karakternya?
Dan apa pun yang dilakukan dan dikatakannya sesuai dengan karakternya itu?
Ketika dia melakukan/mengataka n sesuatu yang tidak sesuai, kita juga langsung tahu ada yang tidak beres, atau kita bertanya-tanya apa penyebab inkonsistensi ini.
Sebagai contoh, aku pernah serumah kos dengan seorang mahasiswa yang kegemarannya adalah mengumpulkan suvenir dari hotel-hotel. Kebetulan dia kuliah di akademi pariwisata, atau mungkin karena hobinya itu dia memutuskan kuliah di sana. Who knows. Yang jelas, di dinding kamarnya banyak sekali tergantung kunci kamar hotel berbagai bentuk dan ukuran. Di rak bukunya, berjajar pula asbak, gelas, piring, cangkir, dsb. Semuanya berlabel nama aneka hotel, baik di Indonesia, maupun luar negeri.
Dia sering bepergian dan menginap di hotel-hotel baik dalam rangka tugas kuliah maupun urusan pribadi. Dan dia selalu menyempatkan diri membawa suvenir pulang. Menurutnya, tidak semua suvenir itu diberikan dengan sukarela oleh penyelia hotel. Tapi demi koleksinya, dia punya cara lain untuk mendapatkan apa yang diingininya. "Mencuri" adalah kata yang terlintas dalam benakku waktu itu. Dari matanya yang berbinar penuh arti, aku tahu dia mampu melakukan itu kalau perlu, dan tanpa rasa sesal atau malu.
Such an unforgettable character, he was, terlepas dari moralitas yang berlaku.
Di lain pihak, adakah karakter dalam buku-buku yang Anda baca, begitu merasuk dalam benak, menjadikannya sosok yang tak bisa Anda lupakan? Jika karakter itu protagonis, Anda berharap bertemu dengannya dalam kehidupan nyata. Atau bahkan Anda berharap bisa menjadi seperti dirinya. Dan jika karakter itu antagonis, Anda ingin sekali menonjok mukanya pertama kali bertemu dengannya.
Georgina atau George dari Lima Sekawan, Jupiter dari Trio Detektif, Matilda-nya Roald Dahl, Fang dari Maximun Ride, Edward the Vampire, Nancy Drew, Atticus Finch, Tintin dan Snowy, Asterix dan Obelix, Bartimaeus, Lyra Belacqua dan Will Parry, Nellie dan Harriet Oleson, dan daftarnya bisa Anda perpanjang.. ..
Mengapa mereka begitu berkesan?
Bagiku, tentu saja karena penulis begitu piawai menggambarkan karakter mereka sehingga secara emosional kita terpaut kepada mereka. Detail dan kuat.
James N.Frey (How to Write a Damn Good Novel) bilang: "No one wants to read about characters who are just anybody. They want to read about interesting somebodies, characters capable of evoking in the reader some measure of emotional response."
Bahkan karakter fiksi yang digambarkan biasa-biasa saja dan membosankan, harus mendapatkan penggambaran extraordinary sehingga pembaca merasakan benar orang ini sangat biasa dan membosankan. Itulah fiksi. Karakter di dalamnya sengaja dipilih dan dibentuk untuk menjadi sosok yang tak terlupakan. Yang akan menjustifikasi alur cerita. Singkatnya, karakter merupakan jantung cerita. Karakater membuat cerita. Kita bukan membaca apa yang terjadi, tapi pada siapa kejadian itu menimpa.
Sharon Creech (Walk Two Moon), misalnya, menurutnya, dia sering tak tahu bagaimana plot cerita yang akan ditulisnya. Dia tidak membuat outline. Dia hanya memikirkan sesosok karakter. Dan cerita mengalir sendiri di sekitar karakter ini. Jika Sharon memaksakan plot yang tidak sesuai dengan karakter tokohnya, si tokoh ini akan memberontak.
Aku sering merasakan hal itu juga. Aku sudah punya plot dari awal sampai akhir. Aku ingin endingnya seperti yang kubayangkan. Lalu aku memasukkan beberapa tokoh dengan karakter-karakter berbeda. Tapi interaksi di antara mereka yang konsisten dengan ciri karakter masing-masing membuat ending itu menjadi tidak masuk akal. Aku harus mengubah ending. Atau aku terpaksa menghapus salah satu karakter kalau mau berkeras dengan ending-ku. Tapi kalau aku sudah telanjur jatuh cinta dengan tokoh-tokohku, biasanya akulah yang mengalah, membiarkan mereka mengakhiri cerita dengan cara mereka.
Salah satu penyebab writer's block kukira ya ini. Penulis terpaku dengan ending yang sudah direncanakan tetapi di tengah jalan para karakter memberontak dan membawanya ke ending yang sama sekali berbeda. Akhirnya, penulisan macet di tengah jalan. Atau dari awal memang sudah ada inkonsistensi sehingga sulit membuat ending yang masuk akal. Atau penulis kurang mengembangkan karakternya menjadi sosok yang kuat, sehingga cerita terasa masih mentah di sana-sini.
Dalam penulisan fiksi, aku mempraktikkan tips berikut:
Waktu baru memulai, aku tidak memasukkan banyak tokoh dalam ceritaku. Satu-dua orang sudah cukup. Protagonis atau antagonis, tak masalah. Yang penting aku berfokus untuk membuat tokoh ini spesial dan unik. Seiring penambahan pengalaman, aku bisa menghandel lebih banyak tokoh.
Aku mencoba untuk keluar dari stereotipe. Kenapa menulis lagi tentang kelinci yang baik hati atau monyet yang nakal kalau kita bisa menokohkan buaya yang jenaka atau gajah yang pikun. Banyak stereotipe beredar di masyarakat kita: guru kebanyakan perempuan, tukang ledeng pasti laki-laki, penjahat biasanya berwajah penuh bekas luka, dst. Untuk anak-anak yang bersih dari prasangka, alangkah baiknya penulis membebaskan diri dari stereotipe. Kadang penulis lupa ini: misalnya, menganggap anak-anak paham dengan sendirinya bahwa seseorang itu jahat atau baik dari penampilan dan tampangnya.
Sebelum mulai menulis, aku membuat character sheet. Semacam biodata untuk tokoh utama. Nama, tempat tanggal lahir, pekerjaan, ciri-ciri fisik, kebiasaan, agama, status dalam keluarga, status keuangan, pendidikan, ambisi, hobi, binatang peliharaan, makanan kesukaan, kelemahan, selera bacaan dan film, cita-cita, dst. Semakin baik kita mengenal tokoh kita, semakin konsisten kita gambarkan perbuatan dan kata-katanya. Kita tak akan membuat dialog yang "melenceng" dari karakternya. Misalnya anak yang digambarkan pemberani tiba-tiba menjerit kaget melihat bayangan. Bahkan pemberian nama pun harus mengena benar. Dalam kehidupan nyata, orangtua tak akan sembarangan memberi nama anak-anaknya. Penulis tidak sembarangan memberi nama tokoh-tokohnya. Aku ingat pernah ditanya penerbit kenapa aku memilih nama Rantriva dan Oxar. Untungnya aku sudah siap dengan argumenku. Kalau penulis merasa yakin nama tokohnya cocok, pembaca akan merasa nyaman, tidak berpikir bahwa nama
itu diberikan asalan. Dengan karakter yang kuat dan pas, nama itu akan bergaung lama di benak pembaca.
Seringlah mengamati orang-orang di sekeliling Anda. Naik bus, arisan, ngobrol dengan tetangga, whatever, jadikan itu kesempatan untuk mendapatkan ciri-ciri unik dan nyata bagi karakter Anda. Bagaimana seseorang berbicara, bagaimana posturnya, suaranya, nadanya, reaksinya, rambut di sekitar tengkuk, lekukan tulang pipi, dst. Kalau Anda khawatir orang marah karena Anda tatap terus, lakukan sembunyi-sembunyi deh. Cobalah membayangkan kisah yang cocok untuk orang yang duduk di depan Anda di angkot. Gunakan imajinasi.
Tambahan setelah membaca reply Rini. (thanks for reminding me): Karakter harus ada flaws. Kelemahan, keburukan, apa saja yang membuatnya tidak sempurna. Karena sempurna itu tidak manusiawi, dan akan menyulitkan pembaca mengidentifikasikan diri dengan karakter.
Selain flaws, kejutan juga menarik. Ternyata karakter kita memiliki kualitas di luar dugaan. Selama konsisten dengan gambaran keseluruhan, dan digambarkan logis, kejutan tak akan merusak karakter kita.
Semoga catatan ini bermanfaat.
Peace,
Rinurbad
- 4a.
-
Re: (Lonceng) Selamat buat mas Nursalam
Posted by: "Siwi LH" siuhik@yahoo.com siuhik
Thu Jan 14, 2010 1:29 am (PST)
Selamat buat Mas Nur, ga penting dengan jadi juara -apapun-sebutannya dikau memang layak jadi juara! gitu aja kok repot! hehehe piss..., semoga menjadi berkah tersendiri mengawali tahun ini, amin....
Salam Hebat Penuh Berkah
Siwi LH
cahayabintang. wordpress.com
siu-elha. blogspot.com
YM : siuhik
_____________________ _________ __
__
- 5a.
-
Re: [Kelana Lebaran] PENGUMUMAM PEMENANG
Posted by: "Siwi LH" siuhik@yahoo.com siuhik
Thu Jan 14, 2010 1:36 am (PST)
selamat buat para pemenang ya?
Tumben panitia adem ayem aja mengumumkan lombanya? biasanya ada prolognya kenapa artikel ini layak jadi juara bla..bla..bla.., n so on, biasanya pengumumannya asyik gitu loh? Halo? apa sedang sakit gigi? Piss ya..
Anyway, terima kasih atas kerja keras panitia dan juri yang mengumumkan lomba on time, salut!
Kapan ada lomba lagi? karena milad segera menjelang? Di Surabaya lagi! *kompordotcom*
Salam Hebat Penuh Berkah
Siwi LH
cahayabintang. wordpress.com
siu-elha. blogspot.com
YM : siuhik
_____________________ _________ __
From: Dept. Penerbitan SK <penerbitan.eska@gmail.com >
To: sekolah-kehidupan <sekolah-kehidupan@yahoogroups. >; kabinet-eska <kabinet-eska@com yahoogroups. >com
Sent: Thu, January 14, 2010 1:25:43 AM
Subject: [sekolah-kehidupan] [Kelana Lebaran] PENGUMUMAM PEMENANG
Assalamu'alaykum Wr. Wb
Pengumuman Pemenang Lomba Kelana Lebaran Sekolah Kehidupan
1. Asyiknya Pulang Kampung - Mena Larasati
2. Serasa Mimpi Ada di MANDIRANCAN- arikunto
3. Berlebaran Di Negeri Seberang - Miyosi Ariefiansyah
Kepada para pemenang harap mengirimkan alamat, no HP dan no.rekening
ke Novi Khansa
email: khansaku@gmail. com (khansaku at gmail dot com)
YM: novikhansa
Terima kasih atas partisipasi teman-teman sekalian. Tetap menulis dan
Semangat ^^
Need to Reply?
Click one of the "Reply" links to respond to a specific message in the Daily Digest.

Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Individual | Switch format to Traditional
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe
Tidak ada komentar:
Posting Komentar