Sabtu, 26 Juli 2008

[daarut-tauhiid] Fw: Islam sungguh Indah, Adil lhoe

--- On Fri, 7/25/08, rahma rama <simaniez_rahma@yahoo.com> wrote:

From: rahma rama <simaniez_rahma@yahoo.com>


Assalamu 'alaikum wr. wb.
Ustad sering membahas tentang harta Isteri, tapi saya belum menemukan jawaban
tentang harta yang mana yang dimaksud dengan Harta Isteri? Apakah penghasilan
selama bersuami juga dianggap harta Isteri dan suami tidak punya hak atas harta
tersebut?
Wassalam
VB
Kimunk
Jawaban
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Harta isteri adalah harta milik isteri, baik yang dimiliki sejak sebelum
menikah, atau pun setelah menikah. Harta isteri setelah menikah yang terutama
adalah dari suami dalam bentuk nafaqah (nafkah), selain juga mungkin bila
isteri itu bekerja atau melakukan usaha yang bersifat bisnis.
Khusus masalah nafkah, sebenarnya nafkah sendiri merupakan kewajiban suami
dalam bentuk harta benda untuk diberikan kepada isteri. Segala kebutuhan hidup
isteri mulai dari makanan, pakaian dan tempat tinggal, menjadi tanggungan
suami.
Dengan adanya nafkah inilah kemudian seorang suami memiliki posisi qawam
(pemimpin) bagi isterinya, sebagaimana firman Allah SWT:
ÇáÑøöÌóÇáõ ÞóæøóÇãõæäó Úóáóì ÇáäøöÓóÇÁ
ÈöãóÇ ÝóÖøóáó Çááøåõ ÈóÚúÖóåõãú Úóáóì
ÈóÚúÖò æóÈöãóÇ ÃóäÝóÞõæÇú ãöäú
ÃóãúæóÇáöåöãú
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah
melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita),
dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.
(QS. An-Nisa': 34)
Namun yang seringkali terjadi, sebagian kalangan beranggapan bahwa nafkah suami
kepada isteri adalah biaya kehidupan rumah tangga saja. Pemandangan
sehari-harinya adalah suami pulang membawa amplop gaji, lalu semua diserahkan
kepada isterinya.
Cukup atau tidak cukup, pokoknya ya harus cukup. TInggallah si isteri pusing
tujuh keliling, bagaimana mengatur dan menyusun anggaran belanja rumah tangga.
Kalau isteri adalah orang yang hemat dan pandai mengatur pemasukan dan
pengeluaran, suami tentu senang.
Yang celaka, kalau isteri justru kacau balau dalam memanaje keuangan. Alih-alih
mengatur keuangan, yang terjadi justru besar pasak dari pada tiang.
Ujung-ujungnya, suami yang pusing tujuh keliling mendapati isterinya pandai
membelanjakan uang, plus hobi mengambil kredit, aktif di arisan dan berbagai
pemborosan lainnnya.
Padahal kalau kita kembalikan kepada aturan asalnya, yang namanya nafkah itu
lebih merupakan 'gaji' atau honor dari seorang suami kepada isterinya.
Sebagaimana 'uang jajan' yang diberikan oleh seorang ayah kepada
anaknya.
Adapun kebutuhan rumah tangga, baik untuk makan, pakaian, rumah, listrik, air,
sampah dan semuanya, sebenarnya di luar dari nafkah suami kepada isteri.
Kewajiban mengeluarkan semua biaya itu bukan kewajiban isteri, melainkan
kewajiban suami.
Kalau suami menitipkan amanah kepada isterinya untuk membayarkan semua biaya
itu, boleh-boleh saja. Tetapi tetap saja semua biaya itu belum bisa dikatakan
sebagai nafkah buat isteri. Sebab yang namanya nafkah buat isteri adalah harta
yang sepenuhnya menjadi milik isteri.
Kira-kira persis dengan nafkah di awal sebelum terjadinya akad nikah, yaitu
mahar atau maskawin. Kita tahu bahwa sebuah pernikahan diawali dengan pemberian
mahar atau maskawin. Dan kita tahu bahwa mahar itu setelah diserahkan akan
menjadi sepenuhnya milik isteri.
Suami sudah tidak boleh lagi meminta mahar itu, karena mahar itu statusnya
sudah jadi milik isteri. Kalau seandainya isteri dengan murah hati lalu memberi
sebagian atau seluruhnya harta mahar yang sudah 100% menjadi miliknya kepada
suaminya, itu terserat kepada dirinya. Tapi yang harus dipastikan adalah bahwa
mahar itu milik isteri.
Sekarang bagaimana dengan nafkah buat isteri?
Kalau kita mau sedikit cermat, sebenarnya dan pada hakikatnya, yang disebut
dengan nafkah buat isteri adalah harta yang sepenuhnya diberikan buat isteri.
Dan kalau sudah menjadi harta milik isteri, maka isteri tidak punya kewajiban
untuk membiayai penyelenggaraan rumah tangga. Nafkah itu 'bersih'
menjadi hak isteri, di luar biaya makan, pakaian, bayar kontrakan rumah dan
semua kebutuhan sebuah rumah tangga.
Mungkin Anda heran, kok segitunya ya? Kok matre' banget sih konsep seorang
isteri dalam Islam?
Jangan heran dulu, kalau kita selama ini melihat para isteri tidak menuntut
nafkah 'eksklusif' yang menjadi haknya, jawabnya adalah karena para
isteri di negeri kita ini umumnya telah dididik secara baik dan ditekankan
untuk punya sifat qana'ah.
Saking mantabnya penanaman sifat qana'ah itu dalam pola pendidikan rumah
tangga kita, sampai-sampai mereka, para isteri itu, justru tidak tahu
hak-haknya. Sehingga mereka sama sekali tidak mengotak-atik hak-haknya.
Memandang fenomena ini, salah seorang murid di pengajian nyeletuk, "Wah,
ustadz, kalau begitu hal ini perlu tetap kita rahasiakan. Jangan sampai
isteri-isteri kita sampai tahu kalau mereka punya hak nafkah seperti itu."
Yang lain menimpali, "Setuju stadz, kalau sampai isteri-isteri kita tahu
bahwa mereka punya hak seperti itu, kita juga ntar yang repot nih ustadz.
Jangan-jangan nanti mereka tidak mau masak, ngepel, nyapu, ngurus rumah dan
lainnya, sebab mereka bilang bahwa itu kan tugas dan kewajiban suami. Wah bisa
mejret nih kita-kita, ustadz."
Yang lain lagi menambahi, "Benar ustadz, bini ane malahan sudah tahu tuh
masalah ini. Itu semua kesalahan ane juga sih awalnya. Sebab bini ane tuh, ane
suruh kuliah di Ma'had A-Hikmah di Jalan Bangka . Rupanya materi
pelajarannya memang sama ame nyang ustadz bilang sekarang ini. Cuman bini ane
emang nggak tiap hari sih begitu, kalo lagi angot doang."
"Tapi kalo lagi angot, stadz, bah, ane jadi repot sendiri. Tuh bini kagak
mao masak, ane juga nyang musti masak. Juga kagak mau nyuci baju, ya udah
terpaksa ane yang nyuciin baju semua anggota keluarga.Wii, pokoknya ane jadi
pusing sendiri karena punya bini ngarti syariah."
Menjawab 'keluhan' para suami yang selama ini sudah terlanjur menikmati
ketidak-tahuan para isteri atas hak-haknya, kami hanya mengatakan bahwa
sebenarnya kita sebagai suami tidak perlu takut. Sebab aturan ini datangnya
dari Allah juga. Tidak mungkin Allah berlaku berat sebelah.
Sebab Allah SWT selain menyebutkan tentang hak-hak seorang isteri atas nafkah
'eksklusif', juga menyebutkan tentang kewajiban seorang isteri kepada
suami. Kewajiban untuk mentaati suami yang boleh dibilang bisa melebihi
kewajibannya kepada orang tuanya sendiri.
Padahal kalau dipikir-pikir, seorang anak perempuan yang kita nikahi itu sejak
kecil telah dibiayai oleh kedua orang tuanya. Pastilah orang tua itu sudah
keluar biaya besar sampai anak perawannya siap dinikahi. Lalu tiba-tiba kita
kita datang melamar si anak perawan itu begitu saja, bahkan kadang mas kawinnya
cuma seperangkat alat sholat tidak lebih dari nilai seratus ribu perak.
Sudah begitu, dia diwajibkan mengerjakan semua pekerjaan kasar layaknya seorang
pembantu rumah tangga, mulai dari shubuh sudah bangun dan memulai semua
kegiatan, urusan anak-anak kita serahkan kepada mereka semua, sampai urusan
genteng bocor. Sudah capek kerja seharian, eh malamnya masih pula
'dipakai' oleh para suaminya.
Jadi sebenarnya wajar dan masuk akal kalau untuk para isteri ada nafkah
'eksklusif' di mana mereka dapat hak atas 'honor' atau gaji
dari semua jasa yang sudah mereka lakukan sehari-hari, di mana uang itu memang
sepenuhnya milik isteri. Suami tidak bisa meminta dari uang itu untuk bayar
listrik, kontrakan, uang sekolah anak, atau keperluan lainnya.
Dan kalau isteri itu pandai menabung, anggaplah tiap bulan isteri menerima
'gaji' sebesar sejuta perak yang utuh tidak diotak-atik, maka pada usia
20 tahun perkawinan, isteri sudah punya harta yang lumayan 20 x 12 = 240 juta
rupiah.
Lumayan kan ?
Nah hartai tu milik isteri 100%, karena itu adalah nafkah dari suami. Kalau
suami meninggal dunia dan ada pembagian harta warisan, harta itu tidak boleh
ikut dibagi waris. Karena harta itu bukan harta milik suami, tapi harta milik
isteri sepenuhnya. Bahkan isteri malah mendapat bagian harta dari milik
almarhum suaminya lewat pembagian waris.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi
wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc

 

.

[Non-text portions of this message have been removed]


------------------------------------

===================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
===================================================
website: http://dtjakarta.or.id/
===================================================Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/

<*> Your email settings:
Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/join
(Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
mailto:daarut-tauhiid-digest@yahoogroups.com
mailto:daarut-tauhiid-fullfeatured@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
daarut-tauhiid-unsubscribe@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/

Tidak ada komentar: