Jumat, 09 Oktober 2009

[daarut-tauhiid] Aku Mau Ayah - mengubah sudut pandang ayah pada anak

Assalamu'alaikum war wab.
Sahabat-sahabat yang baik, saya sangat setuju dengan pernyataan Presiden
Pakistan Ziaul Haq bahwa yang membentuk negara bukanlah politisi melainkan
para cendekiawan. Dan karena kebanyakan cendekiawan memiliki keterbatasan
waktu untuk tampil dan keterbatasan kemampuan berkomunikasi dengan publik
terbuka (pidato), maka satu-satunya media mereka untuk menyampaikan gagasan
perubahan/perbaikan adalah melalui BUKU. Jadi relevan sekali ungkapan bahwa
bukulah yang membawa perubahan.

Jadi, walau waktu membaca Anda sangat sedikit dan budget untuk membeli buku
juga sangat terbatas; tetaplah berupaya keras untuk bergaul akrab dengan
buku. Pilihlah perubahan atau perbaikan apa yang paling Anda butuhkan,
kemudian carilah buku mengenainya. Beli dan/atau bacalah! Percayalah,
perubahan itu telah memiliki awalannya (start) yang baik. Kemudian,
berharapan-baiklah karena semua langkah-langkah besar di dunia ini dimulai
dengan langkah kecil pertama.

----

Pada akhir pekan yang mulia ini, saya menawarkan perubahan yang sangat
penting bagi Anda, keluarga, dan negara yaitu perubahan paradigma tentang
AYAH.
Untuk langkah awalnya, mohon memerhatikan ulasan buku di bawah ini.

*A**ku **M**au AYAH **B**ukan BAPAK*

*(Berkali-kali judul ini saya ganti. Saya takut tidak amanah terhadap Marah.
Saya khawatir Marah tidak suka dengan judul ini. Tepat pada suatu hari yang
lengang, di ujung jalan Warung Buncit yang panjang, lebar**,** dan setia,
Marah mengangguk setuju akan judul ini. Katanya**, **apalah arti sebuah
judul yang dia juga tidak mengerti dan peduli.*

*S**etelah menyetujui judul, saya kembali lamat-lamat membacakan tulisan ini
di depannya. Dia duduk acuh**-**takacuh. Pandangannya lebih sering menguntit
beberapa ekor burung gereja yang bersijingkat di depan kami. Begini caranya
saya membacakannya.)*

Pada suatu hari Minggu, seorang anak lelaki 13 tahun membakar foto bapaknya
sendiri lalu menendang-nendang abunya dengan beberapa potong cacian. Ini
terjadi di tengah kota Metropolitan, Jakarta.

(Baru satu alinea selesai saya bacakan, Marah menatap saya tajam. Hanya
sesaat, lalu kembali dia tundukkan kepalanya. Mukanya merah. Saya paham
betul ada amarah tertahan ketika mendengar suatu kata yang tidak disukainya.
Saya lanjutkan.)

Marah, anak kecil dengan pahatan wajah yang sebenarnya sangat menarik itu,
selepas bangun pagi yang selalu saja dipaksa dengan kata-kata sinis
bapaknya, berlari ke luar rumah. Seperti biasa ketika hatinya dirundung
kesedihan, dia segera bersembunyi di bawah semak tidak jauh dari rumahnya.

Di balik semak itu, dia tahan bersembunyi sambil menangis, sesekali
mengintip dan mengawasi setiap kejadian yang ada di rumahnya. Di kantong
saku celana kesayangannya yang sudah tua kini tersimpan sebuah foto
berukuran *post card*. Foto ayah dan ibunya ketika melangsungkan pernikahan
dulu.

*(Marah menatap saya dalam, sekali lagi. Dia menggigit bibir bawahnya.
Mengerjap-ngerjapkan mata** lelah**nya menahan arus air mata yang akan
segera tumpah. Saya menahan nafas. Jujur**,** saya juga mau menangis. Saya
tahan untuk mulai melanjutkan lagi**.**)*

Di bawah matahari pagi yang baik, dia mengeluarkan foto pelan-pelan.
Sebentar, dia menoleh ke rumah. Pintu rumah terbuka. Lelaki yang sering di
panggilnya 'bapak' berjalan keluar. Di belakang bapak, ibu dengan wajah
tegang menggamit tangan bapak kemudian menciumnya. Bapaknya pergi, ibu
berdiri sebentar. Menghirup nafas panjang lalu mengembuskannya buru-buru.

Marah memandangi foto bapak dan ibunya lamat-lamat. Berbagai kejadian
berkelabat dalam ingatannya. Ibu, bagi dia adalah tokoh dewasa yang selalu
tersenyum sepanjang hari dalam keadaan terpaksa atau tidak. Ibu memang ahli
senyum. Bahkan sangat ahli. Dalam keadaan senang atau tidak. Dalam lapang
atau sempit. Ketika bapak marah atau tidak. Kadang-kadang, ibu muncul
seperti seorang monster yang menakutkan karena senyum–senyum sepanjang hari.

"Kita harus senyum, Nak!" begitu terang ibu suatu hari. "Karena senyum
ibadah. Hanya dengan senyumlah, satu-satunya ibadah yang ibu yakini ibu
lakukan dengan ikhlas."

Di bawah semak yang garing itu, dia merobek sebagian foto orang tuanya. Foto
ibunya dia simpan dengan baik di saku celana. Sebagian foto lain, yaitu foto
bapaknya masih tetap dipegangnya dengan tangan gemetar. Matanya mulai
memerah. Nafasnya memburu.

*(Marah berdiri tegak mematung dengan segera. Saya tidak peduli. Saya
meneruskannya**. …**)*

Dia sangat benci dengan senyum lelaki dewasa ini. Selama hidup bersama
lelaki dewasa ini, tidak pernah ada satu pun perbuatannya yang benar. Takada
satu kegiatan pun yang lepas dari intaiannya. Hidup seperti pengawasan
seorang intel terhadap buronannya. Hidup adalah tugas dan pekerjaan dengan
metode paksaan dan tekanan. Hidup adalah penuh pengawasan. Hidup adalah
rentetan kesalahan. Hidup adalah eksekusi bukan apresiasi.

Dia membayangkan dan menginginkan seorang bapak seperti ayahnya Nardi,
tetangganya. Ayah yang suka bermain, suka tertawa bersama, dan yang tidak
suka menvonis, tapi suka berdiskusi. Dia merindukan bapak yang seperti
ayahnya Nungki, teman sebangku di sekolah. Ayah yang taksegan nongkrong di
warung pinggir jalan, ayah yang suka senyum kepada siapa saja, ayah yang …
tidak seperti bapaknya.

Krrraakk! Psssst...! Sekali sentak dengan bungkahan air mata yang menderas,
foto terbaik bapaknya dirobeknya dan disulut dengan korek api. Sebuah
cita-cita sejak lama. "Pembalasan yang seimbang" bisik Marah. Meski dia
takbisa menghilangkan rasa takut yang luar biasa, kini dia telah berani
keluar semak dengan kepala tegak. Bibirnya terkatup rapat. Gerahamnya
bergerak-gerak.

*(Saya membaca sambil berdiri. Memegang bahu anak malang yang
berguncang-guncang karena tangis yang hebat. Dia memberi isyarat untuk
meneruskan** .…**)*

Pintu rumah dibukanya. Ibu tersenyum. Seperti biasa. Seperti biasa, setelah
bapak memarahinya, ibu selalu memberikan nasihat.

"Nak, ndak baik begitu!" sapa ibu sambil membelai pundaknya. "Lha, dia kan
bapakmu!".

Marah mengelak dan menepis tangan ibu dengan cepat. Seperti gerak *Kungfu
Soccer* atau *Kungfu Panda* yang sangat disukainya. " Aku mau ayah, bukan
bapak!"

*(**Setelah** selesai, Marah menyeberang** **lalu melompat ke dalam **W**
arung **B**uncit yang lelah. Saya mengejar**,** tapi dia sudah sampai di
seberang. **Dia pun m**elambaikan tangan dan memberi isyarat untuk bertemu
lagi besok. Makasih Marah. Life is a choice.**)** 2008*


*Info teknis buku:*

Judul: Aku Mau Ayah
Penulis: Irwan Rinaldi (pemrakarsa Da'i Cilik di TPI dan pemeran utama dalam
film Sang Murabbi)
Penerbit: Progressio
Jika Anda tidak punya waktu membacanya, cobalah dengarkan audio CD yang
dibacakan penulis dengan sangat ekspresif, menyentuh sekali
Ketersediaan di toko buku :
http://www.tokogunungagung.co.id/index.php?go=book_search&event=1&plu=537654&start=0
----

Selamat Membaca...

Terimakasih

Wassalamu'alaikum war wab.


Syarif Niskala - syarifniskala.com

--
Mau mengabadikan nama? Atau punya ide unik dan cemerlang?
SEGERA daftarkan (register) kekayaan intelektual Anda sebagai domain melalui
DOMAINSAJA.COM
Murah dan cepat....
Cara bayarnya? PAKE PULSA bo.. Transfer aja, beres dechhh.


[Non-text portions of this message have been removed]

------------------------------------

====================================================
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
website: http://dtjakarta.or.id/
====================================================Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/

<*> Your email settings:
Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/join
(Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
mailto:daarut-tauhiid-digest@yahoogroups.com
mailto:daarut-tauhiid-fullfeatured@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
daarut-tauhiid-unsubscribe@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/

Tidak ada komentar: