Jumat, 16 Oktober 2009

[daarut-tauhiid] Fwd:Toeti Adhitama: Terorisme bukan Masalah Hukum Semata

 


---------- Forwarded message ----------
From: korandigital <korandigital@gmail.com>

Terorisme bukan Masalah Hukum Semata
Oleh Toeti Adhitama Anggota Dewan Redaksi Media Group

SEAKAN kurang kerepotan, sekelompok anggota masyarakat membuat kekacauan
yang sangat mengganggu. Apa pun argumentasinya, kekerasan yang membawa
kematian banyak orang, termasuk orang-orang yang tidak berdosa, tentu tidak
bisa dibenarkan.
Maka tayangan-tayangan televisi yang mempertontonkan penumpasan teroris
disambut dengan rasa lega oleh penonton umumnya. Disebut `umumnya' karena
menurut hasil penelitian Lembaga Survei Indonesia (LSI) Mei 2009 ini,
terbukti tidak semua menyetujui pemberantasan aksi teror. Yang tidak
membenarkan terorisme memang diperkirakan lebih dari 65%, tetapi yang
menyetujuinya hampir mencapai 15%. Selebihnya netral--bisa setuju, bisa
tidak.

Pengungkapan yang meresahkan itu disampaikan Sayidiman Suryohadiprojo dalam
pertemuan Barisan Nasional yang diketuai Prof Dr Soebroto awal minggu ini.
Dalam makalah berjudul Menghadapi Terorisme Islam Radikal secara
Komprehensif, letnan jenderal purnawirawan itu intinya menegaskan terorisme
di Indonesia bukan masalah hukum semata. Anggapan bahwa terorisme bisa
ditindak sebagai pelanggaran hukum semata adalah anggapan sempit, bahkan
naif. Dinyatakan selanjutnya, kalau hasil survei LSI itu bisa diandalkan,
berarti kelompok radikal yang melancarkan terorisme mendapat dukungan
sekitar 40-50 juta penduduk Indonesia.

Keluarga dua teroris yang tertembak mati belum lama ini, Syaifudin Zuhri dan
Mohammad Syahrir, memang telah berulang kali secara terbuka meminta maaf
pada bangsa atas peristiwa teror itu. Namun, harian Indopos terbitan Selasa,
13 Oktober lalu mengisahkan orang tua dua teroris tersebut merasa gembira
karena kedua anak mereka meninggal dalam memperjuangkan yang diyakini
keduanya. Bahkan saudara perempuan kedua bersaudara itu menyatakan keluarga
mereka tidak sedih dan tidak ada yang menangis karena Syaifuddin dan Syahrir
tampak `cakep dan gagah' di televisi. Tanggapan mereka menggambarkan sisi
lain dari respons terhadap tindakan penumpasan terorisme.

Ketimpangan dan ketidakadilan Dalam diskusi Barisan Nasional yang berkembang
lebih lanjut Senin (12/10) lalu, terungkap bahwa berbagai faktor kehidupan
ikut menyemai benih-benih terorisme di Indonesia, termasuk-dan mungkin
terutama--faktor ekonomi; selain tentu saja faktor-faktor sosial-politik,
budaya, dan pengaruh asing.

Walaupun tidak sama dan sebangun dengan kemiskinan, benih-benih terorisme
kenyataannya mudah bersemi di kalangan mereka yang hidupnya tidak
berkecukupan. Menurut statistik Departemen Tenaga Kerja, dari sekitar lebih
dari 165 juta tenaga usia kerja di Indonesia, lebih dari separuhnya
berpendidikan SD ke bawah. Mereka tergolong penduduk yang berpenghasilan
kurang. Mungkin saja para aktor intelektual terorisme terdiri dari
orang-orang terdidik dan mampu, yang memiliki tujuan lebih besar daripada
sekadar menghapus ketim pangan dan ketidakadilan dalam penghidupan, tetapi
ajakan melakukan teror mudah menjarah lapisan yang dimarginalkan. Alasannya
sederhana, kemiskinan yang diwariskan turun-temurun secara tidak
berkesudahan membuat mereka berpikir, harus ada cara-cara radikal untuk
menghentikannya.
Dari tiga sistem politik yang ada-- konservatif, liberal, dan
radikal--memang sistem konservatif yang umumnya dianut kalangan elite
terbukti terlalu lamban mengusahakan perubahan; sedangkan sistem liberal
yang menganut asas laissez faire laissez passer hanya membuat yang kaya
lebih kaya dan yang miskin menjadi budak selamanya. Antara lain, misalnya, P
sebagai akibat salah urus globalisasi dan asas pasar bebasnya. Maka mereka
memilih sistem radikal karena diharapkan akan lebih cepat menghapus
kesenjangan kalau bukan mengakhiri penderitaan yang mereka rasakan sebagai
masyarakat yang tertindas.

Bahwa pikiran semacam itu mudah timbul di benak kalangan yang kekurangan
bisa dimengerti. Kenyataannya, sistem globalisasi yang dianut dunia, yang
semula memberi optimisme tinggi dan bersifat menjanjikan bagi masyarakat
miskin dunia, ternyata bisa berakibat yang sebaliknya. Seperti kata Joseph
Stiglitz, pemenang Hadiah Nobel Bidang Ekonomi 2001 yang juga dikenal
sebagai ekonom yang antiglobalisasi, karena krisis keuangan global--antara
lain akibat peran kebijakan Amerika, dana yang semula mengalir deras dari
negara-negara maju ke negara-negara miskin menjadi berkurang secara mencolok
dan malahan berbalik arah--dari negara miskin ke negara kaya karena
merosotnya harga komoditas. Pada gil irannya, sentimen negatif semakin
banyak menuju ke Amerika dan sekutu-sekutunya yang dianggap sebagai sumber
malapetaka.

Ajang benturan budaya Untuk kelompok radikal, Indonesia yang telah
dipilihnya sebagai wilayah operasi barangkali sekaligus dianggapnya sebagai
jang benturan peradaban seperti yang digagas Huntington dalam bukunya, Clash
of Civilizations (1996). Dengan sele sainya Perang Dingin antara kapitalisme
dan komunisme, sering kali konflik yang terjadi di dunia bukan karena beda
ideologi, melainkan bersifat pertentangan budaya. Peradaban Barat oleh
Huntington dipersepsikan menghadapi lawan baru, yakni peradaban Islam.
Persepsi demikian tentu saja masih patut dipertanyakan dan diperdebatkan.
Tetapi sebaliknya, persepsi itu menempatkan peradaban Islam langsung
berseberangan dengan Barat. Itu barangkali bisa menjelaskan mengapa kelompok
radikal dengan entengnya ATA AREADI memusuhi pihak-pihak yang dianggap
berpihak kepada pemikiran Barat. Apakah itu pula yang membuat mereka rela
mengorbankan orang-orang Islam Indonesia yang tidak berdosa demi kepentingan
ideologi mereka? Mengutip Sayidiman: "Kita semua umumnya sudah paham bahwa
kaum radikal Islam yang berkumpul dalam Jemaah Islamiyah (JI) bertujuan
membentuk khilafah islamiyah (negara Islam) di Indonesia dan Asia Tenggara,
sebagai bagian dari khilafah Islam dunia. Dengan begitu JI merupakan cabang
Al-Qaeda yang dipimpin Osama bin Laden dengan tujuan membentuk khilafah
dunia tersebut. Mereka menilai rintang an utama bagi pencapaian tujuan itu
adalah Amerika Serikat dan semua yang berpihak ke padanya. Kelompok radikal
ini menganggap Indonesia memihak AS maka harus juga diserang." Selanjutnya
dikatakan, cara perjuangan mereka adalah dengan kekerasan yang di Indonesia
dan Asia Tenggara umumnya dilakukan dengan peledakan bom di tempat-tempat
yang menguntungkan tujuan mereka. Bahwa orang Islam Indonesia ikut menjadi
korban, mereka tidak peduli. Itu mereka anggap sebagai pengorbanan kaum
muslim Indonesia untuk pencapaian tujuan yang luhur bagi umat Islam.
Untuk itu, JI dan sempalannya mendapat dukungan keuangan dari pihak asing.
Maka, bila melihat bahwa tujuan kaum radikal Islam adalah politik, jelas
persoalannya bukan terbatas pada masalah hukum belaka. Ini masalah politik
berbentuk perjuangan ideologi.

Ada yang beranggapan organisasi teroris di Indonesia mulai mengecil. Nasir
Abbas, mantan anggota JI, dikutip harian Media Indonesia mengatakan,
"Jaringan terorisme tidak mungkin lagi menggunakan sistem struktural seperti
organisasi besar. Sebagai gantinya, terjadi kelompok-kelompok kecil yang
berisi hanya beberapa orang. Struktur ini disebut sel." Menurut dia,
intensitas ancaman akan bergantung pada pimpinan sel. "Saya harap ancamannya
akan semakin jauh berkurang," katanya.

Duri dalam daging Benar sekali bahwa terorisme di Indonesia bukan sekadar
masalah hukum. Ancaman terorisme masih menghadang. Rasanya seperti duri
dalam daging dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dia mengganggu
perjalanan bangsa yang berideologikan Pancasila. Faktanya, ideologi hasil
pemikiran founding fathers itu terkesan diabaikan akhir-akhir ini. Padahal
terorisme yang sifatnya ideologis seharusnya diperangi dengan ideologi. Maka
sesuai saran Sayidiman, spirit Pancasila hendaknya dibangkitkan kembali di
antara kita. Maknanya dijelaskan antara lain lewat pendidikan formal,
khususnya di kalangan perguruan tinggi. Kalangan Islam moderat pun diminta
ikut berperan menghalau gejala yang mengancam kebinekaan kita.
Pembasmian terorisme jangan hanya oleh suatu pihak tertentu. Sejauh ini
Densus 88 telah berhasil menjalankan tugas perburuan dan penumpasan sebagian
teroris dan sarang mereka.
Tetapi kita belum tahu pasti berapa banyak selsel teroris yang telah
menyebar di antara kita mengingat begitu banyak yang mendukung dan
melindungi. Apakah perkembangannya akan terhenti atau akan tumbuh kembali?
BIN dan TNI pastinya bisa membantu.

Ketika menyangkut perang ideologi, partaipartai politik, yang sejatinya
adalah kendaraan ideologi, seharusnya ikut memainkan peran. Misalnya, pernah
ada upaya menyatukan kekuatan nasionalis dalam medan perpolitikan untuk
menghalau gerakan-gerakan primordial yang bisa mengganggu pluralisme dan
persatuan nasional. Tentang ini, Sayidiman menyatakan tidak banyak yang bisa
diharapkan dari partaipartai politik selama mereka belum berbenah diri.
Terorisme menantang tanggung jawab dan integritas semua pihak.

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2009/10/16/ArticleHtmls/16_10_2009_020_003.shtml?Mode=0

__._,_.___
====================================================
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
       website:  http://dtjakarta.or.id/
====================================================
Recent Activity
Visit Your Group
Search Ads

Get new customers.

List your web site

in Yahoo! Search.

Y! Messenger

All together now

Host a free online

conference on IM.

Yahoo! Groups

Small Business Group

Ask questions,

share experiences

.

__,_._,___

Tidak ada komentar: