---------- Forwarded message ----------
 From: korandigital <korandigital@
 
 Terorisme bukan Masalah Hukum Semata
 Oleh Toeti Adhitama Anggota Dewan Redaksi Media Group
 
 SEAKAN kurang kerepotan, sekelompok anggota masyarakat membuat kekacauan
 yang sangat mengganggu. Apa pun argumentasinya, kekerasan yang membawa
 kematian banyak orang, termasuk orang-orang yang tidak berdosa, tentu tidak
 bisa dibenarkan.
 Maka tayangan-tayangan televisi yang mempertontonkan penumpasan teroris
 disambut dengan rasa lega oleh penonton umumnya. Disebut `umumnya' karena
 menurut hasil penelitian Lembaga Survei Indonesia (LSI) Mei 2009 ini,
 terbukti tidak semua menyetujui pemberantasan aksi teror. Yang tidak
 membenarkan terorisme memang diperkirakan lebih dari 65%, tetapi yang
 menyetujuinya hampir mencapai 15%. Selebihnya netral--bisa setuju, bisa
 tidak.
 
 Pengungkapan yang meresahkan itu disampaikan Sayidiman Suryohadiprojo dalam
 pertemuan Barisan Nasional yang diketuai Prof Dr Soebroto awal minggu ini.
 Dalam makalah berjudul Menghadapi Terorisme Islam Radikal secara
 Komprehensif, letnan jenderal purnawirawan itu intinya menegaskan terorisme
 di Indonesia bukan masalah hukum semata. Anggapan bahwa terorisme bisa
 ditindak sebagai pelanggaran hukum semata adalah anggapan sempit, bahkan
 naif. Dinyatakan selanjutnya, kalau hasil survei LSI itu bisa diandalkan,
 berarti kelompok radikal yang melancarkan terorisme mendapat dukungan
 sekitar 40-50 juta penduduk Indonesia.
 
 Keluarga dua teroris yang tertembak mati belum lama ini, Syaifudin Zuhri dan
 Mohammad Syahrir, memang telah berulang kali secara terbuka meminta maaf
 pada bangsa atas peristiwa teror itu. Namun, harian Indopos terbitan Selasa,
 13 Oktober lalu mengisahkan orang tua dua teroris tersebut merasa gembira
 karena kedua anak mereka meninggal dalam memperjuangkan yang diyakini
 keduanya. Bahkan saudara perempuan kedua bersaudara itu menyatakan keluarga
 mereka tidak sedih dan tidak ada yang menangis karena Syaifuddin dan Syahrir
 tampak `cakep dan gagah' di televisi. Tanggapan mereka menggambarkan sisi
 lain dari respons terhadap tindakan penumpasan terorisme.
 
 Ketimpangan dan ketidakadilan Dalam diskusi Barisan Nasional yang berkembang
 lebih lanjut Senin (12/10) lalu, terungkap bahwa berbagai faktor kehidupan
 ikut menyemai benih-benih terorisme di Indonesia, termasuk-dan mungkin
 terutama--faktor ekonomi; selain tentu saja faktor-faktor sosial-politik,
 budaya, dan pengaruh asing.
 
 Walaupun tidak sama dan sebangun dengan kemiskinan, benih-benih terorisme
 kenyataannya mudah bersemi di kalangan mereka yang hidupnya tidak
 berkecukupan. Menurut statistik Departemen Tenaga Kerja, dari sekitar lebih
 dari 165 juta tenaga usia kerja di Indonesia, lebih dari separuhnya
 berpendidikan SD ke bawah. Mereka tergolong penduduk yang berpenghasilan
 kurang. Mungkin saja para aktor intelektual terorisme terdiri dari
 orang-orang terdidik dan mampu, yang memiliki tujuan lebih besar daripada
 sekadar menghapus ketim pangan dan ketidakadilan dalam penghidupan, tetapi
 ajakan melakukan teror mudah menjarah lapisan yang dimarginalkan. Alasannya
 sederhana, kemiskinan yang diwariskan turun-temurun secara tidak
 berkesudahan membuat mereka berpikir, harus ada cara-cara radikal untuk
 menghentikannya.
 Dari tiga sistem politik yang ada-- konservatif, liberal, dan
 radikal--memang sistem konservatif yang umumnya dianut kalangan elite
 terbukti terlalu lamban mengusahakan perubahan; sedangkan sistem liberal
 yang menganut asas laissez faire laissez passer hanya membuat yang kaya
 lebih kaya dan yang miskin menjadi budak selamanya. Antara lain, misalnya, P
 sebagai akibat salah urus globalisasi dan asas pasar bebasnya. Maka mereka
 memilih sistem radikal karena diharapkan akan lebih cepat menghapus
 kesenjangan kalau bukan mengakhiri penderitaan yang mereka rasakan sebagai
 masyarakat yang tertindas.
 
 Bahwa pikiran semacam itu mudah timbul di benak kalangan yang kekurangan
 bisa dimengerti. Kenyataannya, sistem globalisasi yang dianut dunia, yang
 semula memberi optimisme tinggi dan bersifat menjanjikan bagi masyarakat
 miskin dunia, ternyata bisa berakibat yang sebaliknya. Seperti kata Joseph
 Stiglitz, pemenang Hadiah Nobel Bidang Ekonomi 2001 yang juga dikenal
 sebagai ekonom yang antiglobalisasi, karena krisis keuangan global--antara
 lain akibat peran kebijakan Amerika, dana yang semula mengalir deras dari
 negara-negara maju ke negara-negara miskin menjadi berkurang secara mencolok
 dan malahan berbalik arah--dari negara miskin ke negara kaya karena
 merosotnya harga komoditas. Pada gil irannya, sentimen negatif semakin
 banyak menuju ke Amerika dan sekutu-sekutunya yang dianggap sebagai sumber
 malapetaka.
 
 Ajang benturan budaya Untuk kelompok radikal, Indonesia yang telah
 dipilihnya sebagai wilayah operasi barangkali sekaligus dianggapnya sebagai
 jang benturan peradaban seperti yang digagas Huntington dalam bukunya, Clash
 of Civilizations (1996). Dengan sele sainya Perang Dingin antara kapitalisme
 dan komunisme, sering kali konflik yang terjadi di dunia bukan karena beda
 ideologi, melainkan bersifat pertentangan budaya. Peradaban Barat oleh
 Huntington dipersepsikan menghadapi lawan baru, yakni peradaban Islam.
 Persepsi demikian tentu saja masih patut dipertanyakan dan diperdebatkan.
 Tetapi sebaliknya, persepsi itu menempatkan peradaban Islam langsung
 berseberangan dengan Barat. Itu barangkali bisa menjelaskan mengapa kelompok
 radikal dengan entengnya ATA AREADI memusuhi pihak-pihak yang dianggap
 berpihak kepada pemikiran Barat. Apakah itu pula yang membuat mereka rela
 mengorbankan orang-orang Islam Indonesia yang tidak berdosa demi kepentingan
 ideologi mereka? Mengutip Sayidiman: "Kita semua umumnya sudah paham bahwa
 kaum radikal Islam yang berkumpul dalam Jemaah Islamiyah (JI) bertujuan
 membentuk khilafah islamiyah (negara Islam) di Indonesia dan Asia Tenggara,
 sebagai bagian dari khilafah Islam dunia. Dengan begitu JI merupakan cabang
 Al-Qaeda yang dipimpin Osama bin Laden dengan tujuan membentuk khilafah
 dunia tersebut. Mereka menilai rintang an utama bagi pencapaian tujuan itu
 adalah Amerika Serikat dan semua yang berpihak ke padanya. Kelompok radikal
 ini menganggap Indonesia memihak AS maka harus juga diserang." Selanjutnya
 dikatakan, cara perjuangan mereka adalah dengan kekerasan yang di Indonesia
 dan Asia Tenggara umumnya dilakukan dengan peledakan bom di tempat-tempat
 yang menguntungkan tujuan mereka. Bahwa orang Islam Indonesia ikut menjadi
 korban, mereka tidak peduli. Itu mereka anggap sebagai pengorbanan kaum
 muslim Indonesia untuk pencapaian tujuan yang luhur bagi umat Islam.
 Untuk itu, JI dan sempalannya mendapat dukungan keuangan dari pihak asing.
 Maka, bila melihat bahwa tujuan kaum radikal Islam adalah politik, jelas
 persoalannya bukan terbatas pada masalah hukum belaka. Ini masalah politik
 berbentuk perjuangan ideologi.
 
 Ada yang beranggapan organisasi teroris di Indonesia mulai mengecil. Nasir
 Abbas, mantan anggota JI, dikutip harian Media Indonesia mengatakan,
 "Jaringan terorisme tidak mungkin lagi menggunakan sistem struktural seperti
 organisasi besar. Sebagai gantinya, terjadi kelompok-kelompok kecil yang
 berisi hanya beberapa orang. Struktur ini disebut sel." Menurut dia,
 intensitas ancaman akan bergantung pada pimpinan sel. "Saya harap ancamannya
 akan semakin jauh berkurang," katanya.
 
 Duri dalam daging Benar sekali bahwa terorisme di Indonesia bukan sekadar
 masalah hukum. Ancaman terorisme masih menghadang. Rasanya seperti duri
 dalam daging dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dia mengganggu
 perjalanan bangsa yang berideologikan Pancasila. Faktanya, ideologi hasil
 pemikiran founding fathers itu terkesan diabaikan akhir-akhir ini. Padahal
 terorisme yang sifatnya ideologis seharusnya diperangi dengan ideologi. Maka
 sesuai saran Sayidiman, spirit Pancasila hendaknya dibangkitkan kembali di
 antara kita. Maknanya dijelaskan antara lain lewat pendidikan formal,
 khususnya di kalangan perguruan tinggi. Kalangan Islam moderat pun diminta
 ikut berperan menghalau gejala yang mengancam kebinekaan kita.
 Pembasmian terorisme jangan hanya oleh suatu pihak tertentu. Sejauh ini
 Densus 88 telah berhasil menjalankan tugas perburuan dan penumpasan sebagian
 teroris dan sarang mereka.
 Tetapi kita belum tahu pasti berapa banyak selsel teroris yang telah
 menyebar di antara kita mengingat begitu banyak yang mendukung dan
 melindungi. Apakah perkembangannya akan terhenti atau akan tumbuh kembali?
 BIN dan TNI pastinya bisa membantu.
 
 Ketika menyangkut perang ideologi, partaipartai politik, yang sejatinya
 adalah kendaraan ideologi, seharusnya ikut memainkan peran. Misalnya, pernah
 ada upaya menyatukan kekuatan nasionalis dalam medan perpolitikan untuk
 menghalau gerakan-gerakan primordial yang bisa mengganggu pluralisme dan
 persatuan nasional. Tentang ini, Sayidiman menyatakan tidak banyak yang bisa
 diharapkan dari partaipartai politik selama mereka belum berbenah diri.
 Terorisme menantang tanggung jawab dan integritas semua pihak.
 
 http://anax1a.
 
 
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
website: http://dtjakarta.or.id/
====================================================
Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Daily Digest | Switch format to Traditional
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe
Tidak ada komentar:
Posting Komentar