Kamis, 29 Maret 2012

[daarut-tauhiid] Hadits Ahad adalah Hujjah dalam Masalah Aqidah

 

Hadits Ahad adalah
Hujjah dalam Masalah Aqidah
 
Hal-hal gaib dan keimanan
senantiasa berjalan seiring. Karena butuh "pupuk" keimanan untuk meyakininya.
Hal ini memang tidak bisa tidak. Dalam syariat Islam, kita memang dihadapkan
pada sejumlah hal gaib yang sulit dicerna oleh akal kita yang terbatas, sukar
ditelaah oleh indera kita yang lemah, bahkan yang sedikit pun tak terbetik di
benak.
 
Kewajiban taat kepada Rasulullah
adalah sesuatu yang telah dipahami oleh segenap kaum muslimin. Hal ini bisa
diketahui melalui bermacam bentuk ibadah yang mereka lakukan, baik yang ada
tuntunannya ataupun tidak, dengan alasan taat kepada Rasulullah. Juga dari
berbagai bentuk shalawat yang mereka kumandangkan baik yang telah diajarkan
Rasulullah atau yang tidak dituntunkan oleh beliau. Mereka pun mengatakan
beriman, dan cinta kepada Rasulullah.
 
Namun yang dituntut bukan hanya
sekedar ucapan, akan tetapi aplikasi dari cinta tersebut dalam bentuk amal.
Orang yang benar-benar menaati beliau tidak akan berani mendekati amalan-amalan
yang tidak beliau syariatkan. Karena ia mengetahui bahwa sikap dan cara
demikian termasuk kelancangan dalam agama. Di sisi lain, dia akan berusaha
mencari pengetahuan tentang syariat beliau. Dia tahu bahwa melakukan amalan
yang tidak dituntunkan oleh beliau merupakan sebuah tuduhan bahwa beliau
berkhianat dalam menyampaikan risalah Allah, atau bahwa ada amalan yang beliau
rahasiakan dan tidak beliau sampaikan kepada umat ini. Orang yang benar-benar
taat kepada Rasulullah akan berusaha menyesuaikan segala ucapan, amalan
lahiriah dan batiniah dengan tuntunan beliau.
 
Al-Imam Malik berkata:
"Barangsiapa mengada-adakan sesuatu dalam urusan agama dan dia menganggapnya
baik, sungguh dia telah menuduh Rasulullah berkhianat dalam menyampaikan
risalah. Padahal Allah mengatakan:
 
'Pada hari ini telah Aku
sempurnakan agama kalian untuk kalian.' Maka apa yang dulu bukan sebagai agama,
maka pada hari ini bukan pula sebagai agama." (Al-I'tisham, 1/49)
 
Jika hal ini –menyesuaikan amalan
lahiriah dan batiniah dengan tuntunan beliau– tidak dilakukan, berarti
pengakuan taat hanya sebatas di lisan. Begitu juga cinta yang benar kepada
beliau adalah kecintaan yang akan membuahkan kemurnian taat, membela Sunnah
beliau dari segala yang mengotori dan merusaknya, serta mencintai orang-orang
yang mengamalkan Sunnah beliau di manapun mereka berada. Bila tidak demikian,
niscaya cinta hanya sebatas pengakuan di mulut semata.
 
Ketaatan
kepada Rasulullah adalah Ketaatan kepada Allah
 
Ketaatan kepada beliau adalah
ketaatan yang mutlak. Artinya, segala apa yang beliau perintahkan hendaknya
dilakukan dan segala yang beliau larang hendaknya ditinggalkan. Juga,
membenarkan apa yang beliau beritakan dengan tanpa memilih dan memilah. Hal ini
telah dijelaskan oleh Allah dan Rasul-Nya.
 
"Demi bintang ketika terbenam.
Kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru. Dan tiadalah yang
diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain
hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)." (An-Najm: 1-4)
 
"Dan barangsiapa yang menaati
Allah dan Rasul (Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang
dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi, orang-orang yang jujur,
orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang shalih. Dan mereka itulah teman
yang sebaik-baiknya." (An-Nisa`: 69)
 
"Dan barangsiapa yang taat kepada
Allah dan Rasul-Nya, dan takut kepada Allah serta bertakwa kepada-Nya, maka mereka
adalah orang-orang yang mendapat kemenangan." (An-Nur: 52)
 
"Dan barangsiapa menaati Allah
dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar."
(Al-Ahzab: 71)
 
"Dan taatlah kalian kepada Allah
dan Rasul agar kalian mendapatkan rahmat." (Ali 'Imran: 132)
 
"Hai orang-orang yang beriman,
taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kalian. Jika
kalian berselisih tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah
(Al-Qur`an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah
dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya." (An-Nisa`:59)
 
Nabi bersabda:
 
"Barangsiapa yang taat kepadaku
berarti dia telah taat kepada Allah, dan barangsiapa yang bermaksiat terhadapku
berarti telah bermaksiat kepada Allah, dan barangsiapa yang bermaksiat kepada
amirku maka dia telah bermaksiat kepadaku." (HR. Al-Bukhari, Kitabul Ahkam, Bab
Qaulullah ta'ala: Wa Athi'ullah…, no. 6603)
 
"Setiap umatku akan masuk surga,
kecuali orang yang enggan." Mereka berkata: "Siapakah yang enggan itu, wahai
Rasulullah?" Rasulullah bersabda: "Barangsiapa yang taat kepadaku, dialah yang
mau masuk surga. Dan barangsiapa yang bermaksiat terhadapku, dialah yang
enggan." (HR. Al-Bukhari, Kitabul I'tisham bil Kitab was Sunnah, Bab Al-Iqtida`
bi Sunani Rasulillah, no. 6737)
 
Al-Imam Az-Zuhri berkata: "Dulu
para ulama kita berkata: 'Berpegang teguh dengan As-Sunnah adalah keselamatan."
(Diriwayatkan oleh Al-Imam Ad-Darimi dalam Sunan beliau, 1/44)
 
Diriwayatkan dari Hisyam bin
'Urwah, dari bapaknya ('Urwah), dia berkata: "Berpegang teguhlah dengan
As-Sunnah, berpegang teguhlah dengan As-Sunnah, karena sesungguhnya As-Sunnah
adalah tonggak agama." (Diriwayatkan oleh Al-Marwadzi dalam As-Sunnah, hal. 29)
 
Al-Auza'i berkata: "Lima perkara
yang para sahabat dan tabi'in berada di atasnya: Konsisten dengan Al-Jamaah,
berpegang dengan As-Sunnah, meramaikan masjid, membaca Al-Qur`an, dan berjihad
di jalan Allah." (Diriwayatkan oleh Abu Nu'aim dalam Al-Hilyah, 6/142)
 
Abdullah bin Ad-Dailami berkata:
"Telah sampai kepadaku bahwa awal hilangnya agama karena meninggalkan
sunnah-sunnah. Agama hilang satu sunnah demi satu sunnah, sebagaimana lepasnya
tali seikat demi seikat." (Diriwayatkan Al-Baihaqi sebagaimana dalam kitab Miftahul
Jannah hal. 62 dan Abu Nu'aim dalam kitab Al-Hilyah, 1/310)
 
Ahmad bin Muhammad bin Sahl bin
'Atha` berkata: "Barangsiapa yang berpegang teguh dengan adab-adab As-Sunnah,
niscaya Allah akan melumuri hatinya dengan cahaya ma'rifah, dan tidak ada kemuliaan
yang lebih tinggi daripada mengikuti perintah-perintah Rasulullah,
perbuatan-perbuatan dan akhlak beliau, serta beradab dengan adab-adab beliau,
baik dalam berucap, berbuat, niat maupun i'tiqad." (Diriwayatkan oleh Abu
Nua'im dalam Al-Hilyah, 10/302)
 
Mengimani Segala yang Diberitakan
Rasulullah Merupakan Syarat Syahadat Muhammad Rasulullah
 
Membenarkan segala perkara gaib
yang beliau beritakan, baik yang telah terjadi atau belum, masuk akal atau
tidak, adalah wajib dan merupakan implementasi dari makna syahadat Muhammad
Rasulullah sekaligus sebagai syaratnya.
 
Para ulama telah menyebutkan
syarat-syarat syahadat Muhammadurrasulullah di dalam kitab-kitab mereka. Di
antaranya dalam kitab 'Aqidah At-Tauhid karya Asy-Syaikh Shalih Fauzan (hal.
57) dan Al-Qaulul Mufid karya Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab
Al-Yamani  (hal. 38-38).
 
Syarat-syaratnya adalah sebagai
berikut:
 
Pertama: Meyakini kebenaran
risalah yang beliau bawa.
 
Kedua: Mengucapkan dengan lisan
terhadap apa yang diyakininya.
 
Dalil dua syarat ini, adalah
firman Allah:
 
"Sesungguhnya orang-orang yang
beriman itu adalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya serta
dia tidak ragu-ragu." (Al-Hujurat: 15)
 
Ketiga: Mengikuti beliau dengan
cara mengamalkan kebenaran yang beliau bawa dan meninggalkan segala kebatilan
yang beliau larang.
 
"Katakan: Jika kalian benar-benar
cinta kepada Allah maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian dan
mengampuni dosa-dosa kalian dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Ali
'Imran: 31)
 
Keempat: Membenarkan segala yang
beliau beritakan, baik berbentuk perintah, larangan, maupun perkara gaib yang
telah lalu atau yang akan datang, dan lainnya.
 
"Apa yang diberikan Rasul
kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu, tinggalkanlah."
(Al-Hasyr: 7)
 
"Tidakkah kalian memercayaiku?
Sedangkan aku adalah kepercayaan (Dzat) yang ada di langit. Berita dari langit
datang kepadaku pagi dan petang." (HR. Al-Bukhari no. 4904 dan Muslim no. 1043
dari sahabat Abu Sa'id Al-Khudri)
 
Kelima: Mencintai beliau lebih
dari kecintaan terhadap diri, harta, kedua orangtua, anak, dan manusia
seluruhnya.
 
"Tidak dikatakan sempurna iman
setiap orang dari kalian hingga aku lebih dia cintai daripada bapaknya, anaknya
dan manusia seluruhnya." (HR. Al-Bukhari no. 15 dan Muslim no. 44 dari Anas bin
Malik)
 
"Demi Allah yang jiwaku berada di
tangan-Nya, salah seorang di antara kalian tidak dikatakan beriman sampai aku
lebih dia cintai daripada bapak dan anaknya." (HR. Al-Bukhari no. 14)
 
Keenam: Mendahulukan segala
ucapan beliau daripada ucapan manusia manapun.
 
"Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kalian mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (Al-Hujurat: 1)
 
Al-Imam Malik berkata: "Tidak ada
seorang pun melainkan ucapannya bisa diterima dan bisa ditolak, kecuali pemilik
kuburan ini (yaitu Rasulullah)."
 
Ketujuh: Memuliakan beliau,
menghormati, mengagungkan segala apa yang beliau bawa dari sisi Allah –yakni
Al-Qur`an dan As-Sunnah– dengan cara mengaplikasikannya dalam hidup dan
mencintai keduanya lebih daripada kecintaan terhadap diri sendiri.
 
"Sesungguhnya Kami mengutusmu
sebagai saksi, pembawa berita gembira dan pemberi peringatan. Supaya kalian
beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, memuliakan serta menghormatinya, dan agar
kalian bertasbih kepada-Nya di waktu pagi dan petang." (Al-Fath: 8-9)
 
Berita Gaib dalam Kehidupan
Salafus Shalih
 
Terkadang, orang melihat sebuah
tuntunan agama dengan kacamata duniawi. Artinya, apakah syariat ini
menguntungkan bagi dirinya atau tidak. Bila ternyata menguntungkan, akan
dianggap sesuatu yang besar dan harus diperjuangkan dengan penuh semangat.
Namun bila tidak menguntungkan bagi kehidupan dunianya, akan dianggap sesuatu
yang ringan dan enteng, sehingga dikesampingkan. Bahkan tidak segan-segan
dilemparkan ke belakang punggung mereka, padahal perkaranya besar.
 
Berbeda halnya dengan para
sahabat Rasulullah dan generasi yang mengikuti langkah mereka. Mereka
menganggap bahwa seluruh perkara yang dituntunkan oleh Rasulullah –baik besar
ataupun kecil– adalah bermanfaat bagi kehidupan dunia dan akhirat. Karena
mereka mengetahui bahwa besar ataupun kecil syariat yang dilakukan, tetap akan
mendatangkan cinta, kasih sayang, dan ridha Allah. Rasulullah telah menjelaskan
kepada mereka:
 
"Janganlah engkau mencela
kebaikan sekecil apapun, sekalipun engkau berjumpa dengan saudaramu dengan
wajah yang ceria." (HR. Muslim no. 4760 dari sahabat Abu Dzar)
 
Seluruh kaum muslimin mengimani
perkara gaib, bahkan meyakininya sebagai bagian rukun-rukun iman yang enam.
Akan tetapi buah beriman kepada hal-hal gaib tidak begitu nampak dalam
kehidupan. Berbeda dengan para sahabat Rasulullah. Mereka beriman kepadanya dan
nampak buahnya dalam kehidupan mereka. Di antara buah yang telah mereka petik
adalah:
 
1. Memberi semangat dan dorongan
untuk melakukan ketaatan dengan berharap pahala dari sisi Allah.
 
2. Takut dari berbuat maksiat dan
takut dari sikap ridha terhadap kemaksiatan tersebut, karena takut terhadap
adzab Allah.
 
3. Sebagai penghibur bagi
kehidupan mereka apa yang mereka tidak dapati di dunia karena berharap
kenikmatan yang abadi di akhirat kelak.
 
4. Menjadikan mereka memiliki
keistimewaan dalam hidup sehingga istiqamah, lapang dada, kuat iman, kokoh
dalam malapetaka yang menimpa mereka, bersabar atas semua musibah, mengharapkan
pahala dan ganjaran; dan mereka mengetahui bahwa apa yang ada di sisi Allah
adalah lebih baik dan kekal. (Lihat Syarh Ushul Al-Iman hal. 33 dan Asyrathus
Sa'ah, hal. 29)
 
Karena demikian tinggi nilai dari
buah keimanan mereka terhadap hari kiamat, sampai-sampai Umar (semasa menjabat
khalifah) berkata dalam ucapan beliau yang masyhur: "Kalau di Irak terdapat
keledai terjatuh (karena jalannya yang jelek), aku menyangka Allah akan meminta
pertanggungjawaban kepadaku: 'Kenapa engkau, wahai Umar, tidak membuatkan jalan
untuknya?'." Dalam riwayat Abu Nu'aim dalam Al-Hilyah (1/53) disebutkan: "Kalau
ada seekor kambing mati di pinggir sungai Efrat karena hilang, niscaya aku
menyangka Allah akan meminta tanggung jawab tentangnya pada hari kiamat."
 
Hadits Ahad [1] adalah Hujjah
dalam Masalah Aqidah
 
Pembahasan ini amat sangat
terkait dengan keimanan terhadap berita-berita gaib yang datang melalui lisan
Rasulullah. Karena kebanyakan perkara gaib dijelaskan dengan hadits-hadits
ahad, terlebih yang terkait dengan tanda hari kiamat.
 
Pembahasan ini terkait pula
dengan munculnya kelompok dari kaum muslimin yang menentang kebolehan berhujjah
dengan hadits-hadits ahad dalam permasalahan aqidah, seperti yang dilakukan
oleh ahli kalam dari kalangan Mu'tazilah dan yang sefahamdengan mereka dari
kalangan orang-orang sekarang ini seperti Muhammad 'Abduh, Mahmud Syaltut,
Ahmad Salabi, Abdul Karim 'Utsman, dan lainnya. Juga dari kalangan ulama ahli
ushul, seperti yang disebutkan oleh pengarang kitab Syarh Al-Kaukab Al-Munir fi
Ushul Al-Fiqh, yaitu Muhammad bin Ahmad bin Abdul 'Aziz Al-Hambali.
 
Mereka berkeyakinan bahwa
hadits-hadits ahad tidak bisa dijadikan sebagai hujjah dalam masalah aqidah.
Yang menjadi hujjah adalah dalil-dali yang qath'i baik, dari ayat ataupun dari
hadits. Tentu pendapat ini tertolak. Karena sebuah hadits, apabila shahih dari
Rasulullah n melalui jalan orang-orang terpercaya yang menyampaikannya kepada
kita, maka kita wajib mengimani dan membenarkannya, baik hadits tersebut
mutawatir atau ahad, yang menghasilkan ilmu yakin. Ini merupakan madzhab ulama
salafush shalih.
 
Kaidah kelompok yang menolak
hadits ahad sebagai hujjah dalam masalah aqidah bertentangan dengan firman
Allah:
 
"Dan tidaklah patut bagi
laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila
Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka
pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah
dan Rasul-Nya maka sungguh dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata."
(Al-Ahzab: 36)
 
"Katakanlah: 'Taatilah Allah dan Rasul-Nya!'."
(Ali 'Imran: 32)
 
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata:
"Amalan para sahabat dan tabi'in terhadap hadits ahad telah tersebar, tanpa ada
pengingkaran sedikitpun. Hal ini menunjukkan kesepakatan mereka untuk menerima
hadits ahad." (Fathul Bari, 13/234)
 
Ibnu Abil 'Izzi berkata: "Apabila
umat telah sepakat menerima hadits ahad, beramal dengannya dan membenarkannya,
maka akan memberikan manfaat ilmu yakin menurut mayoritas ulama. Dan ini
merupakan salah satu jenis mutawatir dan tidak ada perselisihan di kalangan
ulama salaf." (Syarh 'Aqidah Ath-Thahawiyyah, hal. 355)
 
Seorang bertanya kepada Al-Imam
Asy-Syafi'i sebuah permasalahan, lalu beliau menjawab: "Rasulullah telah
memutuskan demikian dan demikian."
 
Seseorang lalu berkata kepada
Al-Imam Asy-Syafi'i: "Apakah kamu akan memutuskan dengannya?"
 
Beliau berkata: "Apakah kamu
melihat aku di gereja? Apakah kamu melihat pada pinggangku ada pengikat (yang
biasa dipakai oleh pendeta)? Aku katakan kepadamu: 'Rasulullah telah memutuskan
demikian', lalu kamu mengatakan: 'Apakah kamu akan memutuskannya dengannya?'."
(Mukhtashar Ash-Shawa'iq Al-Mursalah, 2/350)
 
Al-Imam Asy-Syafi'i juga berkata:
"Maka kapan saja aku meriwayatkan hadits dari Rasulullah yang shahih lalu aku
tidak mengambilnya, aku persaksikan kepada kalian bahwa akalku telah hilang."
(Mukhtashar Ash-Shawa'iq, 2/350)
 
Dalam ucapan ini, Al-Imam
Asy-Syafi'i tidak membedakan antara hadits ahad atau mutawatir, dan tidak
membedakan dalam permasalahan aqidah atau amaliah lahiriah. Karena yang menjadi
patokan adalah hadits tersebut shahih atau tidak.
 
Al-Imam Ahmad berkata: "Segala
hal yang datang dari Rasulullah n dengan sanad yang baik maka kita terima. Jika
kita tidak menetapkan apa yang dibawa oleh Rasulullah dan kita menolaknya,
niscaya kita telah menolak perintah Allah. Allah berfirman:
 
"Apa yang diberikan Rasul kepadamu
maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah."
(Al-Hasyr: 7) [Ithaful Jama'ah, 1/4]
 
Syakhul Islam Ibnu Taimiyyah
berkata: "As-Sunnah, apabila shahih, maka kaum muslimin sepakat untuk wajib
mengikutinya." (Majmu' Fatawa, 19/85)
 
Ibnul Qayyim berkata dalam rangka
membantah orang-orang yang menolak berhujjah dengan hadits ahad: "Termasuk
dalam masalah ini adalah berita sebagian sahabat kepada sebagian yang lain.
Mereka menerima apa yang disampaikan oleh salah seorang dari sahabat yang
diterima dari Rasulullah. Mereka tidak mengatakan kepada para pembawa berita
tersebut: 'Kepada siapa Rasulullah menyampaikannya?' (Mereka tidak pula
mengatakan:) 'Beritamu seorang diri tidak memberikan ilmu yakin, sampai
beritamu mutawatir…' Bila salah seorang dari mereka meriwayatkan hadits kepada
yang lain dari Rasulullah dalam permasalahan sifat (Allah) mereka menerimanya
dan meyakini sifat tersebut dengan penuh keyakinan, sebagaimana meyakini
tentang melihat Allah, Allah mengajak hamba-Nya berbicara dan memanggil
hamba-Nya dengan suara yang bisa didengar dengan orang yang paling jauh
sebagaimana didengar orang yang dekat, Allah turun ke langit dunia pada setiap
malam, Allah tertawa, gembira, memegang langit di atas jari jemarinya dan
menetapkan sifat kaki bagi Allah. Maka bila salah seorang mereka mendengar
hadits tersebut yang diterima dari Rasulullah, atau dari teman yang benar
keyakinannya dengan hanya sekedar mendengarnya dari orang yang jujur, sungguh
dia tidak akan meragukan beritanya.
 
Dalil-dalil yang menetapkan
keyakinan salafush shalih (pendahulu yang shalih) dari umat ini adalah:
 
"Tidak sepatutnya bagi
orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak
pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam
pengetahuan mereka tentang agama dan memberi peringatan kepada kaumnya apabila
mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya."
(At-Taubah: 122)
 
"Hai orang-orang yang beriman,
jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan
teliti." (Al-Hujurat: 6)
 
"Hai orang-orang yang beriman,
taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kalian. Jika
kalian berselisih tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah
(Al-Qur`an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah
dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya." (An-Nisa`:59)
 
Adapun dalil dari As-Sunnah,
Rasulullah n mengutus para utusannya kepada raja-raja di berbagai negeri, satu
demi satu. Begitu juga gubernur yang diangkat oleh beliau adalah satu orang,
dan orang-orang mengembalikan semua urusan mereka kepadanya, baik dalam
hukum-hukum atau perkara akidah. Rasulullah telah mengutus Abu 'Ubaidah 'Amir
ibnul Jarrah ke negeri Najran sebagaimana dalam riwayat Al-Imam Al-Bukhari
dalam Kitab Akhbar Ahad bab bolehnya berita seorang yang jujur menjadi hujjah.
Rasulullah  juga mengutus Mu'adz bin
Jabal ke negeri Yaman seorang diri, sebagaimana dalam riwayat Al-Imam Al-Bukhari.
Rasulullah  mengutus pula Dihyah Al-Kalbi
membawa surat Rasulullah kepada pemimpin Romawi, dan para sahabat lainnya.
 
Bahaya Menolak Hadits Ahad
sebagai Hujjah dalam Aqidah
 
Tidak ada keraguan lagi bagi
orang yang berakal bahwa menolak kebolehan hadits ahad menjadi hujjah dalam
masalah akidah termasuk penentangan kepada Rasulullah. Hal ini tentu akan
berdampak negatif. Di antara bahaya yang akan timbul dalam penolakan tersebut
adalah:
 
1. Menolak segala
hadits yang menjelaskan tentang keutamaan Rasulullah di atas seluruh nabi.
 
2. Menolak adanya
syafaat Rasulullah yang besar (syafa'atul 'uzhma) pada hari kiamat.
 
3. Menolak adanya
syafaat beliau terhadap para pelaku dosa besar.
 
4. Menolak adanya
seluruh mukjizat beliau selain Al-Qur`an.
 
5. Menolak awal
mula penciptaan dan sifat para malaikat, jin, sifat surga dan neraka yang tidak
tersebutkan di dalam Al-Qur`an.
 
6. Menolak adanya
pertanyaan Munkar dan Nakir di dalam kubur.
 
7. Menolak berita
disempitkannya kuburan bagi mayit.
 
8. Menolak adanya
Ash-Shirath (jembatan), Al-Haudh (telaga Rasulullah), dan timbangan yang
memiliki dua daun timbangan.
 
9. Menolak beriman
bahwa Allah telah menulis catatan setiap manusia: bahagia, celaka, rizki dan
ajalnya, ketika dia masih dalam kandungan ibunya.
 
10. Menolak
berbagai kekhususan Rasulullah, sebagaimana yang telah dihimpun oleh Al-Imam
As-Suyuthi dalam kitab beliau Al-Khasha`is Al-Kubra. Seperti masuknya beliau ke
dalam surga ketika beliau masih hidup dan melihat penduduknya serta apa-apa
yang telah dijanjikan bagi orang-orang yang bertakwa. Juga masuk Islamnya qarin
Rasulullah dari kalangan jin.
 
11. Menolak
penetapan adanya 10 orang yang dikabarkan masuk surga.
 
12. Menolak tidak
kekalnya pelaku dosa besar (dari kalangan muslimin yang bertauhid) di dalam
neraka.
 
13. Menolak beriman
terhadap berita yang shahih tentang hari kiamat, yang tidak disebutkan di dalam
Al-Qur`an.
 
14. Menolak beriman
terhadap sebagian besar tanda-tanda hari kiamat (yang sebenarnya
hadits-haditsnya mutawatir, namun dianggap ahad oleh orang-orang yang tak
mengerti ilmu hadits), seperti keluarnya Imam Mahdi, turunnya Nabi 'Isa,
keluarnya Dajjal, keluarnya api, terbitnya matahari dari sebelah barat,
munculnya binatang, dan selainnya.
 
Perkara Gaib, Antara Kufur dan
Iman
 
Dari urairan di atas jelaslah
bahwa orang-orang yang menentang adanya berita gaib termasuk kufur kepada Allah
dan menentang-Nya serta menentang seluruh rasul. Karena beriman kepada perkara
gaib termasuk rukun-rukun iman. Al-Imam Ath-Thahawi mengatakan: "Mengingkari
risalah beliau termasuk celaan terhadap Allah." (Syarh Al-'Aqidah
Ath-Thahawiyyah, hal. 178)
 
Abu Ja'far Ahmad bin Muhammad
Ath-Thahawi menjelaskan: "Tidak akan kokoh fondasi Islam melainkan di atas
sikap berserah diri dan menerima. Barangsiapa berusaha menggali ilmu yang
dilarang untuk diilmui dan tidak merasa puas dengan menyerahkan pemahamannya,
maka keinginannya akan menghalangi dirinya dari kemurnian tauhid, kebersihan
ilmu, dan iman yang benar. Sehingga dia menjadi orang yang bimbang antara kufur
dan iman, antara membenarkan dan mendustakan, antara menetapkan dan
mengingkari. Dia juga akan ternodai oleh bisikan-bisikan yang menyesatkan dan
mendatangkan keragu-raguan. Dia bukan seorang yang beriman dan membenarkan,
bukan pula seorang penentang yang mendustakan."
 
Kaidah ini telah dijelaskan oleh
Allah di dalam firman-Nya:
 
"Bukanlah menghadapkan wajahmu ke
arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan
itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab,
nabi-nabi." (Al-Baqarah: 177)
 
Dalam hadits Jibril disebutkan:
 
Jibril berkata: "Beritahukan
kepadaku tentang iman." Beliau bersabda: "Iman adalah engkau beriman kepada
Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari kiamat, dan
beriman kepada taqdir yang baik maupun buruk."
 
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
dalam Al-'Aqidah Al-Wasithiyyah berkata: "Amma ba'du. Ini adalah i'tiqad
Al-Firqatun Najiyah (golongan yang selamat) yang ditolong, sampai hari kiamat.
Mereka adalah Ahlus Sunnah wal Jamaah. Yaitu beriman kepada Allah, para
malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, kebangkitan setelah kematian
dan beriman kepada taqdir, baik maupun buruk."
 
Wallahu a'lam.
 
Footnote:
[1] Hadits ahad adalah hadits
yang diriwayatkan melalui jalur yang belum mencapai tingkat mutawatir. Misal,
melalui jalur satu orang saja. (ed)
 
Sumber: www.asysyariah.com
(ringkasan artikel berjudul asli: "Berita Gaib Antara Kufur dan Iman")

[Non-text portions of this message have been removed]

__._,_.___
Recent Activity:
====================================================
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
       website:  http://dtjakarta.or.id/
====================================================
.

__,_._,___

Tidak ada komentar: