Sabtu, 24 Maret 2012

[daarut-tauhiid] Hukum Berteman Dengan Non Muslim, Mengucapkan Salam kepada Ahli Kitab, dan Hukum Tinggal Di Negara Kafir

 

Hukum Berteman Dengan
Non Muslim, Mengucapkan Salam kepada
Ahli Kitab, dan Hukum Tinggal Di Negara Kafir
 
A. Hukum Berteman Dengan Non Muslim
 
Tanya:
 
Apa boleh kita berteman dengan
Non Muslim? Apa ada Hadis atau Al-Quran?
 
Jawab:
 
Berteman dengan non muslim adalah
amalan yang diharamkan. Allah Ta'ala berfirman yang artinya, "Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman
setia." (QS. Al-Mumtahanah: 1) Allah Ta'ala juga mengingatkan di dalam
firman-Nya yang artinya, "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil
menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena)
mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu." (QS. Ali Imran:
118) Semakna dengannya ayat ke-28:
 
"Janganlah
orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan
orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari
pertolongan Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang
ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa) Nya.
Dan hanya kepada Allah kembali (mu)".
 
Allah Ta'ala juga menjadikan
amalan ini bertentangan dengan keimanan orang tersebut kepada Allah dan hari
akhir. Allah Ta'ala berfirman yang artinya, "Kamu tak akan mendapati kaum yang
beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang
yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau
anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka." (QS. Al-Mujadilah: 22)
 
Bahkan Allah Ta'ala menjadikannya
sebagai ciri-ciri orang munafik di dalam firman-Nya yang artinya, "Kabarkanlah
kepada orang-orang munafik bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih,
(yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi teman-teman
penolong." (QS. An-Nisa`: 138-139) Semakna dengannya ayat ke-144:
 
"Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan
meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata
bagi Allah (untuk menyiksamu)?"
 
Allah Ta'ala juga tidak
menggolongkan orang yang berteman dengan non muslim ke dalam para pengikut
Nabi-Nya shallallahu alaihi wasallam. Allah Ta'ala berfirman yang artinya,
"Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang menjadikan suatu kaum yang dimurkai
Allah sebagai teman? Orang-orang itu bukan dari golongan kamu dan bukan (pula)
dari golongan mereka." (QS. Al-Mujadilah: 14)
 
Hanya saja, walaupun seorang
muslim dilarang untuk berteman dengan non muslim, itu tidak berarti seorang
muslim boleh berlaku zhalim kepada mereka. Karena berbuat baik kepada non
muslim adalah dibolehkan bahkan disyariatkan, selama perbuatan baik itu lahir
bukan karena kasih sayang dan loyalitas kepada non muslim tersebut, akan tetapi
lahir semata-mata atas dasar kemanusiaan atau karena non muslim tersebut
berbuat baik kepada kita sehingga kita membalasnya atau karena non muslim
tersebut tidak mengganggu kita.
 
Allah Ta'ala berfirman yang
artinya, "Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum,
mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih
dekat kepada takwa." (QS. Al-Maidah: 8)
 
Juga dalam firman-Nya yang
artinya, "Maka selama mereka berlaku lurus terhadapmu, hendaklah kamu berlaku
lurus (pula) terhadap mereka. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bertakwa." (QS. At-Taubah: 7)
 
Allah Ta'ala juga berfirman yang
artinya, "Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil
terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula)
mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku
adil." (QS. Al-Mumtahanah: 8)
 
Sumber: al-atsariyyah.com
 
B. Mengucapkan Salam
kepada Ahli Kitab

Pertanyaan:

Hadits "Janganlah kalian memulai
mengucapkan salam kepada Yahudi dan Nasrani, dan desaklah mereka ke bagian
jalan yang paling sempit", bagaimana penjelasannya? Bagaimana seorang muslim
mengumpulkan hadits ini dengan perlakuan baik Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam kepada orang kafir, berupa menengok orang yang sakit di antara mereka,
menerima hadiah dari mereka, juga memberikan gamis beliau kepada Abdullah bin
Abdullah bin Ubai bin Salul, agar dia mengafani bapaknya dengan gamis itu?

Jawab:

Teks hadits sebagaimana dalam
Shahih Muslim adalah sebagai berikut:

"Janganlah kalian memulai
mengucapkan salam kepada Yahudi dan Nasrani. Dan bila kalian bertemu dengan
salah seorang mereka di jalan, desaklah mereka ke bagian yang paling sempit."

Dalam sebuah riwayat Al-Imam Muslim:
"Bila kalian bertemu dengan seorang Yahudi…"

Dalam riwayat yang lain:
"Bila kalian bertemu dengan ahli kitab…"

Dalam riwayat yang lain lagi:
"Bila kalian bertemu mereka…"

Dan tidak disebutkan tentang orang musyrik sedikitpun.

Makna hadits di atas adalah, tidak boleh memulai mengucapkan salam kepada orang
kafir, karena larangan di sini berkonsekuensi pengharaman hal itu. Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam telah melarang memulai mengucapkan salam kepada
mereka, berdasarkan sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam:

"Janganlah kalian memulai
mengucapkan salam kepada Yahudi dan Nasrani."

Adapun bila mereka mengucapkan salam terlebih dahulu maka dijawab salam mereka
dengan ucapan:

'Wa'alaikum'
Artinya: "Dan atas kalian juga."

dengan dalil hadits yang diriwayatkan Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya:

"Bila ahli kitab mengucapkan
salam kepada kalian, katakanlah: 'Wa'alaikum'."

An-Nawawi rahimahullahu telah menjelaskan sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa
sallam:

"Dan bila kalian bertemu dengan
salah seorang mereka di jalan, desaklah mereka ke bagian yang paling sempit."

Beliau berkata:

"Pengikut mazhab kami (ulama
mazhab Syafi'iyah) mengatakan: 'Bagian jalan yang lapang tidak disisakan untuk
seorang kafir dzimmi. Bahkan dia didesak ke bagian yang paling sempit, bila
kaum muslimin sedang melewati jalan itu. Bila jalan itu tidak ramai, maka tidak
mengapa.' Mereka juga mengatakan: 'Hendaknya desakan itu tidak membuatnya jatuh
ke jurang, atau membuatnya menabrak tembok, dan semacamnya'."

Tidak ada pertentangan antara hadits ini dengan muamalah beliau Shallallahu
'alaihi wa sallam yang baik terhadap orang-orang kafir, berupa menengok orang
yang sakit di antara mereka, menerima hadiah-hadiah dari mereka, juga
memberikan gamis beliau untuk mengafani Abdullah bin Ubai bin Salul (seorang
munafik, ed.). Karena muamalah yang baik ini bertujuan melunakkan hati mereka,
mengajak dan mendorong mereka kepada Islam.

Garis besarnya, hal-hal yang termasuk dalam bab berbuat baik dan membalas
perbuatan baik dengan perbuatan baik pula, kita lakukan terhadap mereka, untuk
melunakkan hati mereka. Hendaklah tangan kaum muslimin berada di atas.

Adapun hal-hal yang termasuk dalam bab menampakkan pemuliaan, pengagungan,
peninggian derajat, maka kita tidak bermuamalah dengan mereka dalam hal-hal
tersebut. Seperti memulai mengucapkan salam untuk menghormati mereka,
memberikan bagian jalan yang lapang kepada mereka untuk memuliakan mereka.
Mereka tidak berhak menerimanya disebabkan kekafiran mereka. Bilamana
dikhawatirkan timbul kesamaran dalam pembicaraan, maka jawablah dengan ucapan
yang global, tanpa kekakuan dan kekejian. Seperti, menjawab salam mereka dengan
kalimat 'Wa alaikum'.

Dengan ini, terkumpullah (pengamalan) dua hadits tersebut.

Wabillahit taufiq, washallalahu 'ala nabiyyina Muhammad, wa alihi wa shahbihi
wa sallam.

Sumber: www.asysyariah.com

C. Hukum Tinggal Di
Negara Kafir

Syaikh Muhammad bin Sholih
Al-'Utsaimin rahimahullah ditanya : Apa hukum tinggal di negara kafir?

Jawab: Tinggal di negara kafir merupakan bahaya besar terhadap agama, akhlak,
moral dan adab seorang muslim. Kita -juga selain kita- telah menyaksikan banyaknya
penyimpangan dari orang-orang yang tinggal di sana, mereka kembali dengan
kondisi yang tidak seperti saat mereka berangkat. Mereka kembali dalam keadaan
fasik, bahkan ada yang murtad, keluar dari agamanya dan menjadi kufur terhadap
Islam dan agama-agama lainnya, na'udzu billah, sampai-sampai mereka menentang
secara mutlak dan mengolok-olok agama dan para pemeluknya, baik yang lebih dulu
darinya maupun yang kemudian. Karena itu, hendaknya, bahkan seharusnya,
mewaspadai hal itu dan menerapkan syarat-syarat yang dapat menjaga hawa nafsu
dari perusak-perusak tersebut. Maka, tinggal di negara kafir harus memenuhi dua
syarat utama:

Syarat Pertama:

Tetap memelihara diri pada agamanya, yaitu dengan memiliki ilmu, keimanan dan
kekuatan tekad yang mengokohkannya tetap pada agamanya serta waspada terhadap
penyimpangan dan penyelisihan, dan hendaknya pula terlindungi dari permusuhan
dan kebencian kaum kuffar serta menjauhkan diri dari loyal dan mencintai
mereka, karena hal ini akan meng-gugurkan keimanannya.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: "Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum
yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan
orang-orang yang menentang Allah dan RasulNya, sekalipun orang-orang itu
bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka."
[Al-Mujadilah: 22]

Dalam ayat lainnya disebutkan:"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu);
sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di
antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu
termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang yang zhalim. Maka kamu akan melihat orang-orang yang ada penyakit
dalam hatinya (orang-oang munafik) bersegera mendekati mereka (Yahudi dan
Nasrani), seraya berkata, ' Kami takut akan mendapat bencana. Mudah-mudahan
Allah akan mendatangkan kemenangan (kepada Rasul-Nya), atau sesuatu keputusan
dari sisi-Nya. Maka karena itu, mereka menjadi menyesal terhadap apa yang
mereka rahasiakan dalam diri mereka." [Al-Ma'idah: 51-52].

Dalam sebuah hadits shahih dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam disebutkan,
bahwa barangsiapa mencintai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka:
Seseorang itu bersama orang yang dicintainya. "[1]

Mencintai musuh-musuh Allah termasuk bahaya terbesar terhadap seorang muslim,
karena mencintai mereka melahirkan sikap menyamai dan mengikuti mereka, atau
minimal tidak mau mengingkari mereka, karena itu Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam mengatakan, yang maksudnya bahwa barangsiapa mencintai suatu kaum maka
ia termasuk golongan mereka.

Syarat Kedua:

Tetap menunjukkan agamanya, yaitu menampakkan simbol-simbol Islam tanpa ada
halangan, sehingga tidak terhalangi untuk melaksanakan shalat, shalat Jum'at
dan mengikuti berbagai perkumpulan jika ada jama 'ah lain bersamanya yang
mengikuti shalat Jum'at. Tidak terhalangi untuk menunaikan zakat, puasa, haji
dan syi'ar-syi'ar lainnya. Jika tidak memungkinkan melaksanakan itu, maka tidak
boleh tetap tinggal di sana, bahkan saat itu ia wajib hijrah (pergi dari sana).

Dalam kitab Al-Mughni (hal 457 juz 7, dalam bahasan tentang golongan manusia
sehubungan dengan hijrah) disebutkan:

Pertama; wajib atasnya, yaitu yang mampu melaksanakannya dan tidak memungkinkan
baginya menampakkan agamanya dan tidak memungkinkan melaksanakan
kewajiban-kewajiban agamanya bila tetap tinggal di antara kaum kuffar. Untuk
orang yang seperti ini wajib atasnya hijrah, berdasarkan firman Allah Subhanahu
wa Ta'ala:"Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan
menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya, 'Dalam keadaan
bagaimana kamu ini.' Mereka menjawab, 'Adalah kami orang-orang yang tertindas
di negeri (Mekah)'. Para malaikat berkata, 'Bukankah bumi Allah itu luas,
sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu. Orang-orang itu tempatnya neraka
Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali'." [An-Nisa: 97]

Ini adalah ancaman keras yang menunjukkan wajib. Lagi pula, karena melaksanakan
kewajiban agama hukumnya wajib atas yang mampu, sehingga hijrah termasuk sarana
dan pelengkap kewajiban. Apa pun yang menyebabkan tidak sempurnanya suatu
kewajiban kecuali dengannya, maka hal itu wajib pula.

Setelah terpenuhi kedua syarat utama ini, tinggal di negara kafir terbagi
menjadi dua bagian:

Pertama: Tinggal di sana untuk menyeru manusia kepada Islam dan mengajak mereka
untuk menyukainya. Yang demikian ini termasuk jihad, hukumnya fardhu kifayah
bagi yang mampu dengan syarat bisa melaksanakan dakwah dan tidak ada yang
menghalanginya, karena menyeru kepada Islam termasuk kewajiban agama dan
merupakan jalannya para rasul. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pun telah
memerintahkan untuk menyampaikan apa yang berasal dari beliau di setiap masa
dan tempat, beliau bersabda: "Sampaikanlah apa yang berasal dariku walaupun
hanya satu ayat."[2]

Kedua: Tinggal di sana untuk mempelajari kondisi kaum kuffar, mengenai
kerusakan aqidah mereka, kebatilan cara beribadah mereka, penyimpangan moral
dan kekacauan perilaku mereka, hal ini dimaksudkan agar nantinya bisa
memperingatkan manusia dari tipu daya mereka dan menjelaskan kepada orang-orang
yang mengagumi mereka tentang hakikat kondisi mereka. Yang ini juga termasuk
jihad, karena mengandung unsur peringatan terhadap kekufuran dan para pelakunya
serta mencakup anjuran untuk menyukai Islam.

Disalin dari kitab Al-Fatawa
Asy-Syar'iyyah Fi Al-Masa'il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram

Footnote:
[1]. HR. Al-Bukhari dalam Al-Adab (6168), Muslim dalam Al-Birr (2640) dari
hadits Ibnu Mas'ud. Al-Bukhari (6170), Muslim (2641) dari hadits Abu Musa. Juga
yang semakna dengan ini diriwayatkan olen Al-Bukhari (6171), Muslim (2639) dari
hadits Anas.
[2]. HR. Al-Bukhari dalam Ahadits Al-Anbiya (3461).

Sumber: www.darussalaf.or.id

[Non-text portions of this message have been removed]

__._,_.___
Recent Activity:
====================================================
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
       website:  http://dtjakarta.or.id/
====================================================
.

__,_._,___

Tidak ada komentar: