Rabu, 21 Maret 2012

[daarut-tauhiid] Keimanan Yang Tidak Membuahkan Hasil

 

Keimanan Yang Tidak Membuahkan Hasil
 
"Sesungguhnya orang-orang yang
kafir kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dan bermaksud membedakan antara
(keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan mengatakan: 'Kami beriman
kepada yang sebagian dan kami kafir terhadap sebagian (yang lain)', serta bermaksud
(dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman
atau kafir), merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya. Kami telah
menyediakan untuk orang-orang yang kafir itu siksaan yang menghinakan."
(An-Nisa`: 150-151)

Penjelasan Makna
Ayat

Ayat Allah Subhanahu wa Ta'ala ini menjelaskan tentang keadaan sebuah kelompok
yang berada di antara dua kelompok yang telah jelas kedudukan dan sikap mereka.
Dua kelompok yang jelas tersebut adalah:

Pertama: kelompok yang mengimani segala hal yang datang dari Allah Subhanahu wa
Ta'ala dan Rasul-Nya. Mereka adalah kaum mukminin.

Kedua: kelompok yang mengingkari seluruh apa yang datang dari Allah Subhanahu
wa Ta'ala dan Rasul-Nya. Mereka adalah kaum kafir yang jelas kekufurannya.

Adapun kelompok yang ketiga adalah kelompok yang disebutkan oleh Allah
Subhanahu wa Ta'ala pada ayat ini yaitu orang-orang yang mengimani sebagian
rasul dan tidak mengimani sebagian lainnya serta menyangka bahwa ini merupakan
jalan yang dapat menyelamatkan mereka dari siksaan Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Namun itu hanyalah angan-angan belaka, sebab mereka bermaksud memisahkan antara
keimanan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan para rasul-Nya. Sebab barangsiapa
yang bersikap loyal kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala secara hakiki niscaya dia
akan bersikap loyal kepada seluruh rasul-Nya sebagai wujud loyalitasnya yang
sempurna kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Dan barangsiapa yang memusuhi salah
seorang dari kalangan rasul-Nya maka sungguh dia telah memusuhi Allah 'Azza wa
Jalla dan memusuhi seluruh rasul-Nya.

Sebagaimana firman-Nya:

"Barangsiapa yang menjadi musuh Allah, malaikat-malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya,
Jibril dan Mikail, maka sesungguhnya Allah adalah musuh orang-orang kafir."
(Al-Baqarah: 98)

Demikian pula orang yang kufur terhadap seorang rasul, maka sungguh ia telah
mengkufuri seluruh rasul termasuk terhadap rasul yang disangka telah
diimaninya. Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa Ta'ala menegaskan bahwa mereka
ini adalah orang-orang kafir yang sebenar-benarnya agar tidak menimbulkan
persangkaan bahwa mereka berada di sebuah tingkatan antara keimanan dan
kekafiran.

Dan sisi penyebab kafirnya mereka –meskipun terhadap sesuatu yang mereka
menyangka beriman kepadanya- bahwa setiap dalil yang mengantarkan mereka menuju
keimanan terhadap apa yang mereka imani juga terdapat yang semisalnya atau
bahkan lebih daripada itu, terhadap nabi yang mereka ingkari. Demikian pula
setiap syubhat yang mereka gunakan untuk meragukan kenabian seorang nabi yang
mereka ingkari juga terdapat yang semisalnya atau bahkan lebih dari itu
terhadap nabi yang mereka imani.

Sehingga tidak ada yang tinggal dari mereka melainkan syahwat dan mengikuti
hawa nafsu serta sekedar pengakuan yang memungkinkan bagi yang lain untuk
mendatangkan lawan yang semisalnya. Sehingga tatkala Allah Subhanahu wa Ta'ala
telah menyifatkan bahwa mereka itu adalah orang-orang kafir yang
sebenar-benarnya maka Allah Subhanahu wa Ta'ala menyebutkan hukuman yang
meliputi mereka (orang-orang kafir) secara menyeluruh dengan firman-Nya "Dan
Kami telah persiapkan bagi orang-orang kafir siksaan yang menghinakan",
sebagaimana mereka yang bersikap sombong untuk beriman kepada Allah Subhanahu
wa Ta'ala maka Allah Subhanahu wa Ta'ala pun menghinakan mereka dengan siksaan
yang sangat pedih dan menghinakan. (Tafsir As-Sa'di)

Qatadah rahimahullahu berkata dalam menjelaskan ayat ini:

"Mereka adalah musuh-musuh Allah Subhanahu wa Ta'ala dari kalangan Yahudi dan
Nashara, Yahudi beriman kepada Taurat dan Musa, serta mengingkari Injil dan
Nabi Isa. Kaum Nashara beriman kepada injil dan Isa, serta mengingkari
Al-Qur`an dan Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Maka mereka lebih memilih
jalan agama Yahudi dan Nashrani padahal keduanya merupakan agama bid'ah yang
tidak berasal dari Allah Subhanahu wa Ta'ala lalu meninggalkan Islam yang
merupakan agama Allah Subhanahu wa Ta'ala yang dengannya Dia mengutus para
rasul-Nya." (Tafsir Ath-Thabari)

Tidak Ada
Kedudukan yang Ketiga antara Haq dan Batil

Ayat Allah Subhanahu wa Ta'ala yang mulia ini juga menerangkan bahwa tidak ada
kedudukan di antara kekufuran dan keimanan. Allah Subhanahu wa Ta'ala hanya
membagi dua keadaan, adakalanya keimanan dan adakalanya kekufuran. Adapun yang
disangka oleh mereka yang beriman terhadap sebagian apa yang datang dari Allah
Subhanahu wa Ta'ala dan menyangka bahwa hal tersebut bermanfaat bagi mereka,
maka ayat ini membatalkan persangkaan mereka itu dan mendustakan apa yang
selama ini mereka imani disebabkan karena seseorang tidak diperkenankan untuk
memilih apa yang datang dari Allah Subhanahu wa Ta'ala sesuai dengan kehendak
hawa nafsu namun yang diinginkan adalah sikap istislam (berserah diri) dan
inqiyad (tunduk) terhadap segala apa yang datang Allah Jalla wa 'Ala tanpa
membedakan antara yang satu dengan yang lainnya. Di dalam ayat lain Allah
Subhanahu wa Ta'ala berfirman tentang orang-orang Yahudi:

"...Apakah kamu beriman kepada sebagian Al-Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap
sebagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian
daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat
mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa
yang kamu perbuat." (Al-Baqarah: 85)

Dalam ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta'ala menerangkan pula bahwa sikap beriman
kepada sebagian isi kitab yang diturunkan Allah Subhanahu wa Ta'ala lalu
mengkufuri sebagian lainnya merupakan sikap yang mendatangkan kehinaan atas
mereka dalam kehidupan dunia serta siksaan yang pedih dari Allah Subhanahu wa
Ta'ala di akhirat. Dan tidaklah diringankan siksaan itu atas mereka, dan mereka
dilaknat Allah Subhanahu wa Ta'ala disebabkan kekufuran mereka.

Ini semua menunjukkan bahwa mengingkari sebagian apa yang datang dari Allah
Subhanahu wa Ta'ala berarti mengingkarinya secara menyeluruh. Allah Subhanahu
wa Ta'ala berfirman:

"Maka (Dzat yang demikian) itulah Allah Rabb kamu yang sebenarnya; maka tidak
ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan. Maka bagaimanakah kamu
dipalingkan (dari kebenaran)?" (Yunus: 32)

Syaikhul Islam Muhammad bin Abdil Wahhab An-Najdi rahimahullahu berkata:

"Tidak ada perselisihan di kalangan para ulama seluruhnya bahwa jika seseorang
membenarkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam satu perkara dan
mendustakannya dalam perkara lain, maka dia kafir dan tidak tergolong ke dalam
Islam. Demikian pula jika ia mengimani sebagian Al-Qur`an dan mengingkari
sebagian yang lain seperti orang yang mengikrarkan kalimat tauhid dan
mengingkari kewajiban shalat atau mengikrarkan tauhid dan shalat, dan
mengingkari wajibnya zakat, atau meyakini semua itu, dan mengingkari wajibnya
puasa, atau meyakini semua itu dan mengingkari wajibnya haji. Tatkala sebagian
manusia di zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak tunduk terhadap
perintah haji maka Allah Subhanahu wa Ta'ala menurunkan firman-Nya tentang
mereka:

"Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim;
barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji
adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup
mengadakan perjalanan ke Baitullah; Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji),
maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta
alam." (Ali 'Imran: 97) (lihat Kasyfus Syubhat, hal. 64, bersama Syarh Ibnu
Utsaimin)

Hukum
Mengingkari Sebagian Apa yang Diturunkan Allah Subhanahu wa Ta'ala

Di antara faedah yang dapat kita petik dari ayat ini bahwa seorang muslim
diharuskan untuk menerima seluruh apa yang diturunkan Allah Subhanahu wa
Ta'ala, tanpa membedakan antara satu hukum dengan hukum yang lain. Sebab,
barangsiapa mengingkari satu hukum di antara apa yang diturunkan Allah
Subhanahu wa Ta'ala dalam keadaan dia mengetahui bahwa itu datangnya dari Allah
Subhanahu wa Ta'ala maka sungguh dia telah kafir. Termasuk di antara mereka
adalah orang yang menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah Subhanahu wa
Ta'ala atau mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala
dalam keadaan dia mengetahuinya. Seperti contoh perkataan seseorang: "Saya tahu
bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala mengharamkan zina tapi menurut saya bahwa zina
itu boleh-boleh saja." Atau mengatakan: "Saya mengerti bahwa Islam mengharamkan
korupsi tapi menurut saya korupsi itu hukumnya halal," atau yang semisalnya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu berkata:

"Yang halal adalah apa yang dihalalkan Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya,
sedangkan yang haram adalah apa yang diharamkan Allah Subhanahu wa Ta'ala dan
Rasul-Nya. Adapun agama adalah apa yang disyariatkan Allah Subhanahu wa Ta'ala
dan Rasul-Nya. Tidak diperbolehkan bagi seseorang keluar dari sesuatu yang
telah disyariatkan oleh Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam, yaitu syariat yang
wajib bagi setiap pemimpin untuk mengharuskan manusia mengamalkannya, yang
wajib bagi para mujahidin untuk berjihad di atasnya, dan yang wajib atas setiap
individu untuk mengikuti dan menolongnya." (Majmu' Al-Fatawa, 35/372)

Ishaq bin Rahuyah rahimahullahu berkata:

"Barangsiapa yang sampai kepadanya berita dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam yang dia yakini keshahihannya lalu dia menolaknya tanpa taqiyyah,
maka dia kafir." (Al-Ihkam, Ibnu Hazm, 1/89)

Ibnu Baththah rahimahullahu berkata pula:

"Kalau sekiranya ada seseorang yang mengimani semua yang datang dari para rasul
kecuali satu perkara, maka penolakannya terhadap satu perkara tersebut
menjadikannya kafir, menurut seluruh para ulama." (Al-Ibanah, hal. 211)

Ibnu Hazm rahimahullahu berkata:

"(Allah Subhanahu wa Ta'ala) tidak memperkenankan seorang muslim yang telah
meyakini tauhid, untuk merujuk kepada selain Al-Qur`an dan berita dari
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan tidak pula memperkenankannya
untuk meninggalkan apa yang dia temukan pada keduanya (Al-Qur`an dan As-Sunnah,
pen.). Jika dia melakukan itu setelah ditegakkan hujjah atasnya maka dia fasiq.
Adapun yang melakukannya dengan keyakinan menganggap halal/boleh keluar dari
keduanya dan mengharuskan taat kepada salah seorang dari selain keduanya maka
dia kafir dan ragu (terhadap keduanya) menurut kami." Dan beliau berhujjah dengan
firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

"Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka
menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka
tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan,
dan mereka menerima dengan sepenuhnya." (An-Nisa`: 65) [Al-Ihkam, 1/89]

Beliau juga mengatakan:

"Mereka (para ulama sepakat) bahwa barangsiapa beriman kepada Allah Subhanahu
wa Ta'ala dan Rasul-Nya, dan setiap apa yang beliau Shallallahu 'alaihi wa
sallam bawa dari apa yang dinukilkan dari beliau dengan penukilan secara
mutawatir dan dia ragu tentang tauhid, perkara kenabian, atau terhadap Muhammad
Shallallahu 'alaihi wa sallam, atau satu huruf dari apa yang beliau Shallallahu
'alaihi wa sallam bawa, atau satu syariat yang beliau bawa dari apa yang
dinukilkan dari beliau secara mutawatir, maka barangsiapa yang mengingkari
sesuatu dari apa yang kami sebutkan atau ragu padanya dan mati dalam keadaan
demikian maka dia kafir musyrik kekal dalam neraka selama-lamanya." (Maratib
Al-Ijma', hal. 177)

Ibnu Abdil Barr rahimahullahu juga mengatakan:

"Mereka (para ulama, pen.) sepakat bahwa orang menganggap halal khamr perasan
anggur yang memabukkan, adalah kafir karena menolak hukum Allah Subhanahu wa
Ta'ala dalam kitab-Nya, dia murtad dan diminta bertaubat jika dia bertaubat dan
mencabut perkataannya. Dan jika tidak, maka dihalalkan darahnya seperti
orang-orang kafir lainnya." (At-Tamhid, 1/142-143)

Dan masih banyak lagi penukilan dari ulama salaf rahimahumullahu baik dari
kalangan sahabat maupun setelah mereka yang menunjukkan bahwa hal ini sudah
menjadi kesepakatan di antara mereka. Namun dalam permasalahan ini, hendaklah
kita perhatikan dua hal berikut:

Pertama: tidak termasuk dalam kaidah
tersebut di atas seseorang yang mengingkari sesuatu yang jelas terdapat di
dalam agama ini namun pengingkarannya dikarenakan tidak mengetahui bahwa hal
tersebut termasuk dalam agama[Namun demikian, tidak semua orang yang tidak tahu
mendapatkan udzur. (ed)
] dan bukan disebabkan karena sikap menentang apa yang telah shahih dalam
Islam.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu berkata:

"Para ulama tidak mengkafirkan orang yang menghalalkan sesuatu dari
perkara-perkara yang diharamkan disebabkan karena dia baru masuk Islam atau
dikarenakan dia tinggal jauh dari permukiman. Maka sesungguhnya menghukumi
kafir tidak dilakukan kecuali setelah sampainya risalah (hujjah, pen.).
Sedangkan kebanyakan dari mereka ini ada kemungkinan tidak sampai kepada mereka
nash-nash yang menyelisihi pendapat mereka, dan dia tidak mengetahui bahwa
Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam diutus untuk itu." (Majmu' Fatawa, 28/501,
lihat pula 11/407)

Kedua: ayat ini bukan pula dalil
untuk membenarkan pemahaman kelompok Khawarij yang mengkafirkan setiap pelaku
dosa besar dan mengkafirkan orang yang berhukum dengan selain apa yang
diturunkan Allah Subhanahu wa Ta'ala, dengan alasan bahwa orang yang berhukum
dengan selain hukum Allah Subhanahu wa Ta'ala sudah tentu dia menghalalkan apa
yang diharamkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala, yang dengan itu berarti dia
beriman kepada sebagian syariat dan mengkufuri sebagian lainnya, dan ini adalah
kekafiran yang sebenar-benarnya.

Jawaban atas syubhat tersebut adalah sebagai berikut:

Perlu diketahui bahwa para pelaku maksiat, termasuk di dalamnya orang yang
berhukum dengan selain apa yang diturunkan Allah Subhanahu wa Ta'ala, memiliki
kondisi yang berbeda satu sama lain. Di antara mereka ada yang melakukan
kemaksiatan disebabkan karena kejahilannya bahwa perkara tersebut terlarang
dalam Islam. Ada juga yang melakukannya disebabkan karena kelemahan iman dan
mengikuti hawa nafsu dalam keadaan dia tetap meyakini bahwa hal tersebut
dilarang oleh Islam.

Di antara mereka ada yang melakukan kemaksiatan disebabkan karena terpaksa
melakukannya, dan berbagai macam kemungkinan lain yang menyebabkan seseorang
terjatuh dalam kemaksiatan dan berhukum dengan selain apa yang diturunkan Allah
Subhanahu wa Ta'ala. Yang tentunya kemungkinan tersebut di atas menghalangi kita
untuk serta merta menghukumi/memvonis seseorang telah kafir dan keluar dari
Islam dengan hanya sekedar melakukan perkara haram tersebut, tanpa mengetahui
apa yang melatarbelakangi perbuatannya. Adapun bila telah jelas dan meyakinkan
bahwa ia melakukan kemaksiatan tersebut dengan keyakinan menghalalkannya, dalam
keadaan dia mengetahui bahwa itu datang dari Allah Subhanahu wa Ta'ala dan
Rasul-Nya, maka dalam hal ini orang tersebut divonis sebagai kafir dan keluar
dari Islam.

Abu 'Ubaid Al-Qasim bin Sallam berkata:

"Adapun atsar-atsar yang diriwayatkan di mana menyebutkan kekufuran dan
kesyirikan serta kemaksiatan yang mengantarkan kepada keduanya maka maknanya
menurut kami adalah tidak menetapkan kepada pelakunya kekufuran dan kesyirikan
yang menghilangkan keimanan dari pelakunya itu. Namun sesungguhnya yang
dimaksud bahwasanya ia termasuk di antara akhlak dan jalan yang ditempuh oleh
orang-orang kafir dan musyrikin." (Kitab Al-Iman, Abu 'Ubaid Al-Qasim bin
Sallam, hal. 86)

Wallahul muwaffiq.

Sumber: www.asysyariah.com
 
 
B. Tentang Kekafiran Dan Kemurtadan
 
Pertanyaan : Kapan terjadi kufur
akbar atau kemurtadan (keluar dari Islam)? Apakah hal itu khusus terkait dengan
keyakinan (i'tiqad) , penentangan, dan pendustaan saja atau lebih umum dari
itu?
 
Syaikh –semoga Allah
mengampuninya- berkata:
 
Bismillaahirrohmaanir rohiim.
Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam. Sholawat, salam, dan keberkahan dari
Allah semoga tercurah kepada hamba Allah dan RasulNya, Nabi kita dan Imam, dan
pemimpin kita, Muhammad bin Abdillah, dan kepada keluarga, Sahabat, serta
orang-orang yang mengikutinya hingga (mendekati) hari kiamat. Amma ba'du :
 
Sesungguhnya kekafiran dan kemurtadan – wal-Iyaadzu billah- terjadi
karena beberapa hal:
 
- Penentangan
terhadap sesuatu yang sudah jelas dalam agama
- Melakukan
perbuatan kufur
- Mengucapkan
ucapan kufur
- Meninggalkan atau
berpaling dari agama Allah Azza Wa Jalla
 
Bisa juga dalam bentuk kekufuran
dalam keyakinan, seperti jika seseorang berkeyakinan bahwa Allah memiliki istri
dan anak, atau berkeyakinan bahwa Allah memiliki sekutu dalam KekuasaanNya,
atau berkeyakinan bahwa bersama Allah ada pihak lain yang mengatur segala
sesuatu ini atau berkeyakinan bahwa ada pihak yang berserikat dengan Allah
dalam Nama dan Sifat-SifatNya, atau berkeyakinan bahwa ada pihak lain yang
berhak mendapatkan ibadah selain Allah, atau berkeyakinan adanya pihak lain
yang bersekutu dalam Rububiyyah Allah. Maka orang yang demikian dikafirkan
dengan keyakinan ini dengan kekafiran yang keluar dari Islam.
 
Kekufuran juga bisa berupa
perbuatan, seperti seseorang yang bersujud kepada berhala, melakukan perbuatan
sihir, atau melakukan perbuatan kesyirikan seperti berdoa kepada selain Allah,
menyembelih untuk selain Allah, bernadzar untuk selain Allah, atau thawaf di
Baitullah sebagai bentuk taqorrub kepada selain Allah. Maka kekufuran juga bisa
terjadi karena perbuatan sebagaimana pada ucapan.
 
Kekufuran dalam bentuk ucapan
seperti seseorang yang mencela Allah atau mencela Rasulullah shollallaahu
'alaihi wasallam atau mencela agama Islam atau mengejek Allah, KitabNya,
Rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam atau agamanya. Allah berfirman kepada
sekelompok orang dalam perang Tabuk yang mengejek Nabi shollallaahu 'alaihi
wasallam dan para Sahabatnya :
 
Katakanlah : Apakah kepada Allah,
ayat-ayatNya, dan RasulNya kalian mengejek? Janganlah meminta maaf, kalian
telah kafir setelah keimanan kalian (Q.S atTaubah:65-66)
 
(Dalam ayat ini) Allah menetapkan
kekufuran bagi mereka setelah keimanan. Hal ini menunjukkan bahwa kekufuran
bisa terjadi dengan perbuatan, keyakinan, dan juga ucapan, sebagaimana
disebutkan dalam ayat (di atas) karena mereka menjadi kafir dengan sebab
ucapan.
 
Kekufuran bisa berupa
penentangan. Penentangan dan keyakinan bisa merupakan satu kesatuan. Kadang
pula diantara keduanya ada perbedaan. Bentuk penentangan misalkan: menentang
perkara yang sudah sangat jelas dalam agama, seperti menentang Rububiyyah dan
Uluhiyyah Allah, menentang bahwa Allah adalah satu-satunya yang berhak
diibadahi, menentang salah satu Malaikat, Rasul, Kitab yang diturunkan,
menentang akan dibangkitkannya makhluk, menentang Jannah, dan anNaar,
pembalasan (dari Allah), Hisab (perhitungan pada hari kiamat), menentang
wajibnya sholat, zakat, kewajiban haji, shaum (di bulan Ramadlan), kewajiban
berbakti kepada kedua orang tua, menyambung silaturrahmi, dan hal-hal selainnya
yang telah sangat jelas kewajibannya dalam agama secara dharuri. Selain itu,
menentang pengharaman zina, riba, meminum khamr, durhaka kepada kedua orangtua,
memutus silaturrahmi, pengharaman menyuap (risywah) , atau yang selainnya yang
telah sangat jelas pengharamannya dalam agama.
 
Kekufuran juga bisa dalam bentuk
berpaling dari agama Allah, meninggalkan, menolak agama Allah, seperti
berpaling dari agama Allah, tidak mau mempelajarinya dan tidak mau beribadah
kepada Allah. Maka ia dikafirkan dari sikap berpaling ini. Allah Ta'ala
berfirman:
 
Dan orang-orang kafir berpaling
dari peringatan (kepada mereka)(Q.S al-Ahqaaf:3)
 
Dan Allah Ta'ala berfirman :
 
Dan siapakah yang lebih dzhalim
daripada orang yang telah diperingatkan dengan ayat-ayat Tuhannya, kemudian ia
berpaling daripadanya? Sesungguhnya Kami akan memberikan pembalasan kepada
orang – orang yang berdosa (Q.S as-Sajdah:22)
 
Sehingga kekufuran bisa dalam
bentuk keyakinan, penentangan, perbuatan, ucapan, maupun sikap berpaling,
meninggalkan, dan menolak.
 
Barangsiapa yang dipaksa untuk
mengucapkan ucapan kekufuran atau untuk berbuat kekufuran, maka orang tersebut
mendapatkan udzur (tidak berdosa, pent) jika pemaksaan itu benar-benar keras
(dalam keadaan genting). Contoh: Seseorang yang mampu untuk membunuhnya
mengancam dengan ancaman bunuh atau meletakkan pedang di lehernya maka orang
yang (dipaksa) demikian mendapatkan udzur jika ia melakukan kekufuran atau
berkata dengan ucapan kekufuran, dengan syarat hatinya tetap tenang dalam
keimanan. Adapun jika hatinya tenang dalam kekafiran, maka ia menjadi kufur
sekalipun dalam kondisi terpaksa. Kita meminta keselamatan dan afiat kepada
Allah.
 
Orang yang melakukan perbuatan kekafiran ada 5 keadaan:
 
Melakukan perbuatan
kekafiran secara sungguh-sungguh, maka ini dikafirkan
Melakukan perbuatan
kekafiran dengan bergurau, maka ini dikafirkan
Melakukan perbuatan
kekafiran karena takut, maka ini dikafirkan
Melakukan perbuatan
kafir dalam kondisi dipaksa dan hatinya tenang dalam kekafiran, maka ini
dikafirkan
Melakukan perbuatan
kekafiran dalam kondisi dipaksa sedangkan hatinya tenang dalam keimanan, maka
orang semacam ini tidak dikafirkan berdasarkan firman Allah Ta'ala :
 
Barangsiapa yang kafir kepada
Allah sesudah dia beriman (ia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang
dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa),
akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan
Allah menimpanya dan baginya adzab yang besar . Yang demikian itu disebabkan
karena sesungguhnya mereka mencintai kehidupan di dunia lebih dari akhirat,,
dan bahwasanya Allah tiada member petunjuk kepada kaum yang kafir (Q.S anNahl:
107-108)
 
(As-ilah wa Ajwibah fil Iman wal
kufr – arRaajihi halaman 7)
 
Sumber:
http://www.salafy.or.id/2011/12/19/fatwa-syaikh-ar-rajihi-tentang-kekafiran-dan-kemurtadan/

[Non-text portions of this message have been removed]

__._,_.___
Recent Activity:
====================================================
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
       website:  http://dtjakarta.or.id/
====================================================
.

__,_._,___

Tidak ada komentar: