http://elisakoraag.blogspot.com/
Apalah arti sebuah nama, tentu saja banyak. Bahkan nama dipercaya
sebagai sebuah doa atau sebuah harapan para orang tua untuk anak-
anaknya, minimal diharapkan barangkali anak-anaknya bisa sehebat/
sesukses nama-nama pemilik aslinya.
Dalam masyarakat kita selain nama yang diberikan ketika kita lahir,
dikenal juga nama panggilan yang diberikan dengan berbagai motivasi
atau tujuan. Saya punya teman kuliah perempuan yang bernama Tombak
Raya Simbolon. Kami memanggilnya Ombak. Karena namanya yang tidak
umum, saya pernah mempertanyakan sejarah nama tersebut. Menurut
Ombak, nama itu diberikan ayahnya karena ketika ia dilahirkan yang
pas terlihat ayahnya adalah Tombak maka nama itulah yang diabadikan
pada teman saya itu.
Pada waktu invasi Amerika ke Irak, banyak masyarakat Indonesia yang
bersimpatik pada Irak, akhirnya banyak anak laki-laki yang dilahirkan
pada kurun waktu Perang Amerika Irak diberikan nama Sadam Husein.
Serupa dengan Presiden Irak yang sedang menghadapi tuntutan hukuman
mati. Salah satunya putra kedua Penyanyi dangdut senior Camelia malik
dan Harry Capri
Ada juga nama-nama yang terdengar keren namun sebetulnya terlahir
dari pemikiran yang konyol (penuh humor) Sebut saja, Achmad Albar,
dedengkot lagu-lagu Rock dari band Godbless yang tenar di tahun 70-
an, mengabadikan nama ALDINO pada putra sulungnya dari Rini S Bono
yang berarti Alhamdulila Dia Nongol. Atau nama anak salah seorang
teman kakak saya. Memang sih ayahnya seorang pemain drama tapi kok
buat saya kebangetan terdengarnya. Namanya Elbow bukan dari bahasa
Inggris yang berarti sikut tapi kependekan dari E...ala bocah Wedok!
Kira-kira berarti "e anak perempuan!"
Jika pada era Soekarnoa banyak yang mengagumi beliau sehingga
mengabadikan nama tersebut pada anak-anaknya. Demikian juga nama
Habibie atau Megawati tapi berbeda dengan nama Soeharto. Ketika jaman
Orba berkuasa, banyak orang yang diam-diam sangat tidak menyukai
Presiden Soeharto. Sehingga ada salah seorang yang kerap memprotes
kebijakan Presiden Soeharto, sehingga ketidak sukaannya pada Presiden
Soeharto diteguhkan pada nama anaknya Yaitu "Gempur Soeharto" Sayang
seribu sayang, ia harus kalah dengan sistem karena Catatan Sipil pada
masa itu tak mau mengeluarkan akte kelahiran sehingga dengan menyesal
ia mengganti nama anaknya.
Salah satu keponakan saya bernama Olenka Mediana, terdengarnya keren.
Seperti nama-nama orang asing. Sebetulnya nama itu penuh mana bagi
ayahnya yang bekerja pada sebuah penerbitan. Ayahnya adalah salah
seorang budayawan dan pengamat program TV, yaitu Veven SP Wardhana.
Dimana ketika si anak lahir, media tempat si ayah bekerja sedang
goyah atau oleng. (Nyaris dibreidel) Maka nama Olenka Mediana
sebenarnya berarti medianya sedang goyah.
Banyak juga nama-nama yang merujuk pada agama yang dianutnya seperti
Christian, Muhammad, Maria, Aisyah, Gautama dll. Tapi tida sedikit
juga nama-nama yang mengandung makna tekad atau kekuatan seperti
anak sepupu saya yang diberi nama Tegar Gunung. Di beri nama Tegar
karena ketegaran ayahnya yang menolong sendiri proses kelahiran
anaknya tepat dibawah kaki gunung di sebuah desa di Jawa Tengah.
Selain nama lengkap yang diberikan ketika dilahirkan, ada juga nama-
nama yang digunakan dalam pergaulan sehari-hari. Atau istilahnya nama
panggilan. Biasanya nama panggilan adalah penggalan kata dari nama
asli atau julukan yang diberikan pada seseorang baik karena sifatnya
atau karena sebuah peristiwa tertentu. Saya mau bercerita seputar
nama panggilan ditengah keluarga saya karena terinspirasi dari
perdebatan kecil soal nama panggilan di beberapa milis sastra.
Di milis sastra tersebut tiba-tiba muncul seorang pujangga perempuan
yang karya-karya puisi dan cerpennya langsung menyedot perhatian. Ini
terbukti maraknya apresiasi terhadap karya tersebut. Sayang diskusi
yang sudah baik bergeser menjadi menyoroti si penulis hingga nama
panggilannya. Kebetulan si penulis yang bernama Gayatri Mantra tidak
sreg kalau di sapa dengan sebutan "Gay". Mungkin karena bisa
berkonotasi penyuka sesama jenis.
Sedangkan yang memanggil (entah benar atau tidak) mengatakan tidak
bertendensi apa-apa menyapa dengan kata "Gay". Bahkan si penyapa.
Sedikit menjelaskan kalau di barat ada nama Robert maka akan di sapa
Bob. Tapi di Indonesia nama Robert kemungkinan di sapanya Obet. Dan
semua itu sah-sah saja.
Di keluarga besar saya, kami semua punya nama panggilan. Suka atau
tidak suka sudah dimateraikan. Kakak saya yang pertama karena
sifatnya yang penjijik (Geli dengan yang kotor-kotor) dan cenderung
selalu merasa ini tidak bisa atau itu tidak bisa dalam hal pekerjaan
fisik, membuat semuanya menyebutnya Boyo. Saya sendiri tidak tahu
dari asal kata apa tapi lebih kurang maknanya lemas atau payah.
Padahal nama aslinya Gretha Kartiejna. Jadi si kakak nomor satu ini
selalu ditempatkan di bagian dapur atau makanan kalau kami
menyelenggarakan hajatan.
Bukan cuma itu, kakak nomor satu ini pula yang hafal kebiasaan minum
kami para adik dan pasangannya. Pokoknya kalau si Boyo yang
menyajikan minuman selamat datang, apa itu sirup, teh atau kopi atau
soft drink pasti semua cocok. Baik kekentalan rasa manisnya atau
kehangatan airnya. Hanya Boyo yang hafal. Bayangkan kalau kami
berkumpul di rumah mami, hanya Boyo yang bisa menyajikan aneka jenis
minuman sesuai kesukaan masing-masing adik dan adik iparnya.
Kakak nomor dua, bernama Agustine Sophia. Jelas karena ia lahir di
bulan Agustus. Mungkin dulu mami dan papi saya berpikir anaknya cuma
dua. Maka dipanggillah dengan sebutan Baby. Nyatanya di Boyo dan si
Baby ini punya 9 adik. Tapi panggilan Baby tidak pernah berganti.
Kata alm. Papi saya jika nama anak nomor 2 diambil huruf depannya
saja menjadi BAS (Baby Agustine Sophia) dan itu nama panggilan si
papi.
Kakak nomor tiga, bernama Georgine Arum. Nama pertama diambil dari
Nama George Washington, Presiden Amerika yang pertama. Nama keduanya
dari Ali Sostroamidjoyo dan M. Room. Yang pada waktu kakak saya lahir
sibuk melakukan perundingan dengan pihak Belanda.
Sebutan atau panggilannya adalah si Mpok. Dalam bahasa Betawi
bermakna kakak. Tapi bagi kami berarti juragan atau orang setara
pembesar yang selalu dilayani. Si Mpok ini dari kecilnya sakit-
sakitan. Jadi kalau anak-anak lain upacara di sekolah, maka si Mpok
duduk di ruang guru saja.
Mungkin jaman dulu kekurangan gizi, si Mpok ini kalau sedikit
beraktivitas maka hidungnya akan keluar darah (mimisan) dan dalam
jumlah banyak. Kalau mendengar cerita si Mpok darahnya bisa segelas.
Bahkan karena kebiasaan keluar darahnya itu, si Mpok mengkoleksi
banyak saputangan ibu guru. Jaman dulu tisu belum umum dan lucunya
kok saputangan si ibu guru tidak dikembalikan yah?
Kalau adik-adik dan kakak bekerja maka si Mpok hanya duduk melihat.
Karena si Mpok punya alergi kulit. Ada sedikit debu, bersinnya tidak
berhenti-henti dan kulitnya cepat sekali ruam dan gatal-gatal. Papi
saya suka menguji ruangan yang saya bersihkan (setelah saya sapu dan
pel) dengan meminta si Mpok masuk ruangan tersebut. Kalau dia bersin
berarti kurang bersih!
Kakak saya nomor empat namanya Joyce Christine karena sejak kecil
tinggal di asrama, tidak banyak kenangan yang saya ingat dan rasanya
dulu tidak ada julukannya, kalau sekarang karena sudah punya anak dan
kebetulan kembar kami menyebutnya atau memangilnya Mama kembar.
Kakak saya nomor lima, nama lengkap Alexandra Theresia. Tapi kami
semua memanggilnya Cici. Menurut cerita mami saya, pada tahun-tahun
70-an kami tinggal di daerah yang banyak warga keturunan Tiong Hoa.
Sehingga kakak-kakak saya banyak memiliki teman dari keturunan Tiong
Hoa. Waktu itu si Sandra (Demikian panggilan sehari-harinya) paling
kecil. Nah teman-teman kakak saya kalau membahasakan diri mereka Cici
kepada Sandra. Jadi ketika Sandra punya adik, Sandra membahasaan
dirinya juga dengan Cici dan kamipun si adik-adik memanggilnya Cici.
Para keponakan kami akhirnya menyebutnya/ memanggilnya Tante Cici.
Karena terbiasa memanggil Cici, sebagian mengira kami keturunan Tiong
Hoa dan kebetulan kami yang berasal dari Menado memang memiliki warna
kulit yang tak jauh berbeda dengan keturunan Tiong Hoa. Si Cici ini
sangat suka memasak, jadi kesukaan lainnya adalah belanja ke pasar.
Saat belanja, banyak pedagang yang keturunan Tiong Hoa ikut menyapa
Cici dan menawarkan harga lebih murah karena merasa sama-sama
keturunan Tiong Hoa. Jadi kalau si cici cemberut kami yang mencoba
tersenyum ramah. Kenapa harus marah kalau dapat keuntungan belanja
dengan harga lebih murah?
Kakak saya nomor enam, namanya Bastiana Tereshkova, sehari-hari di
sapa dengan Terry. Nama depan dari nama papi dan nama kedua dari nama
kosmonut Rusia. Ketika kecil sulit menyebut huruf "R" lalu nama
Terry lebur menjadi Tely lalu Leli. Setelah mempunyai banyak
keponakan, menjadi Tante Le, lagi-lagi karena terserah enaknya lidah
mengucap menjadi Te-le (Terdengar seperti kata yang berarti tahi ayam
dalam bahasa Jawa)
Lalu adik saya atau anak mami saya nomor 8 namanya Adelaida Naharsi.
Nama pertama diambil dari nama oma (maminya mami) nama keduanya lagi-
lagi rada nyeleneh. Lahir Maret'68 pada saat terjadinya Sidang MPRS.
Jadi Na dari Nasution. Har dari Suharto dan Si dari sidang. Nasution
dan soeharto adalah dua orang yang memegang kendali pada waktu Sidang
MPRS th 68.
Entah mengapa nama panggilannya menjadi Susy dan kami menyebutnya
Cucu. Soalnya mami kalau memanggil Sue-Sue kami melafalkannya Cu dan
cu jadi Cucu. Tapi dikalangan kawan sepergaulannya baik disekolah
atau ditempat kerja, ia biasa di sapa Ade atau Adel..
Adik saya ke 9 namanya Isabella Cornelia. Ia seorang dokter dan
sejak remajanya kerap mengikuti banyak organisasi sehingga jarang
berkumpul dengan kami. Sehingga para keponakan tidak terlalu familiar
dengannya. Ketika PTT, dengan senang hati berangkat ke kepulauan
Alor, salah satu pulau nun jauh di Provinsi NTT.
Sewaktu ia mengabarkan akan PTT di Alor, si mami menangis terus
menerus karena melihat di peta Pulau Alor hanya setitik kecil nyaris
tak terlihat. Kami membujuk mami dengan mengatakan, anggap saja dia
lagi kost. Toh kenyatannya sejak kuliah dia memang tidak pernah di
rumah. Lepas PTT membuka klinik sendiri bersama suami yang juga
dokter tapi ketika Kalimantan memanggil, ia pun terbang dan sekarang
di Kalimantanlah tepatnya di Balikpapan ia menetap.
Sehingga banyak kelahiran keponakan-keponakan yang tidak ia ketahui.
Tak heranlah kalau sosoknya kurang familiar diantara para keponakan.
Jadi saat sesekali berkumpul, keponakan-keponakan yang balita kerap
bertanya siapa sih? Nah di dokter yang sebenarnya nama panggilannya
Ella lalu berubah menjadi Elok, lebur menjadi Yoyok ketika punya
keponakan menjadi Tante Yok disingkat Te Yok terdengar sangat tidak
enak lalu seenaknya si Teyok merubah menjadi "Jelita". Jadi kalau ada
keponakan yang bertanya itu tante siapa, maka si Te Yok ini akan
berkata "Panggil aku Jelita". Sehingga keponakan-keponakanku yang
lain termasuk Bas dan Van menyebutnya Dokter Jelita.
Adik saya ke 10 dan ke 11 kembar. Kelahiran mereka sangat kami
nantikan. Dulu belum ada USG sehingga kami tidak tahu yang akan
keluar bayi laki atau perempuan dan satu bayi atau dua bayi. Jadi
ketika si mami hamil kami sangat yakin yang keluar laki-laki. Begitu
juga si papi. Alhasil diam-siam mami dan papi menyiapkan nama anak
laki-laki.
Manusia memang boleh berencana namun Tuhan jua yang menetapkan.
Ketika mami melahirkan bukan hanya si papi yang terkejut kamipun
terkejut. Yang keluar bayi perempuan dan dua. Entah karena kecewa
atau karena usianya yang sudah lewat dari kepala empat, maka ketika
sepasang bayi kembar perempuan ini boleh pulang, mami masih harus di
rawat.
Berhari-hari kami takjub ada dua bayi mungil di rumah, kakak-kakak
saya nomor 1, bertanggung jawab mengurus dan melayani si papi
sedangkan kakak nomor 2 dan 3 bertanggung jawab terhadap si kembar.
Nah sisanya belum terlalu besar tapi sudah tidak balita, keculi yang
persis di atas si kembar, bertanggung jawab untuk diri masing-masing.
Balik ke soal nama. Berhari-hari bahkan berminggu-minggu si kembar
belum di beri nama. Papi masih bolak-balik ke RS. Entah atas
inisiatif siapa tahu-tahu dipanggil Ola untuk yang kakak dan Olly
untuk si Adik. Lama-lama saya tahu itu diambil dari Bola Volly yang
dihilangkan huruf awalnya B dan V. Maka jadilah Ola dan Olly.
Pertanyaannya mengapa Bola Volly? Ini barangkali (Analisa saya) kami
sekeluarga memang sangat menyukai olahraga Bola Volley. Bahkan kami
sekeluarga merupakah salah satu team adalan gereja kami untuk Porseni
antar gereja atau antar sektor. Bermula dari kakak saya yang nomor
dua, Ia adalah atlet Volly DKI untuk PON VIII. Mungkin nama itu dari
dia. Pada akhirnya si kembar diberi nama Aprilda (Karena terlahir
bulan April) Jolanda untuk si Ola dan Aprilda Veronica untuk si Olly.
Last but not least nama saya. Dipanggil Icha dari nama Elisa. Pokonya
yang berahir "Isa" bisa menjadi Icha seperti Marisa atau Annisa. Nama
Elisa biasanya atau umumnya tertulis Eliza dengan huruf Z bukan S.
Sehingga banyak orang salah menuliskan nama saya. Tapi nama Elisa
diambil dari nama laki-laki yaitu Opa saya (papinya si papi)dan
namanya Memang Opa Elisa.
Nama lengkap saya sama seperti saudara-saudara yang lain semua dua
nama. Tapi nama kedua saya tidak pernah saya pakai. Urusan
adminitrasi baik itu raport dan ijazah, tidak pernah ada nama kedua
atau nama tengah saya. Juga KTP atau identitas lain. Semua hanya
Elisa Koraag atau Icha Koraag.
Mengapa begitu? Saya tidak tahu. Tapi saya bersyukur nama itu tidak
dipakai. Saya agak terganggu dengan nama kedua tersebut. Karena
sangat aneh terdengarnya. Tapi apa mau dikata ketika akan menikah
yang diperlukan untuk mengurus ke Catatan Sipil salah satunyanya
adalah Akte Kelahiran dan di situ jelas tertulis nama pertama dan
nama kedua.
Menghindar jelas tidak mungkin, untungnya calon suami saya tidak
mentertawakan (Tidak tahu kalau dibelakang saya ia tertawa). Nama
kedua sangat jelas menceritakan kalau papi saya TNI AD. Nama kedua
saya KOSTRADA dan itu jelas diambil dari kata Kostrad. Akhirnya nama
itu ikut tertera di kartu undangan pernikahan saya.
Saya pikir, pastinya papi saya bangga menempelkan nama itu walau papi
tidak tahu bagaimana perasaan saya dengan nama.itu. Coba anda
bandingkan dengan nama kedua saudara-saudara saya yang lain, nama
kedua saya saja yang terdengar sangat "antik". Saya mencoba menerima,
merasakan dan meyakini kebanggaan papi yang menyertai nama itu atas
saya. Jadilah saya: Elisa Kostrada Koraag.
Ketika saya hamil dan melahirkan saya tidak pusing soal nama. Ada
juga sih terpikir ingin memberikan nama pada anak yang akan saya
lahirkan. Tapi saya tidak suka berdebat. Karena saya bisa menggunakan
nama apapun sebagai nama tokoh dalam cerpen-cerpen saya. Termasuk
nama-nama yang saya suka baik karena artinya maupun karena respek
saya terhadap si empunya nama asli.
Ketika suami saya punya usulan nama untuk anak-anak, maka nama-nama
itu yang dipakai. Kebetulan sayapun menyukai nama itu. Bastiaan
diambil dari nama alm papi saya dan Vanessa diambil dari nama pemain
biola favoritenya suami saya yaitu Vanessa Mae. Bagi saya terdengar
baik dan indah.
Namun satu hal yang penting arti dari pemberian sebuah nama adalah
pemberian identitas. Apapun nama dan makna dibalik nama terbut adalah
sah-sah saja. Nama merupakah salah satu hak dasar manusia. Nama
adalah awal identitas. Agar di akui secara hukum identitas tersebut
perlu disyahkan dalam sebuah Akte kelahiran. Jadi harus diingat nama
adalah bagian dari hak dasar yang dimiliki anak, jika anda sebagai
orang tua, maka kewajiban kita memberikan apa yang menjadi hak dasar
anak. Jadikan berikanlah nama dan resmikanlah namanya secara hukum
dalam sebuah akte kelahirann agar anak mempunyai identitas yang
berkekuatan hukum. (Icha Koraag. 22 Nov 2006)
Aku ngeblog maka aku terhibur:
http://elisakoraag.blogspot.com/
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar