Senin, 21 Juli 2008

[daarut-tauhiid] FYI: ‘ Sang Guru Cinta ‘ ( In Memoriam )

Oleh: Helvy Tiana Rosa

 

 

Sang Murobi : Ustadz
Rahmat Abdullah…

 

Merendahlah,

engkau kan
seperti bintang-gemintang

Berkilau di pandang orang

Diatas riak air dan sang bintang nun jauh tinggi

Janganlah seperti asap

Yang mengangkat diri tinggi di langit

Padahal dirinya rendah-hina

[Rahmat Abdullah]

Seperti tak percaya aku mendengar kabar itu: kau sudah pergi untuk
selamanya. Dan kenangan demi kenangan berkelebat cepat di benakku, menyisakan
satu nama: Rahmat Abdullah. Kita memang tak banyak bertemu,
tak banyak bercakap. Tapi percayakah kau, aku menjadikanmu salah satu teladan
diri. Kau menjelma salah satu sosok yang kucinta. Tahukah kau, hampir tak ada
tulisanmu yang tak kubaca? Dan setelah membacanya selalu ada sinar yang
menyelusup menerangi kalbu dan pikiranku. Tidak sampai di situ, buku-bukumu
selalu membuatku bergerak. Ya, bergerak!

Kau mungkin tak ingat tentang senja itu. Tapi aku tak akan pernah
melupakannya. Saat itu kau baru saja pulang dari rumah sakit untuk memeriksakan
kesehatanmu. Aku dan seorang teman menunggumu. Kami membutuhkanmu untuk memberi
masukan terhadap apa yang tengah kami kerjakan. Tanpa istirahat terlebih
dahulu, dengan senyuman dan kebersahajaan yang khas, kau menemui kami. Tak kau
perlihatkan bahwa kau sedang tak sehat. Bahkan kau bawa sendiri makanan dan
minuman untuk kami. Dengan riang kau menyemangati kami. "Ini kebaikan yang luar
biasa,�� katamu. "Bismillah. Berjuanglah dengan pena-pena itu!��

Lalu
kami mengundangmu untuk hadir pada acara milad organisasi kecil kami. Sekadar
menyampaikan undangan, dan tak terlalu berharap kau datang, karena kami tahu
kau sangat sibuk dengan begitu banyak persoalan ummat. Hari itu, bulan Juli
2002, milad ke 5 organisasi kami: Forum Lingkar Pena. Semua panitia direpotkan
oleh banyak hal yang harus dikerjakan. Aku masih sempat bertanya pada panitia:
"Adakah yang menjemput Pak Taufiq Ismail dan Pak Rahmat Abdullah?��

Panitia menggeleng. Banyak yang harus dikerjakan. Tak ada mobil atau tenaga
untuk menjemput. Sudahlah, pikirku. Pak Taufiq dan Pak Rahmat terlalu besar
untuk hadir di acara seperti ini.

Aku hampir melompat ketika melihat Pak Taufiq Ismail datang sendirian dengan
taksi dan menyapa kami riang. Dan aku tak percaya ketika tak lama kemudian kau
muncul! "Ustadz, terimakasih sudah datang. Kami tidak menyangka…,�� sambutku.

Kau tersenyum. "Saya sudah agendakan untuk datang,�� katamu. "Ini acara FLP.
Istimewa.�� Mataku berkaca. Ini ustadz Rahmat
Abdullah, ia terbiasa
diundang sebagai pembicara dalam berbagai acara nasional sampai internasional.
Dan kini ia sudi hadir sebagai undangan biasa!

"Maaf ustadz tidak dijemput. Ustadz naik apa tadi?�� Naik bis. Tempatnya
mudah dicari,�� katamu biasa.

Kau sempat turut memberikan award dalam acara tersebut dan memimpin doa
penutup. Aku menangis mendengar doa yang kau lantunkan, Ustadz. Kau
berulangkali mendoakan agar organisasi kami: FLP selalu bisa melahirkan para
pemuda yang tak akan berhenti berjuang dengan pena…. Pada akhir acara, kau
turut berjongkok bersama para pemuda lainnya dan menandatangani spanduk yang
kami gelar bertuliskan "Sastra untuk Kemanusiaan.��

"Saya mencintai sastra dan suka membuat puisi,�� ceritamu. Hari itu kehadiranmu
benar-benar memberi semangat baru bagi kami.

Ustadz, aku selalu mengenangmu sebagai suami dan ayah yang baik dalam
keluarga. Sebagai guru sejati bagi ribuan da'i. Dan ketika kau terpilih menjadi
anggota DPR RI tahun 2004 lalu, tak ada yang berubah darimu, kecuali usaha yang
lebih keras untuk membuat rakyat tersenyum. Dalam keadaanmu yang sederhana, kau
tak berhenti memberi zakat dan infaq dari gajimu. Kau satu dari sedikit orang
yang pernah kutemui, yang sangat berhati-hati dengan amanah dan berjuang untuk
menunaikannya tanpa cacat. Ah, pernahkah kau meminta tarif untuk mengisi
ceramah? Tak ada. Kau bahkan pernah berkata: "Alhamdulillah ada lagi orang yang
mau mendengarkan taushiyah dari hamba Allah yang lemah ini.��

Terakhir kali kita bertemu, Ustadz, di sebuah jalan raya, sekitar akhir
tahun lalu. Dan aku tak percaya, kau—anggota dewan yang terhormat— masih saja
menyetop kopaja. Kini dalam usia 53 tahun, kau pun kembali untuk selamanya.
Ribuan orang, tak terhingga orang, datang mengiringi untuk terakhir kali,
sambil tak henti bersaksi tentang keindahanmu.

Selamat jalan, Ustadz. Jalan kebaikan dan cinta yang selalu kau tempuh di
dunia, semoga mengantarkanmu ke gerbang yang paling indah di sisiNya. Amiin.

(Helvy Tiana Rosa)

 

 

Seonggok kemanusiaan terkapar.

Siapakah…

yang mengaku bertanggung jawab?

Bila semua pihak menghindar,

biarlah saya yang menanggungnya,

semua atau sebagiannya…

[ Ustdz. Rahmat Abdullah
(Sang Murobi) ]

Subhanalloh… sebuah kalimat yang penuh kekuatan. Kekuatan seorang
ksatria, kekuatan kehidupan!

Sungguh, amat jarang kujumpai pemimpin di negeri ini berkata demikian. Bukan
sebatas kata, tapi benar-benar dilakukan di tiap langkahnya yang dalam.

Sering 'ku menggeleng membaca tulisan-tulisanmu. Tak mengerti. Terlalu rumit
dan berat untukku yang sarjana. Padahal kau hanya lulusan SD dari sekolah
formal!

"Saya mencintai sastra dan suka membuat puisi,�� katamu.

Kita memang tak pernah bertemu, tapi 'ku masih menyimpan banyak tulisanmu,
di majalah ataupun buku. Itulah yang membuat figurmu terasa dekat denganku.

Beberapa kali 'ku main ke sekolahmu, berharap 'tuk bertemu. Namun kau super
sibuk, aku tahu itu. Tapi tiap lewat dan lihat depan rumahmu, hatiku bergetar!
Kagum ustadz! Rumah mungilmu… terasa begitu teduh…

Aku memang tak pernah didaurah langsung
olehmu, tapi buku-bukumu yang mendidikku. Meski kau mungkin akan marah, kalau
tahu banyak yang kulupa dan lalaikan dari apa yang kau ajarkan…

Ustadz… ajarkan aku untuk tidak terlalu mencintai dunia ini ustadz… seperti
yang kau jalani selama ini.

Ah ustadz… aku sedih! Melihat azzam ikhwah-ikhwah kita
mulai luntur. Azzam 'tuk membumikan Izzul Islam wal Muslimun!
Terlalu sibuk dengan pekerjaan, terlalu nyaman dengan jabatan, terlena dalam
nikmat dunia…

Tapi kutahu kau pasti akan bilang "Teruslah berjuang!�� dalam manhaj
dan partai ini… bukan menyerah. Lawan! Lawan! Penyusup dan kaki tangan-kaki
tangan itu…!!

Untung kau sudah tidak ada ustadz… jika tidak, air matamu pasti terus
membasahi pipimu, melihat ummat yang semakin terdesak. Dalam himpitan ekonomi
dan perusakan aqidah.

Mengapa ustadz? Engkau anggota dewan, tapi kau sendiri yang menyapu halaman.
Mobil dinas pasti tersedia, tapi kau memilih menunggu Kopaja.

Itulah dirimu…

Itulah kesahajaanmu…

Sahaja yang membuat riang gembira semua ikhwah tatkala kau hadir di
tengah mereka. Ibarat anak bertemu bapaknya…

Sahaja yang meluluhkan hati dan air mata semua tatkala kau pergi dari
mereka… untuk selamanya… Ibarat bapak meninggalkan anaknya…

Yogyakarta,
30 Juni 2008

Bolehkah aku memanggilmu, ayah?

 

 

 

Sumber: http://apadong.com/2008/06/30/mengenang-syaikh-tarbiyah-ustadz-rahmat-abdullah

[Non-text portions of this message have been removed]

__._,_.___
===================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
===================================================
       website:  http://dtjakarta.or.id/
===================================================
MARKETPLACE

Blockbuster is giving away a FREE trial of - Blockbuster Total Access.
Recent Activity
Visit Your Group
Y! Messenger

All together now

Host a free online

conference on IM.

Health Groups

for people over 40

Join people who are

staying in shape.

Yahoo! Groups

Familyographer Zone

Learn how to capture

family moments.

.

__,_._,___

Tidak ada komentar: