Kamis, 31 Desember 2009

[daarut-tauhiid] Pesan Ini, Nak, Kutulis Untukmu

 



Aku tapaki jalan ini penuh pinta, anakku. Kesenangan adalah impian yang
kusimpan untuk kuminta pada Tuhan ketika tubuh ini sudah menjadi tulang
belulang, sebab dunia terlalu pahit untuk diperebutkan. Tak ada yang abadi dari
permainan dunia, sebagaimana hidup ini juga tidak abadi. Banyak sudah manusia
yang mati. Dan kita hanya menunggu kematian dipergilirkan.

Mengenangkan orang-orang tercinta, anakku,
adalah rasa hina karena tak sanggup membalaskan
kebaikan-kebaikan mereka semua. Betapa mudah hati lupa oleh kenikmatan
yang tak seberapa ini. Lupa asal-usul, lupa tempat kembali sesudah mati, dan
lupa pada tujuan penciptaan ini. Maka aku pesankan, anakku, arahkanlah
pandangan mata hatimu kepada hidup sesudah
mati. Dan bahwa sesungguhnya kehidupan ini hanyalah saat untuk
bersiap-siap…

Aku tapaki jalan ini penuh airmata, anakku. Aku pernah sakit
berbulan-bulan dengan jantung yang sedikit bermasalah. Aku akhirnya bisa
bangkit ketika aku belajar melupakan rasa sakit dan tidak sibuk meratap dengan
apa yang dikatakan oleh dokter tentang harapan sehat bagi diriku. Kudidik
diriku untuk tidak diam terpaku menanti waktu habis di pembaringan. Aku
akhirnya bisa duduk dengan tegak tanpa penyakit jantung yang membuat nafas
bapakmu megap-megap, ketika bapakmu belajar untuk memberi manfaat bagi manusia.
Sesungguhnya keindahan hidup sebagai orang yang beriman kepada-Nya adalah ketika kita bisa memberi manfaat, atau ketika
belum sanggup kita mengambil manfaat dari sesama.

Aku namakan dirimu Muhammad Hibatillah Hasanin karena ingin sekali
bapakmu ini menjadikan dirimu sebagai hamba-Nya yang memberi manfaat kebaikan
sangat besar bagi ummat. Tidaklah aku namakan dirimu dengan main-main. Ada doa
yang kuharap dengan sungguh-sungguh melalui nama yang kuberikan itu, anakku.
Ada harapan yang kutanam dengan membaguskan namamu, sebagaimana Nabi Saw pernah
berpesan kepada kita. Mudah-mudahan dengan membaguskan namamu, Allah 'Azza
wa Jalla meninggikan derajatmu di antara manusia yang ada di muka bumi ini.

Nama itu aku berikan kepadamu, Nak karena engkau adalah anugerah yang
amat berharga dari Allah 'Azza wa Jalla. Engkau lahir di bulan Maret
tanggal 18, ketika bapakmu sedang belajar
mendakwahkan agama ini dengan ilmu yang tak seberapa. Malam ketika bapak tiba di penginapan, ibumu memberi
kabar masuk rumah sakit untuk bersalin. Ingin rasanya bapakmu segera
pulang agar bisa menunggui persalinan itu. Tetapi ada tugas yang harus
dituntaskan. Gelisah rasanya bapakmu untuk segera kembali karena tahu bahwa di saat-saat seperti ini, tentu ibumu
sangat butuh pertolongan. Tetapi andaikan pun bapakmu segera bergegas pulang, perjalanan terlalu jauh untuk bisa
ditempuh dengan waktu singkat.

Maka, kemanakah bapakmu harus berlari kalau
bukan kepada Allah? Kemanakah harus meminta pertolongan kalau bukan kepada
Allah? Kemanakah harus meminta keselamatan kalau bukan kepada Allah? Kemanakah
harus mengeluh di saat manusia sudah
terlelap tidur, kalau bukan kepada Allah? Bukankah kalau kita mendekat kepada-Nya dengan berjalan, Ia akan menyambut kita dengan
berlari? Bukankah kalau kita berjalan kepada-Nya selangkah, Ia akan
mendekati kita beberapa langkah?

Di saat bapakmu sedang dalam kegelisahan, ada
kabar yang datang dari ibumu bahwa bayi
yang akan dilahirkannya sungsang. Petugas mengatakan, kemungkinan baru
bisa bersalin siang hari dan kemungkinan besar harus melalui operasi. Padahal
waktu itu baru melewati tengah malam. Sangat
panjang waktu yang harus dilalui untuk sampai ke siang hari, andaikata
perkiraan itu benar.

Maka aku bersihkan diri dan bersuci. Aku serahkan diri kepada Allah 'Azza
wa Jalla. Sendirian di malam itu aku bermunajat kepada Allah, menyungkurkan
kening yang hina ini untuk berdoa kepada-Nya. Di sujud yang terakhir, kumohon
dengan sangat agar Ia berkenan memberi keajaiban—ah, rasanya bapakmu
belum santun dalam berdoa. Kumohon dengan
sangat agar Ia memberi pertolongan.

Dan engkau tahu, anakku, Allah Ta'ala adalah sebaik-baik tempat
meminta dan sebaik-baik pemberi. Ia lebih
dekat daripada urat leher kita sendiri. Sesungguhnya, Tuhanmu Maha
Pemurah. Bukankah Allah Ta'ala telah berfirman, "Bacalah dengan nama
Tuhanmu Yang Menciptakan. Dia telah
menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajarkan (manusia)
dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak
diketahuinya." (Q.s. al-'Alaq [96]: 1-5).

Seusai shalat dua raka'at dan memanjatkan doa, anakku, segera bapakmu ini
mencari kabar tentang dirimu. Kutelepon ibumu dengan harap-harap cemas. Nyaris
tak percaya, anakku, Allah Ta'ala benar-benar memberi keajaiban. Seorang
sahabat bapak, Mohammad Rozi namanya, yang
istrinya menunggui ibumu bersalin, mengabarkan bahwa engkau telah lahir
dengan mudah dan lancar. Kelahiranmu, rasanya, anugerah yang tak ternilai
harganya. Banyak pelajaran yang bapak renungkan dari peristiwa itu dan ingin kubagi denganmu beserta saudara-saudaramu.
Rasanya, setiap kelahiran dari kalian adalah pelajaran berharga tentang
kekuasaan, kasih sayang dan kemahapemurahan Allah. Sesungguhnya, Allah adalah
sebaik-baik pemberi pertolongan. Sesungguhnya Ia adalah sebaik-baik tempat
meminta. Sesungguhnya Ia adalah sebaik-baik penjaga.

Teringat aku pada sebuah
ungkapan, "Sometimes accident is not accident at all." Kadangkala
kecelakaan itu sama sekali bukan kecelakaan. Kesulitan itu sama sekali bukan
kesulitan. Kata Umar bin Khaththab r.a., "Aku tidak peduli atas keadaan
susah dan senangku, karena aku tidak tahu manakah di antara keduanya itu yang
lebih baik bagiku."

Keajaiban yang mengiringi
kelahiranmu, mengingatkan bapak agar meyakini janji Allah tanpa ragu. Telah
berfirman Allah Ta'ala dalam al-Qur`an, "Hai orang-orang yang
beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, pasti Dia akan menolongmu dan
meneguhkan kedudukanmu." (Q.s. Muhammad [47]: 7).

Apakah Allah butuh
pertolongan? Tidak. Sama sekali tidak, Nak. Maha Suci Allah
dari membutuhkan pertolongan. Tetapi seruan Allah Ta'ala ini bermakna
agar engkau mengingati tugas yang dipikulkan oleh Allah 'Azza wa Jalla kepada
kita semua. Sesungguhnya tidaklah jin dan
manusia diciptakan kecuali hanya untuk beribadah kepada Allah. Tugas
kita sebagai khalifatullah di muka bumi ini, anakku, juga di atas
pijakan pengabdian kepada-Nya. Kernanya, makmurkanlah bumi ini sehingga engkau
menjadi hadiah Allah bagi ummat dengan
menghidupkan tauhid di dalam dadamu dan langkah-langkahmu. Mudah-mudahan
dengan demikian, kesucian agama ini memancar dari setiap langkah yang engkau
kerjakan.

Aku tulis pesan ini dengan sesungguh hati,
Anakku. Meski jiwa bapakmu masih rapuh dan iman ini masih sangat menyedihkan,
tetapi sembari memohon pertolongan kepada
Allah Yang Menciptakan, izinkan bapakmu
berpesan. Ingatlah, wahai Anakku, jangan pernah engkau lepaskan Allah Ta'ala
dari hatimu. Genggamlah kesucian tauhid dalam
akidahmu sekuat-kuatnya. Cengkeramlah dengan gigi gerahammu sehingga menjiwai
setiap kata dan tindakanmu.

Belajarlah mencintai Tuhanmu menurut cara yang
dikehendaki oleh-Nya. Betapa banyak orang yang melakukan perjalanan menuju
Allah (suluk), tetapi mereka melalui jalan
yang tidak disukai-Nya. Mereka mencipta sendiri jalan yang akan dilewati.
Mereka mengira sedang memuja Allah, padahal sesungguhnya sedang mencari
keasyikan diri untuk menemukan saat-saat
yang "memabokkan" (isyiq). Melalui cara ini, kepenatan jiwa
memang pergi, Anakku. Tetapi bukan itu yang harus engkau lalui. Bukan itu jalan
yang akan membawamu pada ketenangan dan
kedamaian. Ia hanya membuatmu lupa sejenak dengan beban-beban duniamu. Sesudahnya, engkau akan segera kembali dalam
kepenatan yang melelahkan. Kernanya,
ada yang kemudian benar-benar bukan saja lupa pada beban dunianya untuk
sementara, tetapi bahkan sampai lupa tanggung jawab dan lupa pada diri sendiri.

Sesungguhnya, ketenangan dan kedamaian jiwa yang sebenar-benarnya ada bersama dengan kebenaran. Sesungguhnya ketenangan
itu karena engkau menghadapkan wajahmu kepada Allah untuk mencari
ridha-Nya. Engkau kembali dan senantiasa berusaha kembali kepada-Nya, atas
setiap khilaf yang terjadi setiap hari, kerna manusia memang tempat salah dan
lupa. Semoga dengan demikian kita termasuk orang-orang yang diseru oleh Allah 'Azza wa Jalla dengan seruan, "Wahai
Jiwa yang tenang, kembalilah kepada
Tuhanmu dengan ridha dan diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku,
dan masuklah ke dalam surga-Ku."

Artinya, bukan
ketenangan itu yang menjadi tujuan dari zikir-zikir panjangmu, Anakku. Tetapi ketenangan itu muncul sebagai
akibat dari kokohnya keyakinanmu pada Tuhanmu. Sungguh, jangan jadikan agama ini sebagai candu sehingga hatimu jadi
beku. Tetapi berjalanlah di atasnya sesuai dengan tuntunan wahyu. Bukan ra'yu.
Semoga dengan demikian jiwamu akan terang, hatimu akan tenang dan di
akhirat nanti engkau akan meraih kemenangan. Semoga pula kelak engkau akan aku
banggakan di hadapan Tuhanmu.

Aku ingin
pesankan satu lagi, Anakku. Atas apa-apa yang Allah Ta'ala tidak
menjaminkannya bagimu, mintalah kepada-Nya dan berusahalah untuk meraihnya.
Iman dan kemenangan di Hari Akhir, termasuk di antaranya. Atas apa-apa yang
Allah Ta'ala telah jaminkan bagimu
dan bagi seluruh makhluknya, ketahuilah kunci-kuncinya. Rezeki termasuk di
dalamnya.

Gunakanlah
rezeki yang dikaruniakan Allah kepadamu untuk meraih akhirat dan menjaga iman. Jangan mengorbankan akhirat untuk
dunia yang cuma segenggam. Dan apabila engkau mampu, kejarlah akhirat
dan sekaligus membuka pintu-pintu dunia. Gunakanlah dunia untuk "membeli"
akhirat.

Wallahu
a'lam bishawab. Sesungguhnya, tak ada ilmu pada bapakmu ini kecuali
sangat sedikit saja.

 

Diambil dari Buku yang berjudul 'Saat Berharga Untuk
Anak Kita'

Penulis: Mohammad Fauzil Adhim

__._,_.___
====================================================
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
       website:  http://dtjakarta.or.id/
====================================================
.

__,_._,___

Tidak ada komentar: