Kamis, 31 Desember 2009

[daarut-tauhiid] Hari-hari Mendatang Anak Kita

 



Kalau hari ini kita masih ingat agama, dan merelakan keringat kita di
jalan-Nya, maka itu boleh jadi bukan keberhasilan kita. Kalau hari ini kita
ingat tentang tanggung jawab sesudah mati, sangat mungkin bukan karena kebaikan
yang sepenuhnya lahir dari kesadaran kita. Boleh jadi itu semua bukan merupakan
prestasi kita sendiri, melainkan justru terutama orangtua kita. Mereka menanam
benih-benihnya, lalu tumbuh mengakar di dada kita. Atau para guru kita yang
tulus menyemainya, lalu Allah kokohkan dalam hati kita.

Historia vitae magistra,
begitu kata pepatah. Sejarah atau pengalaman adalah guru terbaik
kehidupan. Orang-orang yang mengambil pelajaran dari mereka yang telah mendahului kita, Insya Allah akan tahu bagaimana memaknai
tugas hidup sebagai orangtua. Dari perjalanan saya ke timur dan ke barat, saya
melihat betapa tak bergunanya kebanggaan terhadap kreativitas dan kecerdasan
anak, ketika mereka tidak tahu jalan hidup
yang harus ditempuh. Bahkan ilmu agama
yang tinggi pun akan sia-sia kalau mereka tidak mempunyai harga diri yang
bersih serta tujuan hidup yang pasti. Betapa banyak anak-anak yang
memiliki keluasan ilmu agama, tetapi karena
kita salah menanamkan tujuan, mereka justru menjadi pembawa kesesatan dengan
ilmu yang ada pada dirinya.

Ada
hadis yang sangat sering kita ingat, tetapi sangat jarang menjadi landasan kita
dalam berbuat. Rasulullah shallalahu
'alaihi wasallam pernah mengingatkan kita, "Sesungguhnya setiap amal tergantung dari niatnya—dalam riwayat lain: tergantung
dari niat-niatnya—dan sesungguhnya setiap orang hanya memperoleh apa yang ia
niatkan. Barangsiapa yang hijrahnya (diniatkan) kepada Allah dan rasul-Nya,
maka hijrahnya adalah kepada Allah dan rasul-Nya. Dan barangsiapa hijrahnya
(diniatkan) kepada dunia yang ingin diraihnya atau perempuan yang ingin
dinikahinya, maka (nilai) hijrahnya adalah kepada apa yang menjadi tujuan
hijrahnya itu" (H.r. Bukhari,
Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi & an-Nasa'i).

Banyak orangtua yang berhasil mendidik anaknya bukan karena
kepandaiannya mendidik anak, tetapi karena doa-doa mereka yang tulus. Banyak
orangtua yang caranya mendidik salah jika
ditinjau dari sudut pandang psikologi, tetapi anak-anaknya tumbuh menjadi
penyejuk mata yang membawa kebaikan dikarenakan amat besarnya pengharapan
orangtua. Di antara mereka ada yang selalu membasahi penghujung malam dengan
airmata untuk merintih kepada Allah 'Azza
wa Jalla. Di antara mereka ada pula yang menyertai langkah-langkahnya
dengan niat yang lurus dan bersih.

Kadang seperti tak berkait langsung. Tetapi amal bergantung pada
niatnya. Seorang ibu menyedekahkan hartanya karena mengharap ridha Allah dan
penjagaan iman atas anak-anaknya, lalu Allah
tegakkan dinding di hati anak sehingga tak terjangkau oleh kerusakan yang ada
di sekitarnya. Boleh jadi seorang istri bersikeras meminta suaminya menyucikan
harta, lalu Allah sucikan hati
anak-anak mereka dari keruhnya hati dan kotornya pikiran. Boleh jadi pula ada
bapak-bapak yang sibuk dengan perkara
yang seakan tak bersentuhan dengan agama, tetapi sesungguhnya ia sedang
menolong agama Allah, sehingga Allah berikan pertolongan kepada mereka.
Allah datangkan pertolongan kepada mereka dengan jalan yang tak terduga.

Teringatlah saya dengan firman
Allah, Hai orang-orang yang beriman, jika
kamu menolong (agama) Allah,
pasti Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu (Q.s. Muhammad [47]: 7).

Ya Allah, alangkah masih sering
lalai hati kita. Kita berbuat, tapi tanpa berniat. Bahkan di saat kita sedang
sibuk berbicara agama pun, yang memenuhi hati seringkali bukan niat yang
bersih. Akibatnya hati kita risau dan jiwa kita gelisah. Alih-alih
membincangkan agama, yang ada justru perdebatan yang mengeraskan hati. Inilah
antara lain yang menyebabkan sebagian ulama hilang kharismanya.

Astaghfirullahal
'adzim. Laa haula wa laa quwwata illa billah.

Di zaman ketika wibawa sebagian
ulama semakin rapuh, rasanya kita perlu menguatkan hati anak-anak kita.
Di masa ketika masjid-masjid justru sibuk mengundang artis, kita perlu
memperbanyak amal untuk memohon barakah Allah bagi kebaikan hidup kita dan
anak-anak kita. Sesungguhnya Allah yang menggenggam hati manusia.

Semoga Allah mengampuni kelalaian
kita. Semoga pula Allah menggerakkan hati kita untuk lebih mengingat-Nya,
sehingga apa pun yang kita kerjakan mempunyai nilai di hadapan Allah. Semoga apa yang kita kerjakan sekarang,
bisa menjadi bekal pulang ke kampung akhirat.

Telah berlalu masa orang-orang terdahulu. Setiap saat masa beralih dan
zaman bertukar. Orang-orang yang dahulu berteriak lantang, sekarang mungkin
sudah tinggal tulang belulang. Anak-anak yang dulu lucu-lucu, sekarang mungkin
sudah menjadi penyejuk kalbu yang membawa haru karena tulusnya perjuangan
mereka. Tetapi sebagian lagi mungkin justru menjadi penyebab airmata pilu para orangtua. Anak-anak yang dulu mengeja a-ba-ta-tsa, sekarang mungkin
sedang aktif berdakwah. Tetapi sebagian lagi mungkin justru sedang sibuk
menjual agama…

Masa berganti, zaman bertukar.
Hanya hukum Allah yang tak pernah berubah, meskipun kita menggantinya setiap saat. Allah menyuruh kita
mengambil pelajaran dari mereka yang telah pergi; baik mereka yang meninggalkan kebaikan maupun mereka yang
membawa keburukan. Di dalamnya, ada hukum sejarah yang patut kita catat.

Ya… ya… ya… masa terus berganti.
Kita tak bisa meminta anak-anak untuk menjadi seperti kita. Seperti
nasihat 'Ali bin Abi Thalib karamallahu
wajhahu, kita didik anak-anak kita untuk sebuah zaman yang bukan zaman
kita. Terserah mereka akan jadi apa, yang penting 'akidah, iman dan komitmen mereka sama dengan kita atau lebih teguh
lagi.

Zaman bertukar dan dunia terus berubah. Pada masa kita kecil, alat
pengirim berita paling cepat adalah telegram. Sekarang, ketika kita belum
terlalu tua, telegram sudah tidak dipakai lagi. Telegram sudah menjadi
teknologi yang ketinggalan zaman. Sekarang melalui perangkat kecil di tangan yang bernama komunikator, berita dari manca
negara lengkap dengan fotonya bisa
kita akses setiap saat. Anak-anak yang masih ingusan bisa mendapatkan ilmu-ilmu
berharga lewat internet dengan kecepatan yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya. Tetapi pada saat yang sama, lihatlah
di bilik-bilik warnet itu, bagaimana sejumlah anak kaum muslimin sedang
terombang-ambing di hadapan situs-situs porno.

Kita mungkin bisa mencegah dengan kekuasaan atas anak-anak itu. Tetapi
apa yang sanggup kita kerjakan sesudah kita
tiada? Tak ada. Itu sebabnya kita mulai perlu berpikir tentang bekal buat anak-anak kita sesudah jasad terkubur
tanah. Allah Subhânahu wa Ta'âlâ mengingatkan,
"Dan hendaklah orang-orang pada takut
kalau-kalau di belakang hari mereka meninggalkan keturunan yang lemah, dan
mencemaskan (merasa ketakutan) akan mereka. Maka bertakwalah kepada Allah dan berkatalah dengan qaulan
sadidan (perkataan yang benar)."
(Q.s. an-Nisâ` [4]: 9).

Di tempat ini, kita sudah pernah berbincang tentang qaulan sadidan. Adapun tentang takwa,
rasanya tak ada yang dapat saya sampaikan. Iman masih lemah, ilmu nyaris tak
ada, sementara amal hampir-hampir tak ada yang dapat dibanggakan. Ingin sekali
saya berpesan tentang takwa, tetapi saya lihat hati ini masih amat keruh.
Padahal ketika Allah berpesan agar kita takut kalau-kalau di belakang hari
meninggalkan generasi yang lemah, hanya dua yang menjadi jalan keluarnya, yakni
takwa dan berbicara dengan perkataan yang benar.

Inilah dua hal yang amat sederhana, tetapi butuh perjuangan yang tak
pernah usai. Seperti anak-anak kita kelak,
setiap saat bertarung pada diri kita bisikan-bisikan kepada kesesatan
dan bisikan-bisikan takwa. Fa alhamaha
fujuraha wa taqwaha. Di hati kitalah semua bertarung.

Ya, dua hal itulah yang dapat kita harapkan menjadi bekal bagi
anak-anak kita kelak. Bukan psikologi. Bukan sosiologi.

Semoga Allah kuatkan iman kita. Semoga pula Allah memperjalankan kita
dalam takwa kepada-Nya. Semoga langkah kita senantiasa berada di atas niat yang
kokoh dan tujuan yang baik. Semoga setiap langkah kita membawa kepada ridha-Nya
dan meninggalkan bekas yang mantap di hati
anak-anak dan keturunan kita, sehingga mereka senantiasa memenangkan
bisikan takwanya.

Selebihnya,
ada yang harus kita benahi. Tentang iman kita. Tentang ilmu kita. Juga tentang
amal-amal kita.

Kepada
Allah kita menggantungkan harapan. Hari-hari mendatang anak kita, di tengah
tantangan yang semakin menakutkan, semoga dapat memberi bobot kepada bumi
dengan kalimat laa ilaaha illallah.
Semoga Allah memperjalankan mereka sebagai penolong-penolong-Nya. Allahumma amin.

 

Diambil dari Buku yang berjudul 'Saat Berharga Untuk
Anak Kita'

Penulis: Mohammad Fauzil Adhim

__._,_.___
====================================================
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
       website:  http://dtjakarta.or.id/
====================================================
.

__,_._,___

Tidak ada komentar: