Sabtu, 19 Desember 2009

[daarut-tauhiid] Refleksi HAM Atas Hukum-hukum Perempuan

Refleksi HAM Atas Hukum-hukum Perempuan
Oleh: Najmah Saiidah (Anggota Lajnah Tsaqofiyah MHTI, Anggota DPP HTI)


HAM atau Hak Asasi Manusia adalah hak-hak yang dipunyai oleh semua orang
sesuai dengan kondisi yang manusiawi (Ensiklopedia ilmu-ilmu sosial). Hak
Asasi Manusia selalu dipandang sebagai sesuatu yang mendasar, fundamental
dan penting. Oleh karenanya banyak yang berpendapat bahwa Hak Asasi
Manusia adalah 'kekuasaan dan keamanan' yang dimiliki oleh individu.
Umumnya para pakar Eropa berpendapat bahwa lahirnya HAM dimulai dengan
lahirnya Magna Charta pada tahun 1215 di Inggris. Magna Charta antara lain
mencanangkan bahwa raja yang tadinya memiliki kekuasaan absolut (raja yang
menciptakan hukum, tetapi ia sendiri tidak terikat pada hukum), menjadi
dibatasi kekuasaannya dan mulai dapat dimintai pertanggungjawaban di muka
umum. Dari sinilah lahir doktrin raja tidak kebal hukum lagi dan mulai
bertanggungjawab kepada hukum. Versi yang lain munculnya HAM ini pada abad
17 dan 18 sebagai reaksi dari keabsolutan raja-raja dan kaum feodal pada
zaman itu terhadap rakyat lapisan bawah. Dimana pada waktu itu masyarakat
lapisan bawah tidak memiliki hak-hak, diperlakukan sewenang-wenang,
layaknya sebagai budak. Maka muncullah ide untuk menegakkan HAM, dengan
konsep bahwa semua orang itu sama, semuanya merdeka bersaudara, tidak ada
yang berkedudukan lebih tinggi atau lebih rendah.
Sejak itu upaya penegakkan HAM terus berlangsung mulai dari usaha
penghapusan perbudakan, perlindungan terhadap kaum minoritas, sampai pada
perlindungan korban perang. Puncak dari upaya tersebut adalah
dikeluarkannya Deklarasi Universal Tentang Hak-hak Asasi Manusia atau
UNIVERSAL DECLARATION OF HUMAN RIGHTS oleh PBB pada tanggal 10 Desember
1948. Rancangan piagam hak-hak asasi manusia disusun oleh organisasi kerja
sama untuk sosial ekonomi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang terdiri dari 18
anggota. PBB membentuk komisi hak asasi manusia (commission of human
right). Sidangnya dimulai pada bulan januari 1947 di bawah pimpinan Ny.
Eleanor Rossevelt. Baru pada tanggal 10 Desember 1948 dalam Sidang Umum
PBB yang diselenggarakan di Istana Chaillot, Paris hasil kerja panitia
tersebut dikukuhkan. Karya itu berupa UNIVERSAL DECLARATION OF HUMAN
RIGHTS atau Pernyataan Sedunia tentang Hak - Hak Asasi Manusia, yang
terdiri dari 30 pasal. Dari 58 Negara yang terwakil dalam sidang umum
tersebut, 48 negara menyatakan persetujuannya, 8 negara abstain, dan 2
negara lainnya absen. Oleh karena itu, setiap tanggal 10 Desember
diperingati sebagai hari Hak Asasi Manusia.
Pada tanggal 10 Desember 1948 inilah disahkan hakikat universalitas HAM
yang sesungguhnya, bahwa ke-30 pasal yang termaktub dalam Deklarasi HAM
sedunia itu adalah standar nilai kemanusiaan yang berlaku bagi siapapun,
laki-laki atau perempuan, dari kelas sosial dan latar belakang primordial
apa pun serta bertempat tinggal di mana pun di muka bumi ini. Semua
manusia baik laki-laki maupun perempuan adalah sama. Semua kandungan
nilai-nilainya berlaku untuk semua. Deklarasi ini bertujuan untuk
melindungi hidup, kemerdekaan dan keamanan pribadi; kebebasan berpendapat,
berkumpul secara damai, berserikat dan bebas beragama, bebas bergerak dan
melarang adanya perbudakan, penahanan dengan sewenang-wenang, pemenjaraan
tanpa paroses peradilan yang adil dan jujur dan melanggar hak pribadi
seseorang . Disamping itu deklarasi ini mengandung jaminan terhadap
hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Sejak itulah akhirnya HAM dijadikan
RUJUKAN bahkan HUKUM TERTINGGI untuk menyelesaikan berbagai persoalan,
termasuk persoalan-persoalan perempuan. Bahkan kemudian muncul istilah Hak
Asasi Perempuan, sebagai reaksi dari adanya diskriminasi terhadap
perempuan. Bagi negara-negara anggota PBB, deklarasi itu dan turunannya
sifatnya mengikat. Dengan demikian setiap pelanggaran atau penyimpangan
dari Deklarasi HAM sedunia di suatu negara anggota PBB bukan semata-mata
menjadi masalah intern rakyat dari negara yang bersangkutan, melainkan
juga merupakan masalah bagi rakyat dan pemerintahan negara-negara anggota
PBB lainnya. Mereka absah mempersoalkan dan mengadukan pemerintah
pelanggar HAM di suatu negara ke Komisi Tinggi HAM PBB atau melalui
lembaga-lembaga HAM internasional lainnya untuk mengutuk bahkan
menjatuhkan sanksi internasional terhadap pemerintah yang bersangkutan.
Lalu yang menjadi pertanyaan sekarang adalah apakah konsep HAM yang telah
dijadikan sebagai "Hukum Tertinggi" ini berjalan dengan semestinya, sesuai
dengan harapan orang-orang yang mendukungnya atau malah dijadikan alat
bagi negara-negara besar bahkan negara nomor satu untuk mengelabui
negara-negara lainnya ?
Dari proses kelahirannya, jelaslah bahwa konsep HAM yang berlandaskan pada
kebebasan (kebebasan beragama, kebebasan pemilikan, kebebasan berpendapat
dan kebebasan bertingkah laku) dibuat oleh manusia, sudah dapat dipastikan
kalau konsep ini akan mengandung banyak kelemahan di sana sini. Karena
manfaat dijadikan sebagai landasan bagi tegaknya aturan. Jika hal tersebut
bermanfaat bagi pihak tertentu (terutama bagi pihak yang berkuasa)
sekalipun merugikan pihak yang lain, maka aturan tersebut bisa
dilaksanakan. Kita akan bisa temukan banyak contoh terkait masalah ini.
Senantiasa tertanam dalam benak kita bagaimana AS menggempur dan memboikot
Irak selama lebih dari 10 tahun dengan alasan Irak telah melanggar hak-hak
orang Syi'ah dan Suku Kurdi. Akan tetapi AS dan sekutunya diam dan tidak
mau menggempur Serbia yang telah melakukan pembunuhan, pemerkosaan,
perampasan harta kaum Muslimin di Bosnia yang terang-terangan telah
melanggar HAM. AS juga membenarkan tindakan pendudukan Israel atas bumi
Palestina yang telah sangat jelas menelan banyak korban, tidak hanya kaum
lelakinya, tetapi anak-anak, kaum perempuan dan ibu-ibu menjadi korban
kebiadaban Israel. Tidak hanya itu, Negara-negara anggota PBB berdiam diri
ketika terjadi pelarangan penggunaan jilbab dan kerudung di Perancis,
penangkapan dan penyiksaan terhadap perempuan yang berupaya menutup
auratnya di Jerman. Demikian pula apa yang dialami oleh Leyla Sahin yang
dikeluarkan dari ruang kuliah di Universitas Istambul Turki karena
menggunakan pakaian muslimah. Bahkan akhirnya Mahkamah Hak Asasi Manusia
memutuskan bahwa Turki boleh melarang penggunaan pakaian muslimah di
universitas di seluruh negeri. Bukankah ketika seseorang berupaya
menjalankan aturan agamanya dengan benar, tidak boleh ada siapapun
menghalanginya apalagi menjatuhkan sanksi ?
Dari beberapa fakta tersebut nampak dengan transparan sebenarnya kalau
Negara-negara besar, terutama AS dan beberapa Negara Eropa menjadikan HAM
sebagai tameng untuk mengelabui Negara-negara kecil, terutama
negeri-negeri muslim serta mengokohkan ideologi mereka (kapitalis-sekular)
di tengah-tengah kaum muslimin, yang pada akhirnya menjauhkan kaum
muslimin dari hukum-hukum Islam dengan dalih bahwa hukum-hukum Islam
mengekang umatnya, mengekang atau mendiskriminasikan perempuan atau
bertentangan dengan HAM. Sehingga wajar jika kemudian muncul berbagai
aturan yang merupakan turunan dari HAM yang sebenarnya justru mengajak
umat Islam, termasuk perempuan untuk menjauhkan umat Islam dari ajaran
Islam yang seharusnya dilaksanakan dengan sempurna oleh umat Islam.
Refleksi HAM Atas Hukum-hukum Perempuan
Kajian tentang HAM ini terus berkembang, hingga muncul istilah-istilah
baru diantaranya Hak Asasi Perempuan atau Hak Asasi Manusia Kaum
Perempuan, menyangkut yang lebih spesifik, yaitu hak-hak yang dimiliki
oleh seorang perempuan, baik karena ia sebagai manusia atau sebagai
seorang perempuan. Dari sinilah, lahir kemudian berbagai undang-undang
ataupun konvensi internasional sebagai upaya agar tujuan mereka berhasil.
Salah satunya adalah dihasilkannya Konvensi tentang Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of
All Form of Discrimination Againts Women/ CEDAW) pada tahun 1979
(ditandatangani pada`tahun 1979 dan mulai berlaku pada tahun 1981). Untuk
menguatkan cengkeramannya di negeri-negeri muslim, maka PBB (dalam hal ini
AS) mengharuskan setiap negara peserta/anggotannya meratifikasi setiap
konvensi ataupun keputusan/ketetapan-ketetapan yang dihasilkan dari
konferensi yang diselenggarakan, termasuk CEDAW ini. Konferensi PBB
tentang perempuan ke II 1980 di Kopenhagen menguatkan isi konvensi ini.
CEDAW ini merupakan konvensi awal yang spesifik, khusus membahas tentang
perempuan. Karenanya wajar jika kelahirannya dianggap penting, sebagai
momentum gerakan hak asasi perempuan yang selanjutnya mewarnai gerakan
perempuan dalam forum internasional dan hukum internasional.
Adanya keharusan untuk mengambil dan melaksanakan hasil konvensi-konvensi
internasional oleh setiap negara anggota, menjadikan Indonesia mau tidak
mau harus meratifikasi semua instrumen tersebut. Karenanya di Indonesia,
CEDAW sendiri sebenarnya telah mengilhami lahirnya berbagai upaya
pembuatan hukum atau Undang-undang terutama terkait perempuan, baik
keseluruhan maupun sebagian isi, diantaranya UU no.7 Tahun 1984
(ratifikasi dari CEDAW, UU ini menjadi acuan bagi penyelesaian segala
macam persoalan perempuan), CLD-KHI, UU PKDRT, UU Pornografi-Pornoaksi dan
sebagainya.
1. CLD-KHI (Counter Legal Draft-Kompilasi Hukum Islam)
Draft ini disusun oleh Kelompok Kerja (PokJa) PUG DEPAG dengan di ketuai
oleh Siti Musdah Mulia dengan 10 anggota dan mendapatkan dana dari The
Asia Foundation sebesar 6 miliar (termasuk untuk melakukan penelitian di
berbagai daerah). Untuk menjaga kualitas draf, Pokja ini tidak bekerja
sendirian, tetapi melibatkan sejumlah kontributor aktif yang mewakili
beberapa elemen masyarakat Islam,seperti NU, Muhammadiyah, universitas,
dan peneliti yang tertarik dalam kajian tersebut. MUI tidak dilibatkan
dalam proses ini karena penolakan Komisi Fatwa MUI sejak awal. CLD-KHI
pada tahun 2004 menawarkan 23 point untuk pembaruan Hukum Keluarga Islam,
diantaranya:
Perkawinan bukan Ibadah,tetapi akad sosial kemanusiaan (muamalah)
Pencatatan perkawinan oleh Pemerintah adalah rukun Perkawinan
Perempuan bisa menikahkan diri sendiri (tanpa wali) dan menjadi wali
pernikahan
Mahar bisa diberikan oleh calon suami dan calon istri
Poligami dilarang
Pernikahan dengan pembatasan waktu boleh dilakukan (nikah muth'ah)
Perkawinan antar agama dibolehkan
Istri punya hak talak dan rujuk
Hak dan kewajiban suami istri setara
Dari point- point di atas dapat disimpulkan bahwa tak ada bedanya antara
nikah dengan transaksi bisnis, artinya dengan siapa dan caranya tergantung
kesepakatan. Bila demikian, apa bedanya dengan perzinahan ? Seringkali
Perlindungan terhadap hak perempuan, persamaan hak dan derajat laki-laki
dan perempuan, dijadikan alasan lahirnya aturan yang dibuat manusia. Upaya
ini selintas nampak menentramkan dan sangat mulia, seolah-olah seluruh
permasalahan perempuan bisa terselesaikan. Padahal jika kita perhatikan
dengan seksama justru upaya ini sangat membahayakan, tidak hanya bagi kaum
perempuan tapi umat secara keseluruhan baik laki-laki maupun perempuan,
dewasa maupun anak-anak. Mengapa ? Di balik mulut manisnya tersimpan racun
yang sangat berbisa yang dapat menjatuhkan umat Islam kepada jurang
kehinaan karena mencampakkan hukum-hukum Allah dan RasulNya. Karena
beberapa pasal yang ada di dalamnya justru bertentangan dengan Islam.
Dalam Islam, seorang perempuan menikah tanpa disertai wali, maka
pernikahannya tidak sah demikian pula dalam Islam tidak membolehkan
perempuan menjadi wali.
áÇó äßÇÍó ÅáÇø Èöæóáöíøöò
'Laa nikaaha illa biwaliyyi' (Tidak sah suatu pernikahan tanpa adanya
wali) (HR yang lima kecuali An-Nasai).
ÇóíøõãÇ ÇãúÑÃÉöò äóßóÍóÊú ÈÛíÑö ÅÐúäö æáíøåÇ¡ ÝäßÇÍõåÇ ÈÇØöáõñ ÝäßÇÍõåÇ
ÈÇØöáõñ ÝäßÇÍõåÇ ÈÇØöáõñ
'Perempuan manapun yang menikah tanpa mendapat ijin walinya, maka
pernikahannya batil, pernikahannya batil, pernikahannya batil (HR yang
lima becuali An-Nasai).
áÇó ÊõÒóæøöÌõ ÇáãÑÃÉõ ÇáãÑÃóÉó æáÇó ÊÒæøÌõ ÇáãÑÃóÉõ äÝÓóåÇ ÝÃäø ÇáÒøÇäíóÉó
åöíó ÇáÊí ÊÒóæøöÌõ äÝÓóåÇ
'Seorang perempuan tidak boleh menikahkan perempuan lainnya. Seorang
perempuan juga tidak boleh menikahkan dirinya sendiri. Sebab, sesungguhnya
perempuan pezina itu adalah (seorang perempuan) yang menikahkan dirinya
sendiri (HR Ibnu Majah dan Daruquthniy)
Jelaslah bahwa upaya pembuatan draft ini merupakan penawaran suatu rumusan
Syari'at Islam ' BARU' yang sesuai dengan kehidupan demokrasi dan
mencerminkan karakter kebudayaan Indonesia dengan keharusan menegakkan
demokrasi dalam Negara kesatuan Indonesia yang tidak saja tidak mampu
menyelesaikan seluruh permasalahan perempuan bahkan merupakan upaya yang
sangat berbahaya bagi umat karena akan mencegah formalisasi syari'at Islam
di Indonesia. Karenanya wajar jika konsep CLD-KHI ini ditolak oleh
berbagai pihak, terutama Mentri Agama pada waktu itu dan MUI, karena
banyak penyimpangan terhadap hukum-hukum Islam.
2. Undang-Undang no.23/2004 Tentang PKDRT (Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga)
Terkait kekerasan yang terjadi pada kehidupan umum yang melanggar norma
HAM, Pemerintah RI telah mengeluarkan kepres no.61 Tahun 2003 tanggal 31
Juli 2003 tentang Rencana Aksi Nasional HAM 1998-2003, dan pada poin (B)
tercantum tentang pemajuan dan peningkatan perlindungan hak-hak perempuan.
Sedangkan UU no 23/2004 khusus kekerasan dalam rumah tangga. Dengan
disahkannya UU no.23 tahun 2004 ini diharapkan dapat menghilangkan
kekerasan di rumah tangga. Banyak pihak yang memahami bahwa penyebab
terjadinya KDRT adalah sikap laki-laki yang superior terhadap perempuan,
sehingga dengan lahirnya UU PKDRT seolah memberi angin segar bagi mereka
dan berupaya mensosialisasikan undang-undang ini sesegera mungkin. Apakah
benar UU ini akan menyelesaikan permasalahan ?
Jika kita cermati dengan baik, maka banyak pasal-pasal karet di dalamnya
yang memberi peluang penafsiran yang banyak terhadap pasal-pasal tersebut.
Seluruh pasal yang ada pada UU PKDRT adalah realisasi dari langkah tindak
konferensi Beijing terkait dengan kekerasan terhadap perempuan di lingkup
rumah tangga. Definisi kekerasan pada undang-undang PKDRT sama persis
dengan definisi yang ada pada laporan hasil konferensi Beijing. Definisi
tentang kekerasan tersebut lahir dari cara pandang sekularis liberal.
Sehingga bentuk-bentuk kekerasan ditentukan pula dari cara pandang
tersebut. Akibatnya banyak hal yang termasuk pelaksanaan hukum syara
seperti mahar, sunat perempuan, poligami, dipandang sebagai kekerasan.
Setidaknya ada beberapa pasal bermasalah dalam UU PKDRT, di antaranya
Pasal 1 Bab I mengenai Ketentuan Umum yang menyatakan, bahwa yang dimaksud
dengan "Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap
seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau
penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan/atau penelantaran
rumahtangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau
perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga".
Sedangkan apa yang dimaksud kekerasan fisik, seksual, psikologis dan
penelantaran rumah tangga diatur dalam Bab III mengenai Larangan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga, pasal 6, 7, 8 dan 9, yakni (pasal 6) bahwa kekerasan
fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau
luka berat; (pasal 7) bahwa kekerasan psikis adalah perbuatan yang
mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan
untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat
pada seseorang; (pasal bahwa kekerasan seksual meliputi pemaksaan hubungan
seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup
rumahtangga atau terhadap salah seorang dalam lingkup rumahtangganya
dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.
Sementara Pasal 9 ayat 2, menyebutkan bahwa penelantaran juga berlaku bagi
setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara
membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar
rumah, sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.
Selanjutnya dalam Bab VIII, mulai pasal 44 sampai 47 diatur mengenai
sanksi pidana yang akan dikenakan kepada pelaku tindak kekerasan. Misalnya
saja, kekerasan fisik dikenai denda mulai 5 hingga 45 juta rupiah atau
dengan sanksi kurungan mulai dari 4 bulan sampai 15 tahun. Kekerasan
psikis, dikenai denda antara 3 hingga 9 juta rupiah atau kurungan selama 4
bulan hingga 3 tahun. Kekerasan seksual (termasuk memaksa isteri) dikenai
denda mulai dari 12 juta hingga 300 juta rupiah atau kurungan antara 4
sampai 15 tahun, atau jika menimbulkan luka, gangguan jiwa atau gugurnya
janin akan dikurung 5 sampai 20 tahun atau denda 25 juta hingga 500 juta
rupiah.
Jika dikaitkan dengan nash, maka hukum Islam membolehkan seorang suami
memukul isterinya (dengan pukulan yang tidak melukai) ketika istri
melakukan pembangkangan terhadap hukum syara' terkait kewajiban pelayanan
terhadap suami (nusyuz). Dan kebolehan orangtua memukul anaknya yang sudah
berumur 10 tahun manakala tidak mau shalat. (Perintahkanlah anak kalian
untuk mengerjakan sholat jika sudah sampai usia 7 tahun dan apabila telah
berusia sepuluh tahun pukullah ia jika sampai mengabaikannya ( HR Abu
Dawud). Pukulan tersebut dalam rangka ta'dib (mendidik), tidak boleh
mengenai tempat-tempat yang vital dan tidak membekas/menyakitkan.
Implementasi hukum tersebut dapat dikenai delik pelanggaran terhadap UU
KDRT. Demikian pula dengan hukum poligami yang kebolehannya telah
ditetapkan syara' (QS : An-Nisaa' : 3), keharaman seorang isteri menolak
ajakan suaminya ketika tidak ada uzur syar'iy atau hak suami melarang
isterinya bekerja yang hukumnya boleh bagi perempuan, bisa dianggap
melanggar ketentuan UU tersebut karena semuanya terkatagori tindak
kekerasan seksual, psikhis dan penelantaran rumahtangga yang bisa
dipidanakan dengan ketentuan sanksi seperti telah dijelaskan.
Persoalannya, bisakah aturan yang dibuat oleh manusia 'mengalahkan' hukum
yang berasal dari Al-Khaliq?
Adanya upaya untuk menarik kasus kerumahtanggaan — yang dalam Islam
termasuk ahwal asy-syakhshiyah (perkara perdata)– ke dalam tataran pidana
(jârimah) seperti ini sebenarnya bisa berbahaya. Selain akan menggoyahkan
dasar-dasar kehidupan pernikahan yang hakekatnya merupakan kehidupan
persahabatan dan silaturrahmi dalam kerangka membangun ketaatan kepada
Allah, juga akan memunculkan persoalan baru ketika hukum tersebut
diterapkan, seperti bagaimana status isteri yang suaminya dipidana 12
tahun karena kasus KDRT atas pengaduan dirinya, apakah cerai atau tidak.
Dan jika tidak, bagaimana dengan pelaksanaan hak dan kewajiban keduanya
yang satu sama lain masih saling terikat.
3. Undang-Undang Perlindungan Anak
Pada tahun 1990, Indonesia menandatangani ratifikasi Konvensi Hak Anak
(KHA) berisi pengaturan perlindungan anak. Dengan adanya ratifikasi ini,
Indonesia mau tidak mau, berkewajiban melaksanakan kesepakatan-kesepakatan
tindak lanjut dan memenuhi hak-hak anak sesuai butir-butir konvensi.
Sebagai bentuk tanggungjawab ratifikasi KHA ini pemerintah mensahkan UU No
23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Subtansi UU No.23 tahun 2002
diadopsi penuh dari Konvensi Hak Anak Dewan Umum PBB pada 20 November
1989. Bila kita mencermati pasal demi pasal UU No 23/2002, ada sesuatu
yang harus dikritisi. Berawal dari pasal tentang definisi anak. Dalam
pasal 1 anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun
dan dikaitkan pasal 26 © : Orang tua berkewajiban dan bertanggungjawab
untuk mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak . Faktanya usia
18 tahun umumnya sudah dewasa, karena umumnya usia 18 perempuan sudah
menstruasi dan laki-laki sudah mimpi basah, dalam Islam 2 hal ini
merupakan tanda dewasanya seseorang. Dengan pembatasan ini menjadikan
anak-anak terlambat kematangan syakhshiyah (kepribadiannya), sedangkan
kematangan biologisnya lebih cepat, apalagi dengan maraknya produk-produk
pornografi dan pornoaksi saat ini ditambah lagi dengan adanya larangan
menikah dini (pasal 26) maka peluang seks bebas semakin besar.
Pasal 1 (3) : Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri
dari suami isteri, atau suami istri dan anaknya atau ayah dan anaknya,
ayah ibu dan anaknya atau keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas atau
ke bawah sampai derajat ketiga. Dari definisi keluarga ini seolah-olah ada
pelegalan terhadap perzinahan yang berbuah kepada single parent. Bisa
dipahami selanjutnya yang terjadi adalah hancurnya institusi keluarga,
karena anak dengan salah satu orang tua (ayah/ibu) sudah bisa dikatakan
sebagai keluarga. Indikasi penghancuran keluarga ini juga nampak dalam
beberapa pasal yang berkaitan dengan anak terlantar, anak asuh dan anak
angkat baik dari definisi yang bisa menimbulkan banyak persepsi juga dari
sisi pengasuhan. Adanya badan atau lembaga yang secara hukum memiliki
wewenang untuk mengambil alih hak asuh anak dengan dalih perlindungan anak
sangat terbuka lebar. Hal ini sangat memungkinkan terjadinya pengambil
alihan hak asuh anak dari orang tuanya, jika orang tuanya dinilai tidak
mampu memberi perlindungan terhadap anak. ( pasal 1(5), pasal 1 (6), pasal
1 (9), pasal 1 (10), pasal 7 (2), pasal 30 (1), pasal 33 (1), pasal 34,
pasal 35 (1), pasal 37 (1), pasal 37 (2), pasal 39 (4), pasal 55 (1),
pasal 55 (2), pasal 57, pasal 58, pasal 72 (1), pasal 72 (2)).
Demikian beberapa upaya legislasi yang dilakukan di Indonesia dengan
mengatasnamakan HAM (Hak Asasi Manusia) atau Hak Asasi Manusia Kaum
Perempuan, yang sebenarnya kental dengan propaganda dan 'pesan-pesan'
untuk menguatkan cengkeraman ideologi negara-negara besar (AS dan beberapa
negara Eropa yang menganut ideologi kapitalis-sekular). Telah sangat jelas
penyimpangannya dari aturan-aturan Allah dan RasulNya. Karenanya sudah
saatnya kita membuang jauh-jauh seluruh pemikiran kapitalis sekular dan
seluruh produknya, termasuk konsep HAM dan turunannya dari benak dan
kehidupan kita dan umat Islam, kemudian menggantinya dengan pemikiran dan
sistem yang dibuat oleh Sang Maha Pencipta Manusia dan alam semesta, Allah
swt. Yaitu sistem dan aturan-aturan Islam. Karena hanya aturan yang dibuat
Sang Pencipta sajalah yang sesuai dengan fitrah manusia dan memuaskan
akal, yang pada akhirnya membawa manusia kepada ketenangan. Kinilah
saatnya umat Islam berjuang menegakkan aturan-aturan Islam secara kaaffah
dalam institusi Daulah Khilafah Rasyidah 'ala minhaajin nubuwwah untuk
menjadi pemimpin dunia.
Wallahu A'lam`bishawwab
Daftar Pustaka
1. Aliansi Penulis Pro Syariah. Keadilan dan Kesetaran Gender Tipu Daya
Penghancuran Keluarga.2007
2. An-Nizhomul Ijtima'iy fil Islam. Taqiyyuddin An-Nabhani. Beirut
3. Hak Asasi Perempuan dan Konvensi CEDAW. Sri Wiyanti Eddyono. Bahan
Bacaan Kursus HAM untuk Pengacara. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat.
Jakarta. 2004
4. Kumpulan Makalah Forum Kajian Tokoh Muslimah. Di balik Perdebatan Nikah
Siri. MHTI. 2009
5. Makalah Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Islam. Yefrizawati. Program
Studi Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 2005.
6. Beberapa edisi Al-Waie

[Non-text portions of this message have been removed]

------------------------------------

====================================================
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
website: http://dtjakarta.or.id/
====================================================Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/

<*> Your email settings:
Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/join
(Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
daarut-tauhiid-digest@yahoogroups.com
daarut-tauhiid-fullfeatured@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
daarut-tauhiid-unsubscribe@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/

Tidak ada komentar: