---------- Forwarded message ----------
From: Koran Digital <korandigital@
Semangat Hijrah Melawan Korupsi
Oleh Khaeron Sirin Dosen Institut Perguruan Tinggi Ilmu Al-Quran
(PTIQ) Jakarta
Memperingati Tahun Baru Islam (1431 H)
SETELAH 13 tahun Nabi Saw membangun landasan tauhid sebagai dasar tatanan
masyarakat di Mekah, Allah Swt memberinya petunjuk untuk hijrah ke Yatsrib
(Madinah). Di sanalah, Nabi Saw beserta kelompok-kelompok masyarakat secara
konkret meletakkan dasar-dasar masyarakat madani dengan merumuskan ketentuan
hidup bersama, yaitu Mitsaq al- Madinah (Piagam Madinah), sebagai upaya
membangun sebuah komunitas negarakota yang beradab (al-Madinah
al-Munawarah)
piagam itu, umat manusia untuk pertama kalinya diperkenalkan wawasan
kebebasan, pluralisme dan toleransi serta keadilan.
Peristiwa tersebut telah mengubah peta baru dalam sejarah Islam dan menjadi
tonggak awal menata komunitas masyarakat yang maju dan beradab. Di sini,
hijrah tidak sekadar dimaknai sebagai proses perpindahan individu atau
kelompok dari satu tempat menuju tempat lain.
Ada nilai atau wacana yang melingkupi saat-saat sebelum dan sesudah hijrah
Nabi Saw, yang oleh Umar ibn al-Khattab, kemudian ditetapkan sebagai awal
Tahun Baru Islam. Pertama, komitmen ajaran tauhid (monoteisme) sekaligus
penolakan terhadap segala bentuk kemusyrikan dan kezaliman. Kedua,
pembentukan struktur sosial yang egaliter dan beradab. Ketiga, perombakan
kekuasaan yang otoritatif dan absolut ke sistem kekuasaan yang transparan
dan demokratis. Ketiga nilai itulah yang perlu direnungkan sekaligus
`dihijrahkan' (ditransformasikan) ke dalam kehidupan bangsa saat ini.
Jika hijrah di masa Nabi dalam rangka membangun komitmen perjuangan Islam
melawan kemusyrikan dan penindasan, dalam konteks sekarang, hijrah bisa
dimaknai untuk membangun komitmen perjuangan melawan korupsi yang membelit
negeri ini. Sebab korupsi di negeri ini telah merambah ke hampir semua lini
kehidupan. Bahaya laten ini bukan saja merasuki kawasan yang sudah
dipersepsi publik sebagai sarang korupsi, melainkan juga menyusuri
lorong-lorong instansi yang tidak terbayangkan sebelumnya. Kondisi itu
secara tidak langsung menyebabkan jiwa dan semangat membangun bangsa yang
adil dan menyejahterakan rakyat menjadi keropos. Spirit perjuangan yang
pernah dicanangkan the founding fathers dalam membangun bangsa ini
seakanakan hilang dikikis jiwa-jiwa `liar' yang lebih mementingkan hasrat
dan ambisi pribadi dalam menjalankan kekuasaan.
Suburnya kejahatan korupsi selama ini telah melahirkan berbagai efek
negatif, bukan hanya terhadap negara, melainkan juga merusak mental
masyarakat, baik aparat pemerintah itu sendiri maupun masyarakat luas.
Selain merusak bahkan melumpuhkan kinerja birokrasi dan administrasi negara,
kejahatan korupsi akan menimbulkan semacam keinginan kuat berupa `dendam
kelas' di tengah-tengah masyarakat, yang selama ini merasa terpinggirkan
dari arena kekuasaan.
Lebih daripada itu, korupsi juga ditengarai telah merusak sendi kehidupan
berbangsa dan telah menyerobot hak-hak warga masyarakat yang lain untuk
menikmati kemakmuran dan fasilitas negara. Fasilitas negara berikut dana
kemakmuran masyarakat telah dicuri dan dimanfaatkan segelintir orang tanpa
beban moral yang memadai. Masyarakat pun kian pasrah dan menyerah pada
keadaan. Kita hanya bisa merasakan bahwa bangsa kita memang sedang mengidap
virus akut yang sulit disembuhkan, yaitu virus korupsi. Alhasil, korban
pertama dari korupsi, struktural ataupun kultural, selalu publik, bukan
elite negara atau elite pengusaha.
Dari sini, bisa kita rasakan betapa besar dan luar biasa bahaya yang
ditimbulkan akibat berkembangnya tindak kejahatan korupsi.
Oleh karena itu, ketika bangsa ini, khususnya umat Islam, memperingati Tahun
Baru Islam (Hijriah), semestinya kita berusaha membangun komitmen dan arah
perjalanan hidupnya ke arah yang lebih baik. Di sini, hijrah merupakan awal
migrasi dari kesesatan menuju ketakwaan, dari keragu-raguan menuju keteguhan
hati, dari ketakutan menuju kekuatan memperjuangkan kebenaran, dan dari
kezaliman menuju keadilan. Artinya, kita dituntut menggali semangat esensial
di balik `eksperimen' hijrah Nabi Saw dan para sahabatnya menuju masyarakat
madani.
Tentunya dengan mentransformasikan semangat hijrah tersebut ke dalam
dimensi-dimensi modern kehidupan negara bangsa.
Dalam hal ini, hijrah dimaknai sebagai upaya mencari strategi baru untuk
merancang dan merumuskan konstitusi dan hukum yang tegas dalam pemberantasan
korupsi. Karena itulah, peristiwa `hijrah' merupakan starting point untuk
menabuh genderang perang total melawan korupsi. Perlawanan saat ini tidak
layak lagi menggunakan instrumen hukum biasa (konvensional)
luar biasa, yaitu dengan dukungan konstitusi total. Spirit itulah yang
seharusnya juga dituangkan dalam semangat pemberantasan korupsi di negeri
kita.
Di era yang semuanya didasarkan atas realita ilmiah, hijrah Nabi juga
penting untuk dimaknai dengan pengertian-pengerti
kontekstual. Hal itu penting untuk memperkuat keyakinan umat Islam betapa
hijrah Nabi Saw sejatinya memiliki relevansi terhadap realitas kekinian,
utamanya dalam upaya pemberantasan korupsi.
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
website: http://dtjakarta.or.id/
====================================================
Tidak ada komentar:
Posting Komentar