Rabu, 04 Mei 2011

[daarut-tauhiid] Beratnya Mahar

 

Beratnya Mahar




Oleh Rien Hanafiah


===================
Salah satu bahan pembicaraan yang kerap menjadi kelakar, ketika masih melajang, adalah soal mahar.

Ada-ada saja yang menarik dari satu kata itu; MAHAR. Seorang
perempuan berangan-angan akan meminta mahar sebuah uang yang hitungannya
sesuai dengan tanggal pernikahan atau pertama kali keduanya bertemu dan
dibingkai dengan pigura paling bagus.

Atau ada yang bermimpi ingin membeli sesuatu yang kelak
menyenangkannya dan tak akan pernah ia lupa seumur hidup, bahkan jika
hancur sekalipun. Namun ketika masing-masing kami kembali memikirkan
apakah harus seperti itu, yang muncul gelak tawa dan kembali berucap;
Mahar itu harus disesuaikan dengan kemampuan calon suami yang telah
bersedia melamarmu.

Sungguh tak tahu diuntung jika jelas-jelas calonmu itu tak bisa
membawa sebuah gunung, lalu kau memintanya dipanggul kehadapanmu,
bagaimana pun caranya, bukankah itu mendholiminya?

Itu jauh, bertahun-tahun lalu. Pembicaraan itu telah usai. Para perempuan yang dulu menghabiskan sore dengan menggoreng pisang, bala-bala,
singkong ataupun duduk berjajar di lapangan volley di samping asrama
tempat mereka menetap, jauh dari kebisingan kota serta dikelilingi hutan
belantara, semuanya kini telah menikah dan mendapatkan maharnya
masing-masing.

Uniknya, mahar yang mereka terima tak satupun memberatkan dari para
suami yang telah mendampingi mereka bertahun-tahun (bahkan sudah ada
yang sampai belasan tahun).
Dengan senang hati pula, ada suami yang
membocorkan dengan mengatakan begitu bahagia mendapatkan istri yang dulu
tak pernah rewel terkait masalah mahar, walaupun sungguh mahar
merupakan hak calon gadis yang dipinang untuk bisa mendapatkannya.

Dari berbagai adat di Indonesia, mahar memang memiliki masing-masing
takarannya. Di Flores misalnya, dari sebuah artikel yang pernah saya
baca, dikatakan mahar mereka berupa gading gajah yang sebuahnya bisa
berkisar 10-15 juta bahkan ratusan juta.

Toko-toko tempatnya menjual pun semakin langka, jadi bisa berpengaruh
sekali pada harga yang semakin membumbung tinggi. Mengenai
ketidaksanggupan calon pengantin pria pun tetap diberi dengan mencicil,
walau caranya masih beragam.

Ada yang harus bekerja di keluarga pihak wanita sampai lunas, ataupun
beban itu akan diberikan dan dipikul pada cucu mereka nantinya. Ah keringanan ini bisa dikategorikan dalam jenis apa? Saya tidak berani meraba.

Lain Flores lain adat Banjar. Pengalaman saya melihat bagaimana
prosesi adat yang mengharuskan uang yang diberikan dihambur dalam sebuah
tempat, dilihat banyak orang yang hadir, lalu dihitung ramai-ramai.

Tak jarang, jika kekurangan yang diinginkan belum terpenuhi, sedangkan waktu dan hari acara hantar jujuran
tak bisa diundur, keluarga mempelai pria meminjam untuk beberapa 'jam'
saja atau setelah selesai acara menaruh ditempat terbuka dan
diperlihatkan banyak orang, maka uang akan langsung dikembalikan pada
pihak terpinjam. Yang penting sudah dilihat oleh para tamu undangan yang
hadir di acara jujuran.

Dan semakin banyak jumlahnya, semakin terlihatlah kemapanan calon
pria yang akan meminang, lalu –sepertinya– semakin tampak jelas nasib
yang akan mereka jalani kedepannya. Walaupun semuanya tak bisa luput
dari yang namanya takdir. Bukankah kebahagiaan tak bisa selamanya
ditakar dengan materi?

Lalu siang itu, ketika menyempatkan berbincang hal-hal ringan pada
seorang perempuan yang telah saya anggap seperti adik, saya dibuat
terpana oleh cerita unik lain mengenai mahar.

Calon mempelai wanita ingin barang yang ia inginkan dari calon
mempelai pria adalah sesuatu yang berwarna tertentu, model tertentu,
jenisnya tertentu dan mesti didapatkan, karena jika tidak ia tak segan
mengembalikannya, meminta untuk mencari yang benar-benar seperti
permintaan, dengan alasan; mahar itu adalah barang yang diberikan pada
calon istri, dan akan dipakainya.

Maka jika tak sesuai dengan keinginannya, lalu kelak istri tak mau
memakainya, bagaimana? Bukankah pemborosan? Tapi mengembalikan karena
tak sesuai?
Ideal atau tidak, setiap gadis yang telah dilamar memang berhak
meminta mahar. Ini sudah disyariatkan dalam Islam. Banyak kisah di zaman
lampau tentang mahar. Seorang
Ummu Sulaim meminta mahar keislaman dari
pinangan Abu Thalhah.

Atau Fatimah, putri Rasulullah SAW menerima mahar dari Ali bin Thalib
berupa baju besi, karena ia begitu ikhlas dan tahu kemampuan Ali bin
Thalib dalam hal materi. Atau seorang pemuda lain yang memberikan mahar
pada seorang perempuan berupa beberapa hafalan surah Al-Qur'an yang ia
miliki, maka pada saat itu Rasulullah menikahkan keduanya.
Bukankah
memberi mahar mesti disejajarkan dengan kemampuan si pemberi?

Apalah arti sebuah mahar jika untuk mendapatkannya, pihak pria harus
berhutang kesana kemari, menadahkan tangan dibawah meja-meja ketika
sedang rapat, melihat wajah kepiluan teman-temannya yang menjadi tanda
tanya baginya, atau melakukan puasa setiap hari, atau hatinya menjadi
sedikit merinding akan kepribadian calonnya, jika saja mahar yang
diminta menjadi ukuran harga dari seorang manusia, yang memang tak ada
bernilai lebih daripada keimanannya.

Dan mahar tidak bisa disandingkan dengan kredibilitas perempuan yang
akan dilamar.
Mahar pun tak mesti 'seadanya' kecuali keikhlasan dan
ketenangan si pemberi.

Mengingat para perempuan yang kerap menghabiskan sore dengan berbincang dengan sepiring pisang goreng, atau singkong, atau bala-bala,
atau duduk bersejajar di bangku panjang pada sebuah lapangan volley,
kembali mengingat kesederhanaan cara berpikir mereka walaupun itu untuk
masalah paling crusial sekalipun.

Kembali mengingat, mereka perempuan yang datang dari keluarga cukup
berada, yang banyak menghabiskan waktu di kota besar sekelas
metropolitan, meskipun harus menyelesaikan sebagian umur mereka untuk
bekerja di tempat terpencil jauh dari jangkauan yang bernama
'kecanggihan', tetaplah mereka memiliki hati yang tak mampu memandang
sesuatu dari kulit luarnya saja. Terlebih itu menyangkut mahar.

Pernikahan itu mesti diawali dengan mahar. Mahar yang
tidak memberatkan, yang tidak neko-neko, kami percayai sebagai awal
kehidupan pernikahan yang kelak tak akan berat apalagi neko-neko.
Walaupun kita tetaplah manusia biasa yang akan menjalani segala takdir.
Dan bukankah Rasulullah mengatakan; Seorang wanita yang
penuh barakah dan mendapat anugerah Allah adalah yang maharnya murah,
mudah menikahinya, dan akhlaknya baik. Duh Gusti, kalian mau kan menjadi
wanita-wanita penuh barokah dan mendapat anugerah Allah?"

Jujur, saya rindu dan bahagia pernah berada diantara mereka dan diantara perbincangan sore, tentang mahar, belasan tahun silam.

http://rhandry.blogspot.com

................sumber: eramuslim.com

============
**SURYATI**
Gd. Pascasarjana FEUI
Pascasarjana Ilmu Ekonomi Lt. 2
Kampus UI
Depok

Telp : 78849152-53
Fax : 78849154
Email : y4t12002@yahoo.com, suryati06@ui.ac.id

[Non-text portions of this message have been removed]

__._,_.___
Recent Activity:
====================================================
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
       website:  http://dtjakarta.or.id/
====================================================
.

__,_._,___

Tidak ada komentar: