Jumat, 02 Maret 2012

[daarut-tauhiid] Kendala Sirna Karena Takwa

 

*Kendala Sirna Karena Takwa*

Oleh Abu Umar Abdillah

Tak sedikit orang yang berpikir, bahwa hidup tanpa aturan halal haram lebih
berpeluang untuk mendapatkan kemudahan. Dengan tanpa aturan mereka merasa
memilki lebih banyak pilihan dan jalan. Ingin sukses menjadi pejabat, ingin
menjadi orang kaya, ataupun keinginan lain yang disangka mendatangkan
kebahagiaan dirinya. Tak peduli dengan cara suap, penghasilan riba, menjual
makanan yang haram, menanggalkan syariat demi sebuah karier yang kesemuanya
terbebas dari pertimbangan syar'i.

Begitupun dalam menghadapi solusi dari setiap problem yang dihadapi. Tanpa
mengindahkan batasan syariat, mereka merasa lebih leluasa untuk mencari
jalan keluar. Mereka bisa mencoba semua cara yang pernah dilakukan manusia.
Baik tatkala menghadapi problem pekerjaan, terlilit hutang, berurusan
dengan perselisihan, atau sakit yang tak kunjung sembuh. Mereka bisa
mengenakan jimat, mendatangi dukun, berbohong dan cara-cara lain yang
rasional maupun tidak, tanpa dibayang-bayangi oleh norma syar'i, halal
ataukah haram.

Begitulah logika hawa nafsu yang tidak mengenal Sang Pencipta. Seakan alam
ini berjalan begitu saja tanpa ada yang mengaturnya. Seakan kejadian dan
peristiwa itu bisa terjadi tanpa kehendak-Nya.

Urusan Mudah dengan Takwa

Berbanding terbalik dengan logika iman yang Allah ajarkan. Justru dengan
takwa, segala urusan menjadi mudah. Dengan membatasi diri dengan yang
halal, dan meninggalkan semua cara-cara haram, kemudahan akan didapat.
Bukankah Allah yang menciptakan manusia, Dia pula yang paling tahu tentang
kebutuhan hamba-Nya, dan jalan apa yang paling mudah untuk meraihnya. Maka
Allah menggariskan jalan berupa syariat kepada manusia. Dengannya manusia
akan berhasil menemukan keberuntungan dan kemaslahatan yang didambakan,
asal mereka sudi menempuh jalannya.

Taat terhadap perintah dan larangan syariat inilah realisasi dari takwa.
Makin taat terhadap aturan, makin mulus jalan bagi seseorang untuk meraih
tujuan. Tidak mungkin dia akan dikecewakan. Karena mustahil Allah
mengingkari janji-Nya, mempermainkan atau menzhalimi hamba-Nya yang telah
tunduk dan taat di atas aturan yang digariskan-Nya. Allah telah berjanji,

"Adapun orang yang memberi dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang
terbaik (jannah), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah."
(QS. 92:5-7)

Itulah kabar gembira bagi orang yang berbekal takwa dalam memburu
kemaslahatan. Dia akan dimudahkan dalam segala urusan kebaikan, baik di
dunia maupun di akhirat. Bukan saja kemudahan tatkala mendapatkannya, tapi
juga berupa ketenangan, kenyamanan dan kebahagiaan yang menyertainya. Orang
yang bermuamalah dengan jujur misalnya, maka Allah akan memudahkan
urusannya dan memberkahi usahanya. Dan setelah tujuan itu tercapai, pun
tidak menyisakan was-was atau kekhawatiran, karena ash-shidqu thuma'niinah,
kejujuran itu membawa ketenangan.

Pada ayat berikutnya, Allah menyebutkan yang sebaliknya. Ada kabar buruk
bagi orang yang tak mengindahkan takwa, yakni berupa jaminan kesulitan dan
kesukaran yang akan ditemuinya. Allah berfirman,

"Dan Adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup, serta
mendustakan pahala terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan)
yang sukar." (QS al-Lail 8-10)

Ada yang menarik dari dua kondisi berkebalikan yang disebutkan di atas.
Sudah sangat maklum ketika Allah menyebutkan, kebalikan dari memberi adalah
bakhil, kebalikan dari membenarkan adalah mendustakan, dan kebalikan dari
kemudahan adalah kesulitan. Tapi, kenapa Allah menyebutkan kebalikan dari
'ittaqa' (takwa) adalah 'istaghna', merasa tidak butuh (terhadap
pertolongan Allah)?

Ada jawaban yang memuaskan dari Ibnu Qayyim al-Jauziyah tentang hal ini,
sebagaimana beliau sebutkan dalam kitabnya At-Tibyaan fii Ahkaamil Qur'an.
Beliau menyebutkan, bahwa orang yang bertakwa, tatkala menyadari betapa
mereka itu fakir di hadapan Allah, dan amat membutuhkan pertolongan Allah,
maka dia takut mengundang murka dan kemarahan Allah, takut melanggar apa
yang dilarang oleh Allah. Sungguh ini adalah argumen yang sangat tepat.
Bagaimana mungkin seseorang berani membuat kecewa dan sengaja memancing
kemarahan Dzat yang berwenang dan Kuasa memberikan segala sesuatu atau
mencegahnya?

Maka tepat jika disebutkan bahwa kebalikan dari takwa adalah 'istaghna',
merasa tidak butuh pertolongan Allah. Orang yang tidak merasa butuh
pertolongan-Nya, maka dia tidak peduli atas segala tindakannya. Dia tidak
takut bermaksiat dan mengundang murka-Nya. Maka sebagai balasan dari rasa
congkaknya itu, Allah akan menimpakan kesulitan yang senantiasa
mengepungnya dari segala arah. Hingga sulit baginya mendapatkan
kemaslahatan hakiki yang menenangkan jiwa dan hati.

Sekilas ada yang janggal, karena faktanya banyak orang yang menempuh jalan
haram, namun dengan mudah bisa mencapai tujuannya. Mari kita renungkan
dengan seksama, apakah benar mereka mendapatkan kemudahan? Karena ukuran
kemudahan itu tidak hanya diukur dari start seseorang memulai usaha sampai
tujuan teralisasi. Namun juga melihat resiko di belakangnya. Bagaiamana
dikatakan kemudahan, jika setelah tujuan tercapai justru membawa efek
kegundahan dan kekhawatiran di belakangnya? Atau bahkan resiko yang lebih
besar serta berefek pada keruwetan yang berkepanjangan? Mungkin orang bisa
cepat kaya dengan korupsi, tapi apakah ini berarti kemudahan? Bukan..!
sekali lagi bukan! Karena hati maling tak pernah tenang, takut jika
perbuatannya diketahui. Dan tatkala aksinya benar-benar ketahuan, buntutnya
adalah problem berkepanjangan. Ini hanya sekedar sampel, namun begitulah
ujung dari semua cara meraih tujuan yang tidak memenuhi unsur takwa, sulit
dan rumit. Belum lagi kesusahan yang lebih berat dan lebih kekal akan
mereka alami di akhirat kelak, nas'alullahal 'aafiyah.

Kendala Sirna Karena Takwa

Di samping memuluskan jalan meraih kebaikan dan kemaslahatan, takwa juga
menjadi solusi mujarab atas semua problem yang dihadapi manusia. Abu Dzar
radhiyallahu 'anhu menceritakan, bahwa suatu kali Nabi saw membaca firman
Allah,

"Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan Mengadakan baginya
jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya."
(QS ath-Thalaq 2-3)

Beliau mengulang-ulang ayat itu kemudian bersabda,

ياَ أَباَ ذَرٍّ لَوْ أَنَّ الناَّسَ أَخَذُوْا بِهاَ لَكَفَتْهُمْ

"Wahai Abu Dzar, seandainya manusia mengambil (cara) ini, niscaya akan
mencukupi mereka." (HR al-Hakim beliau mengatakan, sanadnya shahih.
Adz-Dzahabi juga menyebutkan dalam at-Talkhis bahwa hadits ini shahih)

Ayat tersebut tidak menyebutkan jalan keluar dari problem apa, ini
menunjukkan keumuman makna. Artinya, bahwa takwa menjadi jalan keluar bagi
seluruh problem yang di hadapi manusia. Abu al-Aliyah menafsirkan ayat
tersebut, "Yakni jalan keluar dari segala kesulitan. Ini mencakup segala
kesulitan di dunia maupun di akhirat, serta kesempitan di dunia maupun di
akhirat."

Inilah resep paling ampuh untuk mengatasi segala masalah. Solusi yang tak
mungkin salah. Karena berasal dari Dzat yang Mahatahu dan Mahakuasa atas
segala sesuatu. Banyak sudah bukti yang dirasakan oleh orang-orang yang
berusaha merealisasikan takwa. Ibnu al-Jauzi adalah salah satu orang yang
telah merasakan khasiatnya. Sebagaimana pengakuan beliau dalam kitabnya
'Shaidul Khaathir', di mana beliau berkata, "Suatu kali saya mengalami
problem yang rumit. Urusan yang menimbulkan kegundahan berkepanjangan. Lalu
aku berpikir keras untuk mencari solusi dari kegelisahan ini. Dari segala
solusi yang mungkin, saya kaji dari berbagai sisi, namun saya belum juga
mendapat jawaban yang memuaskan. Lalu ditawarkan kepadaku solusi dari
firman-Nya,

"Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan Mengadakan baginya
jalan keluar." (QS ath-Thalaq 2)

Lalu saya pun tahu, bahwa takwa adalah solusi paling handal untuk menyudahi
segala kegundahan. Maka setiap kali saya berusaha merealisasikan takwa,
disitulah saya dapatkan jalan keluar."

Adapun, cara-cara yang dilakukan oleh orang-orang fajir, meski sekilas
tampak ada penyelesaian dari satu sisi, namun dampak negatif yang
ditimbulkannya lebih luas dan lebih berat lagi. Karena Allah menjanjikan
kesulitan bagi mereka yang melanggar rambu-rambu yang telah ditetapkan oleh
Allah. Mereka yang lebih percaya dengan jimat, dukun ataupun cara haram
yang lain, tak mungkin mendapat solusi yang memadai. Begitupun orang yang
tak merasa butuh dengan pertolongan Allah, dan hanya mengandalkan kekuatan
fisik dan akalnya semata. Justru rasa takut yang makin akut, depresi yang
terus menghantui dan keruwetan yang menjadi-jadi, laksana benang kusut yang
tak jelas pangkal dan ujungnya. Belum lagi kesulitan akhirat yang lebih
berat dan lebih abadi. Allahumma rahmataka narju, wa laa takilna ilaa
anfusina tharfata 'ain. (Abu Umar Abdillah)

http://www.arrisalah.net/kolom/2011/05/kendala-sirna-karena-takwa.html

[Non-text portions of this message have been removed]

__._,_.___
Recent Activity:
====================================================
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
       website:  http://dtjakarta.or.id/
====================================================
.

__,_._,___

Tidak ada komentar: