*Benarkah Khilafah Dinantikan?*
 
 Fahmi Amhar
 
 Alumnus Vienna University of Technology Austria, Anggota DPP Hizbut Tahrir
 Indonesia
 
 Kapankah khilafah terakhir runtuh? Ketika Rasulullah wafat, ketika Ali bin
 Abi Thalib terbunuh, ketika Baghdad dihancurkan Tartar, atau ketika Dinasti
 Utsmaniyah runtuh 82 tahun lalu? Bagi pengikut Wali al-Fatah --tokoh
 Hizbullah yang telah membentuk 'Jamaatul Muslimin' di Indonesia-- juga
 pengikut Ahmadiyah, sekarang ini khilafah sudah ada. Khalifahnya adalah
 pemimpin spiritual mereka.
 
 Sebagian kaum Arab nasionalis tak setuju khilafah runtuh 1924. Menurut
 mereka, khilafah telah tiada sejak Baghdad dihancurkan Tartar tahun 1258.
 Alasannya, pasca-Dinasti Abbasiyah, khalifah tidak lagi dari Quraisy.
 Sedangkan ada sebuah hadits yang berbunyi: ''Sesungguhnya urusan khilafah
 itu ada pada Quraisy''.
 
 Sebagian umat Islam lain yang mendambakan negara sempurna juga tidak setuju.
 Menurut mereka, khilafah hanya bertahan sampai dengan terbunuhnya Khulafaur
 Rasyidin keempat, Ali bin Abi Thalib. Setelah itu adalah monarki dengan
 penguasa absolut turun-temurun yang diwarnai korupsi dan kezaliman. Sebagian
 kaum Syiah malah berpendapat, pasca-Rasulullah, kaum Muslimin telah
 meninggalkan ajarannya. Alasannya, para sahabat tak melaksanakan wasiat Nabi
 untuk menjadikan Ali sebagai khalifah penggantinya. Jadi negara Islam
 praktis hanya ada di masa Rasulullah.
 
 Sedang kaum sekuler mengatakan Nabi tak pernah menjadi kepala negara, juga
 tak pernah mendirikan negara, apalagi negara Islam. Kalaupun khilafah pernah
 ada, tak lain hanyalah persekutuan spiritual yang tidak pernah dibatasi
 geografis.
 
 Sedang kaum orientalis mengakui Nabi memang kepala negara, namun bukan
 negara Islam, melainkan negara sekuler. Hanya, kebetulan waktu itu yang
 berkuasa Muslim, sehingga bisa mewarnai sistem negara dengan Islam.
 Alasannya, dalam Piagam Madinah tercantum bahwa kaum Yahudi boleh
 menggunakan aturan-aturan mereka sendiri.
 
 Demikianlah sejumlah pendapat yang intinya skeptis pada pendapat bahwa
 khilafah berakhir 82 tahun lalu. Karena itu mereka juga skeptis untuk
 berkontribusi dalam proses penegakannya kembali.
 
 Negara Rasulullah
 
 Jadi, apa sebenarnya entitas yang dipimpin Rasul saat itu? Apakah RW, kota,
 atau negara? Atau Rasul hanya sekadar pemimpin informal/spiritual dalam
 sebuah negara?
 
 Faktanya, pada masanya, Rasulullah telah melakukan berbagai aktivitas, baik
 spiritual seperti memimpin shalat; maupun politis seperti mengirim dan
 menerima duta negara asing; mengirim pasukan; melakukan perjanjian;
 mengangkat hakim, gubernur, dan panglima; menetapkan kebijakan publik, dan
 sebagainya. Apa ini bukan aktivitas seorang kepala negara, sekalipun negara
 itu adalah negara kota?
 
 Faktanya, dulu maupun kini ada negara-negara berdimensi kecil. Kita mengenal
 negara kota seperti Monaco, Luxemburg, atau Republik San Marino. Beberapa
 negara besar di masa kini, awalnya juga hanya kota. RI bermula di Jakarta.
 Tanpa pengakuan penguasa daerah-daerah lain atas proklamasi Soekarno-Hatta,
 RI tak akan sebesar ini. Kalaupun batas RI adalah eks Hindia Belanda, maka
 Hindia Belanda juga dimulai dari Batavia, yang diperluas dengan politik
 imperialisme selama 350 tahun.
 
 Faktanya, Madinah saat itu mirip negara kota yang merdeka, tak pernah ada di
 bawah dominasi kekuasaan asing. Makkah juga negara kota lainnya. Saat itu,
 ada sejumlah negara yang lebih besar, bahkan adikuasa, seperti Romawi yang
 berkuasa hingga Suriah, Jordania dan Afrika Utara; dan Persia di wilayah
 Irak dan Iran sekarang ini.
 
 Masyarakat Madinah juga sebuah masyarakat yang khas. Saat Rasulullah hijrah,
 Islam sudah menjadi pemikiran (mafahim) dan perasaan (maqayis) dominan di
 Madinah --sekalipun belum semua penduduknya masuk Islam. Untuk menjadi
 masyarakat yang lengkap mereka tinggal membutuhkan aturan (nizham) yang
 dominan. Aturan ini tentu harus diterapkan seorang pemimpin yang memerintah
 mereka, dan mereka siap melindungi dan membantu pemimpin itu.
 
 Kontrak sosial masyarakat Madinah dengan pemimpin itu, yaitu Rasulullah,
 terjadi saat Baiat Aqabah II. Baiat itulah momentum berdirinya
 negara-khilafah Islam. Ini mirip proklamasi 17 Agustus 1945. Jadi negaranya
 --sebagai wilayah dan masyarakat-- memang sudah ada sebagai proses rasional,
 tapi khilafah sebagai sistem pemerintahan Islam, dituntun oleh wahyu. Dan
 sistem khilafah ini memang berbeda dari sistem kerajaan atau republik. Dia
 sistem yang khas. Piagam Madinah juga lebih mirip sebuah Undang-undang Pakta
 Kerja Sama, baik intra-Madinah maupun antara Madinah dengan suku-suku Yahudi
 di sekitarnya. UU ini tetap mengacu kepada Islam, karena di banyak pasalnya
 ada kalimat ''dikembalikan kepada Allah dan Rasulnya''. Ini adalah kalimat
 yang jelas-jelas tidak sekuler, tidak demokratis, tidak diktatur, melainkan
 Islami. Pada saat Perjanjian Hudaibiyah, Rasul sebenarnya justru mendapatkan
 pengakuan kedaulatan (de jure) dari negara Makkah. Ini mirip 23 Agustus 1949
 tatkala RI diakui oleh Kerajaan Belanda. Jadi, Piagam Madinah ataupun
 Perjanjian Hudaibiyah bukanlah dalil untuk set-up sebuah negara, apalagi
 bila yang diinginkan adalah gambaran bahwa negara Rasul tersebut
 kompromistik.
 
 Negara Rasul adalah sesuatu yang dihuni manusia. Tentu mereka juga ada yang
 tersalah dan berdosa. Hanya Rasul yang maksum. Meski demikian, itu tetap
 negara Islam, di mana sistem Islam berlaku. Ketika Rasul wafat, para sahabat
 tak segera mengurus jenazahnya, melainkan sibuk mencari penggantinya. Hanya
 Ali dan keluarga --sebagai keluarga dekat-- yang memandikan dan
 mengafaninya. Tapi Ali juga menunda menyalatkan dan menguburkannya, hingga
 terpilih Abu Bakar sebagai khalifah. Penundaan ini, apalagi untuk jenazah
 Rasul, menunjukkan bahwa masalah khilafah lebih urgen daripada pengurusan
 jenazah.
 
 Demikianlah para Khulafaur Rasyidin menerapkan Islam di dalam negeri, dan
 menyebarkannya ke seluruh dunia melalui dakwah dan jihad. Ketika Ali
 terbunuh dan Daulah Umayyah berdiri, lalu tampak ada pola seperti monarki.
 Tapi sesungguhnya itu pelanggaran yang tidak signifikan, tidak membuat
 bubarnya negara.
 
 Dinasti Umayyah hanya menyalahgunakan salah satu metode penentuan khalifah,
 yaitu nominasi dari khalifah sebelumnya. Namun secara umum, sistem khilafah
 tetap berfungsi. Mungkin mirip dengan trik Soeharto untuk jadi presiden
 selama 32 tahun: rekayasa Golkar, pemilu, dan MPR. Kita tahu itu
 pelanggaran, namun RI tidak bubar karenanya. Apalagi sistem khilafah Islam
 tidak hanya soal suksesi, namun mencakup politik secara keseluruhan, juga
 ekonomi, hukum, pendidikan, dan sebagainya.
 
 Imam Abu Yusuf menegaskan bahwa ciri-ciri negara Islam itu dua perkara.
 Pertama, hukum yang berlaku di negara itu adalah dari Islam semata. Kedua,
 kekuatan yang melindungi penerapan hukum tersebut semata-mata pada kaum
 Muslimin, sekalipun mereka tidak mayoritas. Faktanya, dua syarat itu
 terpenuhi hingga tahun 1924. Dan faktanya, banyak prestasi peradaban Islam
 yang dinisbahkan ke era ini.
 
 Bagi bangsa-bangsa di dunia, negara khilafah tetaplah satu-satunya
 representasi kaum Muslimin yang dihormati, disegani, ditakuti, namun juga
 dimusuhi. Tidak seperti sekarang ini, di mana kaum Muslimin hanya dimusuhi,
 tapi tak lagi disegani, dihormati, apalagi ditakuti.
 
 Memang, ada kalanya datang khalifah yang zalim atau aparat yang korup. Tapi
 masyarakat tahu, itu adalah pelanggaran hukum. Hukumnya sendiri digali dari
 Islam. Sementara sekarang, ketika khilafah tidak ada lagi, hukum digali tak
 hanya dari Islam, bahkan mayoritas hanya imitasi hukum-hukum warisan
 penjajah kafir.
 
 Kehancuran Baghdad oleh Tartar juga tidak membubarkan khilafah. Di
 bagian-bagian lain negeri, sistem Islam tetap jalan. Dan tentang khalifah
 yang tidak lagi Quraisy, diterangkan oleh Ibnu Khaldun, bahwa Quraisy itu
 hanya syarat afdhaliyah dan kontekstual, karena dahulu suku paling
 berpengaruh di jazirah Arab adalah Quraisy, sehingga secara sosiologis,
 khalifah dari Quraisy akan mengurangi resistensi.
 
 Dengan demikian jelaslah, bahwa negara khilafah Islam memang pernah ada,
 didirikan Rasulullah sendiri, dan telah berlangsung hingga tahun 1924.
 Adapun klaim pengikut Wali al-Fatah atau Ahmadiyah bahwa mereka telah
 memiliki khalifah, bertentangan dengan konsep khilafah yang rajih (kuat),
 yang menyatakan bahwa khalifah itu pemimpin baik spiritual maupun politis.
 Demikian juga para penguasa negeri-negeri Islam. Sekalipun mereka menyatakan
 Islam agama negara, UUD-nya adalah Alquran, atau berbentuk Republik Islam,
 selama mereka membatasi diri untuk bangsa tertentu, mereka juga belum bisa
 disamakan dengan khalifah.
 
 Secara empiris, negara-negara di luar dunia Islam pasca 1924 tak pernah lagi
 merasa berhadapan dengan sebuah negara yang merepresentasikan umat Islam
 sedunia. Mereka hanya berhadapan satu-satu: dengan Iran, Saudi, Pakistan dan
 sebagainya. Mereka tidak lagi mendapatkan kaum Muslimin bersatu dalam suatu
 formasi ideologis. Jadi, memang sudah 82 tahun ini dunia menanti.
 
 http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=239025&kat_id=16&kat_id1=&kat_id2
 =
 
 Sabtu, 11 Maret 2006
 
 [Non-text portions of this message have been removed]
 
 
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
website: http://dtjakarta.or.id/
====================================================
Tidak ada komentar:
Posting Komentar