Jumat, 06 Mei 2011

[daarut-tauhiid] Benarkah Khilafah Dinantikan?

 

*Benarkah Khilafah Dinantikan?*

Fahmi Amhar

Alumnus Vienna University of Technology Austria, Anggota DPP Hizbut Tahrir
Indonesia

Kapankah khilafah terakhir runtuh? Ketika Rasulullah wafat, ketika Ali bin
Abi Thalib terbunuh, ketika Baghdad dihancurkan Tartar, atau ketika Dinasti
Utsmaniyah runtuh 82 tahun lalu? Bagi pengikut Wali al-Fatah --tokoh
Hizbullah yang telah membentuk 'Jamaatul Muslimin' di Indonesia-- juga
pengikut Ahmadiyah, sekarang ini khilafah sudah ada. Khalifahnya adalah
pemimpin spiritual mereka.

Sebagian kaum Arab nasionalis tak setuju khilafah runtuh 1924. Menurut
mereka, khilafah telah tiada sejak Baghdad dihancurkan Tartar tahun 1258.
Alasannya, pasca-Dinasti Abbasiyah, khalifah tidak lagi dari Quraisy.
Sedangkan ada sebuah hadits yang berbunyi: ''Sesungguhnya urusan khilafah
itu ada pada Quraisy''.

Sebagian umat Islam lain yang mendambakan negara sempurna juga tidak setuju.
Menurut mereka, khilafah hanya bertahan sampai dengan terbunuhnya Khulafaur
Rasyidin keempat, Ali bin Abi Thalib. Setelah itu adalah monarki dengan
penguasa absolut turun-temurun yang diwarnai korupsi dan kezaliman. Sebagian
kaum Syiah malah berpendapat, pasca-Rasulullah, kaum Muslimin telah
meninggalkan ajarannya. Alasannya, para sahabat tak melaksanakan wasiat Nabi
untuk menjadikan Ali sebagai khalifah penggantinya. Jadi negara Islam
praktis hanya ada di masa Rasulullah.

Sedang kaum sekuler mengatakan Nabi tak pernah menjadi kepala negara, juga
tak pernah mendirikan negara, apalagi negara Islam. Kalaupun khilafah pernah
ada, tak lain hanyalah persekutuan spiritual yang tidak pernah dibatasi
geografis.

Sedang kaum orientalis mengakui Nabi memang kepala negara, namun bukan
negara Islam, melainkan negara sekuler. Hanya, kebetulan waktu itu yang
berkuasa Muslim, sehingga bisa mewarnai sistem negara dengan Islam.
Alasannya, dalam Piagam Madinah tercantum bahwa kaum Yahudi boleh
menggunakan aturan-aturan mereka sendiri.

Demikianlah sejumlah pendapat yang intinya skeptis pada pendapat bahwa
khilafah berakhir 82 tahun lalu. Karena itu mereka juga skeptis untuk
berkontribusi dalam proses penegakannya kembali.

Negara Rasulullah

Jadi, apa sebenarnya entitas yang dipimpin Rasul saat itu? Apakah RW, kota,
atau negara? Atau Rasul hanya sekadar pemimpin informal/spiritual dalam
sebuah negara?

Faktanya, pada masanya, Rasulullah telah melakukan berbagai aktivitas, baik
spiritual seperti memimpin shalat; maupun politis seperti mengirim dan
menerima duta negara asing; mengirim pasukan; melakukan perjanjian;
mengangkat hakim, gubernur, dan panglima; menetapkan kebijakan publik, dan
sebagainya. Apa ini bukan aktivitas seorang kepala negara, sekalipun negara
itu adalah negara kota?

Faktanya, dulu maupun kini ada negara-negara berdimensi kecil. Kita mengenal
negara kota seperti Monaco, Luxemburg, atau Republik San Marino. Beberapa
negara besar di masa kini, awalnya juga hanya kota. RI bermula di Jakarta.
Tanpa pengakuan penguasa daerah-daerah lain atas proklamasi Soekarno-Hatta,
RI tak akan sebesar ini. Kalaupun batas RI adalah eks Hindia Belanda, maka
Hindia Belanda juga dimulai dari Batavia, yang diperluas dengan politik
imperialisme selama 350 tahun.

Faktanya, Madinah saat itu mirip negara kota yang merdeka, tak pernah ada di
bawah dominasi kekuasaan asing. Makkah juga negara kota lainnya. Saat itu,
ada sejumlah negara yang lebih besar, bahkan adikuasa, seperti Romawi yang
berkuasa hingga Suriah, Jordania dan Afrika Utara; dan Persia di wilayah
Irak dan Iran sekarang ini.

Masyarakat Madinah juga sebuah masyarakat yang khas. Saat Rasulullah hijrah,
Islam sudah menjadi pemikiran (mafahim) dan perasaan (maqayis) dominan di
Madinah --sekalipun belum semua penduduknya masuk Islam. Untuk menjadi
masyarakat yang lengkap mereka tinggal membutuhkan aturan (nizham) yang
dominan. Aturan ini tentu harus diterapkan seorang pemimpin yang memerintah
mereka, dan mereka siap melindungi dan membantu pemimpin itu.

Kontrak sosial masyarakat Madinah dengan pemimpin itu, yaitu Rasulullah,
terjadi saat Baiat Aqabah II. Baiat itulah momentum berdirinya
negara-khilafah Islam. Ini mirip proklamasi 17 Agustus 1945. Jadi negaranya
--sebagai wilayah dan masyarakat-- memang sudah ada sebagai proses rasional,
tapi khilafah sebagai sistem pemerintahan Islam, dituntun oleh wahyu. Dan
sistem khilafah ini memang berbeda dari sistem kerajaan atau republik. Dia
sistem yang khas. Piagam Madinah juga lebih mirip sebuah Undang-undang Pakta
Kerja Sama, baik intra-Madinah maupun antara Madinah dengan suku-suku Yahudi
di sekitarnya. UU ini tetap mengacu kepada Islam, karena di banyak pasalnya
ada kalimat ''dikembalikan kepada Allah dan Rasulnya''. Ini adalah kalimat
yang jelas-jelas tidak sekuler, tidak demokratis, tidak diktatur, melainkan
Islami. Pada saat Perjanjian Hudaibiyah, Rasul sebenarnya justru mendapatkan
pengakuan kedaulatan (de jure) dari negara Makkah. Ini mirip 23 Agustus 1949
tatkala RI diakui oleh Kerajaan Belanda. Jadi, Piagam Madinah ataupun
Perjanjian Hudaibiyah bukanlah dalil untuk set-up sebuah negara, apalagi
bila yang diinginkan adalah gambaran bahwa negara Rasul tersebut
kompromistik.

Negara Rasul adalah sesuatu yang dihuni manusia. Tentu mereka juga ada yang
tersalah dan berdosa. Hanya Rasul yang maksum. Meski demikian, itu tetap
negara Islam, di mana sistem Islam berlaku. Ketika Rasul wafat, para sahabat
tak segera mengurus jenazahnya, melainkan sibuk mencari penggantinya. Hanya
Ali dan keluarga --sebagai keluarga dekat-- yang memandikan dan
mengafaninya. Tapi Ali juga menunda menyalatkan dan menguburkannya, hingga
terpilih Abu Bakar sebagai khalifah. Penundaan ini, apalagi untuk jenazah
Rasul, menunjukkan bahwa masalah khilafah lebih urgen daripada pengurusan
jenazah.

Demikianlah para Khulafaur Rasyidin menerapkan Islam di dalam negeri, dan
menyebarkannya ke seluruh dunia melalui dakwah dan jihad. Ketika Ali
terbunuh dan Daulah Umayyah berdiri, lalu tampak ada pola seperti monarki.
Tapi sesungguhnya itu pelanggaran yang tidak signifikan, tidak membuat
bubarnya negara.

Dinasti Umayyah hanya menyalahgunakan salah satu metode penentuan khalifah,
yaitu nominasi dari khalifah sebelumnya. Namun secara umum, sistem khilafah
tetap berfungsi. Mungkin mirip dengan trik Soeharto untuk jadi presiden
selama 32 tahun: rekayasa Golkar, pemilu, dan MPR. Kita tahu itu
pelanggaran, namun RI tidak bubar karenanya. Apalagi sistem khilafah Islam
tidak hanya soal suksesi, namun mencakup politik secara keseluruhan, juga
ekonomi, hukum, pendidikan, dan sebagainya.

Imam Abu Yusuf menegaskan bahwa ciri-ciri negara Islam itu dua perkara.
Pertama, hukum yang berlaku di negara itu adalah dari Islam semata. Kedua,
kekuatan yang melindungi penerapan hukum tersebut semata-mata pada kaum
Muslimin, sekalipun mereka tidak mayoritas. Faktanya, dua syarat itu
terpenuhi hingga tahun 1924. Dan faktanya, banyak prestasi peradaban Islam
yang dinisbahkan ke era ini.

Bagi bangsa-bangsa di dunia, negara khilafah tetaplah satu-satunya
representasi kaum Muslimin yang dihormati, disegani, ditakuti, namun juga
dimusuhi. Tidak seperti sekarang ini, di mana kaum Muslimin hanya dimusuhi,
tapi tak lagi disegani, dihormati, apalagi ditakuti.

Memang, ada kalanya datang khalifah yang zalim atau aparat yang korup. Tapi
masyarakat tahu, itu adalah pelanggaran hukum. Hukumnya sendiri digali dari
Islam. Sementara sekarang, ketika khilafah tidak ada lagi, hukum digali tak
hanya dari Islam, bahkan mayoritas hanya imitasi hukum-hukum warisan
penjajah kafir.

Kehancuran Baghdad oleh Tartar juga tidak membubarkan khilafah. Di
bagian-bagian lain negeri, sistem Islam tetap jalan. Dan tentang khalifah
yang tidak lagi Quraisy, diterangkan oleh Ibnu Khaldun, bahwa Quraisy itu
hanya syarat afdhaliyah dan kontekstual, karena dahulu suku paling
berpengaruh di jazirah Arab adalah Quraisy, sehingga secara sosiologis,
khalifah dari Quraisy akan mengurangi resistensi.

Dengan demikian jelaslah, bahwa negara khilafah Islam memang pernah ada,
didirikan Rasulullah sendiri, dan telah berlangsung hingga tahun 1924.
Adapun klaim pengikut Wali al-Fatah atau Ahmadiyah bahwa mereka telah
memiliki khalifah, bertentangan dengan konsep khilafah yang rajih (kuat),
yang menyatakan bahwa khalifah itu pemimpin baik spiritual maupun politis.
Demikian juga para penguasa negeri-negeri Islam. Sekalipun mereka menyatakan
Islam agama negara, UUD-nya adalah Alquran, atau berbentuk Republik Islam,
selama mereka membatasi diri untuk bangsa tertentu, mereka juga belum bisa
disamakan dengan khalifah.

Secara empiris, negara-negara di luar dunia Islam pasca 1924 tak pernah lagi
merasa berhadapan dengan sebuah negara yang merepresentasikan umat Islam
sedunia. Mereka hanya berhadapan satu-satu: dengan Iran, Saudi, Pakistan dan
sebagainya. Mereka tidak lagi mendapatkan kaum Muslimin bersatu dalam suatu
formasi ideologis. Jadi, memang sudah 82 tahun ini dunia menanti.

http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=239025&kat_id=16&kat_id1=&kat_id2
=

Sabtu, 11 Maret 2006

[Non-text portions of this message have been removed]

__._,_.___
Recent Activity:
====================================================
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
       website:  http://dtjakarta.or.id/
====================================================
.

__,_._,___

Tidak ada komentar: