Ujian Cinta
Penulis : Syamsul Arifin
------------
KotaSantri.com : Tuk menghilangkan gundah dan kekecewaanku karena
ditolak oleh seseorang yang sangat kuharapkan kesediaannya menemani
diriku menapaki hidup bersama, kuhabiskan banyak waktu dan pikiran
dengan pekerjaan dan aktivitas lain yang kuharap bisa menyita waktu,
menghabiskan energi, dan mengalihkan perhatian.
Pikiran
yang kosong memang dapat dengan mudah dijejali oleh syaitan, batinku
dalam hati. Berbagai acara kajian dan seminar makin sering kuikuti.
Hari ini, aku akan mengikuti acara Mabit atau bermalam di Masjid
Walikota
Depok. Seperti biasa, dalam acara Mabit, ada kajian ba'da Isya, Qiyamul
Lail berjama'ah, muhasabah (refleksi/introspek
kajian bada Shubuh. Aku datang tepat sebelum adzan Isya berkumandang,
sebelum tadi sempat mampir ke warung rokok di pinggir jalan untuk
membeli air mineral botol satu liter serta beberapa bungkus makanan
ringan
tuk menemani malam ini.
Jama'ah shalat Isya tidak telalu ramai,
tapi setelah shalat Isya selesai, para jama'ah makin banyak
berdatangan. Beberapa kali barisan
shalat Isya berjama'ah dibuat. Semakin lama, masjid semakin dipadati
oleh para jama'ah yang ingin mengikuti acara. Meskipun hanya diikuti
oleh para ikhwan, lantai satu dan lantai dua masjid sudah tumpah ruah
oleh
jama'ah.
Acara dibuka dengan tasmi atau bacaan
ayat suci Al-Qur'an tanpa melihat mushaf (Al-Qur'an) oleh seorang hafidz
(penghafal Al-Qur'an) muda. Tampang
dan penampilannya yang biasa saja, sempat membuatku sedikit meragukan
dia, namun ketika ia mulai membaca, subhanallah, suara terdengar begitu
merdu dan indah, menyentuh di hati. Aku malu karena telah memiliki
prasangka yang tak baik kepadanya.
Terbayang
dalam benakku suaranya Nabi Daud AS dan kekaguman Nabi Muhammad
SAW terhadap bacaannya Salim, Maula Abu Hudzaifah RA. Terlintas dalam
pikirku surat
Al-A'raaf ayat 204, kutundukkan sedikit kepala dan kuheningkan
sejenak segala perbuatanku. Ya Allah, bacaan yang ia bawakan begitu
indah, lembut menyentuh hati, tak terasa air mataku mengalir perlahan. Ia terus membacakan lantunan surat
Al-Anfal sampai selesai, ada suatu sensasi yang tak dapat kugambarkan,
antara semangat, introspeksi diri, dan perdengaran suara yang begitu
indah. Kubiarkan diriku berada dalam keadaan meneteskan air mata.
Kajian
pertama
bada Isya kali ini berbicara mengenai Tarbiyah Dzatiyah, atau
pembinaan pribadi seorang muslim, bagaimana seorang muslim mampu
menjaga dan membina dirinya selalu dalam keadaan baik. Kajian yang
dibawakan oleh ustadz Abu Ridho
ini terasa sangat bermanfaat bagiku. Kajian dihentikan pukul sebelas
malam. Dengan perasaan puas, aku mencari posisi yang nyaman untuk
tidur. Wah, sepertinya shaf pertama yang ada alas karpetnya nyaman nih
untuk
tidur. Aku bergegas menuju ke sana, sebelum tempat itu dipenuhi orang.
Shalat
malam
dilakukan pukul tiga pagi, beberapa jama'ah terisak-isak dalam
shalat. Aku merasa hatiku kering dan keras membatu, hingga tidak dapat
meresapi bacaan imam yang panjang dan indah terdengar di telinga.
Selesai shalat, ada muhasabah, namun aku malah terlelap dalam
keremangan masjid yang dibuat panita.
Kajian kedua bada Shubuh berbincang mengenai ukhuwah
atau persaudaraan. Topik ini sudah sering sekali kudengar, namun
kadang aku suka miris juga mendengar celotehan para ikhwah yang masih
suka "memakan bangkai saudaranya" (1). Ah, semoga materi kali ini
memberikan bekas pada diriku, kupanjatkan do'a pelan di hati.
Menjelang materi usai, ketika para peserta sudah pada beranjak pulang, seorang lelaki menghampiriku.
"Assalamu'alaikum,
Syamsul Arifin," suara yang kudengar amat familiar di telinga. Wah,
ternyata Radinal Husein, rekan seperjuanganku di rohis kampus, dua
tahun yang lalu.
"Wa'alaikumussalam, Ray," kukembangkan senyum
terindahku dan menjabat tangannya mesra. Kami duduk sejenak, pertanyaan
perihal kabar dan aktivitas masing-masing saling bersilangan.
Mentari
perlahan merangkak naik, dan hangatnya hari minggu pagi mulai terasa.
Kami berjalan ke luar Masjid, menuju tempat parkir motor.
"Akh, do'ain
saya ya, insya Allah sedang berproses nih," katanya setengah grogi.
"Wah, wah, wah, selamat ya," ujarku gembira tak tertahan. "Sama siapa,
akh?" tanyaku kemudian.
"Hmm, sama anak UI juga kok," sahutnya. "Ente kenal kok," tambahnya.
Ekspresi gembira di wajahku semakin tak
tertahan. "Iya, tapi ama siapa?" tanyaku penasaran. "Teman sekelas
kita ya?" tambahku.
"Iya," jawabnya pelan.
"Ha.. ha.. ha..," aku tertawa
pelan.
"Eh, gimana menurut ente? Bisa berabe nih, ngga boleh ya?"
tanyanya ragu.
"Nggak kok, asal prosesnya syar'i mah ngga masalah,"
jawabku tersenyum.
"Si Ita ya?" kusebut nama
seorang akhwat yang dulu menjadi tandemnya di Departemen Pelayanan Umat
dulu.
"Bukan," jawabnya.
"Si Mutia?" tebakku lagi.
"Bukan juga. Ya
ente sebutin aja semua, nanti juga ketahuan," guraunya.
"Iya, habis
siapa dong?" ujarku.
"Si Hani, Hani binti Azkam," jawabnya mantap.
Zebbb, alam serasa hening sesaat. Ternyata Radinal Husein telah
mendahuluiku, dia telah mengambil seseorang yang namanya tertulis di
catatan harianku, terukir di hatiku, dan terbayang di benakku setiap
waktu.
Mulailah mengalir cerita mengenai
proses yang ia lakukan sampai akhrnya jadi. Dia melalui seorang
perantara teman yang sudah menikah, Anis Hartanti, seorang akhwat yang
juga saat ini sudah memiliki seorang anak usia dua tahun. Huaaah,
ceritanya yang bersemangat dan indah terdengar hambar di telinga, kupasang topeng kegembiraan di balik raut kesedihan.
Sesampainya di pelataran parkir, cerita lengkap proses akh Radinal dengan Hani tamat sudah. Sembari kupersiapkan
diri dengan perlengkapan motorku, kuucapkan selamat kepadanya, "Selamat, ya akh. Wah, wah, wah, subhanallah, mantap ente bisa
mendapatkan dia. Dia memang hebat kok, nggak bakal nyesel deh ente
nikahin dia. Semoga proses ke depannya lancar ya," kujabat dia hangat.
"Kalo ente kapan, Pin?" dia bertanya balik sembari mempersiapkan diri
dengan perlengkapan berkendaranya.
Ia
tak mau menyebutkan seorang nama
akhwat pun, karena tahu bahwa selama kami beraktivitas, tidak pernah
ada nama seorang akhwat yang meluncur dari bibirku, meski hanya tuk
sekedar kata pujian, apalagi di depan orangnya. Dia sadar betul, bahwa
dalam pandanganku, memuji seorang akhwat di depannya, sama saja dengan
mengajaknya nikah dengan terselubung. Dan tidak pernah sekalipun
kusebutkan nama seorang akhwat yang kusukai, meski hanya tuk sekedar
bercanda. Hanya Allah dan diriku yang mengetahui getaran aneh dalam
dada
ketika berinteraksi sama akhwat.
"Ya, do'ain aja ASAP (2)," jawabku
singkat. "Sekali lagi, selamat ya, Ray. Assalamu'alaikum,
melihatnya telah siap dengan motornya.
"Wa'alaikumussalam.
Perjalanan
kali ini merupakan perjalanan paling kering dalam hidupku, sejuknya
udara Depok pagi hari tidak mampu menyejukkan hatiku yang
tercabik-cabik bagai tertikam pisau belati.
Dari
Abu Dzar RA, Rasulullah SAW mengatakan kepadaku, "Janganlah kalian
menganggap remeh satu perbuatan baik sedikit pun, meskipun hanya
memberikan senyuman (wajah yang ramah) kepada kepada saudaramu." (HR.
Muslim).
------------
Jadikanlah Sabar dan Shalat Sebagai Penolongmu. Dan Sesungguhnya Yang Demikian itu Sungguh Berat, Kecuali Bagi Orang-Orang yang Khusyu [ Al Baqarah : 45 ]
[Non-text portions of this message have been removed]
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
===================================================
website: http://dtjakarta.or.id/
===================================================
Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Daily Digest | Switch format to Traditional
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe
__,_._,___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar