Kamis, 15 Oktober 2009

[daarut-tauhiid] DIPONEGORO PANGERAN SANTRI PENEGAK SYARIAT

*Kamis, 15 Oktober 2009 pukul 01:28:00*
DIPONEGORO PANGERAN SANTRI PENEGAK SYARIAT

*Ir. Arif Wibowo*
(Mahasiswa Magister Pemikiran Islam-Universitas Muhammadiyah Surakarta)

*"Sebagai seorang yang berjiwa Islam, ia sangat rajin dan taqwa sekali
hingga mendekati keterlaluan"*
(Louw dalam De Java Oorlog Van 1825 – 1830)

Pangeran Diponegoro lahir pada 1785. Ia putra tertua dari Sultan
Hamengkubuwono III (1811 – 1814). Ibunya, Raden Ayu Mangkarawati, keturunan
Kyai Agung Prampelan, ulama yang sangat disegani di masa Panembahan Senapati
mendirikan kerajaan Mataram. Bila ditarik lebih jauh lagi, silsilahnya
sampai pada Sunan Ampel Denta, seorang wali Sanga dari Jawa Timur. Dalam
bukunya, Dakwah Dinasti Mataram, Dalam Perang Dipnegoro, Kyai Mojo dan
Perang Sabil Sentot Ali Basah, Heru Basuki menyebutkan, bahwa saat masih
kanak-kanak, Diponegoro diramal oleh buyutnya, Sultan Hamengkubuwono I,
bahwa ia akan menjadi pahlawan besar yang merusak orang kafir. Heru Basuki
mengutip cerita itu dari Louw, P.J.F – S Hage – M nijhoff, Eerstee Deel
Tweede deel 1897, Derde deel 1904, De Java Oorlog Van 1825 – 1830 door, hal.
89.

Suasana kraton yang penuh intrik dan kemerosotan moral akibat pengaruh
Belanda, tidak kondusif untuk pendidikan dan akhlak Diponegoro kecil yang
bernama Pangeran Ontowiryo. Karena itu, sang Ibu mengirimnya ke Tegalrejo
untuk diasuh neneknya, Ratu Ageng di lingkungan pesantren. Sejak kecil,
Ontowiryo terbiasa bergaul dengan para petani di sekitarnya, menanam dan
menuai padi. Selain itu ia juga kerap berkumpul dengan para santri di
pesantren Tegalrejo, menyamar sebagai orang biasa dengan berpakaian wulung.

Bupati Cakranegara yang menulis Babad Purworejo bersama Pangeran Diponegoro
pernah belajar kepada Kyai Taftayani, salah seorang keturunan dari keluarga
asal Sumatera Barat, yang bermukim di dekat Tegalrejo. Menurut laporan
residen Belanda pada tahun 1805, Taftayani mampu memberikan pengajaran dalam
bahasa Jawa dan pernah mengirimkan anak-anaknya ke Surakarta, pusat
pendidikan agama pada waktu itu. Di Surakarta, Taftayani menerjemahkan kitab
fiqih Sirat AlMustaqim karya Nuruddin Ar Raniri ke dalam bahasa Jawa. Ini
mengindikasikan, Diponegoro belajar Islam dengan serius. (Dr. Kareel A.
Steenbrink, 1984, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke 19,
Penerbit Bulan Bintang Jakarta hal. 29).

Dalam Babad Cakranegara disebutkan, adalah Diponegoro sendiri yang menolak
gelar putra mahkota dan merelakan untuk adiknya R.M Ambyah. Latar
belakangnya, untuk menjadi Raja yang mengangkat adalah orang Belanda.
Diponegoro tidak ingin dimasukkan kepada golongan orang-orang murtad. Ini
merupakan hasil tafakkurnya di Parangkusuma. Dikutip dalam buku Dakwah
Dinasti Mataram: "Rakhmanudin dan kau Akhmad, jadilah saksi saya,
kalau-kalau saya lupa, ingatkan padaku, bahwa saya bertekad tak mau
dijadikan pangeran mahkota, walaupun seterusnya akan diangkat jadi raja,
seperti ayah atau nenenda. Saya sendiri tidak ingin. Saya bertaubat kepada
Tuhan Yang Maha Besar, berapa lamanya hidup di dunia, tak urung menanggung
dosa (Babad Diponegoro, jilid 1 hal. 39-40).

*Perang besar*
Dalam bukunya, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke 19,. Kareel
A. Steenbrink, mencatat, sebagian besar sejarawan menurut Steenbrink
menyepakati bahwa perang Diponegoro lebih bersifat perang anti kolonial.
Beberapa sebab itu antara lain: 1. Wilayah kraton yang menyempit akibat
diambil alih Belanda, 2. Pemberian kesempatan kepada orang Tionghoa untuk
menarik pajak, 3. Kekurangadilan di masyarakat Jawa 4. Aneka intrik di
istana, 5. Praktek sewa perkebunan secara besar-besaran kepada orang
Belanda, yang menyebabkan pengaruh Belanda makin membesar, 6. Kerja paksa
bukan hanya untuk kepentingan orang Yogyakarta saja tetapi juga untuk
kepentingan Belanda.

Namun menurut Louw, sebab-sebab sosial ekonomis tadi dilandasi oleh alasan
yang lebih filosofis yaitu jihad fi sabilillah. Hal ini diakui oleh Louw
dalam De Java Oorlog Van 1825-1830, seperti dikutip Heru Basuki: "Tujuan
utama dari pemberontakan tetap tak berubah, pembebasan negeri Yogyakarta
dari kekuasaan Barat dan pembersihan agama daripada noda-noda yang
disebabkan oleh pengaruh orang-orang Barat."

Hal ini tampak dari ucapan Pangeran Diponegoro kepada Jendral De Kock pada
saat penangkapannya. "Namaningsun Kangjeng Sultan Ngabdulkamid. Wong Islam
kang padha mukir arsa ingsun tata. Jumeneng ingsun Ratu Islam Tanah Jawi"
(Nama saya adalah Kanjeng Sultan Ngabdulkhamid, yang bertugas untuk menata
orang Islam yang tidak setia, sebab saya adalah Ratu Islam Tanah Jawa).
(Lihat, P. Swantoro, Dari Buku ke Buku, Sambung Menyambung Menjadi Satu,
(2002)).

Kareel A Steenbrink menyebutkan, pemikiran dan kiprah Pangeran Diponegoro
menarik para ulama, santri dan para penghulu merapat pada barisan
perjuangannya. Peter Carey dalam ceramahnya berjudul Kaum Santri dan Perang
Jawa pada rombongan dosen IAIN pada tanggal 10 April 1979 di Universitas
Oxford Inggris menyatakan keheranannya karena cukup banyak kyai dan santri
yang menolong Diponegoro. Dalam naskah Jawa dan Belanda, Carey menemukan 108
kyai, 31 haji, 15 Syeikh, 12 penghulu yogyakarta dan 4 kyai guru yang turut
berperang bersama Diponegoro.

Bagi sebagian kalangan, ini cukup mengherankan. Sebab, pasca pembunuhan
massal ulama dan santri oleh Sunan Amangkurat I tahun 1647, hubungan santri
dengan kraton digambarkan sangat tidak harmonis. Namun Pangeran Diponegoro
yang merupakan keturunan bangsawan dan ulama sekaligus, berhasil menyatukan
kembali dua kubu tersebut.

Paduan motivasi agama dan sosial ekonomi ini menyebabkan Perang Diponegoro
menjadi perang yang sangat menyita keuangan pemerintah kolonial bahkan
hampir membangkrutkan negeri Belanda. Korban perang Diponegoro: orang Eropa
8.000 jiwa, orang pribumi yang di pihak Belanda 7.000 jiwa. Biaya perang 20
juta gulden. Total orang jawa yang meninggal, baik rakyat jelata maupun
pengikut Diponegoro 200.000 orang. Padahal total penduduk Hindia Belanda
waktu itu baru tujuh juta orang, separuh penduduk Yogyakarta terbunuh.

Data ini menunjukkan, dahsyatnya Perang Diponegoro dan besarnya dukungan
rakyat terhadapnya. Oleh bangsa Indonesia, Pangeran Diponegoro yang dikenal
dengan sorban dan jubahnya, kemudian diakui sebagai salah satu Pahlawan
Nasional, yang sangat besar jasanya bagi bangsa Indonesia.

http://www.republika.co.id/koran/155/82437/DIPONEGORO_PANGERAN_SANTRI_PENEGAK_SYARIAT


------------------------------------

====================================================
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
website: http://dtjakarta.or.id/
====================================================Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/

<*> Your email settings:
Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/join
(Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
mailto:daarut-tauhiid-digest@yahoogroups.com
mailto:daarut-tauhiid-fullfeatured@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
daarut-tauhiid-unsubscribe@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/

Tidak ada komentar: