Selasa, 20 Oktober 2009

[daarut-tauhiid] DIPONEGORO PANGERAN SANTRI PENEGAK SYARIAT

DIPONEGORO PANGERAN SANTRI PENEGAK SYARIAT

Ir. Arif Wibowo
(Mahasiswa Magister Pemikiran Islam-Universitas Muhammadiyah Surakarta)

"Sebagai seorang yang berjiwa Islam, ia sangat rajin dan taqwa sekali
hingga mendekati keterlaluan"
(Louw dalam De Java Oorlog Van 1825 – 1830)

Pangeran Diponegoro lahir pada 1785. Ia putra tertua dari Sultan
Hamengkubuwono III (1811 – 1814). Ibunya, Raden Ayu Mangkarawati,
keturunan Kyai Agung Prampelan, ulama yang sangat disegani di masa
Panembahan Senapati mendirikan kerajaan Mataram. Bila ditarik lebih
jauh lagi, silsilahnya sampai pada Sunan Ampel Denta, seorang wali
Sanga dari Jawa Timur. Dalam bukunya, Dakwah Dinasti Mataram, Dalam
Perang Dipnegoro, Kyai Mojo dan Perang Sabil Sentot Ali Basah, Heru
Basuki menhyebutkan, bahwa saat masih kanak-kanak, Diponegoro diramal
oleh buyutnya, Sultan Hamengkubuwono I, bahwa ia akan menjadi pahlawan
besar yang merusak orang kafir. Heru Basuki mengutip cerita itu dari
Louw, P.J.F – S Hage – M nijhoff, Eerstee Deel Tweede deel 1897, Derde
deel 1904, De Java Oorlog Van 1825 – 1830 door, hal. 89.

Suasana kraton yang penuh intrik dan kemerosotan moral akibat pengaruh
Belanda, tidak kondusif untuk pendidikan dan akhlak Diponegoro kecil
yang bernama Pangeran Ontowiryo. Karena itu, sang Ibu mengirimnya ke
Tegalrejo untuk diasuh neneknya, Ratu Ageng di ling -kung an
pesantren. Sejak kecil, Ontowiryo terbiasa bergaul dengan para petani
di sekitarnya, menanam dan menuai padi. Selain itu ia juga kerap
berkumpul dengan para santri di pesantren Tegalrejo, menyamar sebagai
orang biasa dengan berpakaian wulung.

Bupati Cakranegara yang menulis Babad Purworejo bersama Pangeran
Diponegoro pernah belajar kepada Kyai Taftayani, salah seorang
keturunan dari keluarga asal Sumatera Barat, yang bermukim di dekat
Tegalrejo. Menurut laporan residen Belanda pada tahun 1805, Taftayani
mampu memberikan pengajaran dalam bahasa Jawa dan pernah mengirimkan
anak-anaknya ke Surakarta, pusat pendidikan agama pada waktu itu. Di
Surakarta, Taftayani menerjemahkan kitab fiqih Sirat AlMustaqim karya
Nuruddin Ar Raniri ke dalam baha sa Jawa. Ini mengindikasikan,
Diponegoro belajar Islam dengan serius. (Dr. Kareel A. Steenbrink,
1984, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke 19, Penerbit
Bulan Bintang Jakarta hal. 29).

Dalam Babad Cakranegara disebutkan, adalah Diponegoro sendiri yang
menolak gelar putra mahkota dan merelakan untuk adiknya R.M Ambyah.
Latar belakangnya, untuk menjadi Raja yang mengangkat adalah orang
Belanda. Diponegoro tidak ingin dimasukkan kepada golongan orang-orang
murtad. Ini merupakan hasil tafakkurnya di Parangkusuma. Dikutip dalam
buku Dakwah Dinasti Mataram: "Rakhmanudin dan kau Akhmad, jadilah
saksi saya, kalau-kalau saya lupa, ingatkan padaku, bahwa saya
bertekad tak mau dijadikan pangeran mahkota, walaupun seterusnya akan
diangkat jadi raja, seperti ayah atau nenenda. Saya sendiri tidak
ingin. Saya bertaubat kepada Tuhan Yang Maha Besar, berapa lamanya
hidup di dunia, tak urung menanggung dosa (Babad Diponegoro, jilid 1
hal. 39-40).

Perang besar
Dalam bukunya, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke 19,.
Kareel A. Steenbrink, mencatat, sebagian besar sejarawan menurut
Steenbrink menyepakati bahwa perang Diponegoro lebih bersifat perang
anti kolonial. Beberapa sebab itu antara lain: 1. Wilayah kraton yang
menyempit akibat diambil alih Belanda, 2. Pemberian kesempatan kepada
orang Tionghoa untuk menarik pajak, 3. Kekurang adilan di masyarakat
Jawa 4. Aneka intrik di istana, 5. Praktek sewa perkebunan secara
besar-besaran kepada orang Belanda, yang menyebabkan pengaruh Belanda
makin membesar, 6. Kerja paksa bukan hanya untuk kepentingan orang
Yogyakarta saja tetapi juga untuk kepentingan Belanda.

Namun menurut Louw, sebab-sebab sosial ekonomis tadi dilandasi oleh
alasan yang lebih filosofis yaitu jihad fi sabilillah. Hal ini diakui
oleh Louw dalam De Java Oorlog Van 1825-1830, seperti dikutip Heru
Basuki: "Tujuan utama dari pemberontakan tetap tak berubah, pembebasan
negeri Yogyakarta dari kekuasaan Barat dan pembersihan agama daripada
noda-noda yang disebabkan oleh pengaruh orang-orang Barat."

Hal ini tampak dari ucapan Pangeran Diponegoro kepada Jendral De Kock
pada saat penangkapannya. "Namaningsun Kangjeng Sultan Ngabdulkamid.
Wong Islam kang padha mukir arsa ingsun tata. Jumeneng ingsun Ratu
Islam Tanah Jawi" (Nama saya adalah Kanjeng Sultan Ngabdulkhamid, yang
bertugas untuk menata orang Islam yang tidak setia, sebab saya adalah
Ratu Islam Tanah Jawa). (Lihat, P. Swantoro, Dari Buku ke Buku,
Sambung Menyambung Menjadi Satu, (2002)).

Kareel A Steenbrink menyebutkan, pemikiran dan kiprah Pangeran
Diponegoro menarik para ulama, santri dan para penghulu merapat pada
barisan perjuangannya. Peter Carey dalam ceramahnya berjudul Kaum
Santri dan Perang Jawa pada rombongan dosen IAIN pada tanggal 10 April
1979 di Universitas Oxford Inggris menyatakan keheranannya karena
cukup banyak kyai dan santri yang menolong Diponegoro. Dalam naskah
Jawa dan Belanda, Carey menemukan 108 kyai, 31 haji, 15 Syeikh, 12
penghulu yogyakarta dan 4 kyai guru yang turut berperang bersama
Diponegoro.

Bagi sebagian kalangan, ini cukup mengherankan. Sebab, pasca
pembunuhan massal ulama dan santri oleh Sunan Amangkurat I tahun 1647,
hubung an santri dengan kraton digambarkan sangat tidak harmonis.
Namun Pangeran Diponegoro yang merupakan keturunan bangsawan dan ulama
sekaligus, berhasil menyatukan kembali dua kubu tersebut.

Paduan motivasi agama dan sosial ekonomi ini menyebabkan Perang
Diponegoro menjadi perang yang sangat menyita keuangan pemerintah
kolonial bahkan hampir membangkrutkan negeri Belanda. Korban perang
Diponegoro: orang Eropa 8.000 jiwa, orang pribumi yang di pihak
Belanda 7.000 jiwa. Biaya perang 20 juta gulden. Total orang jawa yang
meninggal, baik rakyat jelata maupun pengikut Diponegoro 200.000
orang. Padahal total penduduk Hindia Belanda waktu itu baru tujuh juta
orang, separuh penduduk Yogyakarta terbunuh.

Data ini menunjukkan, dahsyatnya Perang Diponegoro dan besarnya
dukungan rakyat terhadapnya. Oleh bangsa Indonesia, Pangeran
Diponegoro yang dikenal dengan sorban dan jubahnya, kemudian diakui
sebagai salah satu Pahlawan Nasional, yang sangat besar jasanya bagi
bangsa Indonesia.

http://www.republika.co.id/koran/155/82437/DIPONEGORO_PANGERAN_SANTRI_PENEGAK_SYARIAT


------------------------------------

====================================================
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
website: http://dtjakarta.or.id/
====================================================Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/

<*> Your email settings:
Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/join
(Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
mailto:daarut-tauhiid-digest@yahoogroups.com
mailto:daarut-tauhiid-fullfeatured@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
daarut-tauhiid-unsubscribe@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/

Tidak ada komentar: