Rabu, 06 Januari 2010

[daarut-tauhiid] Menanti Pertemuan Kelima

 

Menanti Pertemuan Kelima


oleh Gun Gun Ardiansah

======


Persis baru empat kali saya bertemu istri. Dua kali sebelum menikah dan dua kali setelah menikah.

Pertemuan perdana kami saat ta'aruf dengan istri yang
didampingi muhrimnya yang saat itu guru ngaji istri. Karena satu dan
lain hal ketika itu saya hanya bisa datang sendiri tanpa didampingi
siapapun. Mengingat jarak, guru ngaji saya di Medan pun tak bisa
datang. Muhrim saya ketika itu suami guru ngaji istri yang kebetulan
juga memimpin prosesi ta'aruf.

Prosesnya berlangsung singkat, kira-kira kurang dari setengah jam.
Dimulai dengan basmallah, sedikit tausiyah dari suami guru ngaji istri
dan kemudian kesempatan untuk kami saling bertanya yang diharapkan
dapat memantapkan keputusan setelah ta'aruf : melanjutkan khitbah atau
mundur.

Pasca ta'aruf baik saya maupun istri ketika itu diberi kesempatan
untuk berulangkali merenung, menimbang hingga istikharah. Akhirnya saya
putuskan untuk melanjutkan ta'aruf ke jenjang pernikahan. "Saya harus
segera menyelamatkan diri dari zina dan godaaan berzina" demikian azam
ketika itu.

"Ya Rabb, jika Engkau tak mengabulkan jodoh yang hamba inginkan,
setidaknya berikanlah yang hamba butuhkan." Doa yang terus saya
panjatkan ketika teringat kegagalan ta'aruf yang pernah sebelumnya saya
jalani dengan seorang akhwat berbulan-bulan sebelumnya.

Alhamdulillah tak berapa lama pihak istri, melalui guru ngajinya,
mengabarkan bahwa istri saya saat itu memiliki niatan yang sama untuk
melanjutkan ke jenjang pernikahan. Memang prosesnya sempat
berlarut-larut dikarenakan terpisah jarak yang begitu jauh. Istri
tinggal, kuliah seraya bekerja sebagai guru di Bogor. Sementara saya
karyawan swasta yang berdinas di Medan. Lucunya baik saya ataupun istri
ketika itu sempat berpikir untuk mundur dari proses ta'aruf, meski
takdir berkata lain. Awalnya ada keraguan. Untuk mengatasi, salah
satunya, berulangkali saya ingat azam saya. Saya khawatir keraguan itu
datangnya dari syeitan.

Setelah berkonsultasi dengan guru ngaji saya juga masukan guru ngaji
istri dan tentunya orang tua, di suatu kesempatan saya datang langsung
ke rumah keluarga istri untuk ta'aruf dengan pihak keluarganya di
Bandung. Persisnya beberapa hari sebelum menikah.
Sebetulnya saat itu
kami bertemu, tapi saya menghabiskan waktu dengan ngobrol dengan
keluarganya terutama kakak ipar dan Ibunya, sementara dia hanya duduk
menunduk agak jauh dari saya dan lebih banyak membisu. Pertemuan kedua yang hampir minus komunikasi.

Beberapa minggu sebelumnya orangtua saya sudah datang ke Bandung
melakukan lamaran, tapi saya tidak bisa hadir lantaran saat itu masih
di Medan, dan belum bisa cuti.
Sementara jatah kepulangan saya yang
ditanggung perusahaan hanya tiga bulan sekali.
Dengan dana yang
terbatas saya harus pandai-pandai memanfaatkan waktu dan kesempatan.
Jatah kepulangan tiga bulan sekali saya manfaatkan untuk cuti dan
menikah.

Bandung, hari minggu 9 Agustus 2009, Iis Endah Ribuanti, demikian
nama lengkapnya, resmi menjadi pendamping hidup saya. Hari itu adalah pertemuan ketiga kami
yang mengharukan sekaligus salah satu momen bahagia dalam hidup saya.
Akad dan walimah dilangsungkan hari itu juga. Pernikahan yang begitu
sederhana untuk ukuran kebanyakan.

Untuk menyiasati dana pernikahan kami yang terbatas, kami sepakat
tak membuat undangan, tapi cukup menginfokan ke keluarga dan
teman-teman terdekat. Untuk tetangga dan kerabat dekat undangan lisan
disampaikan langsung ketika silaturahmi ataupun via telepon. Sebagian
via Short Message Service (SMS), sebagian kecil via Facebook, sementara
untuk rekan-rekan kantor saya gunakan fasilitas e-mail. Tentu tanpa
mengurangi rasa hormat kami.

Syukur saya panjatkan kepada Allah SWT istri memudahkan saya dalam
mahar. "Semoga ini pertanda ia adalah calon istri soleha", bisikku
dalam hati. Begitupun dana menikah, tak ada tuntutan untuk menyediakan
dana yang dipatok dalam jumlah tertentu sebagaimana berlaku di
masyarakat kita. "Berapapun dikasih itulah rezeki kamu", demikian istri
menirukan pesan Ibunya saat membincangkan seputar mahar dan dana
pernikahan.

Alhamdulillah Ibu mertua saya bukan orang yang menjadikan pernikahan
ajang pamer sehingga dirasa wajib untuk dilakukan besar-besaran. Untuk
alasan objektif menurut saya seharusnya sikap orang tua memang
demikian. Miris rasanya menyaksikan fenomena di tengah masyarakat
dimana pihak keluarga perempuan sudah menetapkan jumlah nominal dan
barang tertentu sebagai syarat menikahi anaknya tapi menyepelekan
anjuran agama dalam memilih jodoh.

"Bulan madu" kami habiskan dirumah orang tua istri di pojok Kota
Bandung, sisanya di kontrakan istri di Bogor yang hingga sekarang jadi
tempat kami tinggal. Alhamdulillah istri selalu memahami kondisi kami
yang terbatas.

Dari hal-hal seperti itu saya berusaha mengenal istri lebih jauh.
Termasuk mencari tahu apa yang menjadi kesukaanya. Kami menjajaki
perasaan satu sama lain. Berusaha untuk saling memahami kekurangan dan
kelebihan pasangan. Dalam tempo singkat. "Kalau nikah itu harus
diterima satu paket, Gun. Baik kelebihan juga kekurangannya", begitu
nasehat seorang kawan suatu ketika.

Demi Allah Yang Maha Pengasih lagi Penyayang sungguh indah pacaran
setelah menikah. Perhatian yang dilandasi keinginan untuk memenuhi
kewajiban dan menunaikan hak satu sama lain sangat boleh jadi
menumbuhkan perasaan kami. Siapa yang tak luluh hatinya kalau antara
suami dan istri berusaha saling memuliakan satu sama lain ?

Kadang kami bertanya-tanya dan bingung sendiri apa enaknya ya
pacaran sebelum menikah ? Semua yang dilakukan kebanyakan jatuhnya
haram bin dosa. Berbeda dengan yang menikah dulu baru pacaran, segala
bentuk kemesraan dengan istri digolongkan Allah sebagai pahala. Bahkan
hubungan suami istri dihitung sedekah.

Yang (masih) meragukan munculnya rasa saling menghargai,
menghormati, menyayangi dan mencintai dari mereka yang menikah lewat
jalur ta'aruf harus membuang jauh-jauh anggapan mereka. Justru yang
terjadi fenomena kawin-cerai terus meningkat dari mereka yang memilih
pacaran sebelum menikah. Baik karena hadirnya orang ketiga atau dalih
prinsip yang tak lagi sama. Saya belum dengar tuh' kasus-kasus kawin
cerai dari mereka-mereka yang memilih jalur ta'aruf untuk menikah.

"Terima kasih Ya Rabb, kau telah menakdirkan hamba untuk menikah melalui proses ta'aruf".

Hari-hari kebersamaan kami hanya berlangsung kurang lebih dua pekan.
Singkat. Padahal saat itu kami mulai belajar memaknai benih-benih
perasaan yang mulai tumbuh. Saya harus kembali ke Medan. Meski hati
kecil berharap untuk bisa ditempatkan di Jakarta, tapi kantor meminta
saya untuk kembali ke Medan. Praktis, saat di Medan komunikasi kami
berlangsung via telepon seluler. Setidaknya bisa memupus rasa rindu
kami.

Alhamdulillah beberapa hari menjelang hari raya Idul Fitri 1430
Hijriyah yang jatuh tanggal 20 September 2009, saya dan teman-teman
karyawan muslim yang ditempatkan di luar kota, termasuk Medan,
diberikan jatah tiket pesawat kembali Jakarta. Ketika itu saya dapat
tiket pesawat diatas jam 19.00 WIB. Kira-kira menjelang tengah malam
baru sampai Bogor. Itulah pertemuan keempat dengan istri
saya. Sekaligus pertemuan terakhir di tahun 2009. Karena tepat tanggal
30 September 2009 saya kembali ke Medan, meski saya sempat melontarkan
permintaan kepada atasan saya untuk dipindahtugaskan ke
Jakarta.Ternyata takdir menetapkan kami untuk kembali berjauhan.

"Mungkin ini ujian", pikir saya. Allah SWT pasti sudah menakar baik-baik kemampuan seorang hamba dalam menerima ujian.

Setelah berdiskusi dengan istri dan sejumlah pertimbangan saya
putuskan untuk mulai mencari info pekerjaan di wilayah Jabodetabek atau
Bandung. Meski belum tampak hasilnya.

Praktis, terhitung dari terakhir kembali ke Medan, sudah tiga bulan
lebih beberapa hari saya berjauhan dengan istri. Mungkin ini cara Allah
mendidik kami agar benih-benih perasaan kami terus tumbuh. "Kalau
berdekatan boleh jadi tidak seperti ini suasana kebatinannnya", begitu
kami bersepakat dalam hal ini seraya berusaha untuk positif menyikapi
kenyataan.

***
Beberapa hari lagi, Insya Allah, untuk kali kelima saya bertemu
istri. Tak sabar rasanya menunggu detik pertemuan itu. Kangen dengan
keripik jamur olahannya, momen dimana kami mendiskusikan buku-buku yang
kami baca, sendau gurau tentang "suami penggangu" yang membuat senyum
dan tawa muncul bergantian.

Seumpama pohon, benih-benih perasaan ini mulai berurat dan berakar. Daun-daunnya malah sudah mulai tumbuh agak lebat.

Semoga Allah SWT tetap menjaga hati dan perasaan kami untuk saling
mencintai dalam bingkai ridho Illahi. Semoga Allah SWT membimbing kami
untuk mewujudkan keluarga sakinah, mawaddah, wa rahmah. Keluarga yang
penuh cinta karena Allah SWT. Mohon doanya ...

Medan, 2 - 3 Januari 2010
email : politikolog_82@yahoo.com

======sumber:eramuslim.com
Jadikanlah Sabar dan Shalat Sebagai Penolongmu. Dan Sesungguhnya Yang Demikian itu Sungguh Berat, Kecuali Bagi Orang-Orang yang Khusyu [ Al Baqarah : 45 ]

[Non-text portions of this message have been removed]

__._,_.___
====================================================
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
       website:  http://dtjakarta.or.id/
====================================================
.

__,_._,___

Tidak ada komentar: