Akhir tahun lalu dan awal tahun ini (sec Hijri dan Masehi) lebih dari sekali
(artinya banyak) sms masuk ke hp saya mengabarkan tentang perda injil
Manokwari dan Manokwari Kota Injil. Berikut ini saya dapati sebuah ulasan di
sebuah situs kristiani yang mengangkat hal ini. Mari baca bersama. Semoga
menambah masukan dari sudut pandang 'insider'.
salam,
Satriyo
--
Sesungguhnya, hanya dengan mengingat Allah, hati akan tenang.
now surely by Allah's remembrance are the hearts set at rest.
N'est-ce point par l'évocation d'Allah que se tranquillisent les coeurs.
im Gedenken Allahs ist's, daß Herzen Trost finden können.
>> al-Ra'd [13]: 28
http://www.in-christ.net/blog/teologi/perda_manokwari_kota_injil
Perda Manokwari Kota Injil
Rab, 21/05/2008 - 16:53 — Binsar Antoni
H...<http://www.in-christ.net/user/binsar_antoni_hutabarat>
Topic Blog: Teologi dan
Alkitab<http://www.in-christ.net/topic-blog/teologi-dan-alkitab>
Keywords
Blog: Kota Injil <http://www.in-christ.net/taxonomy/term/477>,
Manokwari<http://www.in-christ.net/taxonomy/term/478>,
Papua <http://www.in-christ.net/taxonomy/term/479> Komunitas Umum:
Teologi<http://www.in-christ.net/komunitas_umum/teologi>
*Kontroversi Perihal Perda Manokwari Kota Injil*
*I. Pendahuluan*
Kabar akan diberlakukannya perda bernuansa Kristen di Manokwari, Papua Barat
menimbulkan kontroversi, baik dalam kalangan Kristen itu sendiri, maupun
juga dari umat Islam yang secara langsung merasa terdiskriminasikan, bahkan
PGI dan KWI telah jauh-jauh hari menyatakan penolakannya. Menurut
berita-berita di media massa, draft perda kota Injil yang telah beredar,
tanpa diketahui siapa yang menyebarkannya secara langsung isinya terindikasi
ada yang membelenggu kebebasan beragama, khususnya kaum muslim.
Meski Raperda kota Injil itu sendiri sesungguhnya belum ada, namun telah
direspons dengan amat kuat lantaran isi draft yang beredar itu jika kemudian
dijadikan perda dikhawatirkan akan berisi nilai-nilai yang bersifat
diskriminatif. Apalagi draft usulan itu telah beredar luas tanpa diketahui
siapa yang menyebarkannya, serta tanpa penjelasan yang utuh, maka tidaklah
mengherankan komentar yang hadirpun sangat beragam, karena umumnya lebih
didasarkan pada asumsi, bukan fakta, dan tampaknya telah menimbulkan dampak
negative berupa polarisasi agama, baik dari penggagas, maupun mereka yang
menentangnya.
Reaksi yang begitu riuh sekitar perda kota injil itu tampaknya mendapatkan
tempatnya ditengah maraknya perda bernuansa agama yang dihadirkan dibeberapa
daerah di Indonesia. Meski kehadiran perda-perda bernuansa agama (perda
syariah) itu diklaim terlahir secara demokratis, tetap saja penetapan perda
bernuansa agama itu telah mendiskriminasikan agama-agama lain, bahkan meski
pembahasannya telah menuai protes, perda bernuansa agama itu dengan dukungan
mayoritas masyarakat setempat tetap saja diberlakukan, setidaknya itu telah
ditetapkan di 26 daerah di Indonesia.
Kekhawatiran mereka yang tidak setuju untuk ditetapkannya perda kota Injil
tidaklah mengherankan. Respons penolakan terhadap pemberlakuan perda
Manokwari Kota Injil itu lebih bergemuruh dibandingkan yang mendukungnya,
khususnya dari luar Papua, namun, sebagaimana keberhasilan ditetapkannya
perda-perda bernuansa agama meski mendapatkan penolakan dari berbagai pihak,
demikian juga dikuatirkan, perda Manokwari Kota Injil yang dianggap perda
bernuansa agama Kristen itu akan mengalami keberhasilan sebagaimana
perda-perda bernuansa agama Islam.
Memang draf awal yang beredar adalah perda pembinaan mental dan spiritual
yang digagas oleh komunitas Kristen, karena penggagasanya adalah umat
Kristen, dalam hal ini gereja pada khususnya, maka tidaklah mengherankan
jika perda itu dianggap sebagi perda agama Kristen, meski belum tentu
merupakan aspirasi semua umat Kristen. Namun, bukan mustahil perda itu akan
mendapatkan dukungan dari umat Kristen Papua sebagai agama mayoritas, meski
penolakan terhadap perda itu cukup kuat, khususnya yang berasal dari luar
Manokwari, Papua Barat, tapi dengan adanya otonomi khusus untuk Papua,
apalagi 20 orang anggota DPRD kabupaten dari jumlah 25 anggota DPRD
kabupatennya adalah umat Kristen, bisa saja timbul anggapan, wakil-wakil
umat Kristen yang mayoritas itu tentulah akan berusaha untuk menyetujui
usulan perda itu.
Melihat kontroversi yang begitu kuat sekitar perda Injil itu, apalagi
pembahasannyapun belum dilakukan, maka Reformed Center for Religion and
Society merasa perlu untuk memberikan kontribusinya untuk mengetahui lebih
jelas dengan hadir di kota Manokwari untuk mewawancarai sumber-sumber yang
dianggap berkompeten untul hal itu, dan kemudian mencoba memberikan solusi
yang bermanfaat.
Informasi yang hendak di dapat dalam wawancara serta survey melalui angket
antara lain, untuk apakah usulan perda itu dibuat, dan permasalahan apakah
yang coba dipecahkan? Apakah pemberlakuan perda itu memang suatu kebutuhan,
dan siapakah yang menggagasnya? Kemudian bagaimana merancangnya dan apakah
itu efektif, jika memang mesti dilakukan dan bagaimana menghadirkan perda
yang tidak diskriminatif.
Penelitian ini juga berusaha untuk mengkaji, apakah usulan perda kota Injil
terindikasi telah menciptakan polarisasi agama, baik antar agama maupun
intra agama, dan apakah polarisasi agama itu makin kuat setelah beredarnya
draft usulan perda itu, ataukah kehadiran perda Manokwari kota Injil
merupakan usaha agama untuk memberikan kontribusinya dalam kehidupan public,
dan apakah ada dampak negative peran public agama, dan jika ada, mengapa itu
bisa terjadi.
Polarisasi agama di Manokwari jika terjadi, tentunya sangat berbahaya, dan
akan menutup dialog antar agama, dan dapat mengarah pada konflik antar
agama. Penelitian ini juga akan berusaha melihat hal positif dan negative
yang mungkin ada dari usulan perda tersebut, untuk kemudian memberikan
pemikiran-pemikiran berupa solusi yang bermanfaat.
*II. Manokwari Selayang Pandang.*
Manokwari adalah ibu kota provinsi Papua Barat (sebelumnya Irian Jaya
Barat), merupakan pemekaran dari provinsi Papua (Irian Jaya). Nama Irian
adalah pemberian dari Soekarno, meski sesungguhnya orang Papua tidak
menyenangi sebutan itu.
Nama Irian Jaya Barat ditetapkan oleh undang-undang nomor 45 tahun 1999,
kemudian berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2007 tanggal 18
April 2007, Nama Provinsi Irian Jaya Barat itu dirubah menjadi Papua Barat.
Kini di Papua telah terbentuk dua Provinsi, yaitu Provinsi Papua dan
Provinsi Papua Barat. Saat ini juga sedang digagas untuk pemekaran wilayah
lagi dengan tambahan provinsi Papua Selatan. Pemekaran wilayah itu sendiri
menimbulkan pro kontra, apalgi gagasan awalnya berasal dari pusat bukan
berasa dari daerah Papua itu sendiri yang dimulai dari dewan adat Papua.
Meski kehadiran provinsai Papua Barat menimbulkan kontroversi, namun,
akhirnya berhasil mencapai kesepakatan, meski pada umumnya orang Papua tak
ingin terpisah menjadi beberapa provinsi, karena mereka merasa satu, yaitu
Provinsi Papua.
Wilayah Provisni Papua Barat meliputi kawasan kepala burung pulau Papua adan
kepulauan-kepulauan di sekelilingnya. Di sebelah utara, provinsi Papua Barat
oleh Samudra pasifik, bagian barat berbatasn dengan Provinsi Maluku Utara
dan Provinsi Maluku, sedang dibagian timurnya dibatasi oleh Teluk
Cendrawasih, bagian selatan dengan laut Seram dan tenggara berbatasn dengan
Provinsu Papua.
Meski Provnsi Papua Barat telah menjadi provinsi sendiri, Provinsi ini tetap
mendapat perlakuan khusus seperti juga provinsi induknya, yaitu Papua. Pada
tanggal 5 Aprl 2004, provinsi ini juga telah mempunyai KPUD yang telah
berhasil menyelenggarakanpemilu untuk pertama kalinya.
Papua Barat merupakan daearah yang memiliki potensi luar biasa, baik
kesuburan alamnya, kandungan barang-barang tanbang, hasil hutan maupun
keindahan alamnya sebagai temapat pariwisata. Belum lagi hasil laut seperti
mutiara dan rumput laut. Papua Barat juga telah memiliki industri
tradisional tenun ikatkain Timor yang dihasilkan di Sorong. Papua Barat
sendiri terbagi atas 9 Kabupaten dan Kota, yitu : Kabupaten Fak-Fak,
Kaimana, Manokwari, Raja Ampat, Sorong, Sorong Selatan, Teluk Bintuni, Teluk
Wondama, Kota Sorong. Sedang Manokwari sebagai ibu kota Provinsi terbagi
atas 12 kecamatan dan 132 desa.
Kabupaten Manokwari biasa disebut sebagai kota buah-buahan, karena kesuburan
tanahnya yang menghasilkan berbagai jenis tumbuh-tumbuhan. Penduduk Asli
Manokwari terdiri dari beberapa suku, yaitu Sough, Karon, Hatam, Meyeh dan
Wamesa, suku-suku itu memiliki budaya yang berbeda satu sama lain.
Manokwari dibatasi oleh Samudra pasifik di sebelah utara, Kabupaten nabire
dan Kabupaten Panial di sebelah Selatan, Kabupaten Biak Numfor di sebelah
Timur dan sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Sorong. Topografi
Manokwari umumnya adalah daerah berbukit dan dataran tinggi, atau sekitar
80% dari luas wilayahnya. Manokwari tergolong daerah beriklim basah, curah
hujan disana cukup tinggi, rata-rata 2688 mm per tahun, hutan rata-rata 123
hari pertahun. Suhu anatara 26 derajat selsiussamapi 32 derajat Celsius dan
kelembaban rat-rat 84,7 % dan intesitas matahari 54,3 %
*III. Kota Buah menjadi kota Injil*
Sebutan Manokwari Kota Injil bukanlah sesuatu yang baru, karena sebutan itu
terkait dengan peristiwa historis masuknya Injil ke tanah Papua, hanya saja,
sebutan itu baru diangkat setelah adanya otonomi khusus. Pergantian nama
Manokwari sebagai kota buah-buahan yang kini menjadi Kota Injil itu juga
terkait usaha pencarian kekhususan Papua yang dilakukan oleh masyarakat
Kristen Papua, dengan mengangkat kembali peristiwa sejarah yang mengawali
peradaban baru di Papua yang merupakan buah dari penerimaan Injil oleh
masyarakat Papua.
Sejarah melaporkan bahwa dua orang missionari Jerman, pada tanggal 5
Februari 1855, bernama Johann Gottlob Geissler dan Carl Wilhelm Ottow ketika
pertama kalinya menjejakan kaki di pulau Mansinam, pulau yang berada di
Kabupaten Manokwari, mengucapkan kata-kata penting yang sampai saat ini
dipegang oleh masyarakat Kristen Papua, yang mengatakan, "Dengan nama Tuhan
kami menginjak tanah ini." Pernyataan dua missionari yang digelari "Rasul
Papua" itu oleh masyarakat Kristen Papua dipercaya sebagai suatu penetapan
Tuhan untuk Papua, yaitu sebagai kota Injil, sehingga tidaklah mengherankan
jika kemudian komunitas Kristen Papua yang adalah mayoritas itu sepakat
untuk mengubah nama Manokwari yang awalnya adalah kota buah-buahan menjadi
kota Injil, dan itu dianggap sebagai realitas histories dari daerah
manokwari.
Keinginan agar julukan kota Injil itu ditetapkan untuk Manokwari
sesungguhnya bukan semata-mata terkait usaha untuk mengingatkan masyarakat
akan keberadaan Manokwari sebagai gerbang masuknya Injil ke tanah Papua,
sebagimana diungkapkan beberapa tokoh agama di Manokwari, karena ada
diantara mereka yang berpendapat bahwa itu adalah usaha melestarikan
nilai-nilai Injil yang terbukti telah mengangkat kehormatan masyarakat
Papua, dan secara bersamaan merupakan aspirasi masyarakat Papua untuk
mendapatkan harapan baru dari ketertinggalan mereka disbanding daerah-daerah
lainnya di Indonesia. Meski kekayaan sumber alam Papua 2 kali ;ebih banyak
dibandingka kekayaan seluruh pulau-pulau di Indonesia.
Mereka berharap, Injil yang telah merubah kehidupan masyarakat Papua yang
berada dalam kegelapan, hidup dalam kecurigaan, kebencian, saling memangsa
sesamanya (mengayau), dan oleh injil itu mereka telah diperdamaikan. Maka
mereka juga berharap penetapan Manokwari kota Injil akan menyadarkan
masyarakat untuk berjuang mengatasi ketertimggalan mereka. Kekayaan alam
yang melimpah ruah di Papua ternyata tidak berdampak banyak bagi kemajuan
masyarakat Papua, karena itu harapan mereka kini berbalik pada Injil yang
telah mengakat martabat masyarkat Pappua, sehingga seorang tokoh perempuan
Papua mengatakan, itu adalah hak-hak dasar masyarakat Papua. Penetapan
Manokwari kota Injil diharapkan akan menuntut penduduk kota Manokwari
menjaga kelestarian nilai-nilai Injil yang mulai itu dengan hidup sesuai
dengan kebenaran Injil.
*IV. Lahirnya Raperda Kota Injil*
Usaha untuk memberikan julukan Manokwari sebagai Kota Injil itu sesungguhnya
mendapatkan momentumnya setelah aksi demo terhadap pembangunan Mesjid Raya,
dengan Islamic Centernya, menurut Pdt. Dimara, Gembala Sidang GKI Elim
Koali, Gereja kedua yang dibangun setelah Gereja GKI di pulau Mansinam, luas
tanah yang diperuntukan bagi pembangunan Mesjid Raya itu 1 hektare, apalagi
posisinya yang sangat strategis, dekat lapangan Udara manokwari, setiap
orang yang akan memasuki kota Manokwari tentunya akan melihat mesjid raya
yang besar itu, jika jadi dibangun. Kehadiran Mesjid raya itu juga akan
melampaui besarnya gereja-gereja Kristen yang adalah agama mayoritas di
Manokwari, itu tentu saja menimbulkan perasaan terpinggirkan dari masyarakat
Kristen yang adalah mayoritas, hal yang sama juga dikatakan oleh Pdt. Albert
Yoku, wakil Sekretaris Sinode GKI, yang berdomisili di Sentani, Jayapura.
Menurutnya, persiapan untuk membangun mesjid raya dan Islamic Center itu
sudah dikerjakan sejak 2003-2004, itu mengherankan, karena umat muslim tahu,
di Kota Manokwari, setiap tahun ada perayaan besar agama Kristen yang
dirayakan pada tanggal 5 Februari, hari perayaan masuknya Injil ke tanah
Papua dan dipusatkan di pulan Mansinam, dan perayaan itu dirayakan oleh
semua orang Kristen Papua, dan mereka biasanya, dari berbagai daerah di
Papua tumpah ruah di pulau Mansinam, dan pemerintah juga ikut terlibat
memberikan bantuan dalam penyelenggaraan acara akbar itu.
Pendirian mesjid raya oleh umat Kristen, bermula dari GKI yang kemudian
menggandeng gereja-gereja lain, sebagai tindakan yang anti toleransi.
Sebagai penganut agama Mayoritas tindakan membangun mesjid raya adalah
pengabaian eksisitensi Kristen Manokwari, dan itu menimbulkan perasaan
terancam di kalangan umat Kristen, Kota Manokwari yang secara histories
diakui sebagi kota Injil, dan ditempat itu setiap tahun dirayakan masuknya
Injil di Papua, ingin dirubah menjadi kota berbasis muslim, setidaknya
dengan cara menghadirkan Mesjid Raya itu, Apalagi pertambahan masyarakat
Muslim di Papua cukup signifikan, dan pertain-partai Islam di Papua pada
pemilu 2004 telah mengklaim bahwa umat Muslim di Papua sekitar 40% dan terus
mengalami pertambahan. Keberhasilan perkembangan agama Islam di Papua itu
dianggap melahirkan hegemoni Islam dengan pembangunan rumah ibadahnya yang
besar meski tempat-tempat ibadah Islam telah mencukupi.
Kemudahan yang selama ini diberikan kepada umat Muslim ternyata tidak
demikian yang dialami oleh umat Kristen di daerah-daerah lainnya, apalagi
laporan jumlah gereja yang terbakar atau dirusak juga dilaporkan dalam
demonstrasi Mesjid Raya. Gema Indonesia sebagai negara dimana pembakaran
rumah ibadah, khususnya gereja yang terbanyak di dunia tentu saja
menimbulkan perasaan terancam umat Kristen Papua yang terkenal amat toleran,
belum lagi pendatang yang umumnya beragama Islam umumnya lebih kaya
dibandingkan masyarakat Papua sendiri dn itulah yang kemudian melahirkan
aksi demo masyarakat Kristen yang pada intinya berisi penolakan terhadap
pembangunan mesjid raya itu.
Usaha menghadirkan mesjid raya yang besar, bahkan ada yang mengatakan akan
menjadi Islamic center yang terbesar di Asia Tenggara, segera saja itu
menimbulkan protes masyarakat Gereja, apalagi memang ada selebaran yang
mencoba memancing di air keruh dengan menyebarkan jumlah gereja-geraja yang
dirusak, dibakar di luar Papua, khususnya di pulau Jawa untuk menumbuhkan
rasa sentimen keagamaan, tapi menurut beberapa peserta, alasan utamanya
adalah mereka tidak setuju jika agama minoritas di Manokwari, dalam hal ini
Islam, membangun tempat ibadah yang amat megah, melampaui kemegahan
gereja-gereja yang ada, apalagi tempat-tempat ibadah yang tersedia masih
mencukupi untuk digunakan.
Pada tanggal 17 November 2005, ada kira-kira 5000 orang lebih pendemo yang
memprotes pembangunan mensjid raya tersebut, ribuan massa yang terdiri dari
mahasiswa Kristen, warga Gereja dan pemimpin-pemimpin gereja yang berasal
dari 30 denominasi gereja, berdemonstrasi ke kantor DPRD Provinsi Papua
Barat, sebelumnya mereka berkumpul di Gereja dekat kompleks DPRD, GKI
Maranatha, kemudian dengan berjalan kaki mereka tumpah ruah di gedung DPRD
kabupaten Manokwari. Demonstran itu diterima oleh Ketua DPRD Provinsi Papua
Barat yang didampingi Bupati Manokwari, Kapolres dan Dandim setempat. Pada
waktu itu juga para pendemo mendesak membentuk Perda Manokwari kota Injil,
namun tetap setuju dengan mengikut sertakan kelompok agama-agama lain, agar
ada saling pengertian dan rasa saling bertoleransi, serta memiliki persepsi
yang sama mengenai Manokwari sebagai kota injil. Mereka juga berharap,
pembangunan tempat-tempat ibadah mesti memperhatikan keberadan Manokwari
sebagai kota injil, sehingga peristiwa pembangunan mesjid raya yang
menimbulkan rasa terancam umat Kristen itu tidak akan terulang lagi, hal itu
dapat dimengerti karena bisa jadi usaha untuk kembali membangun mesjid raya
itu akan terus dilakukan dengan menempuh berbagai macam cara. Sejak aksi
demo itu wacana Manokwari kota Injil mulai sering diperdengarkan dalam
pidato-pidato tokoh-tokoh agama di Papua.
Menurut Yulio yang adalah koordinator pemuda Gereja Kristen Injili (GKI) di
tanah Papua, yang juga menjadi koordinator lapangan aksi demo menjelaskan,
Aksi demo itu berlangsung secara damai, tanpa ada pengrusakan apapun, ini
adalah bukti bahwa masyarakat Kristen Papua yang berada di Papua tanah
damai, tidak berniat untuk membelenggu kebebasan beribadah kaum Muslim,
sebagaimana dilakukan beberapa komunitas umat muslim yang telah merusak dan
membakar gereja, bahkan telah mengakibatkan korban nyawa manusia, seperti di
Situbondo misalnya, yang hampir saja menyulut kemarahan masyarakat Kristen
Papua, tapi itu tak terjadi karena tokoh-tokoh agama yang memang disegani
masyarakat dengan segera menenangkannya. Ia juga menjelaskan, jumlah mesjid
yang kini ada di Papua cukup untuk menampung kaum Muslim beribadah, jadi
untuk apa lagi membangun mesjid raya yang besar itu, bukankah itu tanda
tidak ada lagi penghargaan terhadap umat Kristen yang adalah mayoritas.
Demo damai itu memang hampir saja menyulut kemarahan massa pendemo karena
adanya komunikasi yang tidak lancar, tapi bukan benturan antar agama.
Penurunan spanduk yang dibawa pendemo yang bertuliskan penolakan pembangunan
mesjid raya oleh departemen agama sempat direspons negative, yaitu sebagai
penolakan terhadap aspirasi massa pendemo, namun, setelah ada klarifikasi
bahwa penurunan spanduk mesti dilakukan karena sesungguhnya pemerintah telah
mendengar tuntutan pendemo, maka salah paham itu pun reda dan tidak
melahirkan konflik. Itu adalah bukti bahwa masyarakat Papua hidup dengan
toleransi yang tinggi, dan di tanah Papua, Manokwari tidak pernah ada
perusakan atau pembakaran tempat ibadah agama apapun, fakta itu diakui oleh
tokoh-tokoh agama Kristen di Papua dan juga pejabat setempat.
Sikap toleransi maasyarakat Papua yang tinggi itu juga terbukti dengan
diijinkannya masyarakat muslim di Manokwari melakukan sembahyah Ied pada
perayaan Idul Fitri di 4 lapangan Bola yang terdapat di Manokwari. Massa
yang membanjiri lapangan-lapangan bola itu dapat melaksanakan ibadahnya
dengan baik, tanpa gangguan berarti, suasana tenang dan damai menyelemuti
perayaan hari raya Idul Fitri tanggal 13 Oktober 2007. Spanduk-spanduk
ucapan selamat hari raya menghiasai kota Manokwari, dan itu berasal dari
komunitas yang amat beragam.
Selang beberapa bulan kemudian setelah aksi demo mesjid raya, dalam usaha
untuk mengukuhkan keberadaan Manokwari kota Injil, dihadirkanlah perda
larangan minum minuman keras pada bulan Desember 2006. Perda itu diakui
sebagai nilai-nilai Injil, meski juga diterima oleh umat beragama lain,
karena memang nilai-nilai itu bersifat universal. Perda itu diakui berasal
dari nilai-nilai Injil karena penggagasnya adalah komunitas Kristen, dalam
hal ini gereja-geraja.
Dalam suatu seminar tentang perda Miras 98% peserta yang mewakili gereja,
agama, pemuda, komponen wanita mengangkat tangan untuk menunjukan
persetujuannya, beberapa orang yang tidak setuju menurut Amos wakil ketua
DPRD Kabupaten, dan Yulio koordinator pemuda GKI umumnya adalah para
distributor Miras.Usulan itu kemudian juga diterima oleh pemda dan
mendapatkan persetujuan DPRD Kabupaten, keberhasilan penerapan perda
larangan minuman keras itu kemudian dicontoh oleh daerah-daerah lainnya di
Papua.
Memang dalam penetapan larangan Miras itu, minuman keras yang telah ada,
terlanjur dibeli pedagang sebelum penetapan perda, masih diijinkan untuk
dijual sampai habis, dan baru kemudian tidak boleh lagi di pasok untuk
kemudian dijual kembali. Pemerintah juga diminta memikirkan mata pencaharian
pengganti untuk mereka yang menjadi penjual minum-minuman keras, agar tidak
menambah jumlah pengangguran yang akan berakibat pada tindakan-tindakan
kriminal.
Kelahiran perda larangan minuman keras itu ternyata cukup efektif untuk
menjaga keindahan kota Manokwari sebagai kota Injil, setelah penetapan perda
itu, Manokwari bukan hanya bebas dari para pemabuk pada siang hari, tapi
juga pada malam hari. Perda ini dianggap sebagai nilai-nilai Injil yang
universal dan dapat diterima oleh semua, atau agama apapun. Perda Miras yang
juga di motori oleh pemimpin-pemimpin agama Kristen itu menumbuhkan suatu
keyakinan bahwa usaha menghadirkan perda kota injil tentu bukanlah sesuatu
yang diskriminatif, karena nilai-nilai Injil yang universal itu pastilah
diterima oleh semua agama yang ada di Papua, khususnya Manokwari, apalagi
itu bukanlah perda agama, sebagaimana draf awalnya berjudul Perda Pembinaan
Mental dan Spiritual.
Pada tanggal 1-2 Februari 2007, dalam rangka memperingati 152 tahun masuknya
Injil di Papua, diadakanlah seminar dan lokakarya atas kerja sama Pemda
Manokwari, Universitas Cendrawasih (UNCEN), STT-GKI dan Universitas Papua
(UNIPA), yang dihadiri oleh tokoh-tokoh Gereja dari berbagai denominasi,
tokoh perempuan dan pemuda, bertempat di Gereja Kristen Injili Elim Kuali.
Pada akhir seminar itu diajukanlah usulan perda Manokwari Kota Injil, yang
pada awalnya diberi nama "Raperda Pembinaan Mental dan Spiritual". Usulan
tersebut kemudian dituangkan dalam format yang berbentuk perda, dan kemudian
menyebar tidak diketahui siapa yang menyebarkannya, apalagi kemudian berita
itu menjadi laporan utama di majalah, Koran, internet bahkan sms-sms.
Manokwari yang terletak jauh di ujung Timur itu kini menjadi buah bibir
bukan hanya di Indonesia, tetapi juga di luar negeri, karena radio Nederland
juga pernah mewawancarai tokoh-tokoh Masayarakat Papua, serta seorang
pengurus radio swasta di Papua. Meski itu baru wacana menurut pengakuan
beberapa orang, dan tidak popular di Manokwari, tetapi sebaran informasinya
bergerak dengan amat cepatnya kemana-mana, bahkan tidak sedikit yang beraksi
keras dan melakukan demo penolakan, meski terkadang informasi yang diterima
tidak jelas, karena memang itu baru berupa usulan.
*V. Perda Kota Injil dan persoalan diskriminasi*
Tampaknya dengan maraknya perda-perda bernuansa agama yang terbukti
diskriminatif, reaksi penolakan terhadap usulan itu menjadi begitu kuat.
Pada tingkat kabupaten, usulan itu dianggap akan disetujui karena 20 orang
dari 25 anggota DPRD kabupaten adalah umat Kristiani. Namun, Pejabat di
Manokwari, juga tokoh-tokoh agama disana berkomentar, kami tidak mengerti
mengapa itu menjadi berita besar, sedang kami di Manokwari tenang-tenang
saja. Wakil ketua DPRD kabupaten, Amos, menjelaskan, "memang saya pernah di
wawancarai Koran ibu kota, namun setelah saya melihat isi beritanya, sama
sekali berbeda dengan apa yang saya katakan. Demikian juga dengan komentar
MUI Papua, komentarnya sesungguhnya tidak didasarkan pada pengertian yang
benar, karena kami belum pernah melakukan dialog, jelas terjadi salah
pengertian, apalagi sesungguhnya perda kota injil itu sendiri belum ada dan
masih berupa usulan dalam hal ini berasal dari komunitas Kristen.
draft berupa usulan pemimpin-pemimpin gereja itu, khususnya Gereja Kristen
Injili di tanah Papua, sebagai pelopor utama yang juga kemudian mengikut
sertakan gereja-geraja lainnya, ternyata memiliki pasal-pasal yang dianggap
diskriminatif. Kenyataan adanya pasal-pasal yang diskriminatif tersebut
diakui dengan jujur baik oleh tokoh-tokoh agama di Papua yang telah membaca
isi draf tersebut, khususnya Badan Kerja sama Gereja (BKSG), juga pejabat di
kabupaten Manokwari, namun mereka tetap bersikukuh itu bukanlah perda, tapi
masih merupakan usulan masyarakat Kristen Papua, khususnya GKI, dan itu
wajar saja, apalagi itu harus melewati pembahasan bersama, dan tentu saja
nilai-nilai yang bersifat diskriminatif terhadap agama-agama lain tidak akan
disetujui dalam arti akan mengalami revisi.
Secara tegas Sekretaris Daerah (Sekda) Manokwari mengatakan, "Perda
Manokwari Kota Injil belum pernah ada!" yang ada hanyalah usulan dari
masyarakat Kristen, usulan tersebut telah kami terima, namun itu mesti
melewati team legislasi, untuk kemudian disusun dalam bentuk perda, dan
dalam proses penyusunan itu bisa saja bagian-bagian yang dianggap
diskriminatif itu dihilangkan, apalagi usulan itu dihadirkan sebagai respons
terhadap pidato-pidato tentang Manokwari Kota Injil, ada pertanyaan, jika
Manokwari Kota Injil, isinya apa, dan usulan yang dituangkan dalam bentuk
format perda itu adalah usulan dari isi Manokwari Kota Injil.
Hal itu juga ditegaskan kabag hukum Manokwari, menurutnya Perda Manokwari
Kota Injil, yang usulan awalnya adalah Perda pembinaan Mental dan Spiritual
itu bukan perda agama, karena tidak mungkin menyamakan nilai-nilai Injil
yang adalah perintah Tuhan, dengan perda yang adalah buatan manusia, itu
justru akan mereduksi nilai Injil itu sendiri. Jadi kami menampung usulan
itu dan akan disusun oleh team legislasi dalam bentuk bentuk format raperda
untuk kemudian diadakan pembahasan, dan kemungkinan pembahasan itu akan
dilaksanakan bulan januari 2008. Ia juga mengatakan, dalam raperda yang akan
dibahas itu tentunya tidak akan ada nilai-nilai yang bersifat diskriminatif,
tetapi pastilah akan berisi nilai-nilai yang universal yang dapat diterima
oleh semua.
Sekda Manokwari juga mengatakan, bahwa pemerintah daerah sendiri masih
menunggu perdasus yang akan memayungi usulan itu, karena Majelis rakyat
Papua pernah membuat ketetapan bahwa Manokwari daerah berbasis religius
Kristen, Fak-fak, Muslim, dan Merauke berbasis agama katolik, jadi jelas
tidak ada diskriminasi disana, itu justru untuk menjaga kedamaian antar umat
beragama di Papua yang sejak lama terjaga dengan baik, dan dengan makin
terbukanya Manokwari sebagai konsekwensi menjadi ibu kota provinsi,
membanjirnya pendatang ke Manokwari tentu saja tak dapat dihindari, dan
untuk itu perlu aturan untuk tetap menjaga keindahan manokwari. Namun,
menurut Kabag Hukum Manokwari, usulan dari komunitas Kristen itu baik, hanya
saja tentu tidak boleh mengatur hal-hal yang berkenaan dengan umat beragama
lain. Memang ciri khas kota Injil dengan keceraiannya perlu ada. Meski ia
juga mengatakan telah berkonsultasi dengan depdagri, bahwa yang bisa
mengatur perda agama itu hanya Aceh, sedang Papua mesti berdasarkan budaya,
usualan itu juga sudah mendapat kajian apakah bertentangan dengan HAM atau
tidak. Ia juga mengatakan, pusat memang telah menyatakan penolakannya, tapi
mereka belum melihat. Ia juga mengakui dalam draft usulan itu ada
point-point yang bersifat diskriminatif, tapi itu akan dihilangkan.
Menurut Pdt Sherley, dalam semiloka yang menggagas usulan perda kota Injil
itu umat Kristen yang hadir menyetujuinya, jadi kami rindu membuat suatu
perda yang akan membuat masyarakat Manokwari hidup yang menjadikan ciri
Manokwari sebagi kota Injil. Indonesia bukan negara Islam, jika di Aceh
diijinkan ditetapkan perda syariah, maka mengapa kami tidak boleh menetapkan
perda kota Injil, lagi pula perda koyta Injil berbeda dengan perda syariah
yang diskriminatif, sedang perda kota injil tidak bersifat diskriminatif,
Kehadiran perda itu memang diharapakan khususnya oleh masyarakat Kristen
Papua, meski itu pun masih menjadi polemik dalam gereja-geraja, tapi pada
prinsipnya mereka sepakat, jika usulan itu akan dijadikan perda perlu ada
dialog dengan semua kelompok agama yang ada di Papua, dan mesti mendengarkan
masukan dari komunitas agama-agama lainnya.
Menurut Pendeta Bastian sanbalai, salah seorang pembicara dalam semi loka
dan yang juga memberikan kontribusi usulan untuk pembuatan perda pembinaan
mental dan spiritual itu, aturan yang akan ditetapkan dalam perda itu adalah
nilai-nilai yang universal, sebagaimana Injil itu berisi nilai-nilai
universal itulah yang kami usulkan, jika kemudian ada usulan-usulan yang
tampak berisi nilai-nilai yang diskriminatif itu bisa saja didialogkan,
hanya saja memang perda itu merupakan proteksi terhadap umat Kristen dari
usaha-usaha islamisasi yang gencar dilaksanakan di Papua. Misalnya saja
tentang penggunaan Jilbab, ia berkomentar, itu merupakan atribut Islam, yang
otomatis juga media penyebaran agama, kami tidak melarangnya, hanya saja
penggunaannya pada tempatnya, misalnya digunakan untuk beribadah, namun
tidak pada segala tempat, apalagi pada pegawai negeri yang telah mempunyai
seragam khusus, mengapa mesti ada perbedaan atau kekhususan? Jadi, tidak ada
larangan berjilbab dalam usulan itu, yang ada hanyalah pembatasan. Komentar
ini juga dinyatakan oleh tokoh-tokoh agama lainnya dan juga pejabat di
kabupaten Manokwari.
Selain tentang penggunaan Jilbab, yang dianggap diskriminatif dan disebarkan
secara luas tanpa melihat latar belakang usulan tersebut menurut mereka
adalah persoalan larangan kegiatan publik pada hari minggu, tokoh-tokoh
agama, menjelaskan, kehadiran kapal penumpang yang menurunkan penumpang
dalam jumlah besar pada hari minggu di kota Manokwari yang kecil itu, sangat
mengganggu ibadah Kristen, tidak jarang demi mendapatkan rupiah, anggota
jemaat, khususnya pengojek lebih memilih untuk tidak menghadiri kebaktian
minggu, ini menjadi keprihatinan tokoh-tokoh gereja, karena itu pemerintah
diminta tidak mengijinkan kapal masuk pada hari munggu, atau setidaknya
setelah jam 12 siang, setelah kebaktian Kristen usai. Hal itu juga
dinyatakan oleh anggota DPRD Propinsi, ia mengatakan, dulu kami tidak ada
yang bekerja pada hari minggu, hari itu adalah untuk beribadah, tapi kini,
hari itu tidak lagi dipedulikan, karena itu perlu aturan untuk
mengingatkannya.
Hal lain yang menimbulkan reaksi negative terhadap usulan perda itu adalah
masalah suara azan, menurut tokoh-tokoh agama disana, itu tidak perlu
dikumandangkan, karena mengganggu umat yang beragama lain, apalagi ini kota
Injil. Jadi yang kita minta adalah penghargaan keberadaan kami sebagai umat
Kristen yang mayoritas, kami tidak membelenggu kebebasan beragama, tapi
sudah semestinya umat Islam juga bertoleransi dengan mayoritas Kristen
disini.
Sedang mengenai ijin pendirian tempat ibadah, itu semua sudah diatur oleh
pemerintah, jadi wajar saja jika kita meminta mesjid pun perlu mendapatkan
ijin dari masyarakat, setidaknya harus mendapatkan ijin dari 150 anggota
masyarakat setempat. Menurut beberapa para tokoh agama Papua, itu bukan
tindakan diskriminatif, tapi kami perlu memberikan proteksi pada umat kami,
agar kehadirannya juga dihargai, dan kami tidak mencontoh Aceh yang
mengharuskan semua orang non Muslim di Aceh Berjilbab, kami hanya meminta
ada keteraturan, untuk menjaga toleransi yang telah tertanam kuat di Papua
ini terjaga dengan baik.
Wakil Ketua DPRD Papua, Amos, mengatakan, jika usulan itu berupa perda
pembinaan mental dan spiritual tentu saja saya menyetujuinya. Realitas
degradasi moral yang terjadi di Papua memerlukan penanganan yang serius,
kehadiran perda larangan minuman keras meski belum maksimal, setidaknya
telah mengubah Manokwari menjadi lebih aman, khususnya dari ancaman para
pemabuk yang sering mengganggu, baik rumah-rumah penduduk, maupun pedagang
dan pejalan kaki maupun pengendara kendaraan bermotor, karena itu demi
meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat Papua yang dulunya telah
mengalami pembaharuan oleh Injil. Maka perda itu diperlukan.
Pdt. Dimara mengatakan, dulu tempat kami ini aman, tidak ada pencuri, jika
ada barang hilang, atau tertinggal dimanpaun tidak ada orang yang akan
mengambilnya. Tapi, sekarang jika kita tidak hati-hati barang-barang kita
bisa dicuri orang, demikian juga jemuran pakaianpun bisa diambil pencuri,
ini adalah bukti kemerosotan moral yang terjadi, belum lagi dengan banyaknya
pemabuk, yang membuat mereka tidak bisa bekerja dengan baik, bahkan juga
mengganggu orang lain, itu adalah bukti telah lunturnya nilai-nilai injil di
Papua. Untuk mengembalikan nilai-nilai tersebut perlu dihadirkan suatu perda
yang akan menjadi panduan bagaimana seharusnya masyarakat Papua hidup di
Kota Injil ini.
VI. Pemasangan Plang-Plang manokwari Kota Injil
Setelah semiloka yang melahirkan usulan raperda pembinaan mental dan
spiritual itu, maka di kota Manokwari terpancang 6 plang besar yang sangat
indah yang berisi pernyataan "Manokwari Kota Injil", pada pinggir jalan
masuk kota manokwari juga terpampang tulisan "Selamat Datang Di Manokwari
Kota Injil, Tuhan Memberkati." Plang yang bertuliskan Manokwari Kota Injil
itu juga terpampang disudut-sudut jalan Manokwari, bahkan sampai
kedesa-desa, deklarasi Manokwari kota injil dengan pemasangan plangh-plang
itu menurut Agustina, seorang Rohaniwati Yayasan Persekutuan Pekabaran Injil
Indonesia (YPII), yang adalah wakil ketua Majelis perwakilan YPPII di pasang
setelah Semi loka yang mengusulkan adanya perda Manokwari Kota Injil.
Beberapa pendeta gereja di luar GKI memang mengatakan bahwa, ketika
pemasangan plangh-plang tersebut mereka tidak dilibatkan, tetapi kemudian
ketika timbul masalah, adnya penolakan, mereka kemudian dilibatkan, itu
adalah bukti bahwa perda manokwari kota Injil masih berada dalam tahapan
wacana, meski umumnya mereka juga mengakui bahwa Manokwari Kota Injil adalah
harga mati, namun jika sampai berbentuk perda beberapa tokoh agama
berpendapat perlunya berdialog dengan umat agama-agama lain, dan itu
memerlukan diskusi yang cukup panjang.
Plang-plang yang bertuliskan Manokwari Kota Injil, baik dalam bentuknya yang
amat indah, atau yang sederhana, tampak terawat dengan baik, dan menjadi
assesoris yang memperindah Kota Manokwari yang memang dianuggerahi keindahan
alamnya, dan juga kesuburan tanahnya. Itu juga berarti sebutan Manokwari
kota Injil tampaknya tidak mengagetkan masyarakat Manokwari. Muslim Papua,
sudah terbiasa mendengar sebutan manokwari kota Injil, karena memang di kota
itu setiap tahun diadakan perayaan besar menyambut masuknya Injil ditanah
Papua. Dan Pemimpin Muslim Papua sendiri telah menyatakan penerimaannya,
karena mereka percaya nilai-nilai inil itu adalah nilai-nilai yang universal
yang juga baik untuk semua. Terlebih lagi, bagi masyarakat Papua agama
adalah agama keluarga, jadi mereka telah terbiasa dengan toleransi dalam
keragaman agama, sehingga kehadiran plang-plang manokwari yang terkait
dengan realitas sejarah itu tidak mengancam mereka.
Meski terlihat ada keragaman pandangan mengenai perda manokwari kota Injil,
tokoh-tokoh agama di Papua umumnya setuju bahwa pernyataan dua missionary
jerman, yaitu Ottow dan Geisler yang mengatakan, dalam nama Tuhan kami
menginjak tanah ini, merupakan peryataan Tuhan bahwa Manokwari adalah kota
Injil. Terlebih lagi sejarah membuktikan bahwa Manokwari adalah kota pertama
yang mengalami kemajuan di Papua, dan melalui injillah orang Papua bisa
menjadi pendeta-pendeta, dan pejabat-pejabat, tanpa injil itu tidak mungkin
terjadi. Secara ekstrem mereka mengatakan, yang pertama ada di Papua adalah
Injil bukan negara, jadi yang membawa perubahan untuk Papua adalah Injil,
jadi penghormatan terhadap Injil mesti ada, karena itu adalah kekuatan
Allah. Banyak denominasi gereja di papua dapat disatukan dengan kesadaran
yang sama bahwa mereka menerima Injil atas jasa dua orang missionary Jerman
itu, sehingga kesadaran itulah yang tampak menyatukan mereka dalam keragaman
pandangan tentang perda kota Injil.
*VII. Kontroversi Sekitar Perda Kota Injil*
Pdt. Gereja Bethel Tabernakel yang telah melayani 32 tahun di Papua dan kini
telah berusia 56 tahun berkomentar, "Kota Injil bagi kami adalah harga
mati!" Pernyataan itu bukanlah sesuatu yang diungkapkan dengan semangat
heroik yaitu untuk melawan orang-orang yang tidak menyetujui dengan sebutan
Manokwari Kota Injil, melainkan suatu pernyataan yang didasarkan keyakinan
yang teguh bahwa Tuhanlah yang menetapkan Manokwari sebagai Kota Injil yang
didasarkan pada peristiwa historis, karena itu meski tanpa pengakuan dari
pemerintah sekalipun keyakinan bahwa manokwari Kota Injil akan tetap
dipegang teguh oleh masyarakat Kristen Papua.
Memang, tidak sedikit diantara tokoh-tokoh agama di Manokwari yang
bersikukuh bahwa formalisasi sebutan Manokwari kota Injil adalah hak mereka
yang harus dipenuhi, karena itu terkait dengan nilai-nilai dasar masyarkat
Papua. Penetapan Manokwari sebagi Kota Injil diperlukan untuk mendorong
masyarakat hidup menyesuaikan dengan daerah dimana mereka tinggal.
Dapat dipahami bahwa masalah formalisasi sebutan Manokwari kota Injil
sesungguhnya masih penuh pro dan kontra, beberapa orang tokoh agama di luar
GKI masih menganggapnya hanya sebagai wacana, karena dirasa belum jelas apa
sesungguhnya tujuan dari dihadirkannya penetapan kota Injil, apalagi
ditengah masyarakat Manokwari yang kini telah menjadi sangat heterogen,
dalam ungkapan tokoh-tokoh agama yang menyebut diri sebagai gereja-gereja
aliran pertobatan, perda kota Injil tidaklah diperlukan. Pdt Jefrey, seorang
pendeta dan dosen di sekolah Alkitab Manokwari mengungkapkan, yang
diperlukan adalah kebebasan untuk memberitakan Injil, bukan aturan yang
menghambat kebebasan agama-agama lain. Ia juga berpendapat, pelajaran dari
sejarah gereja, diamana gerja-geraja menjadi kelompok mayoritas dan kemudian
memakai tangan negara untuk memaksakan ajarannya terbukti membawa gereja
pada dunia yang gelap, seperti abad pertengahan, karena itu formalisasi
agama tidak diperlukan, menghadirkan diri sebagi orang beragama yang hidup
benar lebih penting dari pada memaksakan ajaran agama, bahkan diakui, ada
ketakutan jika memang usulan itu dijadikan perda itu akan mendapat
perlawanan dari pihak-pihak yang berkeberatan, dan juga bahaya
eksklusifisme.
*VIII. Penutup.*
Usaha untuk menghadirkan perda pembinaan mental dan spiritual yang kemudian
dikenal menjadi perda kota injil memang diakui sebagai usaha agama
memberikan kontribusinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Peran
publik agama itu dipegang kuat sebagai sesuatu yang adalah hak masyarakat
Papua, apalagi disana mereka mengatakan tak ada usaha pembelengguan
kebebasan beragama. Hukum yang akan dihadirkan adalah hukum yang membuat
semua agama-agama dapat hidup berdampingan dengan harmonis. Namun, karena
usulan itu belum didialogkan dalam komunitas yang lebih luas dalam komunitas
agama-agama, wajar saja ada efek samping dari keterbatasan pengetahuan
agama-agama itu. Kesediaan tokoh-tokoh agama sebagai penggagas menunjukkan
adanya keinginan untuk memberikan kontribusi bagi terciptanya kehidupan
masyarakat di Manokwari yang damai.
Peran publik agama yang coba ditawarkan agama kemudian juga mengalami bias
dengan kondisi ekonomi masyarakat Papua yang kebanyakan hidup dalam kondisi
miskin, apalagi ketika diperhadapkan dengan pendatang yang jauh lebih kaya,
dalam hal ini umat Muslim, hal itu terlihat dengan penekanan pada
nilai-nilai Kristen yang adalah isi perda kota Injil yang kemudian ingin
dipaksakan. Berangkat dari hak untuk memberikan kontribusinya, komunitas
agama kemudian ingin memaksakan kebenaran pandangannya pada komunitas lain,
dan itu terjadi karena adanya perasaan terancam dari masyarakat Kristen
Papua.
Demi untuk memuluskan jalan bagi diberlakukannya perda kota Injil, GKI dalam
hal ini sebagai pihak penggagas baik perihal sebutan Manokwari sebagai kota
Injil maupun kehadiran perda kota injil, berusaha menggandeng Gereja-gereja
lain yang sebenarnya juga ada yang memiliki pandangan yang bersebrangan.
Polarisasi agama dalam agama, dalam hal ini Kristen bertujuan untuk mencapai
tujuan penetapan raperda kota Injil.
Peran publik agama yang coba diusahakan ternyata telah menjadi bias, karena
disana tersimpan semangat hegemoni agama, hal itu semakin diperparah dengan
adanya kebangkitan mereka yang menolak untuk didiskriminasikan, dalam hal
ini komunitas Mulim yang kemudian juga menyatu, yaitu antara muslim Papua
dan muslim pendatang. Polarisasi agama pu terjadi tidak hanya di kalangan
Kristen yang mencoba inginmenggolkan apa yang mereka anggap baik, namun itu
juga terjadi di kalangan muslim yang merasa terdiskriminasikan.
Polarisasi agama itu mungkin saja tidak disadari, namun itu tetap saja
membahayakan. Pada kondisi ini pendekatan yang hati-hati dengan menghadirkan
dialog antara mereka yng berbeda pendapat tersebut merupakan kebutuhan
penting, itu juga disadari oleh kalangan Kristen sebagai penggagas.
*Persoalannya
sekarang, apakah pemerintah daerah dan pusat cukup bijak dalam memfasilitasi
usaha dialog yang terbuka dan adil untuk kemudian mengambil suatu consensus
bersama.*
Binsar A Hutabarat, S.Th., M.C.S.
[Non-text portions of this message have been removed]
------------------------------------
====================================================
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
website: http://dtjakarta.or.id/
====================================================Yahoo! Groups Links
<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/
<*> Your email settings:
Individual Email | Traditional
<*> To change settings online go to:
http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/join
(Yahoo! ID required)
<*> To change settings via email:
daarut-tauhiid-digest@yahoogroups.com
daarut-tauhiid-fullfeatured@yahoogroups.com
<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
daarut-tauhiid-unsubscribe@yahoogroups.com
<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar